Kau dan Aku, Sungguh Aneh


Aku sedang duduk di sofa empukku yang biasa, sedang menunggu detik-detik jam berganti menuju angka yang tepat sehingga aku bisa pulang ke rumah dan beristirahat dari rutinitas kantorku yang melelahkan. Semuanya biasa saja, suasana yang biasa, teman-teman yang biasa, kegiatan bermain game penuh konsentrasi yang biasa pula. Hanya saja kali ini ada yang berbeda dari biasanya, ada kau, yang duduk di sampingku sedemikian dekatnya.
Sofa yang sedang aku duduki adalah sebuah sofa single seat, yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi satu orang saja. Walaupun hanya untuk satu orang, ukurannya yang besar memang sering digunakan untuk dua orang, terutama untuk aku dan teman-temanku yang bertubuh cukup kecil, kau tahu itu. Tapi walaupun begitu aku tidak pernah menyangka kau akan duduk di sampingku, menemaniku duduk sambil tetap menatap ponselku, berusaha berkonsentrasi.
Kau dan aku membuat sofa itu seolah terisi penuh. Tubuhku tidak terlalu kecil sedangkan tubuhmu yang khas laki-laki itu juga tidak bisa dibilang kecil. Ada begitu banyak kursi lain yang masih kosong, siap untuk diduduki dengan suka rela, tapi kau malah memilih untuk duduk di sampingku. Aku tidak heran, aku juga tidak bertanya-tanya atau pun merasa jengkel. Aku tahu kau akan duduk di sampingku.
Kita memang dekat, julukan sahabat akan selalu disandingkan teman-teman jika mereka memanggil kau dan aku. Aku adalah orang yang akan dicari teman-teman jika ingin bertanya tentang keadaanmu, seolah kau dan aku memiliki hubungan telepati yang bisa membuat kita saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Yah, itu tidak sepenuhnya benar. Kau memang dengan senang hati selalu memberitahukan semua rencana kepadaku tanpa aku tanya, walaupun kau sendiri tidak pernah merasa perlu repot-repot menanyakan rencanaku.
Intinya adalah: kau dan aku memang bersahabat. Aku bahkan menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Kau juga menganggap aku sebagai adikmu sendiri, aku rasa begitu, yah… paling tidak selama beberapa waktu belakangan ini aku yakin kau memang menganggapku sebagai seorang adik, atau mungkin sahabat, atau mungkin teman curhat, atau apa pun istilah yang tepat.
Tapi sekarang… aku tidak yakin kau tetap menganggapku seperti itu. Ada yang berubah dari dirimu beberapa hari belakangan ini.
Aku tahu kau masih bersedih karena baru putus cinta, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Tapi selama ini aku tidak pernah melihatmu berubah menjadi seperti ini. Maksudku, kau memang penuh perhatian, walaupun tidak seperhatian itu jika statusmu sedang berpacaran dengan ‘cewek A’. Kau memang selalu baik, walaupun tidak sebaik itu jika statusmu sedang berpacaran dengan ‘cewek B’. Kau juga memang selalu sering bercerita tentang semua rencanamu, walaupun kau tidak selalu sering bercerita seperti itu jika statusmu sedang berpacaran dengan ‘cewek C’.
Pokoknya kau selalu menjadi kau yang biasa, yang seolah menjaga kata ‘sahabat’ ada di antara kita, yang seolah mengingat untuk terus ‘sadar’.
Tapi kali ini berbeda.
Ada pandangan yang jauh lebih penuh arti dari pada sebelumnya. Ada pertanyaan menggantung di ujung lidahmu yang jauh lebih mendesak untuk dicari jawabannya. Ada gerak tubuh yang seolah tidak bisa ditahan untuk meraih lagi. Ada kata-kata yang seolah ingin pecah dari gelembung yang selama ini tersembunyi di sela tenggorokanmu.
Kali ini pandangan itu lebih mengunci. Kali ini pertanyaanmu membuatku bodoh, lupa bagaimana caranya menjawab, lupa bagaimana selama ini bersikap di depanmu, lupa bagaimana merangkai kata-kata dengan tepat. Kali ini tanganmu terulur penuh harap dan begitu tak ingin melepaskan saat sambutanku bertemu denganmu. Kali ini ada ungkapan rasa yang melimpah ruah dan nyaris tak bisa aku bendung dengan selayaknya.
Sungguh aneh.
Bukankah label ‘sahabat’ itu seharusnya telah tertempel kuat di antara kita? Bukankah label ‘kakak-adik’ juga sudah siap kita sematkan setelahnya? Tapi kenapa ada genggaman tangan yang mendesak itu? Kenapa ada pertanyaan yang membuat lidah kelu dan pipi memerah itu?
Ya, pertanyaan itu. Pertanyaan yang seperti pedang batu: dingin, menusuk dan mengejutkan. Selama ini aku kira pertanyaan itu hanya akan aku dengar di dalam mimpiku saja sehingga saat pertanyaan itu benar-benar keluar dari bibirmu, hanya kau yang bisa melihat dengan jelas betapa gagapnya aku.
Dan kau tahu apa yang aku lihat lagi setelahnya? Setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirmu? Ada pertanyaan lain. Ada pernyataan yang jauh lebih banyak lagi. Ada maksud terselubung dari sebuah pertanyaan mengejutkan tadi. Ada sebuah pertanyaan lain yang bahkan belum seberapa mengejutkannya jika dibandingkan dengan pertanyaan pertamamu.
Benar begitu, bukan? Tapi kenapa kau malah tidak melanjutkan apa-apa? Lagi-lagi kau menahan diri. Lagi-lagi label ‘sahabat’ itu kau tempelkan kembali.
Tapi lihat, apa yang kau lakukan lagi setelahnya? Genggaman tangan itu? Pandangan mata itu? Dan akhirnya… kecupan lembut di puncak kepalaku? Bukan hanya satu, tapi dua kali, tiga kali!
Kau membuatku gila, kau tahu?
Tentu saja aku tidak akan melupakan semua itu. Tentu saja itu akan terpatri dengan sangat jelas di kepalaku, seolah terulang terus sepanjang waktu.
Tapi masih ada satu pertanyaan di balik semua itu, pertanyaan yang paling membuat kepalaku hampir pecah. Apakah semua itu berarti sama dalamnya bagimu? Ataukah itu hanyalah pelarianmu dari sakitnya patah hati yang kau rasakan baru-baru ini?
Aku terlalu mengenalmu. Aku terlalu tahu sifat-sifatmu, baik dan burukmu. Dan semua itu membuatku seolah dipermainkan. Aku tidak bisa membiarkan diriku sendiri terhanyut hal yang seharusnya tidak aku tanggapi seserius itu.
Aku harus terus menyadarkan diriku, mengingatkan diriku sendiri untuk terus menginjak tanah dan tidak melayang jauh, karena aku tahu pasti bahwa aku akan jatuh. Cepat ataupun lambat, aku akan jatuh. Kau akan menjatuhkanku, dan aku akan merasakan lagi sakit itu. Seharusnya aku tahu, seharusnya aku ingat.

100811 ~ Black Rabbit ~