… Kalau Saja …


Ada sebuah jeritan terdengar dari dalam hatiku. Jeritan seseorang, bukan aku, tapi anehnya terdengar begitu dekat dalam diriku. Seolah sebagian dari diriku sendiri yang menjerit, bukan orang lain. Itu jeritan kesakitan, tapi bukan karena luka bakar, luka iris atau luka lainnya, melainkan luka yang lain, yang lebih menyakitkan, yang lebih menakutkan. Aku hanya bisa menebak bahwa itu adalah luka hati…
Kenapa semua hal harus begitu sulit untuknya? Mengapa ada begitu banyak rintangan yang harus dihadapinya tanpa bisa ditinggalkan begitu saja? Tidak bisakah dia lari dari semuanya dan memutuskan untuk melewati rintangan yang lain saja asal jangan rintangan yang satu ini? Aku tahu dan merasakan bahwa hatinya sudah hancur berkeping-keping tanpa perlu dihancurkan dengan masalah yang satu ini. Dan bisakah semuanya berjalan lancar untuknya, kali ini saja? Dia telah memutuskan begitu banyak hal yang besar dalam dirinya. Semua menguras tenaganya, menguras setiap rasa di dalam hatinya, membuatnya merasa tidak lagi memiliki sisa rasa yang bisa diperasnya untuk merasa sedikit bahagia. Dia hanya ingin berbahagia, sama seperti orang lain, sama seperti kita. Tapi kebahagiaan itu begitu sulit untuk diraih baginya. Seperti bintang, yang letaknya terlalu jauh untuk bisa di capai. Dan kali ini dia harus menggantung kebahagiaan orang yang paling dekat dengannya demi mendapatkan kebahagiaannya sendiri.
Kenapa begitu? Kenapa harus ada seseorang yang menderita lebih dulu agar dia bisa merasakan kebahagiaan? Kenapa? Kenapa? KENAPA?!?!? Dan kenapa dia harus mempertaruhkan kebahagiaannya dengan kebahagiaan ayahnya sendiri? Itu adalah hal yang paling berat yang harus di laluinya, aku yakin itu. Mencoba merasakan perjuangannya saja sudah membuatku merasa tersayat-sayat, seolah ada seseorang yang memaksaku untuk bunuh diri, atau membunuh orang lain agar tetap hidup. Tapi bagaimana jika apa yang dipertaruhkannya adalah sesuatu yang sangat diidamkannya, sesuatu yang tidak bisa disangkalnya akan bisa membuatnya berbahagia, lahir dan batin? Jelas saja, dia tidak bisa memutuskan keduanya, dia harus memilih salah satu, atau dia bisa memilih pilihan ketiga, yaitu membiarkan dirinya sendiri ikut menderita bersama kedua korbannya.
Dan ada sebuah kekecewaan besar lain yang aku rasakan. Lagi-lagi bukan diriku yang merasakannya, tapi terasa begitu dekat, seolah sebagian lain dari diriku yang merasakan kekecewaan itu. Rasanya sakit sekali, seperti menusuk hatiku, seperti menyayat, seperti membakar. Dan rasanya luka itu tidak akan bisa hilang dan sembuh, akan menjadi cacat seumur hidup, membuatku teringat akan sakitnya, tak akan pernah lupa. Aku merasakan sakit hati itu, perasaan terhina itu, perasaan dikhianati…
Memang, rasanya sakit sekali. Seperti ada seseorang yang menusukmu dari belakang, seseorang yang dekat… anakmu sendiri, darah dagingmu… Aku meneteskan air mata kepedihannya, aku merasakan kesesakannya, rasanya begitu menyakitkan, membuatku ingin berteriak, ingin lari, ingin lepas dari semua belenggu itu, berharap semuanya tidak kacau seperti ini. Tapi kenyataan telah menggariskan nasibnya dengan seenaknya, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Itu membuatnya merasa semakin terkhianati. Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa semuanya bisa berubah menjadi kacau begini? Kenapa? Apa? Bagaimana bisa? KENAPA?!?!? Apa lagi yang mereka inginkan darinya? Dia telah berusaha untuk bersabar sejauh ini, berusaha menerima semua perubahan yang ada padahal dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi. Harga dirinya jatuh dan hancur berkeping-keping saat partner hidup yang dipilihnya telah mencuranginya. Semua kehancuran itu berawal dari sana. Dari satu titik tuba yang menetes dan mencemari semuanya. Setelah itu nama baiknya tercoreng dengan kelakuan darah dagingnya sendiri, dua sekaligus. Mereka menusuk punggungnya dari belakang dan membiarkannya tersungkur jatuh ke lubang malu dan keputusasaan yang dalam tanpa bisa menyelamatkan diri.
Dia hanya ingin berbahagia, membangun rumah dengan pondasi yang di bangunnya sendiri dan mempertahankan rumah itu dari segala macam badai dengan usaha kerasnya. Dia hanya ingin berbahagia dengan prinsip-prinsipnya, dengan apa yang diyakini akan dapat membahagiakannya dan keluarganya. Tapi kenapa dia malah dikhianati oleh darah dagingnya sendiri? Seolah mereka telah meracuninya secara perlahan dan membiarkannya sekarat. Dan sekarang apa lagi yang mereka inginkan? Setelah dia menginjak-injak harga dirinya sendiri, setelah dinding yang telah dibangun dengan keringatnya harus dia hancurkannya sendiri, setelah dengan hati yang hancur berkeping-keping yang telah dengan suka rela dia lem kembali untuk menerima semua kenyataan yang ada. Sekarang mereka menginginkannya untuk menjatuhkan dirinya lagi ke jurang yang sama? Betapa kejamnya? Tidakkah mereka tahu seberapa hancur hatinya? Seberapa dalam luka baru yang mereka timbulkan sementara luka lama itu masih tetap membekas dan terus saja berdenyut-denyut menyakitkan sampai sekarang? Kali ini aku yakin, dia tidak lagi memiliki stok kesabaran yang selama ini selalu dia keluarkan jika menghadapi situasi seperti ini. Dia tidak lagi bisa bersabar, tidak lagi bisa menerima semuanya begitu saja. Ini bukan masalah sepele, ini tentang masa depan mereka. Dia harus memegang prinsipnya kali ini, prinsip yang dia anggap paling benar. Prinsip yang paling didasari oleh instingnya sebagai seorang ayah.
Aku berada di antara dua pilihan yang begitu sulit untuk diputuskan. Salah satunya adalah sebelah hatiku dan yang lainnya adalah darahku. Keduanya adalah unsur paling penting dalam hidupku dan keduanya adalah penentu hidup matiku, penentu kebahagiaanku sendiri. Bagaimana aku bisa hidup tanpa sebelah hatiku? Dan bagaimana pula aku bisa hidup tanpa aliran darahku? Dan apa yang harus aku lakukan? Keduanya berhak untuk diperjuangkan, dipertahankan, dibahagiakan; tapi keduanya tidak bisa sejalan. Mereka memilih jalan mereka masing-masing, tapi sayangnya kedua jalan itu sangat berbeda, jauh berbeda. Tidak mungkin menyatukan keduanya pada satu jalur yang sama karena mereka memiliki keyakinan mereka masing-masing yang nyaris tidak bisa digoyahkan, tidak bisa dirayu. Hanya mereka sendiri yang bisa menyatukan jalan mereka. Hanya saling pengertian yang bisa menolong mereka, keinginan untuk melihat masing-masing diantara mereka berbahagia, walaupun dengan cara mereka masing-masing. Mereka harus bisa saling jujur satu sama lain, saling mengerti, saling memaklumi, saling meminta maaf karena jalan yang mereka pilih berbeda. Aku tidak bisa memutuskan harus memihak ke mana. Pilihan itu tidak akan bisa aku lakukan. Semuanya membingungkanku, semuanya membuatku sedih, seolah aku dapat merasakan segalanya dari kedua sisi. Itu menyakitkan, itu menyesakkan, itu membuatku sendiri ingin bunuh diri. Kalau saja kekacauan ini tidak dibiarkan terjadi begitu saja sejak awal. Kalau saja perbedaan itu sudah diantisipasi sejak pertama kali mencuat ke permukaan, kalau saja keduanya bisa saling memahami dan menerima dengan lebih lapang dada, kalau saja…
Kalau saja aku tidak berada di tengah semua kerumitan ini…
Kalau saja…

 
201209 ~ Black Rabbit ~

Cuplikan Buku Harian Rab


Hari ini aku pulang cukup malam dengan badan yang capai dan kaki yang pegal. Sepulang dari kantor tadi aku harus langsung pergi untuk bertemu dengan salah satu teman sekolahku dulu untuk mengadakan acara reuni kecil-kecilan. Saat masuk ke dalam kamar, aku melihat dia sudah tertidur di samping tempat tidurku, dengan laptop yang masih menyala dan novel yang sedang dibacanya tergeletak di sampingnya, sepertinya baru saja dibaca sedikit. Aneh, dia tidak pernah membiarkan laptopnya aktif begitu saja, dia juga tidak pernah meninggalkan bukunya tanpa selesai membaca setidaknya pada akhir setiap bab. Memang, beberapa hari ini aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya, ada yang sedang dipikirkannya, dan itu membuatnya stress, tapi aku tidak yakin masalah apa.
Aku melangkah mendekatinya dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun sehingga dia tidak terbangun dari tidur yang kelihatannya nyenyak itu. Dia kelelahan, dia sepertinya memang butuh banyak istirahat. Setelah merapikan bukunya, aku beranjak menarik laptopnya dari atas tempat tidur, tapi saat aku baru saja berniat mematikan laptop itu, aku tertarik membaca apa yang tersaji di layarnya.
Sepertinya itu adalah buku hariannya. Aku tahu dia memang sering menulis buku hariannya di laptop ini, tapi tentu saja aku tidak pernah membacanya sedikitpun karena data itu dilindungi dengan password. Tapi data itu sekarang terbuka, tampaknya secara tidak sengaja dia telah meninggalkannya dalam keadaan terbuka. Tiba-tiba terbersit niatku untuk membacanya. Sedikit saja, aku janji tidak akan membaca terlalu banyak. Bagaimana pun kalau dia tidak tahu aku membaca buku hariannya tentu dia tidak akan marah, betul kan?
Baiklah, aku akan mulai membacanya. Hanya sedikit, aku janji.

 
Ada yang tidak beres denganku hari ini. Aku tidak yakin itu apa, tapi semua itu membuat suasana hatiku menjadi jelek. Aku memikirkan sesuatu, dan gawatnya itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak aku pikirkan. Aku memikirkan seseorang yang salah, seseorang yang sebetulnya tidak aku kenal.
Semua ini bermula dari sebuah ketidak sengajaan. Aku berkenalan dengannya melalui media yang tadinya aku kira sangat tidak mungkin aku yakini. Dunia maya, dunia yang teralu absurd, yang tidak nyata, dunia yang aku remehkan. Disitulah aku mengenalnya.
Aku sama sekali tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Bagiku pribadi, aku harus sangat mengenal orang itu sebelum bisa menyakinkan diriku untuk menerimanya menjadi seorang teman atau pun sahabat. Jangankan untuk seorang tambatan hati, aku bahkan hanya memiliki beberapa orang sahabat yang banyaknya masih bisa dihitung dengan jari pada salah satu tanganku saja. Aku juga tidak suka berkenalan dengan seseorang yang sama sekali asing melalui media yang tidak aku kenal dengan baik. Bagiku, cara seperti itu terlalu banyak kemungkinan dan kesempatan untuk berbohong. Biasanya orang-orang yang berusaha mengajakku mengobrol melalui media itu hanya aku tanggapi seadanya, bahkan mungkin cenderung ketus.
Tapi dengan dia semua itu berbeda.
Sejak sapaan pertama, ada sesuatu yang berbeda darinya. Ada sebuah keyakinan, entah dari mana, yang mengatakan bahwa kami berkenalan berdasarkan itikad baik. Dan bahkan ada sebuah suara kecil dari sudut hatiku yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang aku cari selama ini, seseorang yang bisa menjadi sangat berarti bagiku. Aku tahu ini bodoh sekali. Bagaimana aku bisa merasakan dan berkata seperti itu padahal aku bahkan tidak pernah bertemu dan berbicara langsung dengannya? Tapi aku sudah berjanji dengan hatiku sendiri bahwa aku tidak akan membohongi diriku sendiri lagi. Seberapa pun memalukannya perasaan itu, seberapa pun menyebalkannya pikiranku dan seberapa pun konyolnya itu, aku akan berusaha jujur dengan diriku sendiri. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menghargai diriku sendiri. Karena itulah aku tidak akan menyangkal bahwa memang perasaan itulah yang aku rasakan saat pertama kali berbicara dengannya.
Walaupun begitu, bukan berarti aku tidak meyakinkan diriku sendiri sebelumnya. Aku bertanya dengan blak-blakan kepadanya tentang motifnya ingin berkenalan dan mengobrol panjang lebar denganku. Bagaimana pun, tidak akan semudah itu seseorang mau mengobrol panjang lebar dan menceritakan kisah hidupnya kepada orang asing. Paling tidak, aku bersikap seperti itu. Mungkin saja dia hanya ingin mempermainkan aku, atau bercanda dan menggangguku seperti kebanyakan pria iseng dimuka bumi ini. Atau mungkin dia sama seperti pria hidung belang lainnya yang akan berbuat sangat kurang ajar jika akhirnya aku dan dia kopi darat nantinya. Tapi dengan entengnya dia hanya berkata: " Maksudmu aku hanya ingin mempelajari anatomi tubuh seorang gadis? Yang seperti itu banyak di buku pelajaranku. ".
Yah, dia memang seorang calon dokter, tapi aku tidak yakin semua calon dokter akan berpikir seperti itu. Jujur saja, dia memang berbeda dengan semua pria yang pernah aku kenal. Semua kata-katanya, cara bicaranya ( walaupun itu cuma aku ketahui dari tulisan-tulisannya ) dan juga sikapnya yang sangat perduli itu terlihat tulus. Seolah dia memang benar-benar perduli denganku, tidak ada alasan yang lain. Hanya perduli, itu saja.
Tapi, aku sendiri tidak bisa seyakin itu. Bukan dengannya, tapi dengan diriku sendiri.
Aku tidak yakin apa aku benar-benar bisa menerima semua itu. Maksudku, semua ini adalah sebuah pengalaman baru bagiku, sesuatu yang tidak pernah aku rasakan dan aku alami sebelumnya. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Bagaimanapun perhatiannya, bagaimanapun sikap manisnya, aku tetap tidak bisa menerima teori itu. Bagaimana mungkin aku bisa menaruh hati kepada orang asing?
Dia tidak tahu apa-apa mengenai aku, dia tidak tahu mengenai kisah hidupku yang kacau, dia tidak tahu mengenai keluargaku yang memalukan. Dia sama sekali tidak mengenal aku, jadi bagaimana mungkin dia bisa begitu saja ingin dekat denganku? Itu tidak masuk akal, sama sekali tidak masuk akal. Aku bukanlah seorang gadis baik, aku jelek, begitu penuh dengan kekurangan, dan dengan semua sifat jelekku… bagaimana mungkin ada orang lain yang mau mengerti semua itu, memakluminya dan menerima aku begitu saja? Tidak, tidak akan ada orang lain yang akan bisa memahami. Aku bahkan nyaris percaya bahwa tidak akan ada orang lain di dunia ini yang mau menerima semua kekuranganku itu. Aku terlalu buruk, terlalu jelek, terlalu memprihatinkan.
Karena itulah aku tidak berani menerima tawarannya untuk bertemu. Aku tahu dia telah berusaha menyempatkan diri untuk bertemu denganku, aku tahu dengan penolakanku itu dia pasti akan sangat tersinggung. Tapi sungguh, aku tidak bisa membiarkan diriku melakukannya dan pada akhirnya malah mempermalukan diriku sendiri! Tidak bisa, aku tidak mau.
Sekarang aku benar-benar telah membohongi diriku, aku mengingkari kata hatiku sendiri. Tapi kali ini aku memaafkannya. Aku yakin aku harus melakukannya, kalau tidak aku akan membuatnya kecewa. Aku bahkan sudah membuatnya kecewa dengan segala perhatian berlebihan yang seharusnya tidak aku berikan kepadanya. Aku yakin sikapnya yang berusaha menahan diri dan sopan itu karena dia juga sangat menghormatiku, menghormati statusku yang tidak sendiri lagi.
Jadi kali ini biarkan saja aku berbohong dengan hatiku, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan hatiku sendiri. Aku tidak mau kehilangan dia yang sudah seperti kakak pribadiku_sosok yang sebenarnya aku cari-cari selama ini_tapi aku juga tidak bisa memaksakan kehendakku yang akan menyakitinya pada akhirnya.
Benar, aku harus berbohong dengan diriku sendiri. Kali ini saja. Biarkan saja.

 
~ Rab ~

 
Ya ampun, aku tidak sadar kalau aku sudah membaca semuanya! Memang aku tidak membaca semua datanya yang aku yakin sudah dia isi sejak awal tahun, tapi tetap saja aku sudah membaca terlalu banyak! Aku tidak sengaja, sungguh! Aku tahu seharusnya aku berhenti membaca sejak paragraf pertama, tapi aku tidak bisa mencegah keingintahuanku karena siapa tahu dengan membaca ini aku bisa mengerti apa yang sedang dipikirkannya selama beberapa hari ini dan yang membuatnya begitu stress.
Aku tahu, aku mengaku salah.
Tapi, kalau memang semua itulah yang dipikirkannya selama ini, berarti dia memang sedang mengalami masalah yang cukup serius. Masalah percintaan memang selalu menjadi masalah serius, tapi kalau itu adalah masalah percintaan di dunia maya? Apa lagi dia juga sampai-sampai harus membohongi dirinya sendiri. Itu tidak sehat, tidak baik untuk dirinya sendirri. Ya ampun, itu jauh lebih serius lagi.
Aku tidak akan menanggapi apa-apa lagi, aku juga sudah tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Tapi yang jelas aku bersyukur karena sudah sedikit mengerti bagaimana situasi yang sedang dihadapinya. Paling tidak dengan begini aku bisa memutuskan harus memilih bersikap bagaimana untuk menanggapinya nanti.
Tenang, aku akan berusaha menjadi seorang kakak yang paling baik baginya, yang akan terus mendukung dan menuntunnya di jalan yang benar.
Aku janji, jadi jangan khawatir.

 
200910 ~ Black Rabbit ~

LIFT LOVE


Aku sedang membayangkan bagaimana kalau aku menderita phobia tempat tertutup? Mungkin aku akan sangat ketakutan sekarang, panas dingin dan keringat bercucuran. Bukan karena kepanasan, tapi karena menahan takut. Soalnya sekarang aku sedang berada di dalam lift yang akan membawaku turun dari lantai dua puluh sebuah hotel mewah menuju lantai dasar. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk turun ke lantai dasar_perlu lima belas menit bahkan dua puluh menit kalau lift ini berhenti di setiap lantai yang dilewatinya. Ya, inilah tandanya jika dunia sudah berkembang jauh lebih modern, gedung-gedung bertingkat di bangun menjulang setinggi-tingginya, seolah mencoba melampaui awan. Dan lift sudah tidak asing lagi digunakan, sehingga para phobia tempat tertutup harus terbiasa dengan lift karena terpaksa harus menggunakan lift tertutup selama beberapa menit tiap harinya. Tapi untunglah aku tidak menderita penyakit seperti itu. Aku hanya sedang berada di dalam lift dan tidak tahu harus melakukan apa selama dua puluh menit kedepan, jadi aku melamun saja memikirkan para phobia tempat tertutup.
Kalau tidak karena Tante Susan, tentu aku tidak akan berada di dalam lift ini, atau malah aku tidak akan pernah mengunjungi hotel ini. Inikan hotel besar yang super terkenal, hotel bintang lima yang memiliki dua puluh lantai, dengan landasan helikopter di lantai teratas, tiga kolam berenang outdoor bertaraf internasional ( tidak perlu bertanya bagaimana aku tahu mengenai fasilitas hotel ini, pokoknya aku tahu! ). Sangkin terkenal dan mewahnya, hotel ini menjadi pilihan pertama bagi para turis dan pejabat untuk menginap walaupun harus membayar jutaan rupiah hanya untuk satu malam. Aku yang bukan berasal dari keluarga kaya raya tidak akan sanggup membayarnya.
Tante Susan adalah adik ipar Ibuku yang menikah dengan seorang laki-laki kebangsaan Australia yang kaya. Dia sedang melewatkan waktu liburannya disini dan meminta aku dan kakakku, Audrey, untuk menemaninya. Aku tidak begitu yakin kenapa Tante Susan begitu menyukai kami, saudara-saudara jauhnya, tapi yang jelas aku menyukai Tante Susan karena dia begitu baik, berjiwa muda dan mau berbaur. Tante Susan menempati kamar dilantai paling atas hotel ini atas pesanan suami bulenya, mangkanya aku yang baru saja mengantar Tante Susan ke kamarnya sekarang berada di dalam lift untuk turun ke lantai dasar.
Aku jadi ingat sebuah adegan film yang dibintangi dua artis pendatang baru. Itu loh yang ada adegan di dalam liftnya. Kalau tidak salah mereka terjebak di dalam lift berdua saat lift itu tiba-tiba macet. Dan di dalam lift itu mereka saling berkenalan dan mulai mengobrol, bahkan mulai jatuh cinta. Tapi sayangnya adegan itu berhenti saat mereka nyaris berciuman. Untuk aku yang sangat memuja romantisme cinta, kejadian itu sangat disayangkan dan mengecewakan. Bukankah hal yang manis kalau pacarmu mau menciummu di dalam lift saat kalian hanya berdua? Kalau aku sih pengen banget merasakan ciuman di dalam lift, mumpung first kiss-ku belum tergadaikan.
Sedang asik-asiknya melamun mengenai first kiss di lift, tiba-tiba bunyi 'Ting!' nyaring terdengar, pintu lift terbuka. Aku melirik angka yang tertera di atas pintu lift. Delapan belas, lift ini berhenti di lantai delapan belas. Seorang laki-laki jangkung, mengenakan celana jeans dan jaket masuk ke dalam lift. Wajahnya tertutup topi sehingga aku tidak bisa melihatnya, lalu dia berjalan ke sudut lift dan menyender di sana, tetap berusaha menutupi wajahnya dengan topi. Di sudut lift yang lain, aku mengernyit heran. Laki-laki ini aneh benar, setiap kali aku melirik ke arahnya dia selalu berusaha menutupi wajahnya lebih dalam lagi.
Keherananku semakin bertambah ketika laki-laki itu mulai terbatuk-batuk. Batuknya aneh, bukan seperti batuk berdahak atau batuk kering tapi seperti batuk menahan sakit. Aku menatapnya beberapa kali, tapi dia masih saja berusaha menutupi wajahnya dan batuk-batuk lagi. Laki-laki yang aneh, misterius banget. Mungkin wajahnya sangat menakutkan sekaligus punya penyakit menular atau apa. Tapi kalau begitu, aku beresiko ketularan karena hanya aku yang ada di dalam lift bersamanya. Atau mungkin dia baru saja minum minuman keras atau menggunakan obat-obatan terlarang. Gejalanyakan bisa mengarah ke situ. Wah, situasi yang super gawat! Tiba-tiba posisiku berubah menjadi sangat terancam sedangkan masih ada lima belas lantai lagi yang harus aku lewati.
Apa yang bisa membuat aku lega saat ini? Jawabannya simpel saja, kalau Tuhan memberikan kesempatan agar aku bisa lepas dari laki-laki misterius yang mencurigakan ini, maka itulah kebaikan Tuhan yang paling aku butuhkan saat ini. Dan ternyata Tuhan mengabulkan permintaanku. Di lantai lima belas, tiba-tiba lift berbunyi lagi dan seorang laki-laki gemuk masuk ke dalam. Dia berdiri di depanku, menutupi pandanganku ke arah panel angka sehingga aku tidak bisa melihat angka mana yang dia tekan_tempat dia akan keluar. Aku sangat berharap Bapak ini juga turun di lantai dasar sehingga aku tidak perlu berada berdua saja di dalam lift bersama laki-laki aneh yang sepertinya juga turun di lantai dasar karena dia tidak menekan angka manapun di panel angka.
Ternyata bukan hanya aku yang merasa terganggu dengan keberadaan laki-laki misterius itu, Bapak ini juga tampak terganggu. Buktinya setelah mendengar laki-laki misterius itu batuk lagi, Bapak ini melirik dan mengernyit aneh karena melihat sikap laki-laki misterius itu yang selalu berusaha menutupi wajahnya. Bapak itu melirik panel angka di atas pintu lift lagi, angka berganti disana dari angka dua belas ke angka sebelas. Masih ada sepuluh lantai lagi, aku mohon Bapak ini jangan turun dulu. Tapi saat angka sepuluh tercetak di panel angka dan bunyi 'Ting!' terdengar, pintu lift terbuka dan Bapak itu keluar dengan lega. Aku hanya bisa menghela napas, nasib sedang mempermainkan aku. Sesaat tadi dia menempatkanku di posisi sulit lalu memberikan sedikit pengharapan dan akhirnya malah kembali menempatkanku di posisi sulit lagi.
Pintu lift kembali tertutup dan aku melirik laki-laki misterius itu lagi. Keadaanya masih sama, masih menyembunyikan wajahnya dan batuk-batuk menahan sakit. Pandanganku beralih ke panel angka. Sembilan, masih ada delapan lantai lagi. Baru kali ini aku merasa tidak nyaman berada di dalam lift semewah ini.
Lift ini berukuran besar, dengan kertas dinding bermotif kayu menutupi seluruh bagian sampai ke langit-langitnya dan lantai lift itu ditutupi karpet empuk berwarna abu-abu. Seharusnya lift ini bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemakainya, atau mungkin menunjang situasi romantis yang bisa terjadi di dalam lift seperti di film itu. Tapi mengingat situasiku yang sedang terancam, suasana senyaman apa pun tidak akan berpengaruh banyak.
Keadaanku lebih terancam lagi saat tiba-tiba lift macet di lantai enam. Lampu lift tiba-tiba berkedap-kedip liar dan lift berhenti mendadak dengan hentakan keras. Aku otomatis berteriak, sedangkan laki-laki misterius itu berhenti batuk seketika. Lampu lift mati total selama beberapa detik, membuatku mundur ke pojok lift, lalu menyala lagi. Tapi lift itu tidak ikut berjalan, lift itu diam, macet. Aku menatap bingung ke langit-langit lift, berharap ada orang yang akan memberitahu apa yang terjadi, tapi tentu saja tidak ada, jadi aku malah mengatakan sesuatu, cenderung untuk diriku sendiri.
" Liftnya macet. "
Perkataanku malah ditanggapi dengan suara batuk lagi. Sepertinya kali ini batuknya lebih serius sehingga laki-laki misterius ini menahan sakit sampai terduduk. Aku kaget melihatnya. Buru-buru aku menghampiri laki-laki itu dan bertanya penuh khawatir:
" Lo kenapa? " Laki-laki itu masih batuk. " Heh, lo kenapa? Nggak pa-pa, kan? " Aku menyentuh lengannya, membuat laki-laki itu kaget lalu menyentakkan tanganku dengan keras sambil berteriak: " Gua nggak papa! "
Saat laki-laki itu menengadah melihatku setelah berteriak itulah terjadi suatu hal yang sangat tidak disengaja: dia menciumku tepat di bibir! Kejadiannya sangat cepat, aku saja sempat tidak sadar, soalnya laki-laki itu berada tepat di bawahku dan aku menghampirinya terlalu dekat! Apalagi saat melihat wajahnya, aku langsung meloncat mundur dan berteriak kaget, lalu otomatis menampar wajahnya. Iya, aku menampar laki-laki itu! Padahal wajah laki-laki itu terlihat sangat mengenaskan: matanya sedikit bengkak, alis kanannya berdarah, bibirnya pun mengeluarkan darah, persis seperti orang yang baru saja dipukuli.
Aku tidak pernah bermaksud memukul orang yang sudah babak belur, tapi masalahnya tanganku bergerak sendiri tanpa aku sadari! Laki-laki itu memelototiku dengan susah payah, lalu bertanya galak kepadaku:
" Ngapain lo mukul gua? "
" Abis lo nyium gua! "
" Gua nggak sengaja! Siapa suruh lo ada di deket gua? " Aku tidak bisa menjawabnya, pikiranku sedang sibuk melihat wajahnya dan memikirkan dari mana dia mendapatkan luka-luka itu. Mendadak masalah lain terlupakan olehku.
" Muka lo kenapa? "
" Bukan urusan lo! " Laki-laki itu tersadar bahwa wajah babak belur yang sudah susah payah ditutupinya malah tidak sengaja diperlihatkannya kepada orang lain. Buru-buru dia menunduk lagi.
Tepat saat laki-laki itu menundukkan kepalanya lagi, lift tiba-tiba bergerak turun. Laki-laki itu memelototiku seolah mengancam kalau aku tidak boleh bertanya lagi, sedangkan aku terus memandanginya dengan penuh tanya. Mungkin laki-laki itu tidak senang aku pandangi, jadi saat lift yang sudah bergerak turun itu berhenti dan mengeluarkan bunyi 'Ting!' nyaring, laki-laki itu buru-buru keluar tanpa melihat di lantai mana lift itu berhenti. Seorang Ibu muda masuk sambil membawa kereta dorong bayi lalu tersenyum kepadaku.
" Tadi liftnya macet, ya? "
Aku mengangguk lalu tersenyum. Panel angka saat itu menunjukkan angka empat. Aku tidak tahu laki-laki itu memang ingin turun ke lantai ini atau dia keluar hanya gara-gara aku sudah melihat keadaan wajahnya tanpa disengaja. Tapi yang jelas, laki-laki itu memang sangat misterius.
# # #
Aku bukannya berharap akan bertemu dengan laki-laki misterius itu lagi selama bulak balik dari lantai dua puluh ke lantai dasar untuk mengantar Tante Susan. Tapi jujur saja, aku sangat penasaran bagaimana laki-laki itu bisa babak belur seperti itu. Aku pikir dia pasti bertengkar dengan seseorang, tapi dengan siapa aku tidak tahu. Lagi pula bukan hanya masalah itu yang mengganjal pikiranku. Aku sekarang ingat benar kalau laki-laki itu sudah menciumku. Dia merebut first kiss-ku sekaligus membuyarkan harapanku untuk bisa mendapatkan first kiss yang romantis bersama orang yang aku cintai di dalam lift. Tapi aku tidak bisa meminta pertanggung jawabannya, soalnya sudah tiga hari ini aku tidak bertemu lagi dengannya, padahal aku masih saja harus bulak balik hotel itu. Mungkin dia sudah check out dari hotel ini, atau mungkin dia bahkan tidak pernah check in.
Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Tepat sehari sebelum Tante Susan akan pulang ke Australia, yang membuat aku tidak akan pernah datang ke hotel ini lagi, saat itu aku bertemu lagi dengannya di dalam lift. Tapi kali ini lift yang kami naiki penuh berisi orang lain. Kami sama-sama kaget, merasa saling kenal tapi tidak berani menegur duluan. Kami hanya sama-sama menyender di pojok lift dengan seorang wanita setengah baya berada di antara kami. Aku deg-degan bukan main. Aku hanya takut kalau laki-laki itu ingat aku sudah menamparnya saat terakhir kali kami bertemu. Tapi dari raut wajahnya yang canggung, aku juga tahu kalau dia takut aku ingat bagaimana keadaannya sewaktu kami bertemu. Sekarang wajahnya tidak babak belur lagi, jadi aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresinya yang canggung itu.
Lift tidak pernah kosong, bahkan nyaris selalu terisi penuh sehingga tidak ada kesempatan untuk kami saling menyapa, sampai lift berhenti di lantai tujuh. Kali ini tidak didahului dengan lampu yang padam, tapi lift langsung berhenti. Semua orang yang berada di dalam lift tersentak kaget lalu mulai menggumam kalau liftnya berhenti. Semua orang tidak melakukan apa-apa selama beberapa menit, mengira lift akan berjalan lagi selama beberapa menit itu, tapi ternyata tidak, lift tetap diam sehingga orang-orang mulai berbisik panik. Seorang bapak yang mengenakan jas dan kemeja rapi berjalan ke panel angka dan menekan tombol merah, tombol darurat.
Sebuah suara terdengar tak lama kemudian dari speaker yang tertanam di samping panel angka. " Ya, ada apa? "
" Liftnya macet pak, nggak bisa jalan dilantai tujuh. " Kata Bapak yang berpakaian rapi itu kearah speaker.
" Oh maaf, liftnya memang sedang diperbaiki, mungkin butuh waktu beberapa menit, tolong sabar semua. " Seluruh isi lift langsung menggerutu kesal, sementara aku hanya bisa menghela napas dan memukul jidat.
Ternyata beberapa menit yang dikatakan laki-laki dari speaker itu tidak benar. Buktinya setelah menunggu selama hampir setengah jam, lift itu belum juga jalan. Orang-orang yang berada di dalam lift sudah mulai kesal, laki-laki berpakaian rapi tadi sudah melonggarkan dasi dan melepas jasnya, sementara sepasang suami istri yang membawa kedua anak sudah mulai sibuk menenangkan anak-anak mereka. Sang ayah sibuk menjawab pertanyaan anak balitanya yang tidak berhenti, sedangkan ibunya sedang sibuk menenangkan bayinya yang mulai menangis.
Keadaan tidak nyaman ini membuat kami tambah pusing. Aku terpaksa merapatkan diri ke arah laki-laki misterius itu sementara wanita setengah baya yang tadinya berdiri diantara kami yang ternyata adalah suster bayi yang menangis itu memintaku bertukar tempat. Kini semua orang duduk di lantai lift, berusaha menyamankan diri sementara tangisan sang bayi semakin menggelegar.
Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa selama menunggu. Rasanya sangat tidak enak kalau kau berdampingan dengan orang yang kau kenal tapi tidak berani kau sapa. Aku berpikir keras untuk memutuskan cara apa yang akan aku pakai untuk menyapa laki-laki ini, tapi saat aku sudah memutuskan untuk mulai bertanya, ternyata laki-laki itu melakukan hal yang sama sehingga omongan kami bertabrakan. Kami berhenti pada saat yang bersamaan juga lalu sama-sama tersenyum lega.
" Lo dulu, deh. " Kataku duluan.
" Lo aja. " Jawabnya menggeleng.
" Nggak, lo aja. Omongan gua nggak teralu penting. " Bantahku.
" Gua cuma mau bilang, kalau kita kayaknya ditakdirin buat ketemu waktu lift macet mulu, ya? " Aku tersenyum manis, tahu benar kalau itulah kata-kata yang ingin aku katakan tadi.
" Liftnya udah tua, kali. " Tanggapku, lalu kami berdua tertawa, merasa lega karena suasana diantara kami sudah tidak kaku lagi walaupun sang bayi sekarang sudah menjerit-jerit.
" Ngomong-ngomong, thank's waktu itu lo mau bantu gua. " Kata laki-laki itu akhirnya.
" Nggak pa-pa, masa ada orang yang lagi susah nggak gua bantu. Tapi kalo boleh gua tau, siapa yang mukulin lo sampe babak belur kayak gitu? " Aku tahu pertanyaan ini sedikit lancang ditanyakan, jadi sebelum sempat dijawab aku buru-buru menambahkan: " Kalo lo nggak mau jawab juga—"
" Bokap gua. "
" Hah? "
" Gua dipukulin bokap gua. Dia selingkuh sama cewek lain di hotel ini. Waktu gua pergokin, bokap gua malah marah dan mukulin gua. " Laki-laki itu ternyata menjawab pertanyaanku walaupun dengan mata menerawang yang seolah-olah menyesali kebenaran kata-katanya. Aku buru-buru minta maaf, sekaligus aku juga sangat menyesal karena sempat mengira dia yang bukan-bukan: pemakai narkoba, bahkan sampai orang berpenyakit menular.
" Sorry ya, gua sempet mukul lo. "
" Nggak pa-pa, gua juga yang salah nggak sengaja nyium lo. "
Aku langsung tersipu malu, ingat kalau ternyata kami memiliki hubungan yang tidak seperti orang yang berkenalan di lift lainnya karena kejadian kecil itu.
Saat tersipu malu itu, tiba-tiba lift bergerak turun lagi. Semua orang di dalam lift bernapas lega, beranjak dari duduknya dan membenahi penampilan mereka, tahu benar kalau enam lantai lagi lift akan berhenti di lantai dasar tempat tujuan mereka. Bahkan sang bayi berhenti menangis, seolah tahu kalau dia akan segera keluar dari penjara berlapis kertas dinding bermotif kayu ini.
Aku dan laki-laki itu tidak berkata apa-apa lagi sampai lift membuka di lantai dasar dan semua orang keluar dari lift. Aku berada di urutan terakhir, masih berpikir bagaimana caranya supaya aku tidak hanya berhubungan dengan laki-laki misterius itu sampai disini. Tapi otakku tidak bisa diajak untuk berpikir sehingga laki-laki misterius yang berada di depanku berbalik dan bertanya duluan.
" Nomor handphone lo berapa? "
Aku tersenyum manis sekali lalu memberikan kartu namaku dengan mata berbinar senang. Dia berpikir sama dengan yang aku pikirkan! Jeritku dalam hati. Laki-laki itu menatap kartu nama bermotif bunga terbaruku lalu tersenyum manis.
" Nama lo Snada? Gua Danang. Entar gua telepon lo, oke? "
Masih dengan tersenyum manis dia berlalu dari hadapanku, membuat senyum di bibirku mengembang semakin lebar. Sekarang aku sudah berkenalan dengannya, tinggal menunggu sebuah nomor asing menghubungi ponselku dan mengaku bernama Danang. Sepertinya ada sebuah kisah _yang mudah-mudahan_romantis menungguku karena kejadian di dalam lift itu. Dan siapa tahu aku akan mengalami kejadian romantis lain di dalam lift bersama laki-laki misterius ini? Eh, handphone ku berdering, ada nomor asing menghubungiku!

 
SELESAI

 

 

Bagai Kelinci Merindukan Bulan


BAGAI KELINCI MERINDUKAN BULAN
Sekarang pukul 22.45.
Aku menantang langit malam yang dingin lagi dengan berada di atas motor. Lutut dan pipiku terasa membeku, tapi ada sebuah tangan yang mengulur di depanku, mencoba menghangatkan ke dua sisi tubuhku. Cukup berhasil. Entah bagaimana, tangan itu memang selalu terasa membara hangat setiap kali aku kedinginan. Aku menengadahkan kepala, dan menemukan sesuatu di sana. Bulat, terang, tanpa awan, tanpa bintang dan nyaris tanpa noda. Bulan menguasai langit malam ini. Matahari malam. Cukup sulit untuk bisa terus menatap bulan dari atas motor yang terus bergerak, aku harus menggerakkan kepalaku menengadah ke atas sehingga nyaris membentuk sudut sembilan puluh derajat sempurna terhadap leherku. Posisi itu tidak bisa bertahan lama karena leherku akan terasa kram hanya dalam hitungan detik. Tapi dengan bandel aku tetap mencuri pandang kepada bulan itu, dan dia memang terus berada di sana, tetap saja tanpa cela.
Aku sempat mengikuti perjalanan bulan beberapa waktu belakangan ini. Entah mengapa aku memutuskan untuk mengamatinya tapi aku menemukan sesuatu dari pengamatanku itu. Aku memutarkan kepalaku ke arah lain, mencari, dan menemukannya cukup jauh, berada nyaris berseberangan dengan posisi bulan. Sebuah bintang: terang, kekuningan dan tak berkedip. Sebenarnya aku tidak yakin apakah itu memang sebuah bintang atau bukan, tapi benda yang menyerupai bintang itu selalu ada setiap saat aku bisa melihat bulan. Kadang kala bintang itu berada sangat dekat, tapi kala lainnya dia berada sangat jauh dengan bulan. Tapi posisinya selalu berada di belakang bulan, seolah dialah yang selalu mengikuti bulan, menjadi pendamping setia bulan.
Aku menyukai bintang itu. Dia seolah menyatakan diri sebagai pendamping setia yang selalu ada bagi sang bulan dan selalu siap sedia berada di belakang bulan untuk memberinya dukungan. Kadang kala berada cukup dekat untuk dapat sesegera mungkin memberikan bantuan dan dorongan jika bulan membutuhkan dan juga bersedia berada cukup jauh untuk memberikan bulan kesempatan menguasai langit seorang diri.
Aku menghormati bintang itu. Karena dia berusaha bersinar dengan usahanya sendiri dan mengatakan kepada dunia bahwa dia mampu melakukannya seorang diri. Tapi dia tetap berada di belakang bulan-nya, tidak pernah pergi meninggalkannya dan juga tidak mengganggunya untuk mencuri cahaya bulan-nya yang special. Dan dia juga akan siap sedia untuk membantu bulan-nya menguasai langit saat cahayanya meredup. Nyaris seperti ban cadangan di bagasi mobil.
Aku salut dengan bintang itu. Yang tanpa di sadari sang bulan telah melengkapi keindahannya dan perlahan tapi pasti telah meninggalkan jejaknya di sekitar sang bulan. Mungkin bulan-nya belum menyadari, tapi keberadaannya telah menjadi perangkat dan pelengkap, sehingga absennya akan segera membuat sang bulan merasakan kehilangan dalam kehampaan.
Sayangnya aku tidak sempat mengambil gambar bintang itu, dan aku rasa kamera handphoneku tidak akan mampu mengabadikan sosoknya dengan baik. Tapi jika kau menengadah memandangi bulan yang terang di langit malam, tolong bantu aku menemukan bintang itu dan sampaikan salamku kepadanya. Katakan: bersemangatlah bintang dan teruslah mendukung bulan-mu, tidak perduli sang bulan sadar atau tidak. Tapi percayalah, suatu saat sang bulan akan tahu bahwa kehadiranmu sangat berharga di sana.
270610 ~ Black Rabbit ~