(NO) MORE FANTASY, PLEASE!

Dengan berkembangnya teknologi dan berbagai informasi yang dapat diakses dengan mudah bahkan hanya dengan ujung jari, mau tidak mau, suka tidak suka, percaya tidak percaya, semua ini mempengaruhi cara pandang masyarakat. Dengan berubahnya cara pandang ini, maka berbagai bidang kehidupan pun ikut menerima dampaknya. Tidak terkecuali dengan dunia tulis menulis dan dunia perfilman. Benar, kedua dunia ini memang saling berhubungan. Karena tidak akan tercipta sebuah film yang bagus tanpa ada karya tulis yang bagus juga untuk menunjangnya. Dan apa dampak nyata yang terasa di dunia perfilman sehubungan dengan berkembangnya cara pandang masyarakat tersebut?

Well, coba kita perhatikan. Jika pada beberapa tahun yang lalu para penonton dan pembaca akan dengan senang hati dan sah-sah saja menerima tema yang penuh dengan bumbu fairy tale atau fantasy, maka pada zaman sekarang selera ini mulai berubah. Bukan berarti mereka sama sekali tidak mau menerima tema seperti itu, sih, hanya saja dari hari ke hari cara pandang masyarakat yang semakin kritis memacu mereka untuk dapat berpikir dengan lebih logis.

Nah, perkembangan ini pula yang sepertinya disadari dengan baik oleh para creator film atau buku, terutama yang tinggal di Negara yang lebih modern, sebut saja di dunia Hollywood dan Negara-negara Barat sana. Ini terbukti dengan banyaknya karya tulis dan berbagai film remake/reboot atau pun film baru bertema fantasy yang berbeda dari pada sebelumnya.

Masih belum percaya? Coba telaah film superhero remake Teenage Mutant Ninja Turtle yang terbaru, atau juga film science fiction seperti Rise Of The Planet Of The Apes dan sekuelnya: Dawn Of The Planet Of The Apes, juga film action seperti The Expandables dan bahkan film animasi seperti Frozen yang dibuat oleh studio animasi ter’fairy tale’ yang pernah saya temui: Disney. Kalau kita bisa menyadarinya dengan lebih baik, bahkan tujuh seri buku Harry Potter karya J.K. Rowling yang terkenal itu pun merupakan karya fantasy modern yang berbeda dengan karya fantasy sebelumnya.

Yang paling mendasar dan paling bisa dibedakan dari semua karya itu adalah tema fantasy-nya yang terasa lebih ‘real’. Latar belakang para tokohnya, asal muasal kisah yang disajikan, konflik yang dialami setiap tokoh, solusi yang diambil dan akhir cerita, semua memiliki dasar kuat yang beralasan dan tidak lagi terjadi begitu saja. Bahkan sebuah karya yang memang dibuat di sebuah universe yang sama sekali baru, seperti di Middle Earth Lord Of The Rings-nya J.R.R. Tolkien pun memiliki dasar logika cerita yang kuat.

Kombinasi formula-formula ini akan dapat menjamin sebuah karya lebih bisa diterima sehingga tidak akan ada perasaan ‘bolong’ yang tertinggal di benak para audiens ‘modern’. Saya sendiri pernah berulang kali merasakan sensasi ‘bolong’ saat selesai membaca atau menonton karya yang terlalu fantasy dan itu adalah ‘rasa’ yang tidak mengenakkan. Jujur saja, deh. Jika dulu kita akan dengan senang hati membaca atau menonton kisah dongeng dari dunia antah berantah yang berakhir dengan happily ever after, maka sekarang otak kita akan dipenuhi dengan pertanyaan lain, misalnya: bagaimana itu bisa terjadi, kenapa itu bisa terjadi, siapa yang menyebabkan semua itu terjadi, dan masih banyak pertanyaan lain. Para audiens zaman sekarang tidak akan puas jika disajikan cerita dengan tema good vs evil, gadis manis vs gadis tukang bully atau anak lugu vs ibu tiri begitu saja. Bahkan sekarang pilihan sad ending sudah bisa diterima dengan jauh lebih mudah asalkan, lagi-lagi, didukung dengan berbagai alasan dan penyelesaian yang memenuhi pengertian audiensnya.

Apakah ini akan mengurangi ‘rasa’ fairy tale dan fantasy itu sendiri? Well, ini memang tergantung dengan selera masing-masing orang. Tapi menurut saya pribadi, dengan melogiskannya justru karya tersebut akan dapat terasa lebih memuaskan untuk dinikmati.

Beberapa audiens memang tidak banyak yang terlalu ‘rewel’ akan hal yang satu ini. Kebanyakan dari mereka masih tidak peduli asalkan sebuah film menampilkan actress atau actor favorit mereka, asalkan menyajikan special efek yang menakjubkan atau menyajikan kisah yang menggugah hati. Beberapa yang lain bahkan dengan sangat mudah mengatakan: “Namanya juga fantasy…” untuk memaklumi perasaan ‘bolong’ yang mereka rasakan. Tapiiii, beberapa audiens yang jauh lebih kritis, bisa dibilang, sudah bosan disajikan karya dengan tema standart seperti itu. Beberapa audiens lebih memilih karya yang terasa ‘utuh’ untuk bisa mereka cerna dan nikmati hingga puas.


Nah, bagaimana menurut pendapat kalian sendiri? :]

THE RAID 2: BERANDAL

Judul film ‘The Raid’, juga nama Gareth Evans dan Iko Uwais memang masih hangat dibicarakan public Indonesia, terutama saat film The Raid berhasil menembus pasar perfilman di Amerika dan memperoleh penghargaan The Cadillac People’s Choice Midnight Madness Award pada Toronto International Film Festival 2011 dan diputar di berbagai film festival presticius lain. Para kritikus film di seluruh dunia pun memberikan ulasan positif bagi film yang satu ini sehingga bukan hanya nama Indonesia menjadi semakin harum di perfilman dunia, tapi bahkan public Indonesia sendiri berbondong-bondong memberikan pujian setinggi langit untuk film yang disutradarai oleh Gareth Evans yang sebelumnya cukup berhasil membesut film Merantau pada 2009. Dan seolah tidak ingin membiarkan dengung The Raid ini hilang dari benak penonton dengan cepat, tepat dua tahun setelah film pertamanya, The Raid 2: Berandal serentak ditayangkan di Indonesia dan Amerika pada Maret 2014 ini.

Menyambung film pertamanya, walaupun sang sutradara mengaku bahwa ide film kedua ini sebenarnya sudah tercetus jauh lebih dulu dari pada film pertamanya, The Raid 2: Berandal menceritakan kelanjutan kisah dari seorang perwira pemula satuan senjata dan taktik khusus bernama Rama (Iko Uwais) yang selamat dari pembantaian yang terjadi di sebuah gedung yang dikuasai seorang gangster berbahaya. Setelah berhasil keluar hidup-hidup dari ‘neraka’ tersebut, Rama bertemu dengan Bunawar (Cok Simbara) yang merupakan kepala satuan tugas anti-korupsi di Jakarta. Awalnya Rama mengira bahwa Bunawar akan bisa membantunya kembali ke keluarganya dan melanjutkan hidupnya sebagai seorang polisi biasa, tapi ternyata dia salah. Keberhasilannya menghancurkan salah satu kelompok gangster besar itu membuatnya menjadi target yang menakutkan bagi para petinggi korup yang diam-diam terlibat dengan berbagai macam tindakan kotor di ibukota.

Untuk mencegah Rama menjadi ‘target hidup’ bagi para ‘preman berdasi’ tersebut, Bunawar menawarkan untuk menghapus keterlibatan Rama dalam pembantaian tersebut dan meminta Rama bergabung dalam satuannya untuk membantu Bunawar memberantas para koruptor tak berperasaan yang ternyata bercokol sebagai petinggi kepolisian. Dengan mempertimbangkan keselamatan anak, istri dan seluruh keluarganya Rama pun menyetujui hal tersebut. Dia pun diminta untuk menyamar sebagai Yuda, seorang ‘anak kampung biasa’ yang dipenjara karena memukul anak pejabat hingga babak belur. Di dalam penjara Yuda harus berhasil menarik perhatian Ucok (Arifin Putra) yang merupakan anak seorang pimpinan gangster kelas kakap dan paling ditakuti di Jakarta bernama Bangun (Tio Pakusadewo).

Masalah yang perlu dihadapi Rama tidak hanya itu saja. Dia harus mengalami kesedihan yang mendalam atas kematian sang kakak: Andi (Donny Alamsyah) yang dibunuh oleh seorang gangster muda penuh ambisi yang sedang memperluas area kekuasaannya di Jakarta: Bejo (Alex Abbad). Keinginan Rama untuk membalas dendam semakin menjadi-jadi ketika dia mengetahui bahwa Ucok mulai menjalin kerjasama dengan Bejo. Tapi semua usaha yang Rama lakukan untuk membalas dendam dan menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan kembali kepada keluarganya tidaklah mudah. Semua itu butuh perjuangan keras, air mata dan pertumpahan darah. Keterlibatannya dengan keluarga Ucok juga membuat Rama tercebur semakin dalam ke dalam lautan dunia kelam ibukota dan juga intrik rumah keluarga Ucok yang penuh obsesi, ambisi dan tentu saja, kekerasan.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, uforia film The Raid masih sangat kuat dibicarakan, bahkan setelah dua tahun perilisan resmi film tersebut. Karena begitu harumnya film ini di Indonesia maka sekuel film ini pun sudah sangat ditunggu-tunggu kehadirannya di bioskop-bioskop tanah air dan, tentu saja, banyak kalangan artis dan actor tanah air yang sangat mau tampil dalam film ini walaupun hanya dalam durasi yang sangat singkat. The Raid 2: Berandal juga langsung diikut sertakan di berbagai film festival di seluruh dunia dan, sekali lagi, mendapatkan pujian yang positif. Benar, sekali lagi Gareth Evans yang sebenarnya berkebangsaan Britania Raya ini berhasil membawa film The Raid merajai perfilman dunia dan mengharumkan nama bangsa Indonesia.

Dan bukan hanya itu. Gareth Evans juga berhasil menyuguhkan aksi bela diri khas Indonesia: pencak silat ke kancah dunia melalui film kreasinya sekali lagi. Dengan sinematografi yang indah, aksi kejar-kejaran yang menegangkan dan koreogafi yang menakjubkan, The Raid 2: Berandal memang patut diacungi jempol. Belum lagi, kompleksitas cerita dalam The Raid 2 ini memang lebih menarik, dengan konflik dan intrik yang menarik. Gareth Evans menampilkan sisi kelam ibukota dengan berani dan apa adanya, yang penuh dengan korupsi, tindakan criminal terselubung dan kekerasan. Bahkan beberapa situs review film yang cukup terkenal di dunia maya: IMDB dan Rotten Tomatoes memberikan review yang bagus dan jumlah bintang yang banyak. Benar-benar membanggakan.

Tapi apakah film ini memang sangat menyenangkan untuk ditonton?

Memang penilaian setiap orang untuk sebuah film pastilah berbeda-beda. Jika satu orang bisa sangat menyukai sebuah film, orang lain belum tentu menyukai film tersebut dengan sama besarnya. Ini tentu saja terpengaruh dari selera pribadi setiap orang. Bagi orang yang tidak menyukai film yang penuh adegan kekerasan, dengan begitu banyak cipratan darah dan kata-kata kasar, mungkin tidak akan menyukai film The Raid ini. Bahkan ada beberapa orang yang merasa mual dan pusing setelah menonton film ini. Tapi, menurut saya, The Raid 2: Berandal tidak lebih bagus dari pada film pertamanya. Walaupun intrik cerita yang ditampilkan film kedua ini lebih kompleks dari pada film pertama, tapi ada begitu banyak kekurangan saat eksekusinya dilakukan.

Plot yang disajikan film ini meloncat-loncat. Saat menjelaskan latar belakang kisah film kedua ini, plot sengaja dibuat patah-patah dan berharap dapat berkesinambungan satu adegan dengan yang lain, walaupun_sekali lagi, menurut saya_ formula ini tidak cukup berhasil. Loncatan-loncatan plot ini malah akhirnya dapat membuat para penonton kebingungan. Alur kisahnya cukup lambat di awal film sehingga membuat saya kelelahan mengikutinya pada pertengahan durasi.

Acting Iko Uwais setingkat lebih baik jika dibandingkan dengan film pertamanya, tapi sebagai tokoh utama yang menghiasi poster film ini secara tunggal, kenapa saya merasa durasi tampilnya sang tokoh utama ini malah sangat kurang, yah? Di tengah-tengah film saya malah merasa kehilangan tokoh utama saya, sehingga saya merasa Arifin Putra yang memerankan tokoh antagonis utama lebih berperan besar. Dengan kualitas acting yang sangat berkualitas dan jauh lebih baik dari pada sang tokoh utama, memang tidak heran jika para penonton akan lebih bisa bersimpati kepada Ucok, sang anak pemimpin gangster dari pada kepada Rama, sang polisi yang ditugaskan untuk menyamar. Belum lagi, terdapat cukup banyak kemunculan tokoh baru dalam film kedua ini yang tidak memiliki latar belakang tokoh yang kuat ataupun kesempatan untuk ‘memperkuat’ karakter mereka di mata penonton. Mungkin ini karena beberapa karakter tersebut hadir di tengah-tengah film dan hilang bahkan saat film ini belum mencapai klimaks.

Lalu bagaimana dengan setting film yang sedikit membingungkan? Apakah film ini bersetting di Jakarta, berhubung beberapa dialog menyebutkan nama-nama tempat yang cukup terkenal dan ikonik di ibukota? Tapi kenapa ada salju di kota Jakarta? Dan apakah Rama berhasil menjalankan tugasnya dengan baik? Kenapa saya merasa tidak ada anti-klimaks yang seharusnya dapat menjelaskan berbagai pertanyaan yang muncul di sepanjang film ini, yah?

Well, seperti yang saya sebutkan tadi, setiap orang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda-beda mengenai sebuah film, sesuai dengan selera pribadi setiap orang. Tapi bagi saya pribadi, The Raid 2: Berandal mungkin kurang mendapatkan ‘sentuhan seorang wanita’ di dalamnya. Yang saya maksud bukanlah acting seorang actress, tapi saya rasa film ini kurang memperhatikan sisi dramanya. Jika saja kedalaman kisah, pengembangan karakter setiap tokohnya dan juga latar belakang kisahnya mendapatkan perhatian lebih juga, dengan semua action scenenya yang indah itu, film ini bisa terasa sempurna.


Tadinya saya hanya ingin memberikan dua setengah dari lima bintang untuk film yang satu ini, tapi jika saya hanya memberikan bintang sebanyak itu, itu artinya saya tidak menghormati kualitas acting Arifin Putra yang sangat prima di film ini. Karena itu, saya akan memberikan tiga dari lima bintang sebagai ajang ‘angkat topi’ saya bagi sang pemeran antagonis utama tersebut. Plus saya akan mendeklarasikan diri bahwa saya ‘jatuh cinta’ dengan Arifin Putra melalui tiga bintang tersebut. ;) 



ONCE UPON A TIME – SEASON 2

Caution: this review may contain spoiler for the 1st season.

Sudah baca kan peringatan di atas? Berarti sebelum kalian mulai membaca review saya kali ini, ada baiknya kalian menonton dulu season pertama serial televisi ini. Soalnya semua yang dihadirkan dalam season kedua sangat berkaitan dengan season pertama, dan jika saya mau membuat review season kedua, mau tidak mau saya harus membahas kisah yang telah tersaji di season pertamanya, termasuk endingnya.

Eit, tapi untuk kalian yang belum menonton season pertamanya, jangan buru-buru berhenti membaca dan batal tertarik. Siapa tahu dengan membaca review season kedua ini minat kalian untuk memburu serial televisi ini akan semakin kuat. I’ll try not to gave you too much spoiler from the first season, instead. =)

Oke, mari kita mulai. Sama seperti season pertamanya, season kedua kali ini terdiri dari 22 episode yang ditayangkan mulai dari tanggal 30 September 2012 hingga 12 Mei 2013 di ABC Channel. Masih diprakarsai oleh Adam Horowitz dan Edward Kitsis, Once Upon A Time Season 2 masih menceritakan kisah pertikaian antara The Evil Queen a.k.a. Regina Mills (Lana Parrilla) dengan Snow White a.k.a. Mary Margaret (Ginnifer Goodwin) beserta suaminya: Prince Charming a.k.a. David Nolan (Josh Dallas) dan anak perempuan mereka: Emma Swan (Jennifer Morrison).

Pada episode terakhir di season pertama Emma berhasil mematahkan kutukan Regina sehingga semua orang kembali mengingat siapa diri mereka. Tapi dengan ingatan tersebut, semua orang pun kembali ingat bahwa semua ini adalah kesalahan Regina. Dalam keadaan marah, mereka mencari Regina untuk menuntut pertanggung jawabannya. Sementara itu Rumplestiltskin a.k.a. Mr. Gold (Robert Carlyle) bersama sang kekasih Belle (Emilie de Ravin) berhasil membawa kembali magic ke Storybrooke dengan begitu Rumplestiltskin mendapatkan kekuatannya kembali dan Regina pun bisa melarikan diri dari orang-orang yang mengejarnya.

Tapi ternyata masalah mereka tidak selesai sampai di situ. Karena ingin menolong Regina yang berniat berubah demi sang anak angkat yang sangat disayanginya: Henry Mills (Jared S. Gilmore), tanpa disengaja Snow White dan sang putri: Emma terlempar ke dalam portal yang membawa mereka kembali ke Enchanted Forest yang dipenuhi dengan para oger yang berbahaya. Di sana mereka bertemu dengan Sleeping Beauty a.k.a. Putri Aurora (Sarah Bolger) dan Mulan (Jamie Chung) yang sedang berjuang untuk menyelamatkan sang pangeran: Prince Phillip (Julian Morris). Untuk dapat kembali ke Storybrooke, mereka harus bisa mendapatkan magic beans yang dapat membuka portal untuk kembali. Awalnya magic beans tersebut dimiliki oleh Captain Killian ‘Hook’ Jones (Colin O’Donoghue) tapi ternyata sang kapten kehilangan bean ajaib tersebut sehingga satu-satunya cara agar mereka bisa mendapatkan bean tersebut adalah dengan mendaki pohon ajaib yang membawa mereka bertemu raksasa yang tentu saja tidak mau memberikan bean itu begitu saja.

Itu saja? Tunggu, masih ada lagi.

Awalnya Storybrooke sama sekali tidak bisa dimasuki oleh manusia biasa tapi karena Rumplestiltskin telah membawa magic ke Storybrooke, kota itu pun akhirnya dapat ‘didatangi’ oleh orang luar. Dan seorang pria bernama Owen Flynn (Ethan Embry) datang ke Storybrooke dan mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat di rumah sakit. Semua orang merasa panic saat orang luar bisa memasuki kota mereka karena keberadaan magic di kota tersebut akan membuat semua orang ‘kebingungan’. Untunglah sejauh ini Owen berhasil pulih dengan baik dan berniat segera meninggalkan Storybrooke begitu pulih.

Tapi benarkah Owen tidak akan curiga mengenai semua penduduk Storybrooke yang aneh dan penuh magic? Bagaimana dengan keinginan Rumplestiltskin untuk mencari sang anak: Baelfire? Belum lagi ternyata Captain Hook bekerja untuk seseorang yang memiliki kekuatan dan kelicikan yang jauh lebih kuat dari pada Regina dan Rumplestiltskin yaitu ibu dari Regina sendiri: Cora (Barbara Hershey).

Dalam season kedua, hampir semua pertanyaan yang tercipta dari setiap episode di season pertama mendapatkan jawaban. Misalnya: bagaimana masa lalu sang Evil Queen sehingga dia bisa menjadi sangat kejam, bagaimana masa lalu Emma sehingga bisa masuk penjara dan melahirkan Hendry, apa yang terjadi dengan keluarga Rumplestiltskin dan apa yang terjadi dengan Baelfire ketika dia terjatuh ke dalam portal yang membuatnya terpisah dari sang ayah ‘yang pengecut’. Walaupun masih menyisakan kisah lain yang belum seluruhnya ‘terjawab’, tapi beberapa penjelasan dalam season kedua ini membuat semua menjadi semakin jelas.

Semua actor dan actress yang berperan dalam season pertama masih melanjutkan acting mereka dengan baik sehingga para penonton dapat membangun simpati mereka lebih dalam lagi. Sayangnya season kedua ini masih menggunakan formula yang sama dengan season pertama, seperti alur yang cepat dan plot yang meloncat-loncat. Belum lagi adanya berbagai karakter baru, seperti: Sleeping Beauty, Mulan, Frankenstein dan lainnya yang ternyata masih terkait satu sama lain yang akhirnya membuat keseluruhan cerita menjadi terlalu penuh ‘kebetulan’. Walaupun genre serial televisi ini adalah fantasy, tapi terlalu banyak kebetulan yang tercipta bisa membuat penonton jenuh juga. Tapi bagi kalian yang senang-senang saja dengan formula tersebut dan masih terkaget-kaget melihat twist dan shocking scene yang dihadirkan, serial televisi ini masih sangat menarik untuk diikuti, kok. Saya saja dengan senang hati akan memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk serial Once Upon A Time Season 2 ini.


Season ketiga sudah dimulai sejak 29 September 2013 dan masih terus berlanjut sampai review ini dibuat. Jadi tunggu saja, saya akan dengan senang hati membuat review season 3 setelah season tersebut selesai ditayangkan. Belum lagi ada serial spin-off nya yang berjudul Once Upon A Time In Wonderland yang juga sangat menarik untuk ditonton. So, be patient, yah. =)


SHERLOCK – SEASON 1

Sejak 2010 lalu sebuah TV series yang dibuat berdasarkan buah karya Sir Arthur Conan Doyle berjudul Sherlock mulai tayang di stasiun TV BBC, Inggris. Tapi, tidak seperti TV series biasa pada umumnya, pada setiap season Sherlock hanya berisikan tiga series di mana masing-masing series berdurasi 85-90 menit. Dengan durasi sepanjang ini kita seolah menonton sebuah film televisi, bukannya TV series. Serial Sherlock kali ini dikembangkan oleh dua orang penulis scenario film maupun serial yang sudah cukup terkenal: Mark Gatiss dan Steven Moffat yang sebelumnya juga pernah bekerja sama sebagai writer untuk serial Doctor Who yang juga ditayangkan BBC.

Awal kisah dimulai dengan mendapati seorang Doctor bernama John Watson (Martin Freeman) yang mengalami luka dan trauma pasca keterlibatannya dalam perang di Afganistan. Atas saran psikolognya, Watson diminta untuk menuliskan segala hal yang mengganggu pikirannya di sebuah blog. Tapi tidak ada satu hal pun yang menarik untuk Watson tulis di sana, sehingga blog itu pun tetap saja dibiarkan berupa halaman kosong. Lalu krisis keuangan mulai melanda Watson sehingga dia memutuskan untuk mencari seorang teman yang mau berbagi apartemen bersamanya. Di sinilah secara tidak sengaja Watson bertemu dengan Sherlock Holmes (Benedict Cumberbatch), seorang ‘consulting detective’ yang tinggal sendirian di sebuah flat yang disewakan oleh Mrs. Hudson (Una Stubbs). Awalnya Watson sama sekali tidak berniat mengambil flat itu dan tinggal bersama Sherlock, apalagi melihat sifat calon room mate nya yang sangat berbeda dengannya. Tapi secara tidak terduga Watson malah ikut serta dalam kasus yang sedang diselidiki Sherlock.

Ada begitu banyak hal lain yang membuat Watson bingung mengenai Sherlock. Belum apa-apa seorang laki-laki bernama Mycroft Holmes (Mark Gatiss) yang ternyata adalah adik Sherlock menawari Watson sejumlah uang sebagai ganti berbagai informasi yang ingin diketahuinya mengenai kegiatan sehari-hari Sherlock. Selain itu Sherlock juga begitu sering dipanggil oleh Detective Inspector Greg Lestrade (Rupert Graves) untuk menyelesaikan berbagai kasus yang membuat Metropolitan Police Service kebingungan. Sementara itu asisten sang detective sendiri menyarankan agar Watson menjauhi Sherlock yang menurutnya adalah seorang psycopat. Sherlock juga cukup sering menghabiskan waktu di laboratorium di St. Bart’s Hospital yang diurus oleh asistennya: Molly Hopper (Louise Brealey) yang juga merupakan seorang Pathologist dan sebenarnya naksir Sherlock.

Tapi anehnya dengan semua sifat yang sering kali membuat Watson kebingungan, tetap saja Watson mau mengekori Sherlock ke sana kemari untuk membantunya memecahkan berbagai kasus atau hanya sekadar mengambilkan ponsel Sherlock yang sebenarnya berada di saku jaket yang sedang dia pakai. Dan tanpa disadarinya kegiatan itu justru membuat Watson merasa ‘benar-benar hidup’ hingga dia melupakan kakinya yang sakit dan kolom di blognya pun mulai terisi.

Kalau saya boleh memulai pendapat saya kali ini dengan lebih subjectif, saya harus mengakui bahwa pada awalnya serial televisi ini sama sekali tidak membuat saya tertarik. Genre detective memang bukan genre favorit saya. Lagipula menyebut nama Sherlock Holmes akan langsung mengingatkan saya kepada sosok Robert Downey Jr. yang nyeleneh di dua film layar lebar Sherlock Holmes beberapa tahun yang lalu. Tapi lalu saya mendengar nama Cumberbatch ada dalam jajaran pemain serial Sherlock ini dan lebih mengejutkan lagi ternyata Cumberbatch memerankan sosok Sherlock tersebut! Sebelumnya saya tahu Cumberbatch memiliki kualitas acting yang luar biasa kuat, jadi saya pun penasaran bagaimana Cumberbatch bisa memerankan sosok Sherlock tanpa terpengaruh dengan actor-actor sebelumnya. Dan akhirnya saya pun menonton season pertamanya dan saya harus mengatakan bahwa saya terkesan, sangat-amat terkesan.

Cumberbatch berhasil membawakan sosok seorang detective yang pintar, nyaris jenius, dingin, arogan, tidak berperasaan tapi juga sangat berambisi dan selalu berpikiran satu langkah di depan orang lain. Berbanding terbalik dengan Sherlock, John Watson memiliki sifat yang lebih serius, berhati-hati dan berperasaan tapi juga setia, sabar dan lebih polos, yang diperankan dengan sangat apik oleh Martin Freeman.

Sherlock merupakan versi modern dari kisah klasik Sherlock Holmes yang sangat menarik untuk diikuti. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada, Sherlock sering kali menggunakan berbagai teknologi yang umumnya dimiliki orang pada zaman modern seperti sekarang ini: google, GPS dan bahkan mengirimkan SMS dan e-mail. Latar belakang Watson yang juga diubah menjadi veteran perang Afganistan agar lebih mudah dipahami oleh kalangan penonton muda. Dan juga Sherlock Holmes versi modern ini tidak lagi identik dengan pipa rokoknya, tapi kebiasaan tersebut diganti dengan label nikotin yang ditempelkan di lengan Sherlock sepanjang waktu, lagi-lagi dalam rangka modernisasi cerita.

Walaupun begitu, hal-hal yang cukup ikonik pada kisah klasik Sherlock Holmes masih dipertahankan. Misalnya alamat flat Sherlock yang berada di 221B Baker Street masih digunakan dalam serial ini. Begitu juga dengan kehadiran musuh bebuyutannya: Moriarty. Walaupun baru menghadirkan tiga episode di season pertama, tapi sosok Jim Moriarty yang diperankan oleh Andrew Scott ini sudah disinggung-singgung sejak episode pertama.

Kisahnya sendiri bergulir dengan alur yang cepat dengan karakter tokoh yang dihadirkan sedikit demi sedikit di sepanjang episode. Dialog-dialognya cukup padat, terutama dialog yang diucapkan Sherlock. Tapi kedinamisan tersebut malah semakin membuat adrenalin para penontonnya terpacu. Bagaimana dengan twist ceritanya? Itu sih tidak perlu diragukan lagi. Duo creator Mark Gatiss dan Steven Moffat yang dibantu oleh Stephen Thompson benar-benar lihai membuat penonton terpaku di layar televisi mereka hingga kisah ini selesai.

Empat dari lima bintang untuk TV series ini plus four thumbs up! Saya makin tidak sabar untuk menonton season keduanya, berburu season ketiganya yang baru saja selesai ditayangkan pada bulan Februari 2014 ini dan menunggu season keempat dan kelimanya tayang. Can’t wait!

POMPEII

Baru-baru ini Indonesia sedang dilanda bencana alam yang bertubi-tubi. Bukan hanya banjir yang melanda ibu kota dan beberapa kota lain di tanah air, tanah longsor, gempa bumi dan bahkan gunung meletus pun ‘menyerang’ Indonesia yang memang berada di daerah yang tergolong rawan bencana. Yang paling segar di ingatan adalah meletusnya gunung berapi di dua pulau besar di nusantara kita. Setelah gunung Sinabung yang terletak di Sumatra Utara meletus pada September 2013 kemarin, sebagian besar para penduduk di sekitar Jawa Tengah hingga Jawa Barat mengalami dampak meletusnya gunung Kelud yang juga memakan korban.

Dan seolah ‘memperingati’ bencana alam tersebut, sutradara, script writer dan producer Paul W.S. Anderson yang merupakan suami dari seorang Milla Jovovich yang sudah sangat terkenal di dunia perfilman Hollywood dan sebelumnya telah berhasil menyutradarai beberapa film Resident Evil bersama sang istri dan juga beberapa film lain seperti The Three Musketears, Death Race dan bahkan Alien vs. Predator, kini menghadirkan sebuah film mengenai bencana meletusnya gunung Vesuvius dalam film yang berjudul Pompeii.

Sesuai dengan judulnya, film ini mengambil setting di sebuah kota bernama Pompeii di dekat kota Napoli, yang sekarang berada di wilayah Campania, Italia pada tahun 79 M. Tepatnya pada tanggal 24 Agustus 79, gunung Vesivius yang masih mendapatkan julukan gunung berapi paling berbahaya di dunia hingga saat ini meletus dan mengubur kota Pompeii dan beberapa kota di sekitarnya hingga rata dengan tanah. Diperkirakan 10.000 hingga 25.000 orang tersapu aliran lahar panas, hujan abu vulkanik dan berbagai material gunung berapi lainnya yang diperkirakan bersuhu 250 °C dan terkubur hidup-hidup di sana. Hingga kurang lebih 1.600 tahun kemudian reruntuhan kota tersebut ditemukan secara tidak sengaja. Jejak-jejak bencana alam dahsyat itu masih dapat ditemukan dengan sangat jelas di reruntuhan kota Pompeii, termasuk para korban yang tertutup abu dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Pemandangan itu begitu menakjubkan sehingga pada tahun 1997 kota Pompeii diresmikan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO.

Dalam film layar lebar kali ini, Pompeii menceritakan kisah mengenai seorang budak bernama Milo (Kit Harington) yang merupakan satu-satunya korban selamat dari bangsa Celtic di Britannia yang mengalami pembantaian oleh pasukan Roma. Sebagai budak, Milo berhasil bertahan hidup dengan menjadi seorang gladiator yang cukup disegani di kalangan budak lain dengan julukan ‘The Celt’. Dalam perjalanannya ke kota Pompeii bersama para budak lain, Milo tanpa sengaja bertemu dengan seorang Putri dari salah satu pasangan petinggi di kota Pompeii, yaitu Severus (Jared Harris) dan Aurelia (Carrie-Anne Moss) bernama Cassia (Emily Browning). Sang Putri yang selalu ditemani oleh pelayan pribadinya: Ariadne (Jessica Lucas) baru saja kembali dari perjalanannya ke Roma selama satu tahun dan pulang untuk menghindari Senator Corvus (Kiefer Sutherland) yang ingin memperistrinya. Tapi begitu sampai di kampung halamannya, Cassia malah mendapati bahwa sang Senator yang selalu ditemani oleh pengawal pribadinya: Proculus (Sasha Roiz), sedang menjalani perjanjian bisnis dengan sang ayah. Dengan sangat licik, Senator berhasil ‘membujuk’ Severus untuk menikahkan Cassia dengan dirinya agar kota Pompeii tidak dimusuhi oleh Roma.

Nasib baik menaungi Milo saat secara tidak sengaja dia bertemu lagi dengan Putri Cassia dan menolong sang Putri menenangkan kuda kesayangannya. Di sanalah benih-benih cinta di antara keduanya muncul walaupun diakhiri dengan ditangkapnya Milo karena berusaha ‘menculik’ sang Putri. Sementara itu, Milo bertemu dan berteman dengan Atticus (Adewale Akinnuoye-Agbaje), seorang budak juara gladiator yang dijanjikan akan mendapatkan kebebasannya setelah melakukan pertarungan satu-lawan-satu terakhirnya dengan Milo. Tapi tentu saja kebebasan yang didambakannya tidak akan pernah terwujud. Atticus malah diharuskan berkelahi melawan para gladiator lain di sebuah pertunjukan drama-gladiator yang telah diatur oleh Senator Corvus agar Milo yang juga menjadi salah satu dari gladiator di acara tersebut dijadwalkan untuk mati.

Dan tepat saat itu, gunung Vesivius memutuskan untuk memuntahkan isi perutnya dan meluluh lantahkan semua kota yang dilalui aliran lahar dan hujan debu vulkaniknya.

Film yang satu ini merupakan disaster-adventure film yang sangat menarik untuk ditonton. Dengan durasi 105 menit yang tidak terlalu lama, film yang sangat kental dengan setting dan budaya Romawi di dalamnya begitu memikat. Alurnya cepat, dengan karakter tokoh yang tidak terlalu kuat tapi beberapa tokoh utamanya cukup berhasil menarik simpati para penonton. Setting, costume dan make-up nya luar biasa, membuat kita seolah benar-benar berada di sana dan berjalan di jalanan kota Pompeii yang telah musnah lebih dari 1.600 tahun yang lalu. Kesan ini pun terasa semakin kental dengan sinematografinya yang indah dan sudut kamera yang sengaja mengambil angle wide shot cukup sering agar setting kota yang menakjubkan dapat dinikmati dengan maksimal.

Tema utama film ini sendiri adalah bencana meletusnya gubung Vesivius yang memusnahkan sebuah kota Pompeii dan seluruh kebudayaannya. Karena itulah, bumbu romance, politik dan hal lain yang ditampilkan dalam film ini memang sengaja tidak terlalu ditonjolkan. Untuk beberapa orang, formula ini mungkin akan membuat mereka kecewa karena tidak ada satu kisah specific yang bisa digali hingga cukup dalam. Tapi bagi saya pribadi eksekusi ini merupakan sebuah keputusan yang tepat. Paling tidak, saya tidak akan menemukan sebuah kisah romance picisan yang terlalu dibuat-buat di dalamnya. Ending film pun berhasil memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Ini mungkin tidak akan berhasil saya dapatkan jika film ini ‘terpaksa’ selesai dengan happy ending, sesuatu yang memang nyaris tidak mungkin terjadi di kehidupan nyata pada saat itu.


Saya memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk film ini. Semoga saja film ini tidak memunculkan sekuel atau pun prekuel-nya sehingga kesan ending yang mendalam itu tidak ‘teracuni’ dan masih melekat dengan indah di benak saya. =)

ROBOCOP

Me-remake film-film lama yang sempat hits di tahun 80-90-an sudah bukan lagi menjadi hal tabu di kalangan perfilman Hollywood. Dengan perkembangan zaman yang sangat modern, remake film-film lawas tersebut dapat menghasilkan kualitas film yang jauh lebih bagus dengan special efek yang memanjakan mata dan juga menyajikan kualitas cerita yang lebih realistis dan lebih kompleks. Formula inilah yang dipakai oleh film Robocop. Film yang disutradarai oleh Jóse Padilha ini me-remake tokoh ciptaan Edward Neumeier dan Michael Miner yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1987.

Dalam versi modernnya kali ini diceritakan kembali kisah mengenai seorang detektif muda bernama Alex Murphy (Joel Kinnaman) yang sedang melakukan penyelidikan mengenai kasus narkoba bersama sang partner: Jack Lewis (Michael K. Williams). Sang gembong narkoba yang mendapat bantuan dari polisi korup di kota Detroit, merasa terancam dengan kehadiran Alex Murphy sehingga memasang sebuah bom mobil yang meledak bersama sang detektif di depan rumahnya sendiri dan disaksikan oleh istrinya: Clara Murphy (Abbie Cornish) dan anaknya: David Murphy (John Paul Ruttan). Akibat ledakan itu, Alex Murphy mengalami luka yang sangat parah dan terancam lumpuh.

Sang istri merasa mendapat kesempatan kedua bagi suaminya saat sebuah perusahaan bernama Omni Fondation yang dimiliki oleh Raymond Sellars (Michael Keaton) melalui chief scientist-nya: Dr. Denett Norton (Gary Oldman), menawarkan agar Alex Murphy dapat diikut sertakan dalam sebuah project ambisius yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah robot yang memiliki emosi. Untuk itu, robot tersebut ditransplantasikan kepada seorang manusia yang cacat di mana sang manusia dapat mengontrol robot tersebut. Karena tidak ada lagi cara lain untuk menyelamatkan sang suami, Clara Murphy pun menyetujuinya hanya untuk mendapati sang suami yang berubah menjadi seseorang yang sama sekali tidak dia kenal. Belum lagi ternyata sang CEO memiliki tujuan lain dalam eksperimen tersebut. Dengan dukungan kepala marketingnya: Tom Pope (Jay Baruchel) dan Liz Kline (Jennifer Ehle), Raymond Sellars mengesampingkan sisi kemanusiaan sang robot manusia itu sendiri untuk mencuri ‘simpati’ masyarakat. Tapi tanpa mereka duga, Alex Murphy dapat mengendalikan dirinya sendiri dan akhirnya melakukan apa yang sangat ingin dilakukannya selama ini: membalas dendam kepada gembong narkoba yang telah membuatnya menjadi cyborg seperti sekarang.

Hal yang paling menyenangkan menonton sebuah film remake saat ini adalah bahwa film tersebut telah mengalami modernisasi, mulai dari efek animasinya maupun pengembangan cerita menjadi lebih realistis. Dengan cerita yang lebih realistis, paling tidak para penonton akan lebih mengerti bagaimana asal-usul Robocop dan bagaimana cara sang manusia mengontrol sisi robot di dalam dirinya (ataukah sebuah robot di dalam diri seorang manusia?).

Dengan alur yang tidak bertele-tele dan adegan aksi yang memukau, film ini sangat mudah mendapatkan simpati para penontonnya. Belum lagi ada begitu banyak nilai positif yang ‘diselipkan’ di dalam film ini: mengenai kemanusiaan, mengenai ketamakan, mengenai perngorbanan, mengenai ambisi yang menggebu-gebu dan masih banyak lagi. Adegan action dalam film ini tidak memenuhi seluruh bagian cerita. Hal ini diberlakukan agar latar belakang tokoh utamanya dapat tereksplore dengan lebih mendalam. Dan untuk menebus semua itu, setiap adegan aksi dibuat dengan sangat maksimal, mulai dari penggunaan efek animasi hingga adrenalin yang ‘digenjot’ dengan kuat.

Memang, untuk penggemar berat Robocop sejak dulu mungkin akan mengalami sedikit kekecewaan mengetahui adanya perubahan yang cukup signifikan. Misalnya pangkat Alex Murphy yang awalnya adalah seorang polisi biasa di sini diubah menjadi detektif, atau yang lebih extreme adalah sang partner: Anne Lewis yang awalnya adalah seorang wanita diubah menjadi seorang pria kulit hitam bernama Jack. Begitu juga dengan kendaraan yang digunakan Robocop yang awalnya adalah sebuah mobil polisi biasa, kini ‘dimodernisasikan’ dengan menggunakan sebuah motor besar berwarna hitam yang super duper keren.


Tapi toh, dibalik kontroversi perubahan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Robocop menjadi perwujudan sebuah science fiction action film yang keren dan menarik untuk ditonton. Well, saya sih sama sekali tidak keberatan memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk film ini dan menyaksikan kembali sang cyborg yang akhirnya bisa bergerak lebih lincah, memiliki motor dan armor canggih dan dapat berlari mengejar para penjahat ini.



UNTUK APA MEMBUAT FILM?

“Apa sih alasan seseorang menonton film?”

Mungkin ini adalah pertanyaan yang sangat umum ditanyakan dan begitu basi untuk dibahas. Tapi, pernahkah kalian bertanya untuk apa sebuah film dibuat? Bagaimana jika sebuah film dibuat dengan tujuan dan maksud tertentu?

Selain untuk meraih sejumlah keuntungan, hampir setiap film dibuat untuk tujuan hiburan. Dengan meningkatnya aktifitas dan kesibukan hidup seseorang, terutama dikalangan penduduk kota besar, berdampak dengan tingkat stress yang semakin tinggi dari hari ke hari, kebutuhan hiburan pun semakin meningkat. Salah satu sarana hiburan yang paling digemari di seluruh dunia adalah film. Dengan menawarkan berbagai macam petualangan yang dapat dibagi secara personal kepada setiap penonton, menonton film bisa disebut sebagai sebuah media hiburan yang paling efektif untuk menghilangkan penat yang dirasakan akibat kegiatan sehari-hari yang padat dan monoton.

Selain itu setiap genre film memiliki misi mereka sendiri yang disampaikan kepada penonton tanpa penonton itu sendiri menyadarinya. Misalnya saja film horror, selain memberikan sensasi kaget yang selalu ditunggu-tunggu, film horror mengajarkan kita untuk dapat melawan rasa takut itu. Film kartun pun memiliki visi lain yang dapat kita pelajari. Selain membuat imajinasi kita berkembang dengan baik, beberapa film kartun, yang umumnya diperuntukkan bagi anak-anak, mengandung nilai-nilai kebaikan yang dapat dipelajari dan semoga saja dapat dicontoh dengan baik oleh penontonnya. Dan bahkan film komedi pun dapat mengajarkan penontonnya untuk dapat melihat sisi ‘lucu’ dari segala masalah yang kita hadapi dan mencari solusinya dengan suasana hati yang lebih ringan setelah tertawa.

Itu saja? Tunggu dulu, masih ada lagi. Media film dapat membantu para penontonnya untuk dapat meningkatkan rasa nasionalisme mereka, menghilangkan stigma negative masyarakat terhadap kalangan ataupun sesuatu dan bahkan dapat mengubah pencitraan penonton.

Tidak percaya? Masih ingat dengan film yang diperankan Shah Rukh Khan yang berjudul ‘My Name Is Khan’? Film ini dibuat pada tahun 2010, Sembilan tahun setelah tragedy pemboman menara kembar di Amerika pada 9 September 2001. ‘My Name Is Khan’ bercerita mengenai keluarga muslim di Amerika yang mengalami perlakuan buruk setelah peristiwa pemboman teroris terbesar di Amerika tersebut. Melalui film ini, para penonton diingatkan bahwa betapapun kejamnya tindakan terorisme tersebut, tidak semua muslim di dunia patut disalahkan.

Bahkan konon katanya film kartun Popeye The Sailorman yang pertama kali muncul sebagai comic strips di Koran King Features pada 17 Januari 1929 mampu meningkatkan minat anak-anak pada masa itu untuk mengkonsumsi bayam sehingga tingkat penjualan sayuran tersebut meningkat 30% lebih pada tahun 1933.

Dan bukan hanya itu. Bukan rahasia lagi bahwa Amerika yang merupakan Negara produsen film terbesar di dunia sudah begitu banyak membuat film-film terutama genre action di mana endingnya selalu dimenangkan oleh Negara tersebut, tidak peduli Negara mana yang menjadi lawan atapun sekutu mereka, tidak peduli makhluk dari planet manapun yang menyerbu dan bahkan tidak peduli bencana alam apa pun yang menerjang, Negara tersebut akan mampu bertahan. Well, kalau dipikir-pikir tindakan ini sungguh tidak adil, ya kan? Tapi bukankah mereka membuat film mereka sendiri? Jadi mereka tentunya bebas membuat film dengan tema yang mereka sukai, bukan?

Lagipula, tidak bisa dipungkiri, cara ini cukup efektif, loh! Melalui berbagai film action yang mereka ciptakan, film ini ternyata mampu meningkatkan nasionalisme penduduknya menjadi cukup tinggi. Ini dapat dibuktikan dari jumlah masyarakatnya yang rela mendaftarkan diri mereka menjadi tentara dengan suka rela untuk membela negera mereka tanpa perlu menerapkan system wajib militer. Selain itu, pemerintah Amerika sendiri begitu mendukung produksi perfilman Negara mereka karena mereka menyadari bahwa media ini adalah cara yang sangat ampuh untuk ‘menyentuh’ kalangan muda mereka dan ‘menanamkan’ pendidikan moral yang mereka inginkan.

Kenyataan ini seharusnya dapat menyadarkan kita bahwa media ini merupakan sarana yang cukup ampuh untuk merangkul kawula muda kita. Karena tanpa kita sadari, film membawa dampak yang cukup besar bagi masyarakat modern, sama seperti iklan televisi, social media dan media cetak. Terlepas dari berbagai dampak negative yang pastinya akan selalu ada di setiap hal yang dilakukan setiap orang, bukankah media film ini cukup berhasil memberi dampak yang baik bagi penontonnya?


Dan mau tidak mau kita juga harus mengakui bahwa perkembangan masyarakat pun dapat dilihat dari perkembangan media-media tersebut. Jadi bisakah kalian bayangkan bagaimana perkembangan masyarakat kita bila film-film dalam negeri yang dapat kita konsumsi kebanyakan adalah film-film horror bertema tahayul yang penuh dengan unsure seksual atau film-film drama komedi ecek-ecek yang hanya menjual paha dan dada? Saya rasa sudah saatnya penonton Indonesia dapat lebih kritis memilih tontonan yang akan mereka tonton. Dan hendaknya para sineas di perfilman Indonesia juga dapat bangkit dan menciptakan film-film berkualitas yang dapat ‘dipelajari’ para penontonnya, bukan hanya mempertimbangkan sisi keuntungan pihak sineas semata. Jika memang target pasar mereka adalah para anak-anak bangsa, maka hendaknya para sineas dapat lebih menanamkan visi dan misi yang lebih positif di setiap karya mereka tersebut. Bukankah masa depan Negara kita ada di tangan anak-anak bangsa kita sendiri?

LEGO THE MOVIE

Siapa yang tidak mengenal lego? Sebagai sebuah merk mainan anak-anak, saat ini lego sudah sangat dikenal bukan hanya oleh anak-anak di seluruh dunia tapi juga oleh seluruh kalangan, tua dan muda, laki-laki maupun perempuan. Mainan plastic yang umumnya berbentuk kotak seperti batu bata ini adalah construction toys yang awalnya diciptakan oleh seorang tukang kayu bernama Ole Kirk Christiansen pada tahun 1932 di Denmark. Benar, sesuai dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu, awalnya Ole membuat lego dari kayu. Baru pada tahun 1934, Ole mendirikan sebuah perusahaan bernama lego (berasal dari bahasa Denmark: leg godt yang berarti ‘play well’) dan membuat lego dari plastic pada tahun 1947.

Bertahun-tahun kemudian dan setelah dikelola oleh keturunan Ole secara bergenerasi-bergenerasi, lego pun akhirnya dikenal sebagai permainan anak-anak modern paling terkenal yang telah diadaptasi menjadi berbagai macam buku, permainan, film, games dan bahkan theme park. Hingga 2013 terdapat enam taman bermain yang menggunakan tema lego di seluruh dunia dan rencananya pada 2014 nanti akan dibangun lego theme park ketujuh di New Jersey, Amerika. Dan tahukah kalian bahwa menurut data, perusahaan lego telah memproduksi lebih dari 560 miliar lego parts pada tahun 2013 saja. Oh wow.

Kini, untuk pertama kalinya, lego diadaptasi ke dalam sebuah film bioskop. Duo sutradara Phil Lord dan Chris Miller yang sebelumnya sukses membesut film animasi Cloudy With The Chance Of Meatballs 1 dan 2 dan juga 21 dan 22 Jump Street ini juga menangani story film dan berhasil menggaet berbagai actor dan actress besar untuk mengisi suara para tokohnya.

Film yang hanya berdurasi 100 menit ini menceritakan kisah seorang construction worker biasa bernama Emmet Brickowski (voiced by Chris Pratt) yang tinggal dengan sangat teratur di sebuah kota kecil bersama teman-temannya. Mereka menjalani aktifitas sehari-hari secara rutin sesuai dengan instruction book yang telah disediakan sejak bangun tidur hingga mereka kembali tidur di malam harinya. Semua itu mereka lakukan dengan senang hati di bawah pengawasan Lord Bussiness (voiced by Will Ferrell) yang juga merupakan president di Octan Corporation tempat Emmet bekerja.

Suatu saat, tanpa sengaja Emmet terjatuh ke sebuah lorong bawah tanah dan menemukan ‘Piece Of Resistance’ yang akhirnya menempel di punggungnya. Penemuan tanpa sengaja ini membuat Emmet ditangkap oleh Bad/Good Cop (voiced by Liam Neeson) yang menginterogasinya dengan kejam. Untunglah saat itu Emmet diselamatkan oleh Wyldstyle (voiced by Elizabeth Banks), salah seorang ‘master builders’ yang sebelumnya sudah pernah Emmet lihat dan membuatnya jatuh hati.

Wyldstyle membantu Emmet melarikan diri dan mengatakan bahwa Emmet adalah ‘sang special’ yang sebelumnya telah diramalkan oleh seorang penyihir bernama Vitruvius (voiced by Morgan Freeman). Menurut Vitruvius, ‘sang special’ akan mampu menghentikan seorang penjahat untuk menggunakan sebuah super weapon bernama ‘kragle’ yang dapat menghancurkan dunia. Emmet yang merasa bukan siapa-siapa sama sekali tidak percaya bahwa dia adalah ‘sang special’ yang diramalkan, untuk itu Wyldstyle membawanya untuk menemui sang penyihir. Sayangnya, Bad/Good Cop yang diperintah di bawah ancaman oleh Lord Bussiness masih mengejar mereka tanpa kenal lelah. Dengan bantuan kekasih Wyldsytle: Batman (voiced by Will Arnett) dan para master builders lainnya, mereka berusaha membangkitkan kemampuan ‘sang special’ dalam diri Emmet sekaligus mencoba menyelamatkan dunia dari serangan Lord Bussiness dan kragle-nya.

Film animasi yang satu ini benar-benar unik. Sejak awal film, alur yang disajikan sangat cepat dengan joke-joke yang sangat menghibur. Setiap karakter begitu lucu dan sangat ekspresif walaupun hanya menggunakan karakter-karakter yang sudah dimiliki lego tersebut tanpa harus menambah atau membuat karakter baru. Tingkah laku para karakternya yang nyeleneh dan lucu begitu menyegarkan dan mengocok perut dari awal hingga akhir cerita. Animasi yang ditampilkan juga begitu memanjakan mata. Saya sangat terkesan dengan kelihaian para animator yang dapat mentransformasikan semua bentuk yang ada menjadi rangkaian balok-balok khas lego sehingga setiap adegan yang berjalan kelihatan seperti aslinya.

Film ini sangat menghibur dan cocok untuk ditonton semua umur. Belum lagi film ini sangat mudah mengajak penontonnya untuk bersenang-senang dan berimajinasi seliar dan sebebas mungkin. Karena itu saya memberikan empat dari lima bintang untuk film animasi kerjasama antara America-Australia ini.

Oh iya, sebagai informasi tambahan guna memberi pemahaman lebih bagi kalian, film ini diceritakan melalui sudut pandang seorang anak kecil bernama Finn yang sedang bermain di sebuah lego set milik sang ayah di basement rumahnya. Selain itu, ‘master builders’ yang diceritakan dalam film ini dapat mewakili para pemain lego yang dapat menciptakan apa pun dari balok-balok lego tersebut, menghancurkannya lagi dan membuat berbagai bentuk lain tanpa batasan imajinasi. Sedangkan ‘Lord Bussiness’ dan ‘The Man Upstairs’ bisa mewakili pemain lego yang mengumpulkan begitu banyak jenis lego hanya untuk membentuk sesuatu dan menyimpannya dalam bentuk itu saja selamanya. Sementara ‘sang special’ bisa diartikan sebagai pemain yang bebas bermain lego dalam bentuk apa pun yang mereka mau, tanpa batasan tertentu, karena itulah tujuan utama lego dibuat, bukan? Untuk bermain. So, just have fun. =)

COMIC 8

Ini adalah film Indonesia kedua yang (mau) saya tonton dalam beberapa tahun belakangan ini setelah The Raid. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekan film buatan dalam negeri sendiri, tapi jika saya diminta untuk memilih antara film horror ecek-ecek dan film anak muda galau, tanpa saya inginkan, memilih film buatan negeri sendiri menjadi sebuah perbuatan yang tabu. Untunglah beberapa waktu belakangan ini kualitas film buatan anak negeri semakin membaik dari waktu ke waktu.

Salah satu film buatan anak negeri yang keluar di awal tahun 2014 ini berjudul Comic 8 yang disutradarai oleh Anggy Umbara yang sebelumnya telah menyutradarai Mama Cake di tahun 2012 dan Coboy Junior The Movie pada 2013. Comic 8 merupakan sebuah action comedy movie yang menceritakan mengenai perampokan sebuah bank di Jakarta oleh delapan orang perampok pada waktu yang bersamaan. Kedelapan orang perampok yang dengan nekadnya berani merampok bank pada siang hari bolong itu terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Babe Chabita, Fico Fachriza dan Bintang Timur, yang merampok bank karena ingin menjadi orang kaya. Kelompok kedua terdiri dari Ernest Prakasa, Kemal Palevi dan Arie Kriting yang merampok bank hanya karena iseng. Sedangkan kelompok ketiga terdiri dari dua orang saja, yaitu Mongol dan Mudy Taylor yang ingin membantu anak-anak yatim piatu dengan cara merampok para perampok bank. Mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama secara tidak sengaja sehingga memutuskan (dengan bantuan Om Indro Warkop) untuk bekerja sama. Walaupun sering kali berselisih pendapat dan saling menodongkan senjata, akhirnya mereka mampu bekerja sama untuk menguras seluruh uang dan isi brangkas bank tersebut sekaligus meminta berbagai permintaan aneh kepada kepala polisi cantik yang memimpin operasi penangkapan mereka: Nirina Zubir yang dibantu oleh asistennya yang sok bule: Boy William.

Sebelumnya, saya harus selalu mengingatkan diri untuk tidak membandingkan film buatan anak negeri kita ini dengan film buatan Hollywood. Bagaimanapun, standartnya sangat jauh berbeda dan saya harus bisa menilai secara adil dan objectif.

Sebenarnya tema cerita film ini cukup sederhana, tapi belum banyak dipilih oleh sineas dalam negeri kita, jadi bisa disebut unik. Bumbu komedi khas stand-up yang ditampilkan pun cukup segar dan menghibur. Adegan aksi yang penuh ledakan dan aksi tembak menembaknya pun sangat menarik, dengan special efek yang cukup mulus dan sinematografi yang enak dipandang, walaupun tone warnanya didominasi warna kekuningan dan gelap. Acting para aktornya juga tidak kaku. Mungkin ini karena karakter tokohnya disesuaikan dengan karakter para comic itu sendiri sehingga mereka seolah tidak perlu bersusah payah beracting. Bahkan nama para pemerannya pun (terutama kedelapan tokoh utamanya) menggunakan nama asli mereka yang sudah dikenal banyak orang dan begitu melekat dengan karakter mereka.

Memang, film ini sengaja disajikan dalam beberapa bagian, di mana setiap bagian menceritakan asal usul mereka dan berbagai permasalahan yang harus mereka hadapi sehingga alurnya terkesan meloncat-loncat dan dapat membingungkan. Belum lagi ada cukup banyak adegan penuh kemustahilan dan beberapa adegan yang didramatisir sehingga terkesan terlalu memaksa. Tapi semua itu dapat ‘dimaafkan’ dengan joke segar dan tingkah konyol para tokohnya. Belum lagi ada begitu banyak artis-artis yang cukup terkenal ikut andil di film ini, seperti Pandji Pragiwaksono, Nikita Mirzani, Candil, Jeremy Teti, Kiki Fatmala hingga Coboy Junior dan masih banyak artis-artis lainnya. Ditambah dengan ending film yang begitu diluar dugaan dan pamor stand-up comedy yang sedang sangat naik daun di kalangan anak muda, tidak heran jika film ini berhasil menarik tiga ratus ribu penonton lebih pada hari ketiga penayangannya.

Film ini cukup menarik untuk saya, karena itu saya akan memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk Comic 8. Semoga saja di masa yang akan datang perfilman di Indonesia akan semakin berkualitas dan semakin beragam sehingga penonton tidak lagi harus memandang film dalam negeri mereka dengan sebelah mata.

JACK RYAN: SHADOW RECRUIT

Para penggemar film action yang penuh dengan adegan yang memancing adrenalin, lengkap dengan scene kejar-kejaran, tabrakan, ledakan, penyusupan dan hal-hal semacam itu, ini adalah film yang kalian tunggu-tunggu. Jack Ryan: Shadow Recruit adalah sebuah action thriller film yang dibuat berdasarkan karakter Jack Ryan yang diciptakan oleh seorang penulis terkenal yang baru saja meninggal pada 1 Oktober 2013 kemarin: Tom Clancy. Walaupun tidak berdasarkan salah satu dari begitu banyak novel karangan Tom Clancy tapi, sama seperti kebanyakan karya Tom Clancy lainnya, film ini masih menceritakan kisah mengenai seorang agen yang bekerja untuk pemerintah Amerika.

Jack Ryan: Shadow Recruit menceritakan kisah mengenai seorang agen CIA bernama Jack Patrick Ryan (Chris Pine). Dia adalah seorang mantan marinir yang tidak lagi bisa bertugas di Afganistan akibat helicopter yang ditumpanginya diserang secara mendadak. Walaupun berhasil lolos dari maut dan menyelamatkan dua orang rekannya, Jack harus mengalami luka yang sangat parah di tulang belakangnya sehingga harus mendapatkan perawatan khusus. Saat itulah Jack berkenalan dengan Cathy Muller (Keira Knightley) yang menjadi salah satu dokter magang yang menangani proses kesembuhan Jack dan pada akhirnya bertunangan dengannya.

Awalnya Jack merasa terpuruk dengan luka yang dialaminya, tapi seorang agen CIA bernama Thomas Harper (Kevin Costner) tertarik dengan kemampuan yang dimiliki Jack dan memintanya untuk bergabung dengan CIA, bukan sebagai agen lapangan, tapi sebagai mata-mata. Jack diminta melanjutkan pendidikannya di bidang ekonomi dan bekerja sebagai analis di wall street untuk memata-matai pasar Amerika jika terdapat transaksi-transaksi mencurigakan yang terkait dengan jaringan teroris dunia.

Suatu ketika Jack mendapatkan serangkaian transaksi mencurigakan yang mengarahkannya kepada sebuah perusahaan di Rusia yang dipimpin oleh seorang veteran perang bernama Victor Cherevin (Kenneth Branagh). Untuk pertama kalinya Jack diminta untuk langsung datang ke Moskow dan menindak lanjuti penemuannya tersebut. tanpa terduga pihak teroris Rusia mengetahui kedatangan Jack dan berusaha menghentikan Jack membongkar kedok mereka. Kejar-kejaran pun terjadi dan Jack harus menghadapi tugas lapangan pertamanya yang penuh tantangan sekaligus berusaha menyelamatkan sang tunangan yang tanpa sengaja ikut terlibat dalam misi mereka yang penuh bahaya ini.

Seperti yang saya katakan di awal: untuk kalian penggemar film action, film yang satu ini tentunya jangan sampai terlewatkan. Walaupun film ini adalah reboot dari film seri Jack Ryan sebelumnya, tapi, sama seperti film-film berdasarkan karya Tom Clancy sebelumnya, film yang disutradarai sendiri oleh sang tokoh antagonisnya: Kenneth Branagh, film ini berdiri sendiri dan masih dapat dinikmati walaupun penonton belum pernah menonton seri film Jack Ryan sebelumnya. Ini merupakan sebuah nilai tambah yang menguntungkan untuk dapat menarik golongan penonton muda yang bahkan belum pernah mendengar nama Jack Ryan sebelumnya.

Hampir sama seperti film-film mengenai agen-agen CIA ataupun FBI lainnya, Jack Ryan juga memiliki formula yang hampir sama dengan film-film serupa yang lebih terkenal. Tapi, berbeda dengan film-film tersebut, Jack Ryan: Shadow Recruit tidak terlalu mengeksplore kisah pribadi sang tokoh protagonist utama seperti film-film Jason Bourne ataupun terlalu mengeksplore kisah ke-playboy-an ataupun peralatan-peralatan canggih seperti pada film-film James Bond. Film ini lebih mengetengahkan konspirasi politik yang terjadi di Negara-negara besar, terutama Amerika Serikat dan bagaimana Negara-negara ‘musuh’ mereka berusaha melakukan berbagai macam cara untuk bisa menggulingkan Negara yang katanya ‘penuh konspirasi dan intrik’ tersebut.

Selain adegan-adegan actionnya yang cepat dan intens, yang dapat membuat para penontonnya terus penasaran, berdebar-debar dan menahan napas tanpa mereka sadari, tema konspirasi politik ini tentunya memberikan bumbu menarik untuk film ini yang dapat mengakibatkan perdebatan panjang bahkan setelah film ini berakhir.

Bagi kalian yang tidak terlalu menyukai konspirasi politik semacam itu dan tidak mau membuat sakit kepala kalian kambuh karena sama sekali tidak bisa memahami intrik memusingkan semacam itu, alur yang intens tersebut sudah menjadi kunci utama untuk bisa membuat kalian bertahan menyaksikan film ini. Lagipula, Chris Pine, Keira Knightly, Kevin Costner dan juga Kenneth Branagh menyajikan kualitas acting prima mereka dengan baik di sini. Terutama Branagh yang tanpa perlu banyak bicara, mimic wajahnya yang kejam mampu merepresentasikan seorang teroris Rusia yang rela mati bahkan mengorbankan anaknya sendiri demi negaranya.

Memang alurnya yang sangat cepat bisa saja sedikit membingungkan, juga terdapat beberapa adegan yang tampak tidak mungkin untuk bisa terjadi dan juga dialog panjang mengenai ekonomi yang dapat memusingkan. Tapi selebihnya film ini sangat menyenangkan untuk ditonton.

Saya memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk film ini karena mengajarkan kita untuk tidak gampang menyerah, untuk dapat saling percaya dan terutama untuk lebih berhati-hati melakukan berbagai aktifitas di media social, siapa tahu pemerintah di suatu Negara menggunakannya untuk memata-matai Negara tempat kalian tinggal. ( ^_~ )


By the way, selalu saja ada satu pertanyaan besar yang tercetus di benak saya setiap kali selesai menonton film seperti ini. Kalau saja semua tindakan terorisme atau penghancuran pusat pemerintahan Negara adikuasa itu berhasil, kira-kira akan jadi seheboh apa ya? Well, mengingat creator utama film di dunia berasal dari negara adikuasa itu sendiri, saya rasa menemukan sebuah film dengan ending ‘semengerikan’ itu adalah impian yang tidak akan pernah terwujud. :D





OUT OF FURNACE

Christian Bale adalah seorang actor Hollywood yang sangat terkenal di seluruh dunia. Bukan hanya terkenal sebagai Bruce Wayne dalam trilogy Dark Knight-nya bersama Christopher Nolan yang membawa era film superhero menjadi lebih dark dari pada sebelumnya, Bale juga merupakan actor watak yang memerankan banyak tokoh berkarakter kuat, tak peduli apakah film tersebut akan mampu menembus box office atau pun tidak. Inilah yang terjadi dalam film pertama Bale yang release di Indonesia pada tahun 2014 (di Hollywood sendiri, film ini release pada Desember 2013) berjudul Out Of Furnace.

Out Of Furnace adalah drama thriller film yang disutradarai oleh seorang sutradara, produser, screen writer dan juga actor: Scott Cooper dan diproduseri oleh Ridley Scott dan juga Leonardo Dicaprio yang berdurasi 116 menit dan menggunakan budget sebesar $ 22 juta. Film ini menceritakan kisah mengenai seorang pekerja di pabrik baja bernama Russell Baze (Christian Bale) dan adiknya Rodney Baze Jr. (Casey Affleck) yang berusaha mengatasi kesulitan hidup mereka bersama. Mereka tinggal di sebuah kota kecil bernama Braddock yang merupakan kota penghasil baja di Pennsylvania di mana sang ayah dan Russell sendiri bekerja di pabrik itu untuk membiayai hidup mereka.

Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Walaupun sang ayah kini sudah sangat tua, sakit-sakitan dan terbaring di tempat tidur tanpa bisa melakukan apa pun, tapi Russell masih bisa merasa bahagia dengan hidup sederhananya bersama sang kekasih: Lena Warren (Zoë Saldana). Tapi berbagai kejadian mengubah kehidupan mereka. Rodney terlilit hutang piutang dengan John Petty (Willem Dafoe) dan juga harus menjalani wajib militer yang akhirnya mempengaruhi emosionalnya. Sementara itu, secara tidak sengaja Russell menabrak sebuah mobil dalam perjalanan pulangnya dan menewaskan ibu dan anak penumpang mobil tersebut. Kejadian yang tidak disengaja itu mengakibatkan Russell harus menghabiskan waktu beberapa tahun di dalam penjara.

Begitu keluar dari penjara, Russell harus bisa beradaptasi lagi dengan situasi yang sudah banyak berubah: sang ayah meninggal dunia, sang kekasih menjalin hubungan dan akhirnya hamil dengan kepala polisi Wesley Barnes (Forest Whitaker) dan sang adik menjadi seorang petarung agar bisa melunasi hutangnya dengan John Petty. Yang membuat Russell sangat terpukul adalah keterlibatan sang adik dengan Harlan DeGroat (Woody Harrelson), seorang criminal, pengedar narkoba dan pemimpin pertarungan illegal di hutan yang bukan saja membunuh John Petty tapi juga membunuh Rodney dan menguburnya di tengah hutan belantara yang sulit ditemukan. Walaupun sang kepala polisi sudah mengatakan bahwa mereka bisa menangkap Harlan, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama, Russell yang sudah dipenuhi keinginan untuk membalas dendam memutuskan untuk mencari Harlan dengan bantuan sang paman, Gerald ‘Red’ Baze (Sam Shepard), tak peduli walaupun keinginan itu akan membuatnya kembali masuk ke dalam penjara.

Jangan kalian pikir film ini akan menghadirkan banyak adegan action yang seolah mempermainkan adrenalin kalian, yah. Film ini memiliki alur yang cukup lambat, dengan dialog yang panjang dan action yang minim. Kekuatan film ini adalah karakter para tokohnya yang memang sangat kuat dan dimainkan dengan sangat apik oleh actor dan actress yang kualitas actingnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Misalnya saja kualitas Bale yang sudah pasti merupakan magnet terkuat bagi film ini. Belum lagi acting Casey Affleck, adik sang actor terkenal Hollywood: Ben Affleck, yang sudah pernah membintangi begitu banyak film sejak tahun 1988, termasuk trilogy Ocean bersama Brad Pitt dan Goerge Clooney dan juga American Pie. Selain itu, juga ada actor dan actress lain seperti Woody Harrelson yang terkenal lewat Now You See Me dan juga trilogy The Hunger Games; Zoë Saldana yang sangat terkenal lewat film Avatar, Star Trek dan bahkan Pirates Of The Caribbean: The Curse Of The Black Pearl. Juga ada Forest Whitaker, actor dan sutradara yang sekilas mirip dengan Denzel Washington ini sudah memainkan berbagai peran sejak tahun 1982, termasuk ikut bermain dalam Panic Room bersama Jodie Foster dan Kristen Stewart dan Phone Booth bersama Colin Farell. Termasuk juga Willem Dafoe yang terkenal dalam film Spiderman versi Sam Raimi sebagai Norman Osborn a.k.a Green Goblin.

Tema film ini begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, mengenai berbagai persoalan hidup yang juga kita hadapi dan menyita perhatian kita selama ini. Ada begitu banyak pelajaran hidup dan nilai positif yang bisa kita dapatkan dalam film ini. Bagaimana kita bisa menerima takdir dengan sabar, bagaimana kita bisa memberi pengaruh positif bagi orang lain, bagaimana kita bisa mengatasi berbagai cobaan hidup dan bagaimana kita rela berkorban demi orang-orang yang kita cintai. Benar, film ini tidak menjual mimpi tapi menghadirkan problematika hidup dan bagaimana rumitnya kita memilih untuk mengarungi hidup secara apa adanya, tidak berlebihan.


Saya memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk tema yang begitu ‘mengena’, pelajaran hidup dan berbagai quote yang bisa didapat. Untuk kalian yang tidak begitu menyukai film dengan tema yang cukup rumit dan minim adegan action, lebih baik kalian memilih film lain saja, dari pada kalian hanya bisa menghabiskan uang kalian untuk tidur di dalam bioskop. Well, seperti yang sering kali saya katakan: movie is not only about action or fight scenes, it’s also about the story and all the elements on it. :)