47 RONIN

Pada tahun 2013 ini ada begitu banyak film sekuel yang ditunggu-tunggu oleh para penonton dan merajai tangga box office. Sebut saja film kedua The Hobbit yang baru rilis beberapa hari yang lalu: The Desolution Of Smaug, juga ada film kedua The Hunger Games: Catching Fire, film kedua Thor: The Dark World hingga film kedua Percy Jackson: Sea Of Monster dan masih banyak lagi. Tapi bukan berarti stand-alone movie tidak ada yang rilis, loh. Terdapat Ender’s Game, Elysium, Pacific Rim, Gravity, World War Z dan masih banyak lagi stand-alone movie yang dirilis pada tahun ini dan berhasil menancapkan taringnya dangan cukup kuat di kancah pertarungan box office dunia. Salah satu stand-alone movie yang dirilis pada akhir tahun ini adalah film yang dibintangi oleh Keanu Reeves berjudul 47 Ronin.

Benar, 47 Ronin adalah film yang diadaptasi dari sejarah Jepang yang benar-benar terjadi pada abad ke-18, tepatnya pada 1701. Di Jepang sendiri, kisah fiktif mengenai ke-47 Ronin disebut Chushingura yang sudah sangat terkenal dan melegenda sehingga begitu sering diadaptasi dalam berbagai film, literature, novel, teater bahkan hingga pertunjukan kabuki dan acara televisi Jepang. Kali ini Universal Studios mengangkat legenda ini ke dalam sebuah film layar lebar dengan mengaet seorang sutradara baru bernama Carl Erik Rinsch untuk melakukan debut penyutradaraan film layar lebar pertamanya.

Sama seperti legenda aslinya, 47 Ronin bercerita mengenai 47 samurai tak bertuan yang dipimpin oleh Kuranosuke Oishi (Hiroyuki Sanada) berkeinginan untuk membalas dendam atas kematian tuan mereka Asano Naganori yang harus melakukan ritual bunuh diri (seppuku) untuk mempertahankan kehormatannya yang telah dituduh mencoba melakukan pembunuhan terhadap tamunya yang bernama Kira Yoshinaka (Tadanobu Asano). Untuk menangani tragedy ini, seorang Shogun yang memiliki kekuasaan lebih besar dan yang sedang bertamu di sana dalam rangka menghadiri sebuah turnamen, memutuskan bahwa sang putri mahkota Mika (Kou Shibasaki) yang kini sudah yatim piatu harus menikahi Kira demi melanjutkan masa depan kotanya. Sang putri mahkota tentu saja keberatan karena dia telah lebih dulu jatuh cinta kepada Kai (Keanu Reeves), seorang anak haram keturunan Inggis-Jepang yang dibuang di hutan Tengu dan sudah diangkat anak oleh Asano. Tapi sang putri tidak bisa melawan kekuasaan sang Shogun sehingga dengan berat hati dia harus mengubur dalam-dalam rasa cinta yang tak akan pernah bersatu itu.

Sementara itu Kira Yoshinaka ternyata memiliki hasrat lain di balik semua peristiwa yang telah terjadi. Diam-diam dia ingin menguasai seluruh Jepang dan untuk mendapatkan semua itu dia dibantu oleh seorang penyihir bernama Mizuki (Rinko Kikuchi) yang begitu licik dan jahat. Nah, di sinilah konflik sebenarnya di mulai. Para penduduk Jepang yang sangat kuat menaati budaya leluhurnya sama sekali tidak setuju dengan kehadiran Kai yang dinilai ‘mengotori’ budaya mereka. belum lagi Kai diduga memiliki kekuatan sihir juga karena dibesarkan oleh para ‘hantu’ di hutan Tengu. Kai sendiri tidak pernah mempraktekkan ilmu sihir apa pun dan dia menghormati ilmu samurai yang dikuasainya dan munjunjung tinggi adat Jepang, sama seperti para penduduk asli Jepang itu sendiri. Tapi dengan adanya keterlibatan seorang penyihit, Para Ronin tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima Kai menjadi salah satu di antara mereka jika mereka ingin berhasil membalas dendam.

Untungnya setelah mengenal Kai dan mendapatkan berbagai bantuan berharga darinya, perlahan tapi pasti para Ronin dapat menerima kehadiran Kai yang memiliki keinginan yang sama besarnya untuk membalas dendam kematian ayah angkatnya.

Menurut saya terdapat dua sudut pandang yang haris diperhatikan dalam menilai film yang satu ini. pertama: kita harus menilai dari sisi legenda asi Jepang itu sendiri. Jika ditilik dari sisi ini, film ini memang sangat melenceng dengan cerita aslinya. Beberapa penggemar fanatic sejarah Jepang pasti dengan senang hati akan mencaci maki film ini dengan alasan tidak menampilkan sejarah Jepang dengan autentik. Dalam sejarah Jepang, kisah ini tidak dibumbui dengan kehadiran seorang half-blood dan seorang penyihit di dalamnya. 47 Ronin adalah sebuah sejarah yang murni menceritakan kisah perjuangan para samurai tak bertuan, tanpa ada embel-embel fantasi sama sekali.

Tapi kita harus menilai film ini dari sisi kedua, yaitu sisi Hollywood, yang telah mengadaptasi film ini dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Tidak bisa dipungkiri, peranan Hollywood sebagai tonggak perfilman dunia memang sudah tertanam sangat dalam dan menancapkan akarnya dengan sangat kuat di seluruh dunia. Jika sebuah film diproduksi oleh Hollywood, maka besar kemungkinan film tersebut akan dikenal  oleh semua orang, tak peduli jika dari segi pendapatnnya terhitung flop atau tidak. Konsekuensinya? Film yang ingin diproduksi dalam skala Hollywood harus rela mengalami ‘adaptasi’ untuk ‘disusupi’ cirri khas barat di dalamnya. Dalam 57 Ronin ini, Hollywood menambahkan tokoh Kai yang berdarah campuran dan seorang penyihir yang diperankan oleh seorang aktris berbakat bernama Rinko Kikuchi.

Untungnya_menutur saya, jika dilihat dari sudut pandang film, bukan sejarah aslinya_penambahan tokoh ini cukup menarik dan menambah bumbu dalam cerita. Dengan alur yang cepat dan tidak bertele-tele, konflik yang tadinya cukup simple dapat sedikit diperumit dengan adanya jalinan cinta yang tidak mungkin bersatu antara sang putri dan sang ‘monster’. Karakter para tokohnya begitu mudah untuk diterima penonton, entah untuk dicintai atau pun dibenci, dengan kualitas acting yang tidak kalah dengan actor/aktris sekaliber Hollywood, walaupun kebanyakan menggunakan orang-orang asli Jepang. Yang membuat saya sangat kagum adalah setting lokasi, make up dan costume design dalam film ini. Dengan perpaduan warna yang indah dan sinematografi yang menakjubkan, film ini begitu memanjakan mata.


Walaupun terdapat cukup banyak kendala dalam memproduksi film ini dan sempat dipertanyakan keputusan Universal Studios dalam memilih sutradara ‘amatir’ untuk memproduksi film dengan biaya dan cerita sebesar ini, saya rasa film ini cukup berhasil. Saya akan memberikan tida setengah dari lima bintang untuk film ini karena saya sangat menyukai setting dan cerita yang dibangun di dalamnya. Dan bagi kalian pecinta film fantasy petualangan yang ingin mendapatkan penyegaran dengan latar belakang cerita dan setting yang berbeda dari biasanya, film ini sangat sayang untuk dilewatkan.



THE HOBBIT: THE DESOLATION OF SMAUG

Pada 2001 hingga 2003 para penggemar film dan, khususnya, para penganut Tolkienisme di seluruh dunia telah dihebohkan dengan kehadiran trilogy Lord Of The Rings yang diangkat dari novel terkenal karangan J.R.R.Tolkien ke layar perfilman dunia dan berhasil mendapatkan berbagai macam penghargaan bergengsi. Kini sejak 2012 sang sutradara: Peter Jackson menghadirkan sebuah kisah prekuel dari petualangan para pembawa cincin tersebut yang kembali_dengan berani, kalau saya boleh menambahkan_dipecah menjadi tiga bagian. Dan pada Desember 2013 tahun ini, sekaligus memperingati natal dan tahun baru, sutradara asal New Zealand ini ‘menghadiahkan’ seri kedua dari rangkaian trilogy The Hobbit berjudul The Desolation Of Smaug.

Masih menceritakan kisah mengenai seorang Hobbit bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman), film kedua ini melanjutkan kisah dari film pertamanya: An Unexpected Journey, di mana film pertama berakhir saat Bilbo dan ketiga belas Dwarves yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dan didampingi oleh Gandalf The Grey (Ian McKellen) diselamatkan oleh sekelompok elang besar dari serangan kelompok Orc penunggang Wargs yang dipimpin oleh seorang Orc albino bernama Azog (Manu Bennett).

Kali ini rombongan yang sedang dalam misi merebut kembali Lonely Mountain dari kekuasaan sang naga Smaug (Benedict Cumberbatch) ini masih harus lari dari kejaran para Orc yang kali ini dikepalai oleh anak Azog: Bolg (Lawrence Makoare) dan tangan kanannya yang kejam dan tanpa ampun: Narzug (Ben Mitchell). Dalam keadaan terdesak, rombongan ini berlindung di sebuah rumah milik seorang skin-charger bernama Beorn (Mikael Persbrandt) yang bisa berubah menjadi seekor beruang besar. Walaupun Beorn tidak terlalu menyukai Dwarves, tapi Beorn lebih tidak menyukai Orc sehingga dia mau membantu rombongan melarikan diri dengan memberikan perbekalan dan kuda. Tapi begitu sampai di pinggir hutan Mirkwood, hutan para Elves, Gandalf harus meninggalkan mereka untuk melakukan sesuatu yang penting di Dol Gundur bersama Radagast The Brown (Sylvester McCoy). Akhirnya para Dwarves dan Bilbo pun masuk ke dalam Mirkwood tanpa kehadiran Gandalf.

Sialnya, instruksi Gandalf yang meminta mereka untuk tidak meninggalkan jalan setapak tidak bisa dilaksanakan dengan mudah. Mereka pun tersesat dan hampir saja menjadi makan malam para Laba-laba raksasa penghuni Mirkwood. Untung saja mereka dibantu oleh kehadiran para Elves yang dipimpin oleh Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lily). Rombongan itu menjadi tawanan para Elves dan dibawa untuk menemui raja Thranduil (Craig Hall). Dengan bantuan Bilbo yang kembali mengenakan cincin yang ditemukannya, para Dwarves berhasil kabur dengan cara masuk ke dalam tong-tong anggur kosong dan sampai di kota Esgaroth. Di sana mereka mendapat bantuan dari seorang penduduk bernama Bard (Luke Evans) yang menyelundupkan mereka masuk ke dalam kota.

Dari sana petualangan mereka masih terus berlanjut, masih didominasi dengan usaha mereka untuk melarikan diri dan bersembunyi dari sebuah bayangan hitam yang terus mengikuti mereka. Tujuan mereka juga masih sama: merebut kembali Lonely Mountain dan semua harta yang dijadikan naga Smaug sebagai tempat tidurnya. Dan bagaimana usaha Thorin untuk mencari pusaka keluarganya: Arkenstone yang juga dikuasai Smaug?

Saya sudah pernah menyinggung bahwa untuk membuat sebuah film kedua adalah bukan pekerjaan yang mudah. Ekspektasi penonton menjadi berkali-kali lipat setelah menonton film pertama. Belum lagi sudah terbentuk kelompok penonton yang sudah ‘kadung’ terlalu jatuh cinta dengan film pertamanya sehingga belum apa-apa mereka sudah menetapkan standart mereka sendiri untuk sebuah film kedua. Nah, menurut kalian bagaimana dengan film kedua The Hobbit ini?

Menurut saya sih, film kedua ini benar-benar diluar dugaan saya. Jujur saja, saya termasuk kelompok penonton yang meragukan keputusan Peter Jackson untuk memecah kisah The Hobbit ini menjadi tiga bagian. Saya sendiri pecinta The Hobbit, jauh lebih suka dari pada kisah Lord Of The Rings. Jika dibandingkan dengan novelnya yang tidak terlalu tebal (hanya 348 halaman, terbitan Gramedia tahun 2002) rasanya memecah filmnya menjadi tiga bagian terlalu berlebihan. Dua bagian saya rasa sudah lebih dari cukup.

Memang kisah yang ditawarkan masih sama menariknya seperti kisah pada film pertama. Hadirnya beberapa tokoh baru, termasuk tokoh-tokoh yang sebelumnya telah lebih dulu tampil dalam Lord Of The Rings juga memberikan penyegaran. Sinematografi, animasi dan semua special effect sudah tidak perlu diragukan lagi, apa lagi dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih sehingga semua terasa sempurna untuk dilihat. Tapiiiii…… saya tetap tidak bisa mengenyahkan kenyataan bahwa alur film ini terasa sengaja dilambat-lambatkan, seperti karet gelang yang ditarik jauh lebih lebar dari pada yang diperlukan.

Untungnya, Peter Jackson dengan lihai menyiasati kelemahan ini dengan cara menceritakan beberapa cerita yang sebelumnya tidak diceritakan di versi novelnya dan menambahkan beberapa karakter baru yang masih terkait dalam kisah ini. Peter Jackson juga memberikan porsi aksi yang lebih banyak dalam beberapa scene (terutama dalam scene saat para Dwarves melarikan diri dari Mirkwood melalui sungai deras dengan mengendarai tong anggur kosong) yang sebenarnya tidak ada dalam versi novelnya. Dan Peter Jackson juga sengaja menggunakan alur yang meloncat-loncat dari satu kisah ke kisah yang lain agar gereget yang dirasakan penonton tetap terjaga.


Well, walaupun saya tidak terlalu mendukung pembagian kisah The Hobbit ini menjadi tiga bagian, tapi saya bukan termasuk dalam golongan hatters sehingga saya masih bisa menikmati kisah ini dengan sepenuh hati. Tiga setengah dari lima bintang untuk film ini akan saya berikan dengan senang hati. Dan saya dengan sangat tidak sabar akan menunggu kisah pamungkasnya yang direncanakan akan dirilis pada 2014 mendatang.