THE WOLVERINE


Sang mutant ber-adamantium kembali lagi ke layar lebar. Kali ini dia tidak datang bersama teman-teman dari akademi X-Men tapi Wolverine yang bernama asli Thomas Logan (Hugh Jackman) ini harus berurusan dengan para Yakuza di Jepang saat seorang assasins bernama Yukio (Rila Fukushima) datang menjemputnya di Kanada. Awalnya Logan sama sekali tidak berniat memenuhi undangan sang assassin ke Jepang. Dia sedang dalam masa berkabung setelah harus membunuh wanita yang dicintanya: Jean Grey (Famke Janssen). Kenyataan pahit itu masih menghantui Logan sampai saat ini dan selalu memberinya mimpi buruk. Tapi Yukio yang memiliki kemampuan untuk ‘melihat’ bagaimana seseorang meninggal mengatakan bahwa dia diutus oleh teman lama Logan: Ichiro Yashida (Hal Yamanouchi) yang secara tidak sengaja diselamatkan oleh Logan saat serangan bom atom yang dijatuhkan pihak Amerika di Nagasaki pada tahun 1945. Setelah Yukio berhasil meyakinkan Logan bahwa umur Yashida sudah tidak lama lagi dan Yashida ingin mengembalikan sesuatu yang sebenarnya adalah milik Logan, akhirnya Logan pun bersedia ikut untuk mengucapkan selamat tinggal.

Setelah sampai di Jepang dan bertemu dengan Yasida, Logan terkagum-kagum karena Yashida ternyata sudah menjadi orang paling kaya dengan memiliki perusahaan tenologi terbesar di seluruh Jepang. Dan yang lebih mengagetkan lagi, ternyata Yashida menawarkan diri untuk ‘memindahkan’ keabadian yang dimiliki Logan ke dalam dirinya sehingga Logan yang ‘lelah’ karena sudah begitu banyak melihat kematian orang-orang yang dicintainya bisa hidup dengan tenang dan meninggal dengan normal, seperti manusia biasa. Tentu saja Logan sama sekali tidak setuju. Tapi saat Logan akan pulang kembali ke Kanada, Yashida meninggal dunia.

Pemakaman Yashida diadakan secara besar-besaran, tapi saat acara pemakaman tersebut berlangsung, tiba-tiba sekelompok Yakuza menyerbu acara tersebut dan membawa lari cucu semata wayang Yashida: Mariko Yashida (Tao Okamoto). Logan yang masih berada di sana menyaksikan semua itu dan membantu Mariko untuk menyelamatkan diri. Saat bertarung, Logan baru menyadari bahwa kekuatan menyembuhkan dirinya hilang. Ada sesuatu atau seseorang yang telah ‘mengambil’ kekuatannya dan menjadikannya manusia biasa. Untungnya Mariko berhasil membantu Logan sehingga mereka bisa bersembunyi di sebuah rumah terpencil di selatan. Di sanalah Logan menyadari bahwa kedatangannya ke Jepang membuatnya masuk ke dalam intrik keluarga Yashida yang juga harus membuatnya menghadapi ayah Mariko: Shingen Yashida (Hiroyuki Sanada) dan tunangan Mariko: Noburu Mori (Brian Tee). Dan di sana juga Logan mulai jatuh cinta kepada Mariko.
Sementara itu seorang mutant yang selama ini menyamar sebagai dokter pribadi Yashida: Viper (Svetlana Khodchenkova) berusaha menjebak Logan untuk datang ke pusat penelitian milik Yashida. Ada sesuatu yang dia inginkan dari Logan. Viper dibantu oleh sekelompok ninja hitam yang dipimpin oleh Kenuichio Harada (Will Yun Lee) yang rela menolong Mariko dengan cara apa pun karena rasa cintanya yang mendalam terhadap cucu sang pemimpin klan. Di pusat penelitian itu Logan menemukan kenyataan yang sangat mengagetkan sekaligus yang harus dihadapinya hingga titik darah penghabisan.

Film keenam dari installment X-Men kali ini disutradarai oleh James Mangold yang berhasil diganjar nominasi Oscar atas filmnya yang berjudul Walk the Line rilis di tahun 2005. Dan film ini merupakan kelanjutan dari X-Men Origins: Wolverine dan mengambil setting beberapa tahun setelah kejadian di X-Men: The Last Stand. Hugh Jackman juga masih setia membawakan tokoh Logan a.k.a. Wolverine yang sudah sangat melekat dengan citra dirinya sendiri. Dan bagi saya, film The Wolverine kali ini sangat menghibur.

Saya sangat suka dengan plot cerita film ini. Alurnya cepat dan tidak bertele-tele, dengan tempo yang pas dan detail cerita yang terjaga dengan baik. Twist ceritanya terasa menggigit, tidak terlalu berlebihan tapi juga tetap menarik untuk diikuti. Karakter para tokohnya pun cukup terasa dan walaupun tidak menggunakan banyak actor/actress papan atas Hollywood, tapi keikutsertaan para pemeran sebelumnya yang sama-sama iconic dan karakter lain yang bermain dengan cukup bagus, semua terasa pas. Ceritanya terasa nyaris sempurna sehingga saya hampir-hampir tidak bisa berkomentar jelek untuk sisi tersebut.

Sebelumnya, installment X-Men memang sudah terlanjur lekat dengan imej film keluarga, sehingga kesan ini juga masih terasa dalam The Wolverine dengan minimnya adegan nude dan percikan darah dalam actionnya. Memang sang sutradara mencoba untuk membawa The Wolverine ke level yang lebih dark dan lebih serius dari pada film-film X-Men sebelumnya, tapi keputusan untuk tidak membawa film ini menjadi terlalu dewasa adalah keputusan yang pas menurut saya.
Dengan semua detail cerita yang berkesinambungan dan alur yang memanjakan, saya dengan senang hati memberikan empat dari lima bintang untuk film ini. Semua factor tersebut terasa saling melengkapi dan meninggalkan kesan mendalam yang tidak bisa dilupakan begitu saja setelah meninggalkan bioskop. This film is definetely worth to watch, no doubt.

Oh iya, saya punya satu tips untuk kalian. Setiap kali kalian selesai menonton film, pastikan lampu bioskop sudah menyala saat kalian beranjak dari tempat duduk dan keluar, karena kalau lampu bioskop belum menyala saat kredit title mulai muncul, itu artinya akan ada scene akhir yang biasanya berisi cuplikan film berikutnya. Seperti film The Wolverine ini, misalnya. Nantikan scene tambahan ini di akhir film, karena kalian akan tercengang dibuatnya.

PACIFIC RIM

Sutradara Guilermo del Toro yang sukses membuat film bertema dark fantasy seperti Hell Boy dan Pan’s Labyrinth, pada musim panas ini menyajikan film kuda hitam berjudul: Pacific Rim. Film ini mengambil setting pada tahun 2020 di mana bumi sedang berada di ambang kehancuran karena serangan begitu banyak Kaiju (dalam bahasa Jepang berarti monster) yang dikirim oleh makhluk luar angkasa melalui sebuah portal antar-dimensi yang berada di dasar Laut Pacific. Untuk melawan para monster tersebut, beberapa Negara membuat monster mereka sendiri, yaitu sebuah gigantic humanoid mecha yang mereka panggil dengan sebutan Jaeger (baca: Yeager) yang dalam bahasa Jerman berarti pemburu. Jaeger ini dikendalikan oleh dua orang pilot yang satu sama lain dihubungkan secara emosional dan memori sehingga dapat menggerakkan Jaeger raksasa ini bersama-sama.

Awalnya aksi para Jaeger ini cukup efektif, tapi seiring berjalannya waktu portal antar-dimensi itu tidak hanya mengirimkan satu Kaiju, tapi juga mengirimkan dua dan tiga Kaiju dalam waktu bersamaan dengan ukuran yang semakin besar. Hal ini membuat keadaan bumi semakin terancam sehingga beberapa Negara memutuskan untuk bergabung di dalam sebuah pangkalan di pesisir Hong Kong sementara sebuah tembok besar dibangun untuk menghalangi semua Kaiju menyerang kota. Pangkalan tersebut dikepalai oleh Stacker Pentecost (Idris Elba), seorang mantan pilot Jaeger yang berhasil mengumpulkan empat buah Jaeger yang berasal dari Rusia, Cina, Australia dan Amerika.

Jaeger Rusia bernama Cherno Alpha yang bergerak dengan sedikit kaku namun memiliki kekuatan paling besar di antara Jaeger lainnya, dipiloti oleh Aleksis (Robert Maillet) dan Sasha Kaidanovsky (Heather Doerksen). Sedangkan Jaeger yang berasal dari Cina diberi nama Crimson Typhoon, satu-satunya Jaeger yang memiliki tiga lengan dan ditunggangi oleh tiga saudara kembar bernama Charles Luu, Lance Luu dan Mark Luu. Selanjutnya adalah Jaeger dari Australia yang diberi nama Striker Eureka, dipiloti oleh sepasang ayah dan anak bernama Herc Hansen (Max Martini) dan Chuck Hansen (Robert Kazinsky) yang selalu bertengkar. Sementara itu Jaeger dari Amerika diberi nama Gipsy Danger dan Stacker meminta Raleigh Backet (Charlie Hunnam) menjadi pilotnya. Raleigh sendiri sebelumnya memutuskan untuk pensiun setelah pengalaman terakhirnya menjadi pilot Gipsy Danger bersama sang kakak: Yancy Backet (Diego Klattenhoff) mengakibatkan sang kakak meninggal dunia dan menyisakan trauma mendalam. Tapi Stacker bersikeras, dia bahkan menjemput Raleigh dan membiarkannya memilih co-pilotnya sendiri. Dan Raleigh pun memilih Rinko Kikuchi (Mako Mori) untuk menjadi co-pilotnya yang membuat Stacker menentang habis-habisan, bukan saja karena Rinko adalah anak angkatnya, tapi juga karena gadis berdarah Jepang itu memiliki trauma masa kecil yang dapat membahayakannya. Tapi Rinko sendiri sangat ingin menjadi pilot, lagipula emosi dan pikirannya terbukti dapat terhubung dengan sangat mudah terhadap emosi dan pikiran Raleigh sehingga Stacker akhirnya tidak bisa berbuat banyak.

Sementara itu seorang peneliti Kaiju bernama Dr. Newton Geiszler (Charlie Day) berhasil melakukan percobaan berbahaya. Dia mencoba untuk menerapkan teknologi menggabungkan pikiran yang diterapkan antara kedua pilot dan Jaeger kepada otak sekunder Kaiju yang ditelitinya terhadap otaknya sendiri. Percobaan tersebut nyaris saja membunuhnya, tapi juga berhasil membuat sang doctor masuk ke dalam memori otak Kaiju tersebut dan memberinya informasi yang sangat berharga mengenai asal usul mereka. Stacker menyadari bahwa cara ini mungkin dapat membantunya untuk menggunakan bom nuklir yang telah dia siapkan dengan lebih baik, karena itulah dia meminta Dr. Newton untuk melakukan percobaan itu lagi dengan bantuan kolega/saingannya: Dr. Hermann Gottlieb (Burn Gorman). Tapi percobaan itu tidak bisa dilakukan dengan mudah. Dr. Newton harus bisa mendapatkan otak sekunder Kaiju yang masih ‘fresh’ dan untuk itu dia harus mencari keberadaan Hannibal Chau (Ron Perlman), seorang penjual organ Kaiju curian di pasar gelap.

Satu kata yang tidak bisa lepas dari lidah saya saat menonton film ini adalah: nice…….

Benar, loh. Walaupun latar belakang cerita hanya diceritakan sedikit demi sedikit dan tidak terlalu detail, tapi alur film yang cepat dan tidak bertele-tele dan setting yang wah membuat saya tidak bisa berhenti berdecak kagum. Karakter para tokohnya memang tidak tergali dengan baik, sang sutradara bahkan tidak mau repot-repot ataupun memboroskan budget dengan menggunakan actor/actress papan atas Hollywood. Dan walaupun tokoh yang dihadirkan cukup banyak, tapi semuanya seolah berperan sebagai cameo. Romance yang tercipta pun hanya seperti tempelan saja, bahkan Charlie Hunnam sendiri mengatakan bahwa film ini adalah ‘a love story without love story’. Tapi lupakan saja masalah karakter, para pemain dan unsure romance itu karena visual grafis dan efek pertarungan massive dalam film ini akan bisa memaafkan semua itu. Saya seolah menonton versi movie dari Ultraman, Godzilla, Transformer dan Evangelion digabungkan dalam satu film dan itu sangat luar biasa.

Menurut sang sutradara, Guilermo del Toro, dia ingin membangkitkan imajinasi masa kecilnya saat menonton peperangan yang melibatkan monster dan robot kembali dan menyajikan sesuatu yang jauh lebih menarik bagi generasi muda zaman sekarang. Dan menurut saya, del Toro telah berhasil mewujudkannya. Dia bahkan berhasil mengubah pandangan saya mengenai pertarungan antara robot dan monster yang tadinya sangat kaku dan ketinggalan zaman menjadi sebuah pertarungan luar biasa yang megah dan dahsyat. Teknologi dan perwujudannya berhasil membawa film dengan genre ini ke level yang lebih tinggi. Well, Pacific Rim bahkan berhasil membuat para robot alien di Transformer terlihat seperti mainan robot biasa.


Saya tidak tahan untuk tidak memberikan empat dari lima bintang untuk film menakjubkan ini. Memang sih, it’s really a boy film. Tapi film ini menyandang rating PG-13 yang cocok untuk ditonton oleh semua umur, termasuk anak-anak. Dan untuk kalian para wanita yang juga sangat suka menonton film, terutama genre science fiction dan fantasy yang kental, jangan berani-berani melewatkan film yang satu ini. Kalian akan sangat menyesal, percayalah.




LONE RANGER

Alkisah, seorang pengacara muda bernama John Reid (Armie Hammer) pulang ke kampung halamannya untuk bertemu keluarga sang kakak: Dan Reid (James Badge Dale) yang mengikuti jejak ayah mereka dengan menjadi seorang Ranger. Di tengah perjalanan kereta api yang dinaikinya dibajak oleh segerombolan penjahat yang ingin membebaskan seorang tawanan bernama Butch Cavendish (William Fichtner) yang dibawa dalam kereta yang sama. Dengan niat menegakkan keadilan, John berusaha menggagalkan rencana jahat mereka yang secara tidak sengaja malah membuatnya bertemu dengan Tonto (Johnny Depp), seorang tawanan Indian yang juga dibawa bersama Butch untuk dihukum mati. Karena John sama sekali tidak berpengalaman, Butch malah berhasil kabur bersama gerombolannya, meninggalkan Tonto yang tetap dibawa John ke penjara.

Saat menemui sang kakak yang sudah menikah dengan gadis yang diam-diam juga disukai oleh John: Rebecca (Ryth Wilson), John diangkat menjadi seorang Ranger juga dan melakukan misi pencarian sang buronan bersama kakaknya dan Collins (Leon Rippy) yang menjadi petunjuk jalan serta empat orang Ranger lainnya. Sayangnya di tengah jalan, Collins mengkhianati para Ranger dan membawa ketujuh Ranger ke dalam perangkap Butch. Mereka menghabisi para Ranger satu per satu, termasuk menembak John dan mencabut jantung Dan. Tonto yang berhasil kabur dari penjara (entah bagaimana caranya) menemukan mayat ketujuh Ranger tersebut. Tapi saat akan mengubur mereka, tiba-tiba seekot kuda putih yang akhirnya diberi nama Silver datang dan membangkitkan John dari kematian.

Di sisi lain, kota Colby Texas pada tahun 1869 baru saja memiliki jalur kereta baru yang dibangun oleh Latham Cole (Tom Wilkinson) yang jatuh hati para Rebecca dan mencoba mencuri hati Rebecca melalui anak laki-lakinya: Danny Reid (Bryant Prince). Untuk membangun jalur kereta api yang diinginkan Cole, dia dan para petinggi pemerintah lainnya harus melanggar kesepakatan antara penduduk Colby dan para suku Indian setempat. Mengetahui ketegangan ini, gerombolan Butch mengambil kesempatan untuk mengadu domba dengan menyamar sebagai anggota suku Indian saat mereka menyerang penduduk kota Colby. Hal ini tentu saja memicu pertengkaran yang meruncing sehingga akhirnya peperangan pun tidak bisa terhindarkan lagi.

Sementara itu, John yang sudah sembuh ingin untuk membalaskan dendam atas kematian sang kakak yang tragis itu. Dia berniat untuk mencari keberadaan Butch dan menegakkan keadilan. Sedangkan Tonto juga memiliki niat yang sama karena percaya bahwa Butch adalah Wendigo, yaitu sesosok iblis yang terkenal pada legenda penduduk Algonquian. Tonto percaya bahwa Wendigo inilah yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal yang terjadi pada sukunya beberapa tahun yang lalu. Dengan tujuan yang sama tersebut akhirnya John dan Tonto pun bergabung bersama untuk mencari Butch dan meminta pertanggung jawabannya.

Yah, kurang lebih begitulah inti cerita film ini. Jika kalian yang sudah menonton film ini malah mengerutkan kening dengan bingung saat membaca review ini, saya akan sangat maklum sekali. Karena pada dasarnya film ini memang diceritakan dengan cukup membingungkan. Di awal cerita saja kita sudah dibuat bingung apakah sebenarnya sosok Tonto tua itu benar-benar nyata ataukah sang anak kecil yang diperankan oleh Mason Cook itu yang sebenarnya sudah ‘gila’. Tapi yang jelas film garapan sutradara Gore Verbinski yang sebelumnya sukses menghadirkan installment Pirates of the Caribbean ini memang unik.

Tema ceritanya menarik, tapi plotnya terasa cukup membingungkan dan pada awalnya alurnya tidak terlalu menyenangkan untuk diikuti. Beberapa scene terkesan tidak masuk akal dan timeline-nya meloncat-loncat. Beberapa karakter tidak tergali dengan cukup dalam sehingga terkesan datar, tapi untunglah para tokoh utama bisa dengan mudah ‘diterima’. Dan sebagai bumbu, tingkah polah Depp yang nyentrik dan celetukkannya yang khas berhasil membuat kita tertawa geli. Ini cukup ampuh untuk membuang sedikit kebosanan dan kerut bingung di kepala.

Lone Ranger sendiri diperkenalkan pada sebuah acara radio tahun 1933 oleh George W. Trendie dan Fran Striker yang akhirnya diadaptasi ke dalam acara televisi, komik dan juga film layar lebar. Kini setelah lebih dari tiga puluh dua tahun setelah film layar lebarnya rilis tahun 1981, Walt Disney Picture bekerja sama dengan Jerry Bruckheimer Films membawakan kisah Lone Ranger ini kembali ke layar lebar. Kisahnya sendiri pada dasarnya sama, tapi dalam film Lone Ranger kali ini, kisahnya diceritakan dari sudut pandang Tonto sehingga tokoh yang diperankan Johnny Depp tersebutlah yang terasa lebih dominan. Yah, mungkin memang hanya Depp saja yang bisa berhasil membawa sebuah peran sidekick menjadi main character dalam sebuah film.

Tiga dari lima bintang rasanya cukup saya berikan untuk film ini. Jika kalian termasuk salah satu penggemar film-film lawasnya dan sangat ingin mendengar lagi soundtrack Lone Ranger yang cukup terkenal itu, silahkan tonton film ini dan nikmati petualangan mereka, seperti saya. Ingat, tidak perlu mempertanyakan segala hal, lebih baik duduk nyaman di kursimu dan nikmati saja… :)

DESPICABLE ME 2

Berbeda dengan film pertamanya, dalam Despicable Me 2 ini Felonious Gru (Steve Carell) tidak lagi bertingkah jahat untuk mencuri bulan. Gru disibukkan dengan tugas mengurus anak-anaknya: si bungsu Agnes (Elsie Fisher), si tomboy Edith (Dana Gaier) dan si sulung Margo (Miranda Cosgrove). Seiring dengan beranjak dewasa ketiga anak angkatnya itu, Gru harus menerima kenyataan saat Margo mulai tertarik dengan lawan jenisnya dan Agnes mendambakan sosok seorang ibu dalam keluarga kecil mereka sehingga peran Gru sebagai ayah mulai menjadi sedikit rumit. Gru yang sudah pensiun sebagai penjahat memutuskan untuk memulai usaha membuat selai dan jeli bersama partnernya: Dr. Nefario (Russell Brand). Tapi sifat petualangan mereka tidak bisa dibendung begitu saja. Dr. Nefario yang tidak bisa bertahan dalam situasi yang membosankan tersebut akhirnya mengundurkan diri sebagai ahli senjata Gru untuk menerima pekerjaan lain yang dianggapnya lebih menantang dan lebih menarik.

Suatu ketika seorang gadis bernama Lucy Wilde (Kristen Wiig) datang menemui Gru dan mengaku sebagai salah satu agen AVL alias Anti Villian League. Dia dikirim oleh ketua AVL, Silas Ramsbottom (Steve Coogan) untuk meminta bantuan Gru menyelidiki kasus hilangnya serum PX-41 dari laboratorium mereka. Serum tersebut merupakan senjata mematikan yang bisa mengubah orang yang menggunakannya menjadi mesin pembunuh berdarah dingin. Menurut penyelidikan lebih lanjut, jejak serum tersebut terakhir kali terlacak di dalam Paradise Shopping Mall. Nah, di sinilah peran Gru. Dengan bantuan Lucy, dia harus menyamar sebagai pemilik toko kue untuk menemukan siapa di antara pemilik toko lain di mall yang menyembunyikan serum tersebut.

Mereka bertemu dengan Eduardo Perez (Benjamin Bratt), pemilik restoran Mexico yang diyakini Gru sebagai El Macho, seorang super-villian yang dikabarkan meninggal karena melemparkan diri ke dalam gunung berapi aktif bersama seekor hiu dan sekumpulan TNT. Dengan menggunakan instingnya sebagai ‘mantan penjahat’, Gru meyakini bahwa Eduardo memang adalah El Macho dan dialah yang telah mencuri dan berniat menggunakan serum tersebut untuk tujuan tertentu. Tapi Gru tidak bisa membuktikannya sehingga Lucy dan Silas Ramsbottom tidak bisa mempercayainya. Lagi pula, Gru tidak bisa menyingkirkan ketidaksukaannya terhadap anak laki-laki Eduardo: Antonio Perez (Moisés Arias) yang mendekati Margo.

Sementara itu, tanpa Gru sadari, beberapa minion yang dimilikinya diculik oleh sang penjahat untuk disuntik serum PX-41 itu sehingga berubah menjadi evil-minion yang ganas dan akan menghancurkan apa saja yang ada dihadapannya. Apakah benar Eduardo adalah El Macho yang mendalami semua kejahatan ini? Dan bagaimana jika akhirnya Gru malah jatuh cinta kepada Lucy?

Tanpa diduga sebelumnya, film pertamanya: Despicable Me yang dirilis pada 2010 lalu disambut positif bukan hanya oleh para kritikus film tapi juga oleh para penonton. Akhirnya pada musim panas tahun ini film keduanya pun dirilis dengan harapan dapat menyaingi popularitas film debut tersebut. Dan ternyata doa itu pun terkabul. Dengan budget $ 76 juta saja, film ini sudah berhasil meraih hampir $ 300 juta dalam waktu kurang dari satu minggu saja (berdasarkan data dari Wikipedia pada tanggal 9 Juli 2013).

Seperti film animasi yang menargetkan penonton dari kalangan anak-anak dan remaja pada umumnya, tema yang diangkat pada film ini cukup sederhana. Tokoh yang dihadirkan pun jumlahnya tidak terlalu banyak tapi cukup berkarakter dan dapat dengan mudah diingat oleh para penonton. Dengan alurnya yang cukup cepat dan didukung dengan humor menggelitik dan aksi-aksi yang kocak, film yang sepenuhnya dibuat di Perancis ini terasa segar untuk ditonton dan sangat mudah dinikmati tanpa perlu repot-repot ‘berpikir’.

Salah satu hal pendukung yang sangat menyegarkan tentu saja kehadiran para minion di dalam film ini. Dengan tubuh kecil berwarna kuning, wajah polos dan tingkah yang lucu, para minion ini memang sangat mencuri perhatian. Pada film pertama mereka hanya hadir sebagai ‘pemanis’ saja, tapi perlahan dan pasti kehadiran mereka mulai menguasai hati para penonton. Sepertinya kedua sutradara: Chris Renaud dan Pierre Coffin pun sangat menyadari hal tersebut. Karena itulah kedua sutradara yang juga menjadi pengisi suara untuk lebih dari 800 minion ini memberikan porsi yang lebih besar bagi para minion dalam film keduanya ini. Dan formula ini pun terbukti ampuh karena para penonton dari semua kalangan, baik yang sudah pernah menonton film pertamanya atau pun belum, bisa terpingkal-pingkal menyaksikan aksi Kevin, Bob, Stuart dan para minion lainnya. Eh, kabarnya kedua sutradara sedang menggarap film spin-off yang akan menampilkan kisah para minion sebelum bertemu dengan Gru, loh. Wah, kalau sudah begini, kedudukan para Penguin dari Madagaskar atau bahkan Scratch dari Ice Age bisa sangat terancam!

Oh iya, ada sedikit intermezzo lagi, nih. Kabarnya sang sutradara: Pierre Coffin memiliki darah Indonesia. Tepatnya, sutradara bernama lengkap Pierre-Louis Padang Coffin ini adalah anak dari seorang penulis terkenal Indonesia: NH. Dini dengan seorang diplomat bernama Yves Coffin. Nah, dengan deretan nama orang-orang terkenal di dunia yang memiliki darah Indonesia seperti ini, kita sebagai warga Negara Indonesia asli seharusnya tidak lagi malu untuk berkarya lebih giat dan mengharumkan nama bangsa, bukan?


Anyway, saya memberikan empat dari lima bintang untuk film animasi ini. Bukan hanya karena kehadiran para minion yang sangat mengocok perut di sepanjang film,tapi juga karena ending cerita yang sangat-amat-sungguh lucu. Saya tidak akan membocorkan ending filmnya di sini, tapi jika kalian baru akan menonton film ini, silahkan tertawa terpingkal-pingkal melihat endingnya, ya…. :D