Ny. Lars – Part 25 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 25 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny menceritakan kepada Louise tentang apa yang diketahui dan ditemukannya mengenai Cherry dan apa yang disimpulkan Louise nyaris membuatnya jantungan. Louise menebak bahwa Cherry adalah seorang lesbian, dan wanita tomboy yang dilihat Jenny adalah pacarnya. Jenny menolak untuk percaya kesimpulan Louise itu. Tapi kalau memang benar, bagaimana nasib Lars? …

 
Dua sejoli sedang asik berduaan, Kevin dan Jenny. Mereka sedang duduk diatas sofa besar di bioskop mini milik ibu Jenny, menonton aksi kocak Steven Chow di film terbarunya. Seharusnya film itu bisa membuat syaraf tertawa setiap orang bergetar dan mengirimkan sinyal ke otak agar tertawa, tapi tidak dengan Jenny. Film sudah diputar setengah jalan, tapi hanya Kevin yang tertawa terpingkal-pingkal, sementara Jenny hanya diam.
" Kev, gua mau ngomong sama lo. "
" Ha…ha…ha… Kenapa, Jen? "
" Gua mau ngomong. " Ulang Jenny.
" Entar aja deh, sayang. Filmnya lagi seru, nih. Ha…ha…ha… "
" Tapi gua mau ngomong! Penting! "
Akhirnya Jenny mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berteriak melebihi volume suara yang dikeluarkan speaker home teater itu, sekaligus sedikit kesal karena Kevin memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Dia belum bisa terbiasa mendengar Kevin memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Kevin pun akhirnya berhenti tertawa, lalu meraih remote dan menekan tombol pause. Film berhenti, bioskop mini itu mendadak sepi, dan Kevin memandang Jenny dengan tenang.
" Kenapa sayang? Mau minta di kiss? "
Setelah ciuman menggelitik dan ciuman diatas tempat tidur beberapa waktu yang lalu Kevin semakin sering menciumnya. Jenny selalu merasa berdebar setiap menerima ciuman itu. Tapi semakin lama ciuman Kevin mendadak kehilangan 'rasa' dan bukan sesuatu yang mendebarkan lagi. Mungkin semakin mengenal sosok Kevin yang blak-blakan, yang selalu tertawa dan yang jahil, dia malah tidak menemukan 'kemisteriusan' yang membuatnya 'gereget'. Dan pelan-pelan hasratnya hilang entah kemana.
Tapi saat ini Jenny sedang tidak ingin membicarakan 'kehilangan hasrat' yang dialaminya, melainkan masalah serius lain yang membuatnya berpikir keras beberapa hari belakangan ini. Masalah ini, jujur saja, membangkitkan perasaan Jenny kepada Lars, membuatnya berdebar lagi setiap memikirkan Lars. Ini masalah Cherry. Cherry yang menderita kelainan atau Cherry yang menjadi foto model majalah porno. Entah mana diantara keduanya yang benar, tapi yang jelas keduanya tidak akan menyenangkan untuk Lars. Paling tidak, tidak akan menyenangkan untuk Jenny.
Kevin sudah mulai mencondongkan tubuhnya ke arah Jenny dan meraih bibir Jenny untuk menciumnya, buru-buru Jenny mendorong Kevin menjauh.
" Bukan itu! " Teriak Jenny.
Kevin berhenti bergerak. " Jadi apaan? "
" Masalah Cherry. "
" Itu sih nggak perlu diomongin. " Kevin kembali menatap layar bioskop dan menekan tombol pause lagi. Steven Chow kembali beraksi.
" Tapi gua tau masa lalu Cherry yang lo tutupin itu! " Jenny berteriak lagi mengalahkan volume speaker. Steven Chow mendadak berhenti beraksi, tombol pause sudah ditekan lagi. Kini Kevin menatap Jenny dengan serius.
" Emangnya apa? "
Jenny menjadi sedikit takut melihat tampang serius Kevin itu. Dia takut kalau ternyata apa yang dia tahu mengenai Cherry bukanlah masa lalu yang ditutupi Kevin.
" Ng… Cewek yang gua kira Cherry waktu itu emang beneran Cherry, kan? Gua kemarin ke villa bokap gua, disana gua ketemu Cherry yang lagi berpose hampir telanjang buat dilukis bokap gua. Dan dia nggak sendiri, dia sama cewek yang kita liat waktu itu. "
Jenny berhenti sebentar. Melihat raut wajah Kevin yang pucat dan tindakan diamnya selama mendengarkan penjelasan Jenny, semua itu membuat Jenny semakin yakin kalau kecurigaannya benar.
" Gua juga liat foto-foto vulgar Cherry sama cewek itu di kamar bokap gua. Kata bokap gua, foto-foto itu mau dijadiin lukisan. " Lanjut Jenny. Kevin masih diam, juga saat Jenny bertanya lagi: " Kev, ngomong dong! Itu kan masa lalu Cherry yang lo tutupin? Iya, kan? Sebenernya Cherry kenapa? "
Kevin masih diam.
" Jangan bilang kalo Cherry foto model majalah porno. " Lanjut Jenny dengan nekat.
Kevin mendongak kaget memandang Jenny lalu akhirnya berkata juga setelah menghela napas panjang. " Bukan, dia lesbian. "
Akhirnya terungkap juga, ternyata Cherry memang abnormal. Sesuatu yang mengejutkan memang, tapi paling tidak Jenny sedikit lega karena rasa penasarannya sudah terpuaskan.
" Gua kenal dia setahun yang lalu, waktu itu gua masih kuliah di Amerika. Gua ketemu dia di party, gara-gara sama-sama dari Indonesia. Kita akrab. " Kevin mulai bercerita sambil menatap remote control yang dipegangnya sedari tadi. " Lama-lama kita makin deket dan akhirnya saling jatuh cinta. Eh, tepatnya gua yang jatuh cinta sama dia. "
" Cherry emang cantik banget, nggak heran kalo banyak cowok yang jatuh cinta sama dia. Iya, kan? " Jenny menimpali dan Kevin mengangguk setuju.
" Kiri-kira tiga bulan kita jalan bareng, but for that long time we never done some sex activities. Sama kayak Lars kini, gua sama Cherry cuma nonton. Gua malah cuma nyium dia tiga kali. Awalnya gua kira Cherry emang tipe cewek yang nggak gampang ditaklukin, tapi ternyata bukan. " Kevin mengalihkan pandangannya. Menghela napas, lalu berkata lagi. Kali ini kelihatan lebih berat dari pada sebelumnya.
" Gua pergi ke apartemennya buat ngasih surprise, gua udah bawa bunga mawar segala. Tapi yang ada malah gua yang dapet kejutan. Gua ngeliat dia di dalam apartemennya, make love, bukan sama cowok lain, tapi sama cewek. Cewek yang kita liat kemarin. "
Jenny kaget setengah mati. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya sambil tidak melepas pandangannya dari Kevin yang bertampang 'sangat sakit'.
" Besoknya, Cherry nyari gua buat ngejelasin semuanya. Dia ngaku lesbian, dia bilang dia mau sembuh mangkanya dia jadian sama gua. Tapi waktu cewek itu datang lagi, dia goyah lagi. Akhirnya kita putus. Kita janji kalo kita nggak kenal satu sama lain, kita nggak pernah pacaran, kita nggak tau apa-apa soal satu sama lain. "
" Jadi itu alasannya kenapa lo nggak mau cerita sama gua? "
Kevin mengangguk. " Oh, cewek itu namanya Tommy. Putri tertua dari Hendrawan Surya Pratama. "
Jenny ingat nama itu dari majalah bisnis langganan Lars. Hendrawan Surya Pratama, seorang pengusaha terkenal, pemilik setengah saham di salah satu stasiun televisi terbesar di Indonesia, pemilik lima hotel berbintang lima di Indonesia, orang yang duduk di peringkat ke lima di jajaran sepuluh peringkat pengusaha terkaya di Indonesia. Intinya, Tommy itu anak orang kaya.
" Lars pasti bakal shock banget. "
" Pasti. " Kevin mengangguk.
" Gua tau Lars sayang banget sama Cherry. Kalo tau Cherry ternyata lesbian, dia pasti patah hati berat. Walau gimana pun, Lars tetep bos gua, temen gua, gua nggak mau ngeliat dia sedih. Lo kan sahabatnya, lo pasti juga nggak mau ngeliat Lars sedih kan, Kev? "
Kevin mengangguk lagi. " Mangkanya, kita harus bantuin Lars. "
" Caranya? "
Jenny dan Kevin berembuk berjam-jam di dalam bioskop mini itu, melupakan film Steven Chow yang di pause sepanjang mereka berdiskusi. Steven Chow tetap pada posisinya yang aneh.

 
...Bersambung...

Ny. Lars – Part 24 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 24 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny mengunjungi ayah yang adalah seorang pelukis dengan rasa sejuta rasa rindu karena selama hampir dua tahun tidak bertemu. Tapi dia malah mendapatkan kejutan besar saat sampai dengan menemukan Cherry dan teman wanitanya sedang berpose nyaris bugil untuk lukisan ayahnya. Jenny kaget bukan main. Dan dia menjadi jauh lebih kaget lagi saat sang ayah malah mengajaknya pulang ke Jerman! …

 
" No way… " Mata Louise yang lebar itu terlihat bertambah besar saat dia sedang terkaget-kaget seperti itu. Setumpuk masker wajah berwarna putih keabu-abuan menutupi seluruh wajahnya, kecuali bagian matanya yang lebar itu.
" Well, sweety, gua bakal jadi orang Jerman… "
Jenny yang berada di sebelah Louise, juga mengenakan masker yang sama, mencoba menaik dan menurunkan alis matanya dan menyinggungkan senyum paling jahil dan paling puas sedunia. Tapi dia gagal, wajahnya sudah ditutupi masker yang mulai mengeras, sehingga upaya apa pun untuk menggerakkan anggota wajahnya gagal total.
" But, how about Kevin? How about Lars? How about me? " Louise lebih berhasil menggerakkan anggota wajahnya dan alhasil di pipinya terdapat retakan masker. Tapi Louise tampaknya tidak perduli.
" Belum gua putusin kok. " Louise kelihatan menghela napas lega.
" Tapi, jadi orang asing, sound's cool! " Louise meninju lengan Jenny dan mereka berdua tertawa.
Sekarang Louise mengambil handuk dan mencelupkannya ke dalam baskom berisi air hangat, lalu membersihkan wajahnya yang bermasker. Jenny juga melakukan hal yang sama. Setelah merasa wajahnya sedikit ringan, Jenny mulai berkata lagi.
" Lo pasti bakal lebih kaget lagi kalo gua cerita apa yang gua tau soal Cherry. "
" Apaan? "
Jenny menceritakan semua kejadian yang dia alami mengenai Cherry beberapa hari yang lalu. Saat dia melihat Cherry di depan restoran, saat dia bertemu dengan Cherry di studio lukis ayahnya, juga soal foto-foto vulgar itu. Dan benar saja, Louise sangat kaget, sampai-sampai dia seakan-akan ingin mengeluarkan bola matanya dari dalam sangkar karena terlalu melotot lebar.
" Lo nggak becanda, kan? "
" Buat apa gua becanda? Gua liat pake mata kepala gua sendiri! "
Louise menjatuhkan handuknya. " Foto telanjang sama cewek, dilukis vulgar, ya ampun… "
" Apa? " Jenny bertanya dengan penasaran.
" Dia pasti foto model majalah porno. "
Jenny menghela napas. " Gua pikir juga gitu… "
" Atau… " Lanjut Louise penuh misteri. Jenny menoleh ke arah Louise lagi dengan lebih penasaran. " Atau mereka… lesbian. "
Kini giliran Jenny yang membelalakkan mata dan membuatnya nyaris jatuh keluar. Dan mulutnya terbata-bata berkata: " No… way… "
Loise dan Jenny sudah selesai membersihkan wajah mereka dari sisa masker dan memoleskan pelembab. Kini mereka mulai memotong dan mengkikir kuku tangan mereka.
" Gua masih nggak percaya kalo mereka kayak gitu. " Jenny berkata sambil mengkikir tangannya dengan sedikit gemetar. Dia gemetar membayangkan Cherry yang sedang bercinta dengan sesama jenisnya.
" Yah, sikap dan sifat orang mana bisa ditebak? " Louise lebih bisa menenangkan diri dari pada Jenny. Dia masih bisa memotong kukunya dengan gerakan mantap, tanpa gemetar.
" Gua heran aja! "
" Sama, gua juga nggak habis pikir, apa yang dia dapet dari sesama cewek? Kalo dari cowok, kita bisa dapet sesuatu yang nggak kita punya, tapi kalo dari cewek? Kita sama-sama punya apa yang dia punya, nggak seru. "
Jenny tahu kemana arah pembicaran ini, tapi dia tidak bisa menanggapinya dengan sesantai itu. Bagi Jenny masalah ini adalah masalah rumit, bukan hanya masalah siapa yang mendapatkan apa, tapi masalah perasaan. Masalah yang satu ini tidak bisa hanya dinilai dari sudut pandang itu saja.
" Gua hanya nggak nyangka. Cherry udah dapet Lars, orang paling sempurna di dunia ini. Buat apa dia nyari pacar lain? "
" Mungkin dia unisex. " Jawab Louise masih dengan santai.
" Apa sex? "
" Unisex! Lo tau, kan? Orang yang bisa berhubungan seksual sama cowok juga sama cewek. Kayak heteroseksual gitu. "
Penjelasan dan analisa yang benar-benar bagus. Ini cukup menjelaskan tingkat pemahaman seksualitas mana yang lebih tinggi.
    " But they never do some sex activities. " Jenny berkata lagi, kali ini dengan gemas.
    " Siapa? "
" Lars sama Cherry. "
" Nggak mungkin. " Louise berhenti mengkikir kuku tangannya.
" Gua juga nggak percaya, tapi itu yang gua tau. "
" Cherry bener-bener kelainan. " Louise menjatuhkan kikirnya.
Jenny terdiam. Jenny sedang menebak-nebak apa semua ini akan berjalan dengan lebih baik atau lebih buruk. Dan dia memikirkan Lars. Bagaimana perasaan Lars kalau mengetahui wanita yang dicintainya memiliki kelainan? Jenny tahu, Lars yang playboy itu sudah menemukan calon Ny. Lars-nya, tambatan hatinya (mau Jenny akui atau tidak, ini memang benar, dan Jenny menyadarinya). Tapi dia tidak habis pikir bagaimana kalau Lars mengetahui tambatan hatinya tidak sesuai dengan harapannya?
" Udah deh, itu bukan urusan lo lagi. Kalo Cherry emang mau cerita, berarti dia emang sadar, tapi kalo nggak lo nggak punya hak apa-apa buat nanya sama dia. Lagian lo kan udah nggak ada hubungan apa-apa sama mereka lagi. " Kata Louise yang sudah memungut kikirnya dan mulai mengkikir kukunya lagi.
" Gua masih asisten Lars, dan gua nggak tega mikirin perasaan Lars. " Giliran Jenny yang meletakkan kikirnya.
" Gua tau, but we can do nothing. Itu urusan asmara mereka, bukan urusan asmara lo. Lo kan udah punya Kevin. " Jenny tidak bisa mengangguk atau menggeleng untuk menyetujui atau menolak perkataan Louise ini, dia sedang teringat dengan Lars, dan entah kenapa hatinya terasa sangat sakit kalau membayangkan kekecewaan yang akan Lars terima gara-gara Cherry.
" Jen, lo sependapat sama gua kan? " Louise bertanya lagi karena Jenny belum menanggapinya sambil memegang bahu Jenny, dan Jenny hanya bisa mengangguk pelan. Dia tidak bisa mengatakan kekhawatirannya lagi karena Louise pasti tidak akan setuju dengannya. Benar saja, karena Louise langsung tersenyum senang melihat anggukan kepala Jenny itu.
" Ngomong-ngomong… " Kata Louise lagi dengan serius.
" Apa? " Tanya Jenny dengan kaget, takut Louise melihat keraguan dari anggukan kepalanya yang lemah.
" Alis lo udah mulai bearantakan. Sini gua rapiin. " Louise mengambil pinset dan mulai mencabuti alis-alis membandel yang tumbuh di tempat yang tidak semestinya, sedangkan Jenny menghela napas panjang, lega karena tidak perlu diceramahi lagi.

 
Di sudut kota yang lain, di sebuah apartemen di lantai delapan nomor 631, bergumul dua sosok tubuh di balik selimut putih tebal, saling berpelukan dan bersimbah keringat.
" Cher… "
Wanita yang di depan menoleh kebelakang dan menatap wajah Tommy, wanita yang memeluknya dari belakang tadi. Dia merubah posisinya sehingga mereka berdua saling berhadapan.
" Udah waktunya lo ngomong sama cowok itu. " Kata Tommy lagi.
" Siapa? "
" Lars. " Jawab Tommy, dan Cherry terdiam.
" Selama ini lo udah ngehindar dari dia demi gua, dia pasti bingung. Lo harus ngejelasin semuanya dan selesain semuanya sekalian. "
Cherry masih saja diam, kali ini dia tidak berani menatap mata hangat Tommy lagi.
" Gua tau lo masih takut, honey. Gua tau lo masih takut dibenci. " Tommy mengangkat dagu Cherry dan menatap matanya dalam-dalam.
" Gua hanya nggak mau nyakitin dia. Lars itu cowok yang baik banget, yang ngehargain cewek lebih dari pada orang lain. Gua hanya takut ngecewain dia. " Jawab Cherry dengan sedih.
" Tapi itu semua resiko kita. Kita nggak bakal bahagia kalo nggak jujur sama dia. We have a deal, right? Kita selesaiin lukisan kita, terus kita pulang ke Amerika. We live happily ever after. "
Cherry akhirnya tersenyum. " Gua tau, dan gua bakal ngelakuin apa pun supaya kita bisa bahagia lagi. Dan lukisan-lukisan itu, will being the best weding gift for us. "
Tommy mengangguk dalam dan mereka berdua tersenyum.

 
...Bersambung...

Questions Book ( page 44 )


Ada kalanya wanita hanyalah makhluk paling cerewet
Tapi ada kalanya juga laki-laki hanyalah seorang bayi berkumis
Menangis memang memalukan
Mengeluh bahkan tiada guna
Tapi bahkan seorang ksatria pun berhak untuk menangis
Tidak ada salahnya menangis
Tak mengapa berkeluh kesah
Toh manusia tanpa daya
Tak bisa menghindar takdir diri
Tak sanggup menepis masalah
Tenang saja, masalah memang seperti bayangan bagi semua orang
Tak bisa dihindari dan selalu mengikuti
Jadi apa daya berlari tanpa arah
Menahan tangis pun hanya menyesakkan
Kadang obat bagi masalah adalah berbagi
Sehingga ego dapat disingkirkan
Dan wanita menjadi makhluk paling berguna
Kami bisa menjadi kuping … atau bahkan mata.

 
270709 ~ Black Rabbit ~

Ny. Lars – Part 23 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 23 -

 
… Episode sebelumnya …
Hubungan Jenny, Kevin dan Lars semakin membaik, mereka bertiga semakin akrab. Untuk sejenak, Jenny bisa melupakan hubungan dan perasaannya yang membingungkan antara dia dan Lars. Tapi suatu siang Jenny melihat Cherry sedang jalan berdua dengan seorang perempuan tomboy. Siapa perempuan itu, ya? …

 
Ayah Jenny bernama Alexander Muller. Dia seorang pelukis yang cukup terkenal di Jerman, negara asalnya. Setelah berpisah dengan Lili yang sangat dicintainya, Alex memilih hidup sendiri dan mengabdikan dirinya untuk melukis. Kini sang ayah mengajak Jenny menemuinya di studio lukisnya, mengizinkan Jenny datang kapan pun dia mau. Jenny benar-benar gembira mendengar kabar ini. Jadi hari minggu itu, pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan berpakaian rapi, dia akan menemui ayahnya.
Studio lukis milik ayahnya berada dipinggir kota, disebuah rumah kayu dipinggir danau. Sebenarnya studio lukis itu adalah villa keluarga Muller. Saat berpisah dengan istrinya, ayah Jenny mendapatkan villa itu sebagai bagian dari harta gono gininya. Karena tidak ada tempat lagi, maka villa itu yang dijadikan sebagai studionya. Perlu waktu sekitar satu jam untuk sampai ke villa itu, dan begitu sampai Jenny langsung disambut oleh Mbok Ilah yang sudah menjaga villa itu dari dulu dan sekarang sudah menjadi pembantu ayahnya.
" Ya ampun, neng… Apa kabar? Udah lama nggak ketemu, neng makin cantik aja… "
" Makasih, mbok… " Jenny tersenyum. " Ayah mana, mbok? "
" Ada di studio, neng. " Jenny melangkah ke studio, tapi mbok Ilah buru-buru menghentikannya. " Katanya, Tuan nggak boleh diganggu. "
" Kenapa? "
" Tuan lagi ada tamu. " Jawab mbok Ilah dengan sedikit berbisik.
" Tamu? Yang mobilnya ada di depan, ya? " Mbok Ilah mengangguk. Tadi Jenny memang melihat ada sebuah mobil di tempat parkir. " Nggak pa-pa deh, mbok. Kan Jenny mau ngasih kejutan… "
" Tapi, neng… "
Terlambat. Jenny sudah melangkah tanpa bisa di hentikan lagi.
Jenny melenggang melewati ruangan-ruangan kayu yang sudah sangat dirindukannya. Sudah hampir dua tahun dia tidak kesana menemui ayahnya, bukan karena dia tidak merindukan ayahnya, tapi lebih karena dia menghormati kesendirian ayahnya. Ayahnya memang seorang penyendiri, dia lebih suka menghabiskan waktunya dengan melukis sendirian. Karena itu, Jenny hanya mau menemui ayahnya kalau ayahnya itu memanggilnya datang.
Jenny masih berjalan melewati ruangan-ruangan yang penuh dengan wangi lilin dan cat ke pintu di pojok ruangan yang besar. Tanpa mengetuk lebih dulu, Jenny masuk dan langsung berteriak: " Ayah! "
Tapi pemandangan yang menyambut teriakannya membuatnya langsung terdiam. Jenny melihat ayahnya duduk di balik kanvas besar, menggenggam sebuah kuas di tangan kiri (ayahnya kidal) dan palet di tangan kanannya. Seperti biasa, ayahnya mengenakan topi baret kotak-kotak berwarna hijau tua dan celemek lusuh yang sudah dipenuhi noda cat berwarna-warni. Dan sebuah kaca mata bergagang tanduk menutupi mata birunya.
Pemandangan didepan ayahnya-lah yang membuat Jenny tercengang-cengang. Terdapat dua orang wanita disana, berbaring di atas tempat tidur rotan yang diselimuti kain putih dan bantal-bantal berwarna putih juga. Sepertinya kedua wanita itu sedang berpose: satu wanita berambut panjang tidur diatas kasur tanpa busana, badannya yang coklat mulus hanya ditutupi selembar kain putih dari dada sampai pahanya; disampingnya terdapat wanita yang lebih tinggi tidur disamping wanita yang pertama, juga tidak mengenakan apa-apa, juga diselimuti kain putih yang sama. Mereka berdua saling berpelukan dengan sangat mesra. Jenny tidak pernah melihat adegan se-vulgar ini, apa lagi di rumah ayahnya. Lagipula kedua wanita itu adalah orang yang dikenalnya: yang berambut panjang Jenny yakini sebagai Cherry dan wanita yang lain adalah wanita yang sama yang dilihatnya bersama Cherry di depan restoran beberapa hari yang lalu.
Kedua wanita itu dan ayahnya menatap Jenny dengan wajah terkejut yang sama.
" Jenny, kok dateng nggak telepon dulu? " Tanya ayahnya.
" Kata ayah, Jenny boleh datang kapan aja, jadi Jenny pikir… " Jenny tidak bisa menyelesaikan perkataannya, dia sedang sibuk menelaah wajah Cherry dan mencari kebenaran kalau dia tidak salah lihat.
" Ya udah, gua masih ada tamu, kamu tunggu aja di kamar dulu, entar lagi kita selesai. " Kata ayahnya lagi.
Jenny mengangguk. Dia mundur dan menutup pintu pelan-pelan sambil meyakini dirinya kalau wanita yang dilihatnya itu benar-benar adalah Cherry. Bahkan Jenny sempat melihat wajah Cherry yang memucat diatas ranjang tadi.
Kamar ayahnya berada di lantai dua, kamar yang lebih mirip gudang. Bedanya, gudang itu mempunyai sebuah ranjang ukuran dua di pojok ruangan dan ada sebuah lemari yang berisi buku-buku melukis dan sebuah meja kerja, membuat keadaan ruangan menjadi lebih mirip sebuah kamar. Kamar itu di dominasi dengan lukisan-lukisan ayahnya yang menumpuk, jumlahnya mungkin hampir seratus buah. Ayahnya memang bercita-cita untuk mengadakan pameran seratus lukisan master piece-nya sekaligus, karena itulah selama ini lukisannya tidak pernah dia jual satu pun, walaupun sudah ditawar ratusan juta rupiah. Semua lukisannya dia kumpulkan di dalam kamar itu.
Jenny berjalan menyeberangi ruangan ke arah meja kerja ayahnya dan menemukan selembar amplop coklat. Karena penasaran dengan isinya, Jenny mengambil amplop itu dan berjalan ke arah balkon yang menyajikan pemandangan danau yang luas dan membuka amplop itu disana. Jenny kembali terkaget-kaget.
Dia menemukan tiga lembar foto ukuran besar didalam sana. Foto pertama menunjukkan gambar dua orang wanita mengenakan pakaian dalam Victoria's Secret warna hitam. Saling berpelukan erat dan berciuman mesra. Foto kedua memperlihatkan dua orang wanita yang sama berdiri sejajar. Wanita yang jangkung memeluk wanita yang satu lagi dari belakang dan mencium pundak wanita itu dengan mesra. Dan foto ketiga memperlihatkan sesuatu yang lebih vulgar lagi. Dua orang wanita yang sama, berdiri sejajar. Kali ini gambar yang ditunjukkan hanya setengah badan, wanita yang lebih tinggi berada di depan, memejamkan mata dan menelentangkan tangan, sementara wanita yang lain berdiri di belakangnya, memeluk wanita yang tadi sambil menutupi payudara wanita yang jangkung tadi dengan kedua tangannya. Dan keduanya tanpa berbusana.
Jenny menutup mulut dengan salah satu tangannya karena kaget. Lebih kaget lagi karena dia tahu kalau kedua wanita itu adalah wanita yang sama, yang sedang berpose di depan ayahnya tadi, tamu ayahnya.
Pintu diketuk dan mbok Ilah masuk membawa segelas jus jeruk. Jenny memasukkan kembali foto-foto itu kedalam amplop dengan tangan gemetar.
" Neng, katanya neng disuruh tunggu dulu. Ini mbok bawain jus jeruk. "
Jenny hanya mangut-mangut karena belum bisa berkata apa-apa, hanya tangannya yang masih bergetar hebat.
" Neng kenapa? " Tanya mbok Ilah khawatir.
Jenny buru-buru menggeleng. " Nggak pa-pa, mbok. Tolong taruh aja minumannya disitu. " Kata Jenny menunjuk meja kerja ayahnya. Mbok Ilah menuruti perintah Jenny lalu keluar kamar dan meninggalkan Jenny sendirian lagi.
Jenny mencoba mengatur napasnya lagi, melangkah masuk untuk mengambil jus jeruk tadi dan meneguknya. Asam jeruk itu membuatnya sedikit tenang. Ditaruhnya lagi amplop coklat itu di tempat semula dan kembali ke balkon dengan membawa jus jeruk. Dia sedang berusaha mencerna semua yang sudah dilihatnya, menyangkut pautkan dengan semua kenyataan yang ada dan mencoba menentukan sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
Cherry adalah wanita yang cantik, sedang berhubungan dengan Lars lebih dari sebulan ini. Tapi sekarang Jenny menemukan Cherry yang sedang berpose sangat-sangat-sangat 'berani'. Bukan dengan laki-laki lain_ini mungkin masih bisa dimakluminya_tapi Cherry dengan seorang wanita. Ini mencengangkan dan jelas sangat membingungkan. Sebenarnya Cherry sedang melakukan apa? Berpose seperti itu hanya untuk sebuah lukisan? Dan bagaimana dengan foto-foto itu? Begitu banyak pertanyaan dan berbagai penjelasaan yang cukup masuk akal bagi Jenny untuk dikategorikan sebagai 'alasan yang pas'. Mungkin Cherry sedang bekerja sampingan menjadi seorang model yang mau berpose vulgar. Atau Cherry hanya sedang iseng membuat lukisan dirinya bersama sahabat terdekatnya saja, tidak ada alasan aneh lain. Atau diam-diam Cherry bekerja sebagai foto model majalah playboy?
Ayah Jenny masuk ke dalam kamar dan langsung menemui putrinya yang berdiri di balkon sambil memandangi danau yang luas dan dalam itu.
" Sorry ya, gua kelamaan. "
Jenny memeluk dan mencium pipi ayahnya lalu duduk di atas pagar balkon. Ayahnya masih mengenakan baju dan kaca mata yang sama seperti yang dilihat Jenny di studio tadi, hanya saja celemek penuh cat tadi sudah tidak dipakai dan topi baret kotak-kotak itu sudah dilepas, memperlihatkan kepala ayahnya yang mulai botak karena penuaan dan warna rambutnya mulai berubah putih. Ayahnya kelihatan bertambah tua dibandingkan saat Jenny melihatnya terakhir kali, tapi semangatnya tidak pernah berubah.
" Gua tau dari Louise kalo lo udah pindah ke rumah Mommy lo. " Ayahnya memulai percakapan dengan nada cuek yang tidak pernah berubah dari dulu. Cuek tapi bersahabat, malah membuat Jenny rileks, seperti mengobrol dengan sahabatnya saja.
" Cuma tiga bulan, mom sendirian di rumah gede itu, jadi dia minta gua nemenin dia. "
" Lancar? "
Jenny menggeleng cepat. " Kacau! Ayahkan tau mom orangnya kayak gimana? Gua kayak dipenjara, ini salah, itu salah. Ngomong aja salah. "
" Yah… Mommy lo emang kayak gitu. Dia nggak pernah berubah dan terlalu keras kepala. "
Jenny memperhatikan wajah ayahnya saat dia sedang membicarakan soal ibunya. Ada pandangan sendu disana, tapi senyum lepas yang mengiringinya malah terlihat seperti senyum penyesalan. Menyesal karena istrinya_ralat_mantan istrinya, tidak berubah sedikit pun untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
" Wie ghet dein tage? ( Bagaimana harimu?) " Ayahnya memandang Jenny dan mata mereka saling bertemu. Kehangatan yang kali ini terpancar dari matanya.
" Nein gut. (Tidak bagus) Gua baru patah hati. "
" Sama siapa? Cowok yang lo ceritain itu? Siapa namanya? Lars, ya? " Jenny mengangguk, dia memang pernah menceritakan Lars kepada ayahnya. " Kenapa? Kalian cocok kok. " Lanjut ayahnya masih dengan semangat yang sama.
" Dia nggak cinta sama gua, dia cinta sama orang lain. " Jenny mendadak teringat kembali dengan Cherry dan Lars yang sedang bermesraan juga Cherry dan teman wanitanya difoto tadi.
" Nggak usah sedih, masih banyak cowok di dunia ini. Lo berhak ngedapetin cowok yang lebih baik dari pada dia. " Jawab ayahnya sambil menepuk pundak Jenny dengan lembut. Jenny tersenyum, berpikir bahwa 'banyak cowok lain di dunia ini' mungkin salah satunya adalah Kevin. Kevin yang sekarang sudah memiliki rambut model Tintin yang membuat Jenny lebih lega waktu mengingat sosoknya.
" Gua mau ngomongin lukisan ke lo, Jen. " Kata ayahnya lagi, kali ini kelihatan lebih serius. " Lo tau kalo gua punya cita-cita pengen ngadain pameran seratus lukisan sekaligus, kan? " Jenny mengangguk. " Well, semuanya udah di depan mata sekarang. "
" Maksudnya? "
" Tinggal beberapa lukisan lagi, semuanya genap seratus buah. Gua juga udah dapet sponsor dan mereka mau gua buka pameran di Jerman. "
" Jerman? "
" Iya, Jerman. " Ayahnya mengangguk. " Jadi nggak lama lagi, gua bakal pulang ke Jerman. "
" Kapan? "
" Secepetnya. Gua baru dapet order bikin empat lukisan, tiga dari foto. " Jenny langsung ingat lagi dengan foto-foto tadi. Jadi itu akan dijadikan lukisan? " Gua bisa selesain kira-kira satu bulan, bisa lebih. Dan gua mau, lo ikut sama gua ke Jerman. "
Jenny terkejut. Ayahnya mengajaknya tinggal bersama! Di Jerman lagi!
" Ke… Jerman… " Kata Jenny seperti mengigau.
" Nggak usah jawab sekarang, gua tau lo masih bingung. Pikirin aja dulu. " Ayahnya mengelus kepala Jenny dengan lembut dan memandang Jenny dengan pandangan yang seolah mengatakan: 'I want the best for you'. Dan Jenny akhirnya terdiam.
Oke, kembali ke permasalahan awal yang ingin ditanyakan Jenny sedari tadi, yang membingungkan dan membuatnya penasaran.
" Yah… Tadi yang si studio itu siapa? " Tanya Jenny akhirnya.
" Oh… Mereka orang yang mau dilukis dan yang pesen lukisan dari foto itu. " Jenny diam, berpikir. " Posenya memang terlalu vulgar, ya? " Ayahnya melanjutkan dan Jenny tersenyum seadanya. " Gua hanya ngelukis, mereka sendiri yang mau berpose kayak gitu. "

 
...Bersambung...

Cinta me-Revolusi


Aku bukanlah seseorang yang cukup nyaman dengan diriku sendiri. Maksudku, aku suka dengan tubuhku, aku mensyukuri semua yang ada karena bagaimanapun semua itu adalah anugerah dari Yang Kuasa. Tapi selama ini aku tidak pernah berani memandangi tubuhku sendiri di depan kaca. Jangan salah sangka. Aku masih bisa memandangi dandananku sendiri di depan cermin sebelum aku memutuskan untuk pergi keluar. Aku juga masih bisa menilai make up yang aku kenakan di wajahku melalui cermin. Tapi untuk memandangi seluruh citra diriku yang sebenarnya di cermin, aku tidak pernah melakukannya.
Tapi kali ini kebiasaan itu telah aku dobrak. Sekarang aku berada di depan cermin besar di kamarku. Lampu kamarku menerangi seluruh tubuhku dengan cukup baik sehingga aku bisa memperhatikannya dengan cermat. Walaupun aku sangat jarang memperhatikan diriku sendiri di depan cermin, tapi aku tahu bahwa apa yang aku lihat saat ini adalah sesuatu yang lain. Itu bukanlah bayanganku yang biasa, ada sesuatu yang berbeda dari apa yang aku temukan. Itu bukan bayanganku, aku… berubah.
Dulu mataku tidak seperti itu. Walaupun tidak terlalu besar dan bagus, tapi mataku yang berwarna coklat tua selalu terlihat berbinar-binar penuh semangat, seolah tidak pernah ragu untuk melihat ke seluruh dunia yang terbentang luas di hadapanku. Tapi kini, mata itu sayu. Sebuah bayangan yang cukup hitam dan besar menggantung di bawah kelopak mataku, membuat binar semangat itu meredup dan nyaris hilang.
Dulu bibirku tidak seperti itu. Dengan ukuran yang cukup tebal, bibirku selalu bersemburat merah jambu alami tanpa perlu di pulas lipstick warna apa pun. Dan senyum manis dan nakal tidak pernah lepas dari sana. Tapi kini warnanya terlalu pucat dan guratan merah lipstick yang aku kenakan telah memudarkan gurat merah jambu alami itu. Senyum itu juga perlahan menghilang, digantikan dengan kerut cemberut dan senyum kaku yang penuh waspada.
Dulu wajahku tidak seperti itu. Walaupun tidak menggunakan make up sama sekali, tapi pipiku yang mulus dan montok selalu bersemburat merah dan cantik. Tapi sekarang dengan tumpukan bedak tebal, alas bedak dan segala peralatan dempul membuat aku merasa memakai sebuah topeng yang sama setiap hari.
Dulu tubuhku tidak seperti itu. Tubuhku tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu gemuk, tapi dulu kulitku mulus tanpa perlu dipoles dan postur tubuhku tegap dan kuat. Tapi sekarang kulitku mulai dipenuhi keriput dan tulang punggungku mulai melengkung seiring dengan bertambahnya jumlah lilin yang aku tiup disetiap perayaan ulang tahunku.
Memang benar, aku berubah. Dan secara perlahan aku mulai menyadari perubahan paling besar yang aku rasakan.
Dulu, aku kira aku akan bisa menaklukkan dunia. Dulu, aku kira aku akan bisa melakukan semua yang ingin aku lakukan. Dulu, aku kira aku akan bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Dulu, aku kira akulah sang penakluk dunia. Dulu, setiap pagi aku akan bangun dengan semangat dan tekad kuat. Aku akan menaklukkan tantangan hidupku hari itu, besok dan bahkan sampai aku mati. Dulu, rasanya tidak sulit untuk melangkah dengan tegap, membusungkan dada dan berkata kepada dunia bahwa aku bisa melewati semuanya. Tidak perduli sebesar apa tembok yang menghalangiku, tidak perduli sekuat apa badai yang akan menerjang, aku yakin akan bisa melewatinya. Dulu, begitu mudahnya aku melangkahkan kakiku melewati segala macam rintangan dan mara bahaya yang menghadang. Seolah Gatot Kaca telah mewariskan otot kawat dan tulang bajanya kepadaku. Dulu, dengan keyakinan penuh dan tanpa setitik pun keraguan aku akan berkata bahwa aku mampu berdiri di atas kakiku sendiri. Tidak perlu kaki ketiga, tidak butuh seseorang yang mendorongku dari belakang, dan bahkan aku tidak menginginkan seseorang yang melindungiku. Aku yakin, sepasang kaki dan tanganku akan mampu melewati semuanya dengan baik.
Tapi itu dulu. Aku baru sadar kalau ternyata selama ini aku terlalu sombong. Sekarang aku sadar kalau aku tidak akan bisa dan tidak akan sanggup manghadapi semuanya sendirian.
Sesuatu telah melumpuhkan kaki dan tanganku. Sesuatu telah merobohkan tembok kepercayaan diriku. Sesuatu telah berhasil menerobos masuk ke system pertahananku. Aku terpenjara selama beberapa saat, aku diculik dan di bawa pergi ke tempat yang asing, yang sama sekali belum pernah aku datangi sebelumnya. Tentu saja awalnya aku sangat ketakutan. Rasanya aku ingin berlari saat itu juga, menyelamatkan diriku sebelum semuanya terlambat. Seharusnya semua itu bukan sesuatu yang sulit untuk aku lakukan. Bagaimana pun aku cukup bebas untuk melakukan apa pun yang aku inginkan, bahkan untuk melarikan diri, karena tidak ada sesuatu apa pun yang menahan atau membelengguku. Memang, aku mengikuti dan membiarkan semua itu terjadi atas kehendakku sendiri.
Awalnya aku kira akan bisa menahan diri. Aku kira aku tidak akan terjerumus terlalu dalam, dan dapat dengan mudah keluar dan kembali kepada diriku sendiri kapan pun aku inginkan. Aku pikir aku sudah sangat berhati-hati dan berusaha meminimalkan segala resiko yang mungkin akan terjadi. Tapi, sekali lagi, ternyata aku salah. Aku jatuh tergelincir terlalu dalam, dan aku membiarkannya. Akhirnya, aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan diriku sendiri. Aku sudah hanyut terlalu dalam, aku sudah terbawa terlalu jauh. Aku kehilangan arah dan cara untuk bisa keluar, atau bahkan melarikan diri. Aku sudah terikat terlalu kencang.
Sekarang, aku tidak yakin akan bisa hidup tanpanya. Sekarang, aku tahu bahwa aku akan selalu membutuhkannya dalam hidupku. Sekarang, kehadirannya bagaikan semacam candu bagiku, yang memabukkan, yang membuatku ketagihan, yang membuatku sakau.
Aku tahu bahwa aku telah melakukan kesalahan terbesar karena menyerah kepadanya. Seharusnya aku menghindari jeratnya yang memikat itu, kalau tidak aku akan merasakan kesakitan. Dia memang selalu meninggalkan rasa itu pada akhirnya. Tapi… aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku terperangkap.
Entah bagaimana hidupku tanpanya… tanpa… cinta.
Sekarang secara perlahan aku keluar dari bingkai cermin yang sedari tadi telah merefleksikan bayanganku. Aku tidak merasa telah menemukan sesuatu yang membuatku cukup tenang, malah aku merasa semakin nelangsa karena menyadari semua kenyataan itu. Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan, aku hanya memutuskan untuk mematikan lampu kamarku dan menjatuhkan diriku ke tempat tidur, memasuki alam mimpiku seperti biasa.

 
070610 ~ Black Rabbit ~

 

Ny. Lars – Part 22 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 22 -

 
… Episode sebelumnya …
Kevin berusaha mengorek tentang sejauh mana hubungan yang sudah dijalani Lars dan Cherry dengan cara mewawancarai Lars secara langsung. Lars memang tidak menjawab pertanyaan sekaligus kekhawatiran Kevin secara langsung, Tapi Lars berkali-kali meyakinka kavin bahwa hubungannya dengan Cherry baik-baik saja. Lars bahkan mengaku benar-benar jauh cinta dengan Cherry. Tapi bukannya lega, Kevin malah semakin khawatir …

 
Siang itu, Jenny yang sudah merasa jauh lebih baik tapi masih belum mendapat izin_baik dari Lars maupun dari Kevin_untuk bekerja lagi, sedang berada di sebuah restoran dengan Lars dan juga Kevin untuk makan siang. Sebenarnya Lars yang mengundangnya, tapi Kevin bersikeras menemaninya karena takut Jenny pingsan lagi kapan saja. Jenny kesal sekali saat tahu kalau ternyata Lars tidak keberatan kalau dia harus mengajak Kevin juga, Lars malah kelihatan sangat senang.
" Jadi mulai besok, lo masuk kerja lagi, Jen? " Lars bertanya sambil menggulung spagetinya dengan garpu. Jenny menggangguk.
" Lo yakin udah sembuh? " Kini giliran Kevin yang bertanya setelah menelan potongan daging di mulutnya.
" Gua kan udah istirahat hampir dua minggu, masa belum sembuh-sembuh juga? " Lars dan Kevin sama-sama diam. " Lagian, sebenernya gua udah sembuh dari beberapa hari yang lalu, hanya nyokap gua sama lo aja-" Jenny menunjuk Kevin dengan sendok. " –yang terlalu khawatir. "
" Gua nggak mau kena sasaran nyokap lo kalo lo tiba-tiba pingsan di jalan. " Kevin membalas menunjuk Jenny dengan garpunya.
" Gua nggak selemah itu. " Jenny manyun.
" Kalian beruda makin akrab aja, ya? " Omongan Lars yang melenceng dari topik pembicaraan ini ternyata ampuh untuk menyudahi pertengkaran kecil tadi, membuat keduanya terdiam dan melanjutkan acara makan masing-masing. Lars hanya tersenyum.
" Cherry apa kabarnya, Lars? " Tanya Jenny mencairkan suasana setelah terdiam tadi.
" Baik. "
" Kenapa dia nggak ikut makan sama kita sekalian? " Tanya Jenny lagi.
" Dia lagi sibuk banget. Siang ini dia ada rapat dikantornya. "
" Rapat? Jam makan siang gini? Emangnya dia kerja dimana sih? "
" Periklanan. "
" Perkembangannya kayak gimana? " Kevin tiba-tiba ikut bertanya.
" Perkembangan apa? " Tanya Jenny bingung.
" Baik-baik aja. Lo sendiri? " Jawab Lars tanpa memperdulikan pertanyaan Jenny.
" Baik juga. Nggak ada perkembangan apa-apa? "
" Gua udah seminggu nggak ketemuan, jadi belum ada perkembangan apa-apa. " Lars tersenyum sedangkan Kevin hanya mangut-mangut. Dan apa yang dilakukan Jenny? Dia hanya menatap Kevin lalu menatap Lars dan kembali menatap Kevin tanpa mengerti apa-apa. Dan karena kesal tidak dilibatkan dalam percakapan itu, dia berkata kesal:
" Kalian berdua lagi ngomongin apa, sih? Gua nggak ngerti sama sekali, deh. "
" Ini urusan cowok sayang… " Kevin menjawab sambil mencubit pipi kanan Jenny.
" Aw! Urusan cowok apaan sih? "
" Ra-ha-sia. Nggak hanya cewek aja yang bisa ngomongin sesuatu yang hanya mereka sendiri yang ngerti. " Kata Lars penuh misteri.
" Hah? "
Tak ada satu orangpun diantara Kevin ataupun Lars yang mau menjelaskan lebih rinci apa yang mereka bicarakan, membuat Jenny semakin sebal saja saat dia menghabiskan makanannya. Bahkan sampai Lars yang berperan sebagai tuan rumah pergi ke kasir untuk membayar, sedangkan Kevin dan Jenny berjalan ke tempat parkir dimana Lars menyimpan mobil Mercedes-nya, masih saja tidak ada yang bersedia memberikan penjelasan kepada Jenny. Jenny memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
Jenny mengamati sekeliling tempat parkir yang berada di pinggir jalan. Kedua sisi jalan itu ramai dipadati pengunjung mal yang berdiri di samping restoran, tidak perduli dengan panasnya sinar matahari yang tidak segan-segan menyengat kulit siapa saja yang berdiri dibawahnya. Diantara orang-orang yang hilir mudik itu, Jenny menemukan satu sosok yang sepertinya dia kenal, wanita berambut hitam panjang sedang menggandeng seorang wanita lain yang jangkung dengan kemeja dan celana tentara, terlihat sangat tomboi. Mereka kelihatan sangat akrab berjalan beriringan sambil bergandengan tangan seperti sepasang kekasih. Dan wanita berambut panjang itu Jenny yakini sebagai Cherry.
" Kev, itu Cherry, kan? " Jenny memanggil Kevin sambil tetap memandangi wanita yang dikiranya Cherry itu. Wanita itu masih memunggungi Jenny dan berjalan menjauh. Kevin melihat ke arah yang ditunjuk Jenny dan terkejut, tapi buru-buru bersikap tidak ada apa-apa.
" Kata Lars, Cherry rapat di kantornya, kok dia ada disini? " Tanya Jenny tidak yakin dengan siapa.
" Bukan, itu bukan Cherry. " Kata Kevin.
" Bener, itu Cherry! Liat, rambutnya hitam panjang! "
" Emang cuma Cherry yang punya rambut panjang warna hitam? Udah jangan mikir yang macem-macem. " Kevin menggiring Jenny ke mobil Lars yang sudah keluar dari restoran dan melepaskan kunci mobilnya melalui remote control dari pintu restoran. Sebelum masuk ke dalam mobil, Kevin sempat menoleh ke tempat dimana Jenny melihat wanita-yang-dikira-Cherry tadi. Wanita itu berbalik sehingga Kevin bisa melihat wajah wanita itu. Kevin tertegun.
Setelah Kevin, Jenny dan Lars berada di dalam mobil dan meninggalkan restoran, Jenny mengadukan hasil penemuannya tadi kepada Lars.
" Lars, tadi gua ngeliat Cherry loh! "
" Oh iya? " Tanggap Lars datar.
" Iya, tadi dia sama cewek jangkung! "
" Nggak mungkin lah, dia kan lagi rapat dikantornya. " Lagi-lagi Lars menjawab dengan santai.
Sikap Lars itu membuat Jenny terdiam. Jenny melihat kearah Kevin dan Kevin balas memandangnya seolah mengatakan; ' See? I told you! '
" Well, mungkin gua salah liat kali… " Kata Jenny lagi.
Lars langsung mengangguk setuju, Kevin hanya diam dan Jenny sendiri kini sibuk mengingat-ingat apa selama ini dia mengalami gejala-gejala kerusakan mata? Atau demam tinggi yang dideritanya kemarin telah mengganggu syaraf matanya?
Jenny baru saja sampai didepan pintu kamarnya setelah Lars dan Kevin mengantarnya pulang dari makan siang tadi (Kevin menitipkan salam untuk ibu Jenny, sementara Lars diam saja) saat ibunya datang menghampirinya sambil membawa corong telepon tanpa kabel. Wajahnya kelihatan cemberut.
" Ada telepon untukmu. " Kata ibunya menyodorkan telepon itu sambil masih mengerucutkan bibirnya.
" Dari siapa? " Tanya Jenny penasaran.
" Orang Jerman itu. "
' Ayah! ' Jenny menjerit dalam hati dan langsung menyambar telepon itu. Wajah ibunya semakin cemberut.
Jenny menjawab telepon itu dengan cepat, berkata 'Iya' dan 'Oke' berulang-ulang lalu berkata dengan manis: " Yah, ich liebe dich. ". Setelah mendengar jawaban dari ayahnya di ujung sana (" Ich liebe dich auch. "), Jenny menggembalikan telepon ke tangan ibunya yang masih saja cemberut.
" Dia mengatakan apa? " Tanya ibunya ingin tahu. Jenny menghela napas panjang. Dia tahu kalau ibunya akan bertanya seperti itu. " Apa dia takut kamu tinggal denganku? Takut kalau aku mempengaruhimu yang tidak-tidak? "
" Mom-- "
" Atau dia takut aku menyiksamu? Ayahmu selalu saja begitu, dia selalu menjelek-jelekkan aku. "
" Mom, ayah—"
" Memangnya dia sudah baik? Dia menganggap dirinya seorang malaikat, selalu saja benar. Dia—"
" Mom!! " Ibunya langsung terdiam. " Mom tau kan kalo Jenny nggak suka Mom kayak gitu! Ayah cuma mau ketemu Jenny! "
" Iya, tapi dia—"
" Jenny mau istirahat… "
Akhirnya ibu Jenny terdiam melihat anak kesayangannya masuk ke kamar dan membiarkannya berdiri sendirian diluar.

 

 
...Bersambung...

Ny. Lars – Part 21 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 21 -

 
… Episode sebelumnya …
Cherry tidak bisa melupakan Tommy, mantan pacarnya yang saat ini kembali ke Indonesia dengan keadaan stress. Walaupun dia sudah pernah berjanji untuk bisa mencintai orang lain dan berusaha menjadi seperti wanita lain yang mencintai orang yang tepat, tapi Cherry tidak bisa memungkiri harinya sendiri kalau ternyata dia memang mencintai Tommy. Untuk sementara Cherry melupakan Lars …

 
" Gua nggak nyangka kalo lo udah berubah. "
" Gua nggak bakal terus-terusan jadi 'Lars si playboy', kan? "
" Jadi lo serius sama Cherry? "
" No doubt. "
Siang itu Lars dan Kevin sedang menghabiskan waktu makan siangnya di sebuah fast food yang cukup terkenal. Kelihatannya percakapan mereka tidak hanya percakapan biasa, terlihat dari wajah Kevin yang sangat serius, walaupun Lars kelihatan santai-santai saja.
" Kalian udah berapa lama jalan bareng? " Tanya Kevin lagi, menyelidiki.
" Sebulan ini. " Jawab Lars sambil menggigit burgernya.
" Baru sebulan tapi lo udah yakin banget sama dia? "
" Iya. " Kevin kelihatan tidak percaya, sehingga Lars perlu menambahkan. " Jujur aja, gua nggak pernah ketemu sama cewek kayak Cherry, she's so different than any other girl. Mangkanya gua yakin, dia nggak hanya bisa jadi pacar gua, tapi juga bisa jadi pendamping hidup gua. Karena gua ngerasa nyaman sama dia, Kev. Gua jatuh cinta sama dia. "
Kevin berhenti menguyah makanannya. Ini sama seperti yang pernah dirasakannya dulu saat Cherry masih jadi kekasihnya. Cherry yang enak diajak ngobrol, Cherry yang bisa akrab dengan siapa saja, termasuk Cherry yang misterius, yang tidak bisa ditebak dengan mudah, yang cantik dan seksi, yang menggoda dan selalu menjadi pusat perhatian semua orang.
" Itu sama sekali nggak kayak lo, Lars. "
" Maksud lo? " Tanya Lars aneh.
" Lars yang gua kenal adalah Lars yang playboy, yang bisa tidur sama siapa aja yang dia mau, yang bisa dapetin semua cewek yang dia mau, bukan yang bisa terikat sama satu cewek. "
Lars tersenyum, sedikit bangga dengan pujian Kevin tadi. " Kan gua udah bilang, gua nggak bakal jadi playboy seumur hidup. Ada waktunya seorang harus pensiun dari citra lamanya. Lagian, Cherry bener-bener cewek yang baik, dia bahkan nggak bisa gua ajak tidur sembarangan. "
Kevin serasa mendapat jawaban baru. Cherry yang tidak mudah diajak tidur oleh laki-laki manapun. Itu satu poin tambahan sekaligus satu poin yang patut dipertanyakan, bahkan sejak pertama kali Kevin kenal dengan Cherry.
" Sama kayak Jenny, kan? " Lars menambahkan, Kevin bingung.
" Apa? "
" Sama kayak Jenny. Dia juga bukan gadis sembarangan yang bisa dengan mudah diajak intim. She's had …something. Sesuatu yang nggak rela lo rusak hanya dengan ngajak dia tidur sama lo. She's value more than that. "
Kevin mengangguk. Kalau dipikir-pikir, Lars yang mengatakan akan bisa luluh dengan wanita yang berbeda dengan wanita-wanita lain yang dikenalnya bisa masuk akal juga. Kevin juga merasa seperti itu saat ini. Dia jatuh cinta dengan Jenny, yang berbeda dengan wanita kebanyakan, yang mempunyai 'sesuatu'_seperti kata Lars_yang tidak di punyai orang lain, tapi yang membuatnya sangat berharga. Dan barang berharga itu sangat ingin dimiliki Kevin saat ini.
" Semua cewek memang punya sesuatu. " Kata Kevin akhirnya.
" Sesuatu yang ngebuat kita selalu harus nyari strategi yang pas buat meluluhkan mereka. " Jawab Lars menyetujui.
" Tapi dari dulu, strategi lo selalu dateng telat. " Kata Kevin meremehkan, Lars mengernyit minta penjelasan. " Inget Laura? Gadis Australia yang lo ajak nge-date waktu kelas 7? " Lars mengangguk. " Dia ninggalin lo dan balik ngejer gua waktu lo lagi nyusun strategi buat nyium dia. "
" Iya! And finally, you kissed her! Damn you! " Lars menyelesaikan dengan kesal dan meninju lengan Kevin.
" Itu artinya, gua lebih beruntung dari pada lo. Kita harus bergerak cepat supaya nggak keduluan orang, jangan terlalu banyak mikir. "
" Gua bukannya terlalu banyak mikir, tapi itu namanya hati-hati. " Lars membela diri. " Lo lupa, ya? Gua bisa ngedapetin lebih banyak cewek dari pada lo. "
" Lo emang lebih banyak dapet cewek dari pada gua, tapi rata-rata semuanya kandas di tengah jalan dan akhirnya lo dijulukin playboy sama orang-orang. Tapi gua lebih serius dari pada lo. "
" Ya-ya-ya… whatever… " Lars memutar matanya lalu melangkah meninggalkan kursinya saat dia dan Kevin selesai menghabiskan makanan mereka. Sekarang mereka berjalan ke tempat parkir.
" Balik lagi ke masalah cewek baru lo itu, menurut gua lo harus lebih tau tentang dia sebelum lo mutusin buat serius sama dia. Nanti lo bisa kecewa. Kayak pepatah yang bilang: 'Don't jugde a book by it's cover'. Lo harus tau dulu 'dalemnya' sebelum lo mutusin she's the one. Ngerti kan lo? " Kata Kevin lagi sambil berjalan beriringan dengan Lars. Lars sendiri malah tersenyum.
" Lo kayak kakek-kakek aja, ngomong pepatah segala. "
" Gua serius, Lars. "
" Gua tau. Jangan mentang-mentang lo udah pacaran lama sama Jenny, berarti lo udah tau semua hal tentang cinta. I know what I'm doing. "
" I don't meant that… " Lars dan Kevin sudah berada di depan mobil masing-masing yang bersebelahan. Lars sekarang memegang pundak Kevin dan berkata:
" I know. Pokoknya lo nggak usah mikirin tentang gua dan Cherry. We'll be fine. " Sekarang dia melangkah ke pintu mobilnya dan membukanya. " Just be good with Jenny. Dia asisten kesayangan gua, gua nggak mau dia 'cacat' gara-gara lo. Oke? " Lars masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin lalu memundurkan mobilnya keluar area parkir. Kevin masih di tempat, tidak bergerak sampai Lars yang berada di dalam mobil menghampirinya dan berkata: " Gua duluan, ya. " Dan pergi. Apa maksud Lars dengan kata 'cacat' tadi? Tanya Kevin dalam hati.
Xena the warrior princess adalah salah satu pendekar wanita kesukaan Jenny, karena Jenny menganggap Xena begitu begitu keren dengan pakaian dan tubuh seksinya sekaligus dapat memberantas kejahatan dan bersikap ksatria. Xena adalah salah satu simbol Kartini imajiner masa kini yang patut di contoh dengan meruntuhkan diskriminasi kaum perempuan yang tidak mungkin bisa menjadi pendekar. Sikapnya tegar dan mau membela kaum yang tertindas. Dia memegang prinsip dengan sangat teguh kalau dia tahu prinsip yang dipegangnya adalah benar.
Jenny belajar banyak dari tokoh favoritnya itu, terutama mengenai memegang prinsip yang benar itu dengan teguh. Seperti sekarang misalnya saat dia sudah merasa jauh lebih baik setelah demamnya turun, dia memegang prinsip tidak akan minum minuman beralkohol lagi, kecuali kepepet. Karena_sesuai dengan pengalamannya sendiri_minuman beralkohol bisa sangat memabukkan dan membahayakan kesehatan. Jadi sekarang minuman itu sudah dihapusnya dari daftar minuman favorit Jenny.
Tapi sebenarnya demam yang menyerangnya kemarin tidak hanya membawa dampak buruk, kerena dengan sakitnya itu Jenny jadi bisa beristirahat. Bahkan dia juga bisa mengistirahatkan pikirannya sehingga hatinya bisa sedikit tenang. Dia sudah bisa menerima kenyataan kalau Lars memang pacaran dengan Cherry. Kesempatannya untuk menjadi pendamping Lars semakin tersingkir jauh, tapi Jenny tidak begitu bersedih karena ternyata keberadaan Kevin yang selama dia sakit selalu mendampinginya dan mengisi hari-harinya dengan hal-hal lucu yang dapat membuatnya lupa dengan hal lain yang sebelum ini pasti akan membuatnya stress. Iya, Kevin berhasil merubah citranya di depan Jenny. Dari 'pacar sementara' menjadi 'laki-laki yang patut diperhitungkan' dan sekarang menjadi 'laki-laki yang bisa membuat Jenny tertawa'. Kevin sadar benar dengan perubahan statusnya itu, dan mau tidak mau dia jadi tambah bersemangat mengejar Jenny. Sekarang dia sudah maju lagi beberapa langkah, garis finish sudah ada di depan mata.

 
...Bersambung...