POMPEII

Baru-baru ini Indonesia sedang dilanda bencana alam yang bertubi-tubi. Bukan hanya banjir yang melanda ibu kota dan beberapa kota lain di tanah air, tanah longsor, gempa bumi dan bahkan gunung meletus pun ‘menyerang’ Indonesia yang memang berada di daerah yang tergolong rawan bencana. Yang paling segar di ingatan adalah meletusnya gunung berapi di dua pulau besar di nusantara kita. Setelah gunung Sinabung yang terletak di Sumatra Utara meletus pada September 2013 kemarin, sebagian besar para penduduk di sekitar Jawa Tengah hingga Jawa Barat mengalami dampak meletusnya gunung Kelud yang juga memakan korban.

Dan seolah ‘memperingati’ bencana alam tersebut, sutradara, script writer dan producer Paul W.S. Anderson yang merupakan suami dari seorang Milla Jovovich yang sudah sangat terkenal di dunia perfilman Hollywood dan sebelumnya telah berhasil menyutradarai beberapa film Resident Evil bersama sang istri dan juga beberapa film lain seperti The Three Musketears, Death Race dan bahkan Alien vs. Predator, kini menghadirkan sebuah film mengenai bencana meletusnya gunung Vesuvius dalam film yang berjudul Pompeii.

Sesuai dengan judulnya, film ini mengambil setting di sebuah kota bernama Pompeii di dekat kota Napoli, yang sekarang berada di wilayah Campania, Italia pada tahun 79 M. Tepatnya pada tanggal 24 Agustus 79, gunung Vesivius yang masih mendapatkan julukan gunung berapi paling berbahaya di dunia hingga saat ini meletus dan mengubur kota Pompeii dan beberapa kota di sekitarnya hingga rata dengan tanah. Diperkirakan 10.000 hingga 25.000 orang tersapu aliran lahar panas, hujan abu vulkanik dan berbagai material gunung berapi lainnya yang diperkirakan bersuhu 250 °C dan terkubur hidup-hidup di sana. Hingga kurang lebih 1.600 tahun kemudian reruntuhan kota tersebut ditemukan secara tidak sengaja. Jejak-jejak bencana alam dahsyat itu masih dapat ditemukan dengan sangat jelas di reruntuhan kota Pompeii, termasuk para korban yang tertutup abu dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Pemandangan itu begitu menakjubkan sehingga pada tahun 1997 kota Pompeii diresmikan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO.

Dalam film layar lebar kali ini, Pompeii menceritakan kisah mengenai seorang budak bernama Milo (Kit Harington) yang merupakan satu-satunya korban selamat dari bangsa Celtic di Britannia yang mengalami pembantaian oleh pasukan Roma. Sebagai budak, Milo berhasil bertahan hidup dengan menjadi seorang gladiator yang cukup disegani di kalangan budak lain dengan julukan ‘The Celt’. Dalam perjalanannya ke kota Pompeii bersama para budak lain, Milo tanpa sengaja bertemu dengan seorang Putri dari salah satu pasangan petinggi di kota Pompeii, yaitu Severus (Jared Harris) dan Aurelia (Carrie-Anne Moss) bernama Cassia (Emily Browning). Sang Putri yang selalu ditemani oleh pelayan pribadinya: Ariadne (Jessica Lucas) baru saja kembali dari perjalanannya ke Roma selama satu tahun dan pulang untuk menghindari Senator Corvus (Kiefer Sutherland) yang ingin memperistrinya. Tapi begitu sampai di kampung halamannya, Cassia malah mendapati bahwa sang Senator yang selalu ditemani oleh pengawal pribadinya: Proculus (Sasha Roiz), sedang menjalani perjanjian bisnis dengan sang ayah. Dengan sangat licik, Senator berhasil ‘membujuk’ Severus untuk menikahkan Cassia dengan dirinya agar kota Pompeii tidak dimusuhi oleh Roma.

Nasib baik menaungi Milo saat secara tidak sengaja dia bertemu lagi dengan Putri Cassia dan menolong sang Putri menenangkan kuda kesayangannya. Di sanalah benih-benih cinta di antara keduanya muncul walaupun diakhiri dengan ditangkapnya Milo karena berusaha ‘menculik’ sang Putri. Sementara itu, Milo bertemu dan berteman dengan Atticus (Adewale Akinnuoye-Agbaje), seorang budak juara gladiator yang dijanjikan akan mendapatkan kebebasannya setelah melakukan pertarungan satu-lawan-satu terakhirnya dengan Milo. Tapi tentu saja kebebasan yang didambakannya tidak akan pernah terwujud. Atticus malah diharuskan berkelahi melawan para gladiator lain di sebuah pertunjukan drama-gladiator yang telah diatur oleh Senator Corvus agar Milo yang juga menjadi salah satu dari gladiator di acara tersebut dijadwalkan untuk mati.

Dan tepat saat itu, gunung Vesivius memutuskan untuk memuntahkan isi perutnya dan meluluh lantahkan semua kota yang dilalui aliran lahar dan hujan debu vulkaniknya.

Film yang satu ini merupakan disaster-adventure film yang sangat menarik untuk ditonton. Dengan durasi 105 menit yang tidak terlalu lama, film yang sangat kental dengan setting dan budaya Romawi di dalamnya begitu memikat. Alurnya cepat, dengan karakter tokoh yang tidak terlalu kuat tapi beberapa tokoh utamanya cukup berhasil menarik simpati para penonton. Setting, costume dan make-up nya luar biasa, membuat kita seolah benar-benar berada di sana dan berjalan di jalanan kota Pompeii yang telah musnah lebih dari 1.600 tahun yang lalu. Kesan ini pun terasa semakin kental dengan sinematografinya yang indah dan sudut kamera yang sengaja mengambil angle wide shot cukup sering agar setting kota yang menakjubkan dapat dinikmati dengan maksimal.

Tema utama film ini sendiri adalah bencana meletusnya gubung Vesivius yang memusnahkan sebuah kota Pompeii dan seluruh kebudayaannya. Karena itulah, bumbu romance, politik dan hal lain yang ditampilkan dalam film ini memang sengaja tidak terlalu ditonjolkan. Untuk beberapa orang, formula ini mungkin akan membuat mereka kecewa karena tidak ada satu kisah specific yang bisa digali hingga cukup dalam. Tapi bagi saya pribadi eksekusi ini merupakan sebuah keputusan yang tepat. Paling tidak, saya tidak akan menemukan sebuah kisah romance picisan yang terlalu dibuat-buat di dalamnya. Ending film pun berhasil memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Ini mungkin tidak akan berhasil saya dapatkan jika film ini ‘terpaksa’ selesai dengan happy ending, sesuatu yang memang nyaris tidak mungkin terjadi di kehidupan nyata pada saat itu.


Saya memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk film ini. Semoga saja film ini tidak memunculkan sekuel atau pun prekuel-nya sehingga kesan ending yang mendalam itu tidak ‘teracuni’ dan masih melekat dengan indah di benak saya. =)

ROBOCOP

Me-remake film-film lama yang sempat hits di tahun 80-90-an sudah bukan lagi menjadi hal tabu di kalangan perfilman Hollywood. Dengan perkembangan zaman yang sangat modern, remake film-film lawas tersebut dapat menghasilkan kualitas film yang jauh lebih bagus dengan special efek yang memanjakan mata dan juga menyajikan kualitas cerita yang lebih realistis dan lebih kompleks. Formula inilah yang dipakai oleh film Robocop. Film yang disutradarai oleh Jóse Padilha ini me-remake tokoh ciptaan Edward Neumeier dan Michael Miner yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1987.

Dalam versi modernnya kali ini diceritakan kembali kisah mengenai seorang detektif muda bernama Alex Murphy (Joel Kinnaman) yang sedang melakukan penyelidikan mengenai kasus narkoba bersama sang partner: Jack Lewis (Michael K. Williams). Sang gembong narkoba yang mendapat bantuan dari polisi korup di kota Detroit, merasa terancam dengan kehadiran Alex Murphy sehingga memasang sebuah bom mobil yang meledak bersama sang detektif di depan rumahnya sendiri dan disaksikan oleh istrinya: Clara Murphy (Abbie Cornish) dan anaknya: David Murphy (John Paul Ruttan). Akibat ledakan itu, Alex Murphy mengalami luka yang sangat parah dan terancam lumpuh.

Sang istri merasa mendapat kesempatan kedua bagi suaminya saat sebuah perusahaan bernama Omni Fondation yang dimiliki oleh Raymond Sellars (Michael Keaton) melalui chief scientist-nya: Dr. Denett Norton (Gary Oldman), menawarkan agar Alex Murphy dapat diikut sertakan dalam sebuah project ambisius yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah robot yang memiliki emosi. Untuk itu, robot tersebut ditransplantasikan kepada seorang manusia yang cacat di mana sang manusia dapat mengontrol robot tersebut. Karena tidak ada lagi cara lain untuk menyelamatkan sang suami, Clara Murphy pun menyetujuinya hanya untuk mendapati sang suami yang berubah menjadi seseorang yang sama sekali tidak dia kenal. Belum lagi ternyata sang CEO memiliki tujuan lain dalam eksperimen tersebut. Dengan dukungan kepala marketingnya: Tom Pope (Jay Baruchel) dan Liz Kline (Jennifer Ehle), Raymond Sellars mengesampingkan sisi kemanusiaan sang robot manusia itu sendiri untuk mencuri ‘simpati’ masyarakat. Tapi tanpa mereka duga, Alex Murphy dapat mengendalikan dirinya sendiri dan akhirnya melakukan apa yang sangat ingin dilakukannya selama ini: membalas dendam kepada gembong narkoba yang telah membuatnya menjadi cyborg seperti sekarang.

Hal yang paling menyenangkan menonton sebuah film remake saat ini adalah bahwa film tersebut telah mengalami modernisasi, mulai dari efek animasinya maupun pengembangan cerita menjadi lebih realistis. Dengan cerita yang lebih realistis, paling tidak para penonton akan lebih mengerti bagaimana asal-usul Robocop dan bagaimana cara sang manusia mengontrol sisi robot di dalam dirinya (ataukah sebuah robot di dalam diri seorang manusia?).

Dengan alur yang tidak bertele-tele dan adegan aksi yang memukau, film ini sangat mudah mendapatkan simpati para penontonnya. Belum lagi ada begitu banyak nilai positif yang ‘diselipkan’ di dalam film ini: mengenai kemanusiaan, mengenai ketamakan, mengenai perngorbanan, mengenai ambisi yang menggebu-gebu dan masih banyak lagi. Adegan action dalam film ini tidak memenuhi seluruh bagian cerita. Hal ini diberlakukan agar latar belakang tokoh utamanya dapat tereksplore dengan lebih mendalam. Dan untuk menebus semua itu, setiap adegan aksi dibuat dengan sangat maksimal, mulai dari penggunaan efek animasi hingga adrenalin yang ‘digenjot’ dengan kuat.

Memang, untuk penggemar berat Robocop sejak dulu mungkin akan mengalami sedikit kekecewaan mengetahui adanya perubahan yang cukup signifikan. Misalnya pangkat Alex Murphy yang awalnya adalah seorang polisi biasa di sini diubah menjadi detektif, atau yang lebih extreme adalah sang partner: Anne Lewis yang awalnya adalah seorang wanita diubah menjadi seorang pria kulit hitam bernama Jack. Begitu juga dengan kendaraan yang digunakan Robocop yang awalnya adalah sebuah mobil polisi biasa, kini ‘dimodernisasikan’ dengan menggunakan sebuah motor besar berwarna hitam yang super duper keren.


Tapi toh, dibalik kontroversi perubahan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa Robocop menjadi perwujudan sebuah science fiction action film yang keren dan menarik untuk ditonton. Well, saya sih sama sekali tidak keberatan memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk film ini dan menyaksikan kembali sang cyborg yang akhirnya bisa bergerak lebih lincah, memiliki motor dan armor canggih dan dapat berlari mengejar para penjahat ini.



UNTUK APA MEMBUAT FILM?

“Apa sih alasan seseorang menonton film?”

Mungkin ini adalah pertanyaan yang sangat umum ditanyakan dan begitu basi untuk dibahas. Tapi, pernahkah kalian bertanya untuk apa sebuah film dibuat? Bagaimana jika sebuah film dibuat dengan tujuan dan maksud tertentu?

Selain untuk meraih sejumlah keuntungan, hampir setiap film dibuat untuk tujuan hiburan. Dengan meningkatnya aktifitas dan kesibukan hidup seseorang, terutama dikalangan penduduk kota besar, berdampak dengan tingkat stress yang semakin tinggi dari hari ke hari, kebutuhan hiburan pun semakin meningkat. Salah satu sarana hiburan yang paling digemari di seluruh dunia adalah film. Dengan menawarkan berbagai macam petualangan yang dapat dibagi secara personal kepada setiap penonton, menonton film bisa disebut sebagai sebuah media hiburan yang paling efektif untuk menghilangkan penat yang dirasakan akibat kegiatan sehari-hari yang padat dan monoton.

Selain itu setiap genre film memiliki misi mereka sendiri yang disampaikan kepada penonton tanpa penonton itu sendiri menyadarinya. Misalnya saja film horror, selain memberikan sensasi kaget yang selalu ditunggu-tunggu, film horror mengajarkan kita untuk dapat melawan rasa takut itu. Film kartun pun memiliki visi lain yang dapat kita pelajari. Selain membuat imajinasi kita berkembang dengan baik, beberapa film kartun, yang umumnya diperuntukkan bagi anak-anak, mengandung nilai-nilai kebaikan yang dapat dipelajari dan semoga saja dapat dicontoh dengan baik oleh penontonnya. Dan bahkan film komedi pun dapat mengajarkan penontonnya untuk dapat melihat sisi ‘lucu’ dari segala masalah yang kita hadapi dan mencari solusinya dengan suasana hati yang lebih ringan setelah tertawa.

Itu saja? Tunggu dulu, masih ada lagi. Media film dapat membantu para penontonnya untuk dapat meningkatkan rasa nasionalisme mereka, menghilangkan stigma negative masyarakat terhadap kalangan ataupun sesuatu dan bahkan dapat mengubah pencitraan penonton.

Tidak percaya? Masih ingat dengan film yang diperankan Shah Rukh Khan yang berjudul ‘My Name Is Khan’? Film ini dibuat pada tahun 2010, Sembilan tahun setelah tragedy pemboman menara kembar di Amerika pada 9 September 2001. ‘My Name Is Khan’ bercerita mengenai keluarga muslim di Amerika yang mengalami perlakuan buruk setelah peristiwa pemboman teroris terbesar di Amerika tersebut. Melalui film ini, para penonton diingatkan bahwa betapapun kejamnya tindakan terorisme tersebut, tidak semua muslim di dunia patut disalahkan.

Bahkan konon katanya film kartun Popeye The Sailorman yang pertama kali muncul sebagai comic strips di Koran King Features pada 17 Januari 1929 mampu meningkatkan minat anak-anak pada masa itu untuk mengkonsumsi bayam sehingga tingkat penjualan sayuran tersebut meningkat 30% lebih pada tahun 1933.

Dan bukan hanya itu. Bukan rahasia lagi bahwa Amerika yang merupakan Negara produsen film terbesar di dunia sudah begitu banyak membuat film-film terutama genre action di mana endingnya selalu dimenangkan oleh Negara tersebut, tidak peduli Negara mana yang menjadi lawan atapun sekutu mereka, tidak peduli makhluk dari planet manapun yang menyerbu dan bahkan tidak peduli bencana alam apa pun yang menerjang, Negara tersebut akan mampu bertahan. Well, kalau dipikir-pikir tindakan ini sungguh tidak adil, ya kan? Tapi bukankah mereka membuat film mereka sendiri? Jadi mereka tentunya bebas membuat film dengan tema yang mereka sukai, bukan?

Lagipula, tidak bisa dipungkiri, cara ini cukup efektif, loh! Melalui berbagai film action yang mereka ciptakan, film ini ternyata mampu meningkatkan nasionalisme penduduknya menjadi cukup tinggi. Ini dapat dibuktikan dari jumlah masyarakatnya yang rela mendaftarkan diri mereka menjadi tentara dengan suka rela untuk membela negera mereka tanpa perlu menerapkan system wajib militer. Selain itu, pemerintah Amerika sendiri begitu mendukung produksi perfilman Negara mereka karena mereka menyadari bahwa media ini adalah cara yang sangat ampuh untuk ‘menyentuh’ kalangan muda mereka dan ‘menanamkan’ pendidikan moral yang mereka inginkan.

Kenyataan ini seharusnya dapat menyadarkan kita bahwa media ini merupakan sarana yang cukup ampuh untuk merangkul kawula muda kita. Karena tanpa kita sadari, film membawa dampak yang cukup besar bagi masyarakat modern, sama seperti iklan televisi, social media dan media cetak. Terlepas dari berbagai dampak negative yang pastinya akan selalu ada di setiap hal yang dilakukan setiap orang, bukankah media film ini cukup berhasil memberi dampak yang baik bagi penontonnya?


Dan mau tidak mau kita juga harus mengakui bahwa perkembangan masyarakat pun dapat dilihat dari perkembangan media-media tersebut. Jadi bisakah kalian bayangkan bagaimana perkembangan masyarakat kita bila film-film dalam negeri yang dapat kita konsumsi kebanyakan adalah film-film horror bertema tahayul yang penuh dengan unsure seksual atau film-film drama komedi ecek-ecek yang hanya menjual paha dan dada? Saya rasa sudah saatnya penonton Indonesia dapat lebih kritis memilih tontonan yang akan mereka tonton. Dan hendaknya para sineas di perfilman Indonesia juga dapat bangkit dan menciptakan film-film berkualitas yang dapat ‘dipelajari’ para penontonnya, bukan hanya mempertimbangkan sisi keuntungan pihak sineas semata. Jika memang target pasar mereka adalah para anak-anak bangsa, maka hendaknya para sineas dapat lebih menanamkan visi dan misi yang lebih positif di setiap karya mereka tersebut. Bukankah masa depan Negara kita ada di tangan anak-anak bangsa kita sendiri?

LEGO THE MOVIE

Siapa yang tidak mengenal lego? Sebagai sebuah merk mainan anak-anak, saat ini lego sudah sangat dikenal bukan hanya oleh anak-anak di seluruh dunia tapi juga oleh seluruh kalangan, tua dan muda, laki-laki maupun perempuan. Mainan plastic yang umumnya berbentuk kotak seperti batu bata ini adalah construction toys yang awalnya diciptakan oleh seorang tukang kayu bernama Ole Kirk Christiansen pada tahun 1932 di Denmark. Benar, sesuai dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu, awalnya Ole membuat lego dari kayu. Baru pada tahun 1934, Ole mendirikan sebuah perusahaan bernama lego (berasal dari bahasa Denmark: leg godt yang berarti ‘play well’) dan membuat lego dari plastic pada tahun 1947.

Bertahun-tahun kemudian dan setelah dikelola oleh keturunan Ole secara bergenerasi-bergenerasi, lego pun akhirnya dikenal sebagai permainan anak-anak modern paling terkenal yang telah diadaptasi menjadi berbagai macam buku, permainan, film, games dan bahkan theme park. Hingga 2013 terdapat enam taman bermain yang menggunakan tema lego di seluruh dunia dan rencananya pada 2014 nanti akan dibangun lego theme park ketujuh di New Jersey, Amerika. Dan tahukah kalian bahwa menurut data, perusahaan lego telah memproduksi lebih dari 560 miliar lego parts pada tahun 2013 saja. Oh wow.

Kini, untuk pertama kalinya, lego diadaptasi ke dalam sebuah film bioskop. Duo sutradara Phil Lord dan Chris Miller yang sebelumnya sukses membesut film animasi Cloudy With The Chance Of Meatballs 1 dan 2 dan juga 21 dan 22 Jump Street ini juga menangani story film dan berhasil menggaet berbagai actor dan actress besar untuk mengisi suara para tokohnya.

Film yang hanya berdurasi 100 menit ini menceritakan kisah seorang construction worker biasa bernama Emmet Brickowski (voiced by Chris Pratt) yang tinggal dengan sangat teratur di sebuah kota kecil bersama teman-temannya. Mereka menjalani aktifitas sehari-hari secara rutin sesuai dengan instruction book yang telah disediakan sejak bangun tidur hingga mereka kembali tidur di malam harinya. Semua itu mereka lakukan dengan senang hati di bawah pengawasan Lord Bussiness (voiced by Will Ferrell) yang juga merupakan president di Octan Corporation tempat Emmet bekerja.

Suatu saat, tanpa sengaja Emmet terjatuh ke sebuah lorong bawah tanah dan menemukan ‘Piece Of Resistance’ yang akhirnya menempel di punggungnya. Penemuan tanpa sengaja ini membuat Emmet ditangkap oleh Bad/Good Cop (voiced by Liam Neeson) yang menginterogasinya dengan kejam. Untunglah saat itu Emmet diselamatkan oleh Wyldstyle (voiced by Elizabeth Banks), salah seorang ‘master builders’ yang sebelumnya sudah pernah Emmet lihat dan membuatnya jatuh hati.

Wyldstyle membantu Emmet melarikan diri dan mengatakan bahwa Emmet adalah ‘sang special’ yang sebelumnya telah diramalkan oleh seorang penyihir bernama Vitruvius (voiced by Morgan Freeman). Menurut Vitruvius, ‘sang special’ akan mampu menghentikan seorang penjahat untuk menggunakan sebuah super weapon bernama ‘kragle’ yang dapat menghancurkan dunia. Emmet yang merasa bukan siapa-siapa sama sekali tidak percaya bahwa dia adalah ‘sang special’ yang diramalkan, untuk itu Wyldstyle membawanya untuk menemui sang penyihir. Sayangnya, Bad/Good Cop yang diperintah di bawah ancaman oleh Lord Bussiness masih mengejar mereka tanpa kenal lelah. Dengan bantuan kekasih Wyldsytle: Batman (voiced by Will Arnett) dan para master builders lainnya, mereka berusaha membangkitkan kemampuan ‘sang special’ dalam diri Emmet sekaligus mencoba menyelamatkan dunia dari serangan Lord Bussiness dan kragle-nya.

Film animasi yang satu ini benar-benar unik. Sejak awal film, alur yang disajikan sangat cepat dengan joke-joke yang sangat menghibur. Setiap karakter begitu lucu dan sangat ekspresif walaupun hanya menggunakan karakter-karakter yang sudah dimiliki lego tersebut tanpa harus menambah atau membuat karakter baru. Tingkah laku para karakternya yang nyeleneh dan lucu begitu menyegarkan dan mengocok perut dari awal hingga akhir cerita. Animasi yang ditampilkan juga begitu memanjakan mata. Saya sangat terkesan dengan kelihaian para animator yang dapat mentransformasikan semua bentuk yang ada menjadi rangkaian balok-balok khas lego sehingga setiap adegan yang berjalan kelihatan seperti aslinya.

Film ini sangat menghibur dan cocok untuk ditonton semua umur. Belum lagi film ini sangat mudah mengajak penontonnya untuk bersenang-senang dan berimajinasi seliar dan sebebas mungkin. Karena itu saya memberikan empat dari lima bintang untuk film animasi kerjasama antara America-Australia ini.

Oh iya, sebagai informasi tambahan guna memberi pemahaman lebih bagi kalian, film ini diceritakan melalui sudut pandang seorang anak kecil bernama Finn yang sedang bermain di sebuah lego set milik sang ayah di basement rumahnya. Selain itu, ‘master builders’ yang diceritakan dalam film ini dapat mewakili para pemain lego yang dapat menciptakan apa pun dari balok-balok lego tersebut, menghancurkannya lagi dan membuat berbagai bentuk lain tanpa batasan imajinasi. Sedangkan ‘Lord Bussiness’ dan ‘The Man Upstairs’ bisa mewakili pemain lego yang mengumpulkan begitu banyak jenis lego hanya untuk membentuk sesuatu dan menyimpannya dalam bentuk itu saja selamanya. Sementara ‘sang special’ bisa diartikan sebagai pemain yang bebas bermain lego dalam bentuk apa pun yang mereka mau, tanpa batasan tertentu, karena itulah tujuan utama lego dibuat, bukan? Untuk bermain. So, just have fun. =)

COMIC 8

Ini adalah film Indonesia kedua yang (mau) saya tonton dalam beberapa tahun belakangan ini setelah The Raid. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekan film buatan dalam negeri sendiri, tapi jika saya diminta untuk memilih antara film horror ecek-ecek dan film anak muda galau, tanpa saya inginkan, memilih film buatan negeri sendiri menjadi sebuah perbuatan yang tabu. Untunglah beberapa waktu belakangan ini kualitas film buatan anak negeri semakin membaik dari waktu ke waktu.

Salah satu film buatan anak negeri yang keluar di awal tahun 2014 ini berjudul Comic 8 yang disutradarai oleh Anggy Umbara yang sebelumnya telah menyutradarai Mama Cake di tahun 2012 dan Coboy Junior The Movie pada 2013. Comic 8 merupakan sebuah action comedy movie yang menceritakan mengenai perampokan sebuah bank di Jakarta oleh delapan orang perampok pada waktu yang bersamaan. Kedelapan orang perampok yang dengan nekadnya berani merampok bank pada siang hari bolong itu terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Babe Chabita, Fico Fachriza dan Bintang Timur, yang merampok bank karena ingin menjadi orang kaya. Kelompok kedua terdiri dari Ernest Prakasa, Kemal Palevi dan Arie Kriting yang merampok bank hanya karena iseng. Sedangkan kelompok ketiga terdiri dari dua orang saja, yaitu Mongol dan Mudy Taylor yang ingin membantu anak-anak yatim piatu dengan cara merampok para perampok bank. Mereka bertemu di tempat dan waktu yang sama secara tidak sengaja sehingga memutuskan (dengan bantuan Om Indro Warkop) untuk bekerja sama. Walaupun sering kali berselisih pendapat dan saling menodongkan senjata, akhirnya mereka mampu bekerja sama untuk menguras seluruh uang dan isi brangkas bank tersebut sekaligus meminta berbagai permintaan aneh kepada kepala polisi cantik yang memimpin operasi penangkapan mereka: Nirina Zubir yang dibantu oleh asistennya yang sok bule: Boy William.

Sebelumnya, saya harus selalu mengingatkan diri untuk tidak membandingkan film buatan anak negeri kita ini dengan film buatan Hollywood. Bagaimanapun, standartnya sangat jauh berbeda dan saya harus bisa menilai secara adil dan objectif.

Sebenarnya tema cerita film ini cukup sederhana, tapi belum banyak dipilih oleh sineas dalam negeri kita, jadi bisa disebut unik. Bumbu komedi khas stand-up yang ditampilkan pun cukup segar dan menghibur. Adegan aksi yang penuh ledakan dan aksi tembak menembaknya pun sangat menarik, dengan special efek yang cukup mulus dan sinematografi yang enak dipandang, walaupun tone warnanya didominasi warna kekuningan dan gelap. Acting para aktornya juga tidak kaku. Mungkin ini karena karakter tokohnya disesuaikan dengan karakter para comic itu sendiri sehingga mereka seolah tidak perlu bersusah payah beracting. Bahkan nama para pemerannya pun (terutama kedelapan tokoh utamanya) menggunakan nama asli mereka yang sudah dikenal banyak orang dan begitu melekat dengan karakter mereka.

Memang, film ini sengaja disajikan dalam beberapa bagian, di mana setiap bagian menceritakan asal usul mereka dan berbagai permasalahan yang harus mereka hadapi sehingga alurnya terkesan meloncat-loncat dan dapat membingungkan. Belum lagi ada cukup banyak adegan penuh kemustahilan dan beberapa adegan yang didramatisir sehingga terkesan terlalu memaksa. Tapi semua itu dapat ‘dimaafkan’ dengan joke segar dan tingkah konyol para tokohnya. Belum lagi ada begitu banyak artis-artis yang cukup terkenal ikut andil di film ini, seperti Pandji Pragiwaksono, Nikita Mirzani, Candil, Jeremy Teti, Kiki Fatmala hingga Coboy Junior dan masih banyak artis-artis lainnya. Ditambah dengan ending film yang begitu diluar dugaan dan pamor stand-up comedy yang sedang sangat naik daun di kalangan anak muda, tidak heran jika film ini berhasil menarik tiga ratus ribu penonton lebih pada hari ketiga penayangannya.

Film ini cukup menarik untuk saya, karena itu saya akan memberikan tiga setengah dari lima bintang untuk Comic 8. Semoga saja di masa yang akan datang perfilman di Indonesia akan semakin berkualitas dan semakin beragam sehingga penonton tidak lagi harus memandang film dalam negeri mereka dengan sebelah mata.