ZERO DARK THIRTY VS CODE NAME GERONIMO


Kemarin saya menonton Film Zero Dark Thirty (ZDT) di bioskop dan mau tak mau saya langsung membandingkan Film ini dengan Film lain berjudul Code Name Geronimo (CNG). Bagaimana tidak? Kedua Film tersebut memiliki premis cerita yang sama, yaitu tentang pencarian dan penangkapan Osama Bin Laden, pemimpin teroris Al-Qaeda. Osama sempat menjadi buronan internasional di beberapa Negara karena bertanggung jawab terhadap tindakan terorisme dan bom bunuh diri yang menewaskan begitu banyak jiwa.
Tapi untuk mengulas kedua Film ini, sebelumnya saya harus berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan segala macam pandangan saya mengenai politik, militer, agama dan kemanusiaan yang sangat lekat pada kedua Film ini. Karena bagaimana pun dunia-dunia tersebut sama sekali tidak (dan tidak ingin) saya pahami dan di luar pengamatan saya. Kalau pun saya terbawa suasana dan menyinggung juga dunia-dunia itu, maka itu hanyalah sebuah opini awam seorang anak manusia yang berusaha menilai segala sesuatunya dengan lebih logis. Jadi sebelumnya saya minta maaf dulu, yah. Saya hanya akan menilai kedua Film ini berdasarkan dunia kepenulisan dan Film yang lebih saya kuasai walaupun tidak bisa dibilang cukup mahir. (^_^)
Kedua Film ini memiliki plot yang hampir sama. Kedua kisah diawali dengan adegan penyiksaan salah satu anggota teroris yang tertangkap untuk mengorak info. Tapi pada ZDT, kisah berlanjut kepada sang tokoh utama, Maya (Jessica Chastain), seorang anggota muda CIA yang mendapatkan tugas untuk memburu Osama Bin Laden. Itu adalah tugas pertama yang diembankan kepadanya dan karena tidak pernah mendapatkan tugas lain sebelumnya maka memburu Osama selama bertahun-tahun secara tidak langsung telah membuat Maya terobsesi. Maya dipindahtugaskan ke Pakistan dan bergabung bersama tim di sana yang dikepalai oleh Dan (Jason Clarke).
Selama ini tindakan terorisme yang dilakukan Osama dan antek-anteknya terus berlangsung dan bahkan semakin gencar setelah peristiwa runtuhnya menara kembar di Amerika pada 2001. Padahal tidak ada satu orang pun yang tahu di mana Osama berada. Bahkan keadaan di Pakistan pun sama sekali tidak bisa disebut aman. Maya berhasil selamat dari peristiwa bom bunuh diri bersama salah satu partnernya, Jessica (Jennifer Ehle) saat sedang makan malam di Islamabad Marriott Hotel. Maya juga pernah mengalami peristiwa penembakan di depan rumahnya sendiri saat akan berangkat ke kantor. Dan sebagai puncaknya, Jessica menjadi salah satu korban bom bunuh diri di Camp Chapman saat akan bertemu dengan salah satu informannya.
Akhirnya, seperti yang telah diketahui semua orang, dengan menggunakan senjata rahasia dan bantuan 160th Special Operations Aviation Regiment, operasi penangkapan pun dilaksanakan. Tentara Navy SEAL yang terlatih didatangkan ke sebuah kota kecil bernama Abbottabad, tempat di mana Osama diperkirakan bersembunyi. Salah satu anggota Navy SEAL berhasil menembak mati salah seorang teroris yang diduga adalah Osama Bin Laden sendiri. Saat jenazah tersebut dibawa ke Afganistan, Maya langsung mengidentifikasi jenazah tersebut dan menyetujui bahwa itu adalah benar jenazah dari salah satu teroris paling dicari di dunia.
Sementara itu pada CNG kisah tidak hanya terpusat pada seorang wanita anggota CIA bernama Vivian (Kathleen Robertson) yang ditugaskan untuk mencari keberadaan Osama saja, tapi juga mengenai anggota Navy SEAL yang bertugas. Para anggota Navy SEAL tersebut antara lain: Stunner (Cam Gigandet), Cherry (Anson Mount), Trech (Freddy Rodrìguez) dan juga Mule (Xzibit). Mereka mengalami jatuh bangun dan emosi yang teraduk-aduk saat melakukan tugas mereka. Kisah pada Film ini juga diakhiri dengan ditembak matinya seorang anggota teroris yang diyakini adalah Osama Bin Laden yang mereka cari selama ini.
Nah sekarang, mari kita bandingkan kedua Film ini. Huahahahahahaha……. *evil laugh* :D
Jika tidak dilihat dari kaca mata premis cerita yang sama, pada dasarnya kedua Film ini memang berbeda, bahkan menurut saya perbedaan keduanya bagaikan langit dan bumi. Mungkin ini dikarenakan CNG sejak awal memang dibuat sebagai Film Televisi. Durasinya hanya 1 jam 30 menit dan sudah ditayangkan di National Geographic Channel pada 4 November 2012 kemarin. Tapi Film ini juga ditayangkan di beberapa bioskop walaupun hanya dalam waktu yang cukup singkat. Sedangkan ZDT yang berdurasi 2 jam 37 menit dibuat sebagai Film bioskop sejak awal. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Film ini digarap oleh duo sutradara dan penulis naskah: Kathryn Bigelow dan Mark Boal yang berhasil membawa Film The Hurt Locker mendapatkan berbagai macam penghargaan pada 2009. Dalam ZDT, duo ini juga berhasil membawa Film ini untuk dinominasikan di ajang penghargaan bergengsi Golden Globe Award dan Academy Award.
Kalau dilihat dari sisi para actor dan aktris pendukung, kedua Film ini cukup berimbang. Walaupun dibuat sebagai Film televisi, CNG memakai nama-nama yang sudah cukup dikenal seperti: Cam Gigandet yang sudah sangat dikenal dalam serial televisi Dexter dan berperan sebagai Vampire jahat pada Film Twilight, dan juga ada Xzibit yang bukan hanya terkenal sebagai penyanyi/rapper tapi juga sebagai host dan actor. Sementara itu, walaupun menampilkan para actor dan aktris yang tidak kalah keren, ZDT lebih mengandalkan acting luar biasa dari Jessica Chastain yang pernah mendapatkan nominasi pada berbagai macam penghargaan prestisius untuk kualitas actingnya. Actress yang salah satu Film terbarunya yang berjudul Mama baru saja ditayangkan di bioskop Indonesia tak lama sebelum penayangan ZDT ini bahkan memenangkan penghargaan Golden Globe Award sebagai Best Actress-Motion Picture Drama 2013 untuk penampilannya pada ZDT.
Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang cerita yang ditampilkan, ZDT memiliki jalinan cerita dan twist yang jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan CNG. Menurut saya, CNG hanya menampilkan peristiwa penangkapan itu apa adanya, seolah hanya ingin menunjukkannya saja. Sementara itu pada ZDT cerita disajikan secara perlahan, bertahap dengan twist yang menawan dan shocking scene yang tepat. Penokohannya pun dibuat cukup matang, di mana tokoh Maya yang sangat terobsesi dengan Osama digali emosinya dengan sebegitu dalam dan intensnya tapi tetap menarik dan tidak membosankan. Sedangkan pada CNG, karakter para tokoh tidak ditonjolkan dengan baik sehingga usaha untuk menyampaikan kisah hidup pribadi mereka terasa seperti tempelan belaka.
Kathryn Bigelow yang memang sudah sangat ahli membuat Film dengan genre semacam ini seolah tahu benar sisi mana yang harus ditonjolkan dan sisi mana yang harus dibuang agar penonton tetap tertarik menonton Film ini. Padahal untuk membuat sebuah Film dengan ending yang sudah diketahui semua orang tidaklah mudah. Tapi menurut saya, beliau berhasil dengan luar biasa baik untuk bisa mengatur tempo cerita, pendalaman karakter yang pas, penerapan fakta-fakta nyata yang ada ke dalam media Film dan sinematografinya yang menakjubkan. Scene favorit saya adalah saat Maya bertemu dengan kepala Penasehat Keamanan Kepresidenan Amerika dan menyebut dirinya sendiri dengan kata-kata kasar.  Juga pada saat tim Navy SEAL melakukan penyerangan dengan menggunakan night vision google mereka yang keren. Suasana saat penangkapan yang sengaja dibuat tanpa music latar membuat situasi menjadi sunyi yang sama seperti saat anggota Navy SEAL menyerbu benar-benar luar biasa, seolah para penonton benar-benar ada di sana.
Dibalik semua itu kedua Film ini sama-sama menimbulkan kontroversi, bukan hanya di kalangan kritikus dan penikmat Film, tapi juga kalangan lain. Banyak mengatakan bahwa adalah keputusan yang kurang tepat untuk memfilmkan salah satu kejadian penting secepat ini dengan begitu banyak kontroversi yang beredar mengenai peristiwa ini. Ada pula yang menganggap bahwa Film ini hanya bertujuan untuk mengangkat nama Amerika di mata dunia. Ada juga yang mengatakan bahwa pemilihan seorang wanita sebagai tokoh utamanya adalah tidak benar dan tindakan penganiayaan terhadap teroris yang tertangkap masih belum diakui oleh pemerintah Amerika sendiri yang sama sekali tidak mendukung hal ini.
Bahkan judul CNG juga menjadi kontroversi karena Geronimo sendiri adalah nama salah satu pahlawan suku Indian di Amerika yang cukup terkenal dan dihormati sehingga tidak pantas dipakai sebagai kode untuk menyebut nama salah seorang teroris nomor satu di dunia. Karena itulah untuk beberapa Negara lain judul CNG diganti menggunakan judul Seal Team Six: The Raid of Osama Bin Laden. Yang menarik adalah keputusan sang sutradara untuk menggunakan judul ZDT yang diambil berdasarkan istilah militer untuk menunjukkan waktu tiga puluh menit setelah tengah malam di mana kejadian itu berlangsung.
Saya pernah mengatakan melalui account twitter saya @black_rabbit13, bahwa saya memberi dua dari lima bintang untuk CNG, dan pernyataan itu tidak akan saya ubah. Dan untuk ZDT, saya tidak memiliki keraguan sedikit pun untuk memberikan empat setengah dari lima bintang untuk Film ini. ZDT memang Film yang bagus dan wajib ditonton bagi kalian yang menyukai Film bergenre drama history thriller yang disajikan dengan sinematografi yang spectakuler. Mungkin nama-nama para teroris yang asing dan sulit dihapal akan membuat kamu bingung pada awalnya, tapi semuanya terbayarkan dengan kualitas Film yang mumpuni. Sedangkan untuk CNG, cukup tonton saja di NatGeo Channel jika ada siaran ulangnya dan jadikan sebagai bahan perbandingan terhadap Film ZDT. Itu saja cukup.


260213 ~Black Rabbit~

RATING FILM BAGI PENONTON

Pernahkan kalian menonton film di televisi local kita dan mendapati beberapa adegan yang diblur, ditimpa gambar lain atau bahkan dipotong? Pernahkah kalian memperhatikan sebuah huruf kecil di pojok layar televisi anda yang biasanya berwarna putih transparan setiap anda sedang menonton? Atau pernahkah kalian memperhatikan pada detik-detik awal sebelum layar bioskop memutar film Hollywood yang akan kalian tonton, terdapat layar hijau atau merah dengan beberapa kotak dan huruf di tengahnya? Sebenarnya symbol apakah itu?
Bagi yang belum mengetahui, symbol tersebut adalah Rating, di mana rating tersebut berguna untuk memberikan informasi kepada para penonton apakah film atau tayangan tersebut layak untuk ditonton bagi kalangan tertentu, terutama bagi anak-anak.
Amerika Serikat yang bisa disebut sebagai salah satu kiblat perfilman dunia memiliki lembaga yang mengatur mengenai rating film-film yang beredar. Lembaga swasta tersebut bernama MPAA (Motion Picture Association of America) yang berdiri pada 1 November 1968 dan bertujuan untuk membantu para penonton, terutama para orang tua, untuk menentukan film dan tayangan mana saja yang layak ditonton bagi anak-anak mereka. Terdapat beberapa unsur yang sangat diperhatikan lembaga ini, antara lain bahasa, hal cabul atau nudity, tindak kekerasan atau violence, penggunaan obat-obatan terlarang dan beberapa unsur lain. Macam-macam rating tersebut adalah sebagai berikut:
-    G (General Audiences) All Ages Admitted. Jenis rating ini untuk film yang mengandung unsur bahasa, tema atau nudity, penggunaan obat-obatan terlarang dan violence yang minim. Umumnya bisa ditonton siapa saja tanpa perlu dampingan orang dewasa.
-    PG (Parental Guide Suggested) Some Material May Not Be Suitable For Children adalah rating yang diberikan pada film yang perlu ditonton dengan bimbingan atau pengawasan dari orang tua. Biasanya terdapat penggunaan kata-kata kasar di dalamnya, violence dan nudity tapi tidak ada unsur obat-obatan terlarang.
-    PG-13 (Parent Strongly Cautioned) Some Material May Be Inappropriate For Children Under 13 diperuntukkan bagi film yang memiliki unsur-unsur yang tidak cocok bagi anak di bawah tiga belas tahun. Beberapa unsur violence, penggunaan kata-kata kasar dan nudity memang terasa lebih ‘berani’ jika dibandingkan dengan rating PG tapi tidak terlalu berlebihan.
-    R (Restricted) Under 17 Requires Accompanying Parent Or Adult Guardian adalah jenis rating untuk film yang mengandung unsur violence, penggunaan kata-kata kasar dan nudity yang lebih berani dari pada rating PG-13. Juga penggunaan obat-obatan terlarang yang sangat perlu bimbingan orang tua.
-    NC-17 (No One 17 And Under Admitted) digunakan untuk film yang sama sekali tidak diperuntukkan bagi anak-anak berumur di bawah tujuh belas tahun karena mengandung unsur violence, nudity, penggunaan obat-obatan dan tema atau juga penyimpangan perilaku yang terlalu dewasa dan kompleks.
MPAA sudah berkembang selama bertahun-tahun dan dasar penilaian mereka pun sudah banyak mengalami pembaharuan yang disesuaikan dengan zaman dan kepentingan para penggunanya. Dan selama ini kinerja mereka sangat membantu dan dipatuhi oleh hampir semua sineas dan pekerja seni Hollywood. Uniknya, setiap film yang diproduksi menyerahkan karya mereka kepada MPAA untuk mendapat cap rating secara suka rela, seolah mereka tahu benar bahwa hasil rating lembaga ini sudah menjadi pedoman bagi para penonton dan dapat sangat mempengaruhi daya tarik film tersebut.
Indonesia memiliki MPAA-nya sendiri yang kita kenal dengan nama LSF (Lembaga Sensor Film). Lembaga inilah yang memberikan predikat D (Dewasa), R (Remaja), BO (Bimbingan Orang Tua) atau SU (Semua Umur) pada film-film bioskop atau tayangan televisi.
Tapi, menurut kalian, apakah peranan MPAA atau LSF atau lembaga semacam ini benar-benar dibutuhkan dan berguna?
Jujur saja, agak sulit menemukan jawaban untuk pertanyaan itu bagi penduduk Indonesia. Saya tidak bermaksud mendeskriminasi atau apa, tapi pada kenyataannya penduduk Indonesia memang ‘lebih bandel’ atau mungkin ‘lebih tidak mau tahu’ (saya tidak bisa memutuskan mana ungkapan yang lebih pas dari dua pilihan tersebut, jadi saya sertakan keduanya). Ini terbukti dengan keberadaan symbol rating pada acara televisi atau film bioskop yang hampir-hampir tidak digubris.
Mungkin memang susah untuk menggubris symbol tersebut karena anak-anak zaman sekarang sudah sangat tergantung dan terbiasa dengan acara televisi sehingga para orang tua tidak bisa melakukan hal lain selain membiarkan mereka menonton selama berjam-jam dan bahkan hingga larut malam agar mereka bisa ‘tenang’.
Dalam beberapa waktu belakangan ini tayangan di televisi telah mengalami penyensoran yang cukup signifikan. Misalnya untuk adegan merokok, menodongkan senjata dan bahkan (maaf) belahan dada yang terlalu terbuka sudah diblur. Ini memang menunjukkan peranan LSF yang sudah mulai terasa. Tapi tidak semua kalangan menyukai langkah ini karena kadang pemotongan adegan yang tidak rapi dapat membuat alur cerita menjadi kacau.
Tapi bukan hanya itu. Para pembuat film dan para koleganya pun belum banyak yang tergerak untuk membuat jenis film lain yang lebih layak ditonton bagi kalangan anak-anak. Mungkin karena pasar tersebut memang tidak terlalu menjanjikan sehingga penonton Indonesia harus puas dengan film-film drama romantis atau horror comedy dewasa yang membuat dunia perfilman Indonesia menjadi tidak variatif. Belum lagi segi lain yang, mau tidak mau, harus mendapatkan perhatian paling besar, yaitu segi keuntungan.
Pihak distributor, yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling dekat dengan pangsa pasarnya pun tidak mau repot-repot memberikan tanda, melarang anak-anak untuk menonton film yang bukan untuk usia mereka atau pun sekadar memberitahu para orang tua yang mengajak anak-anaknya menonton film yang ‘salah’. Beberapa kali saya mengalami sendiri bagaimana rasanya menonton film horror atau film yang penuh tindakan kekerasan bersama sepasang orang tua yang membawa serta buah hatinya yang masih balita. Yakinlah, pemandangan tersebut cukup miris untuk dilihat.
Amerika pun memiliki kendala yang kurang lebih sama dengan penduduk Indonesia, walaupun mungkin beberapa kalangan orang tua masih mau memperhatikan rating tersebut dan mengawasi bahan tontonan yang dikonsumsi anak-anak mereka. Lembaga ini pun memiliki kelompok yang menentang keberadaannya. Ada saja beberapa kalangan sineas yang tidak suka jika hasil karya dan kerja keras mereka ‘dilabelkan’ oleh MPAA sehingga memutuskan untuk memasarkan film tersebut secara indie. Mungkin ini dikarenakan tidak jarang pihak MPAA pun menyarankan untuk memotong atau membuat ulang adegan-adegan yang dianggap sangat tidak pantas dan tidak bisa digunakan dalam sebuah film. Nah, para sineas yang cukup idealis menganggap bahwa permintaan ini akan menghilangkan ‘rasa’ dalam film tersebut sehingga membiarkan film tersebut menyandang rating NR (Not Rated) atau UR (Unrated). Dengan menyandang rating ini, sebagian besar penonton, terutama_lagi-lagi_para orang tua, malah telah terdoktrin terlebih dahulu dengan menganggap bahwa film dengan symbol seperti ini tidak diperuntukkan bagi anak-anak di bawah umur, walaupun sebenarnya belum tentu demikian.
Nah, bagaimana menurut kalian sendiri? Apakah rating film memang dibutuhkan, atau tidak?
310113 ~Black Rabbit~