ONCE UPON A TIME – SEASON 1

This is the first time I write a TV series review. It’s quite challenging, but I won’t make a review if this series didn’t worth to watch, at least for myself. So, please prepare to amaze. =)

Serial televisi yang ditayangkan mulai 23 Oktober 2011 hingga 13 Mei 2012 di ABC channel ini bergenre fantasy drama action yang menceritakan kisah mengenai seorang Evil Queen bernama Regina (Lana Parrilla) yang berkeinginan untuk membalas dendam kepada anak tirinya: Snow White (Ginnifer Goodwin). Diceritakan ketika kecil Snow tanpa sengaja telah melakukan suatu kesalahan yang membuat Regina kehilangan cinta sejatinya sehingga membuat kekuatan jahat dalam diri Regina berkembang menjadi niat membalas dendam yang berakibat buruk. Sangkin ingin membalas dendam kepada Snow, pada hari pernikahan Snow dan cinta sejatinya: Prince ‘Charming’ James (Josh Dallas), Regina menghadiahkan sebuah kutukan di mana semua orang di negeri itu akan kehilangan ‘happy ending’ mereka. Lalu Regina menculik semua orang dan memindahkan mereka ke sebuah kota kecil di Maine bernama Storybrooke di mana waktu seakan berhenti berjalan dan semua makhluk dongeng itu sama sekali tidak ingat dengan masa lalu maupun perbuatan Regina. Kutukan itu hanya bisa dipatahkan oleh Emma (Jennifer Morrison), anak perempuan Snow dan James yang akan datang menyelamatkan mereka pada ulang tahunnya yang kedua puluh delapan setelah berhasil diselamatkan dari kutukan Regina dengan cara ‘memindahkannya’ ke dunia lain sesaat setelah dilahirkan.

Dua puluh delapan tahun kemudian, seorang gadis yatim piatu bernama Emma Swan yang tinggal di Boston kedatangan tamu seorang anak kecil berumur sepuluh tahun bernama Hendry Mills (Jared S. Gilmore) yang mengaku sebagai anak laki-laki yang ditinggalkan Emma di sebuah panti asuhan sepuluh tahun yang lalu sesaat setelah Emma melahirkannya. Hendry meminta Emma datang ke Storybrooke untuk menyelamatkan semua orang dari jerat kutukan sang Evil Queen berdasarkan sebuah buku yang diberikan gurunya. Emma tentu saja tidak percaya begitu saja. Bagaimana mungkin semua makhluk dongeng bisa berada dalam satu kota dan sama sekali tidak mengingat siapa diri mereka karena sebuah kutukan yang diberikan oleh seorang penyihir jahat yang adalah ibu angkat Hendry sendiri? Tapi Hendry berhasil meyakinkan Emma untuk datang ke Storybrooke dan membuktikannya sendiri. Walaupun pada awalnya Emma sama sekali tidak berniat untuk menetap di sana, tapi demi sang anak, Emma bersedia tinggal beberapa hari lebih lama hanya untuk mendapati bahwa semua hal dan semua orang yang terdapat di Storybrooke telah menyita perhatiannya.

Dalam waktu beberapa hari saja, Emma menduduki posisi sheriff di sana. Semakin lama tinggal di sana, dia mengalami berbagai kejadian yang menguatkan kecurigaannya bahwa Regina menyimpan rahasia besar. Tanpa Emma sadari, keinginannya untuk mencampuri semua kegiatan di Storybrooke membuat kekuatan kutukan itu perlahan melemah dan satu per satu penduduk Storybooke mengingat siapa mereka sebenarnya. Tentu saja Regina tidak tinggal diam melihat ini. Regina yang menjabat sebagai walikota di Storybrooke berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara agar Emma bisa pergi dari kota itu dan tidak lagi mencampuri urusannya. Tapi Regina sendiri bahkan lupa bahwa terdapat seorang evil witch yang jauh lebih jahat, jauh lebih kuat dan jauh lebih licik yang juga terkurung di Storybrooke. Dia adalah Rumplestiltskin (Robert Carlyle) yang menjadi seorang tuan tanah di Storybrooke bernama Mr. Gold.

Dan dia memiliki rencananya sendiri.

Ini adalah serial televisi pertama yang menyajikan dua dunia dalam satu film sekaligus: dunia nyata dan dunia dongeng. Dengan kisah yang menarik dan disusun rapi oleh dua orang penulis scenario yang sudah sangat berpengalaman Edward Kitsis dan Adam Horowitz mampu menghasilkan kombinasi yang sangat menarik untuk ditonton.

Alur kisahnya cepat dan setiap tokoh memiliki karakter dan latar belakang masing-masing yang sangat menarik. Tema yang diambil serial ini sangat unik dan dikemas dengan bagus dan pas sehingga mudah diikuti walaupun menggunakan alur maju-mundur dan latar belakang para tokoh yang diceritakan tidak berurutan. Tapi tenang saja, semua formula itu hanya menambah rasa penasaran dan membuat kita semakin tidak sabar menunggu episode selanjutnya.

Saya sangat terkesan dengan berbagai twist yang mampu memberikan rasa penasaran yang konstan dalam setiap episodenya sehingga sama sekali tidak membosankan untuk diikuti. Dan bagaimana mereka bisa menyatukan berbagai kisah dongeng yang sudah sangat dikenal semua orang ke dalam satu cerita baru yang masuk akal dan sangat menarik merupakan hal lain yang sangat patut diacungi empat jempol. Benar loh, hampir semua tokoh dongeng ada di sini, seperti Snow White dan tujuh kurcaci beserta sang Pangerannya yang menjadi salah satu tokoh utama dalam film ini. Ada juga Pinocchio, Geppetto dan Jiminy Cricket, juga Red Riding Hood dan sang nenek, Hansel dan Gretel, Cinderella, bahkan Belle dari dongeng Beauty and The Beast dan Mad Hatter dari Alice In The Wonderland. Mereka memiliki kisah hidup masing-masing yang ternyata saling terkait satu sama lain tanpa mereka sendiri menyadarinya.

Saat ini Once Upon A Time sudah memasuki season ketiga sejak 29 September 2013 hingga sekarang dan sebuah spin-off berjudul Once Upon A Time In Wonderland juga sudah ditayangkan di stasiun TV yang sama sejak 10 Oktober 2013 hingga sekarang. Kesemuanya benar-benar layak untuk ditonton, loh. Untuk season 1 ini saya rela memberikan empat dari lima bintang untuk semua twist cerita yang bikin gregetan, scenario yang luar biasa dan karakter tokoh yang kuat.



Can’t wait to watch more of it! =D

THE HUNGER GAMES: CATCHING FIRE

Setelah seri Harry Potter dan The Twilight Saga telah merampungkan seri mereka, penonton seolah kehilangan film seri yang akan sangat ditunggu-tunggu kelanjutannya di setiap tahun. Tapi rasa kehilangan ini segera terobati saat sebuah film berjudul The Hunger Games yang merupakan adaptasi novel trilogy karya Suzanne Collins diluncurkan pada Maret 2012. Film pertama ini mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa sehingga project lanjutannya pun segera dibuat, bahkan seri pamungkasnya pun akan dipecah menjadi dua film seperti yang dilakukan film-film seri berdasarkan novel pendahulu mereka yang menuai sukses luar biasa.

Akhir tahun ini, tepatnya pada November 2013, sequel dari The Hunger Games yang berjudul Catching Fire pun dirilis. Berbeda dari film pertama, film kedua ini disutradarai oleh Francis Lawrence yang bukan saja sudah berhasil menelurkan karya-karya berkualitas seperti Constantine, I Am A Legend dan Water for Elephants, tapi sang sutradara asal America ini pun merupakan sutradara video clip yang sudah malang melintang dan menangani begitu banyak penyanyi terkenal seperti Backstreet Boys, Britney Spears, Justin Timberlake, Beyonce dan bahkan sang Lady Monster: Lady Gaga.

Catching Fire masih mengisahkan dua pemeran utamanya: Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson) yang sebelumnya telah berhasil memenangkan pertandingan tahunan Hunger Games ke-74 sebagai satu-satunya dan pertama kalinya pemenang yang merupakan dua orang sepasang kekasih. Padahal sebenarnya Katniss tidak memiliki perasaan special terhadap Peeta sementara Peeta menyimpan perasaan yang tidak berbalas terhadap teman satu Districtnya itu. Tapi hubungan pura-pura mereka sudah menjadi konsumsi public, dan Presiden Coriolanus Snow (Donald Sutherland) sendiri mendatangi Katniss di rumah kemenangannya di District 12 untuk memastikan sekaligus mengancam Katniss agar mau melanjutkan acting mereka sebagai sepasang kekasih bersama Peeta sepanjang tur kemenangan ke seluruh District yang akan mereka lakukan bersama. Katniss sama sekali tidak bisa melawan. Dia bahkan rela untuk mengumumkan pernikahan di depan seluruh District dan di depan kamera walaupun itu berarti dia harus membohongi semua orang lagi dan lagi.

Tapi ternyata pengaruh yang dibawa Katniss dan Peeta tidak hanya sekadar hubungan romantis mereka saja, tapi juga perbuatan mereka yang melanggar peraturan dan menentang Capitol membuat berbagai orang di hampir seluruh District tergerak untuk melakukan pemberontakan terhadap Capitol. Hal ini membuat Presiden Snow semakin kebakaran jenggot. Dengan niat yang sangat mengebu-gebu untuk ‘memusnahkan’ Katniss, President Snow yang dibantu oleh ketua komite Hunger Games yang baru: Plutarch Heavensbee (Philip Seymour) merencanakan permainan Hunger Games yang berbeda dari pada sebelumnya. Dalam rangka memperingati Hunger Games yang ke-75, Presiden Snow dan Plutarch mengadakan Quarter Quell ke-3 di mana dalam Quarter Quell ini para pemenang sebelumnya dari seluruh District akan diundi dan harus bertarung lagi untuk mendapatkan seorang pemenang di antara para pemenang yang lain. Sebagai satu-satunya pemenang wanita dari District 12, Katniss sama sekali tidak bisa mengelak untuk mengikuti Quarter Quell tersebut bersama Peeta yang langsung mengajukan diri setelah sebelumnya mentor mereka: Haymitch Abernathy (Woody Harrelson) yang terpilih.

Bersama tim kemenangan yang sama seperti sebelumnya: Haymitch sebagai mentor, Effie Trinket (Elizabeth Banks) sebagai ‘manager’ dan juga Cinna (Lenny Kravitz) sebagai penata busana, Katniss dan Peeta pun harus mempertaruhkan nyawa sekali lagi. Menurut Haymitch, kali ini Katniss dan Peeta harus bisa berkoalisi bersama para peserta dari District yang lain agar mereka tidak menjadi sasaran empuk pertama yang akan dibunuh di medan pertempuran nanti. Bagi Katniss yang sama sekali tidak mudah bergaul dengan orang lain, ini adalah hal yang cukup sulit, tapi untunglah dengan kekakuannya Katniss akhirnya bisa bersahabat dengan Finnick Odair (Sam Claflin) dan Mags (Lynn Cohen) dari District 4, Wiress (Amanda Plummer) dan Beetee Latier (Jeffrey Wright) dari District 3 dan juga satu-satunya peserta dari District 7 yang arogan Johanna Mason (Jena Malone). Di arena, mereka saling membantu untuk bisa mempertahankan diri dan melancarkan rencana mereka yang ternyata sangat diluar dugaan, bahkan oleh Katniss dan Peeta sendiri.

Dalam sebuah film yang terdiri dari beberapa seri, memang tidak mudah membuat sebuah sequel. Biasanya film kedua akan mendapatkan ekspektasi yang cukup besar dari penonton film pertamanya. Mereka telah mendapatkan sebuah fondasi yang bisa dibilang cukup kuat dari film pertama tersebut dan mengharapkan sebuah kisah lanjutan yang setidaknya harus bisa lebih baik dari pada film pertama. Jika sebuah seri film berdasarkan novel laris, ini merupakan sebuah tantangan tambahan yang sangat memerlukan perhatian tambahan. Pasalnya, para penonton akan terdiri dari para pembaca yang sudah lebih dulu membaca dan tahu bagaimana kisah dalam buku dan film kedua ini akan berakhir. Sang sineas harus bisa ‘menerjemahkan’ film kedua ini dengan sangat baik jika tidak ingin dicerca para pembaca PLUS dicerca para penonton film pertamanya. Benar, membuat sebuah sequel film sangat tricky. Bahkan film seri sebesar Harry Potter, Twilight Saga dan juga Pirates Of The Caribean pun cukup kewalahan membuat sebuah sequel yang bisa memuaskan berbagai pihak.

Tapi sequel The Hunger Games ini sepertinya cukup berhasil. Saya memberikan tiga dari lima bintang. Beberapa media review film yang menampung berbagai komentar dari penonton di seluruh dunia mendapatkan nilai yang cukup bagus untuk film ini. Bahkan para kritikus pun menyetujuinya. Dengan alur yang cepat, plot yang jelas dan karakter tokoh yang sudah cukup kuat di benak para penonton, rasanya memang semua komentar bagus tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Ditambah lagi, jajaran pemain dalam film pertama kembali menempati posisi mereka yang membuat para penonton lebih mudah mengingat karakter dan peran mereka seperti sebelumnya. Kualitas acting mereka pun tentunya tidak perlu diragukan lagi, di mana Jennifer Lawrence yang baru saja memenangkan Academy Award dan berbagai penghargaan lain beberapa waktu yang lalu memang bermain sangat apik di sini.

Menurut saya pribadi, film ini cukup menghibur. Memang actionnya tidak terlalu mendominasi, begitu pula dengan romance scene nya yang bisa dibilang minim. Tapi film ini lebih mengutamakan plot dan tema politik yang kompleks, isu social dan mengacu pada kisah di dalam novelnya yang pastinya akan membuat para penggemar novel trilogy ini akan bersorak gembira. Untuk para penonton yang tidak pernah menonton film pertamanya atau lupa dengan kisah Hunger Games yang ditampilkan satu tahun yang lalu, mungkin akan mengalami sedikit ‘lost’. Mungkin jika beberapa peraturan atau hal kecil mengenai Hunger Games bisa sedikit diingatkan kembali dalam film ini, kendala ini akan bisa teratasi. Yah, saya sih menyarankan untuk menonton bersama teman yang memang mengetahui dengan pasti kisah Hunger Games ini atau mungkin bisa menonton film pertamanya lebih dahulu agar tidak merasa ‘lost’ seperti itu.


Oh iya, untuk para penonton ‘baru’ atau yang tidak mengikuti kisah dalam novelnya, jangan kesal dulu dengan ending film yang menggantung itu yah. Maklum, film kedua ini memang merupakan film lanjutan dan juga merupakan ‘perpanjangan’ dari film pertama ke film ketiga: Mocking Jay yang akan dibagi menjadi dua bagian itu. So, silahkan gregetan aja deh… ;)

ENDER’S GAME


It’s a very long story to tell, let me tell you.

Untuk kesekian kalinya film berdasarkan novel dibuat lagi. Kali ini film bergenre science fiction action ini dibuat berdasarkan karya Orson Scott Card dengan judul yang sama. Sebenarnya novel ini memiliki begitu banyak seri dan pertama kali dipublish sebagai sebuah cerpen pada tahun 1977 yang akhirnya dijadikan novel pada tahun 1985 dan serinya terus berlanjut hingga yang terakhir (walau mungkin bukan seri pamungkasnya) dipublish pada tahun 2008 lalu. Sebagai sutradara, Gavin Hood yang telah berhasil membawa film Tsotsi berhasil memenangkan Academy Award pada tahun 2005 lalu dan dinilai cukup berhasil menyutradarai X-Men Origins: Wolverine pada 2009 ini juga berperan sebagai penulis sricptnya.

Film ini menceritakan kisah mengenai seorang anak bungsu bernama Andrew ‘Ender’ Wiggin (Asa Butterfield) yang direkrut oleh Colonel Hyrum Graff (Harison Ford) untuk masuk ke sebuah sekolah militer bernama Battle School. Di sana, beberapa anak muda menjalani pelatihan militer yang keras untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan alien serangga yang disebut Formics. Col. Graff sendiri sangat mengungguli Ender sebagai calon pemimpin dan penyelamat dunia yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tapi sebagai seorang psikolog dalam sekolah militer tersebut, Major Gwen Anderson (Viola Davis) mengkhawatirnya perkembangan psikologis Ender yang cukup terpengaruh dengan sifat keras sang ayah: John Paul Wiggin (Stevie Ray Dallimore), sang kakak yang psycho: Peter Wiggin (Jimmy Pinchak) dan sangat menyayangi sang kakak perempuannya yang lemah lembut: Valentine Wiggin (Abigail Breslin). Tapi Col. Graff tampaknya tidak peduli.

Sebagai anak baru di sekolahnya, Ender sering mendapat perlakuan buruk dari senior-seniornya, terutama dari ketua asrama Salamender bernama Bonzo (Moisés Arias). Tapi sifatnya yang tidak mengenal takut dan kritis juga sering kali membuat orang lain jengkel sekaligus kagum. Lambat laun, walaupun mendapatkan banyak musuh, Ender juga berhasil menjalin pertemanan dengan beberapa anak, seperti Petra Arkanian (Hailee Steinfeld), Bean (Aramis Knight), Dink (Khylin Rhambo), Bernard (Conor Carroll) dan lainnya. Kariernya di sekolah militer itu pun terus menanjak, berkat perhatian ekstra yang diberikan Col. Graff dan beberapa pelajaran tambahan, termasuk melalui permainan mind game yang diberikan Major Anderson. Dalam waktu singkat, Ender pun mendapat kepercayaan untuk mengetuai asramanya sendiri, Dragon Army.
Dan akhirnya kesempatan besar yang dinantikan Ender pun terwujud. Walaupun diawali dengan sebuah insiden yang menyedihkan, Ender pun dikirim ke pusat Internasional Fleet di sebuah planet bernama Eros. Di sana dia mendapat seorang mentor baru: Mazer Rackman (Ben Kingsley). Mazer adalah pahlawan pada infasi Formics terakhir yang terjadi pada lima puluh tahun yang lalu. Selama ini Mazer dianggap sudah meninggal, tapi sebenarnya dia membangun sebuah program simulator yang digunakan untuk melatih para Army seolah-olah berperang dengan alien Formics sungguhan. Pada ‘ujian terakhir’nya, Ender yang dibantu dengan teman-teman dekatnya yang menjadi pemimpin skuadronnya berperang dengan alien Formics dan berhasil menghancurkan satu planet. Dan ternyata, ‘ujian terakhir’nya itu dapat mengubah segalanya.

Menonton film ini seperti menonton Star Trek, Starship Troppers dan Harry Potter sekaligus. Sejak awal film, alur ceritanya sangat teratur. Penokohannya juga kuat, setiap tokoh hadir untuk tujuan yang jelas dan diperankan dengan sangat apik oleh setiap pemain plus percakapan yang efisien. Settingnya luar biasa dan sangat memanjakan mata. Tak heran, pihak produser yang juga termasuk sang penulis sendiri, Card, memang menyediakan dana yang tidak sedikit untuk special effect yang ditangani oleh perusahaan milik James Cameron: Digital Domain.

Ditambah lagi, kisah ini memiliki focus yang kuat. Sang sutradara dan sang penulis yang memang bekerja sama dengan sangat intens saat menulis script telah memberikan patokan yang jelas seberapa jauh penonton bisa mengetahui seluk beluk cerita tersebut. Hasilnya, penonton tidak perlu menebak-nebak akan ke mana cerita ini akan berakhir, tapi cukup menikmatinya saja tanpa perlu banyak bertanya.

Bagi saya pribadi, film ini memberikan alternative tontonan yang sangat unik dan berkualitas. Tidak seperti kebanyakan film sci-fic action alien lain yang biasanya sudah sangat kita kenal pattern ceritanya (invasi alien-manusia bertahan-war-happy ending), tapi Ender’s Game menyajikan cerita yang sudah diarahkan dengan sangat jelas sejak awal. Alur sederhana di awal cerita diakhiri dengan ending yang lebih rumit serta di luar dugaan. Rasanya seperti film ini yang mengarahkan penonton, bukan sebaliknya. Dan eksekusi film ini memberikan penggambaran yang berbeda terhadap alien yang selama ini dianggap musuh sehingga dapat dilihat dari sisi yang berbeda dan lebih masuk akal dan manusiawi.

Bagi yang belum tahu synopsis lengkap kisah ini pasti banyak calon penonton yang mengira bahwa Ender’s Game adalah film yang ditujukan bagi anak-anak. Tapi mereka salah. Film ini sendiri menyandang rating PG-13, yang walaupun cocok ditonton anak-anak, tapi butuh dampingan dari orang tua atau orang yang dituakan untuk memberikan pengertian yang jelas mengenai kompleksitas cerita, taktik perang dan beberapa hal lain. Bagi saya, film ini malah lebih cocok ditonton oleh orang dewasa, di mana taktik perangnya yang luar biasa, kecerdikan Ender dan sifat negative serta positifnya serta begitu banyak hal lain begitu menarik untuk diperhatikan. Walaupun, dengan minimnya adegan aksi perkelahian dan adegan romance yang nyaris nihil, tidak sedikit kalangan yang akan menyebut film ini membosankan.


Dengan senang hati saya akan memberikan empat dari lima bintang untuk film petualangan yang satu ini. Dengan keunikannya saya rasa Ender’s Game berhasil berhasil memberikan ‘rasa’ yang berbeda dari film-film alien dan luar angkasa pada umumnya dan ini merupakan factor yang menyenangkan. 

THOR: THE DARK WORLD

Ini dia film kedua dan film kedelapan dari instalement Marvel Cinematic Universe bertajuk Thor: The Dark World. Dalam film keduanya kali ini diceritakan Thor (Chris Hemsworth) yang sedang sibuk memperbaiki kehancuran yang diakibatkan ulah adik tirinya: Loki (Tom Hiddleston) yang untungnya telah berhasil dijebloskan ke penjara. Dia harus berperang untuk merebut kembali kesembilan universe yang berada dalam satu kesatuan pohon kehidupan yang disebut Yggdrasil agar kembali tunduk di bawah kekuasaan sang ayah: Odin (Anthony Hopkins).

Sementara itu, sang kekasih Jane Foster (Natalie Portman) yang tidak pernah lagi bertemu dengan Thor sejak dua tahun yang lalu memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan dengan seorang pria bernama Richard (Chris O’Dowd). Untunglah perkenalan yang tidak berjalan dengan lancar itu diselamatkan dengan kedatangan pegawai magangnya: Darcy Lewis (Kat Dennings) yang mengatakan bahwa beberapa anak kecil menemukan fenomena semacam anti gravitasi atau portal antar dimensi di sebuah pabrik tua yang tidak digunakan lagi. Saat menyelidiki tempat itu, Jane malah menghilang ke sebuah tempat di mana terdapat kekuatan aneh yang disebut Aether dibuang.

Aether dibuang ke sana bertahun-tahun yang lalu saat terjadi peperangan antara Dark Elves yang dipimpin oleh Malekith (Christopher Eccleston) dan kakek Thor bernama Bor (Tony Curran). Saat itu, para Dark Elves mengalami kekalahan dan berhasil ditumpas habis, tapi Malekith bersama tangan kanannya yang setia: Algrim (Adewale Akinnuoye-Agbaje) berhasil melarikan diri. Ketika tanpa sengaja kekuatan Aether yang ditemukan Jane merasuk ke dalam tubuhnya, Malekith dan pasukannya terbangun dari tidur panjang dan memutuskan untuk mengejar Jane untuk merebut Aether itu kembali dan mewujudkan keinginannya untuk mengubah seluruh universe ke dalam kegelapan.

Mengetahui Jane berada dalam bahaya, Thor memutuskan membawa Jane ke Asgard untuk mendapat perawatan, tidak peduli Odin yang tidak senang melihat kedatangan Jane. Tapi Malekith tidak menyerah begitu saja. Dengan menyusupkan Algrim sebagai tawanan yang bertugas menghancurkan shield yang melindungi Asgard, Malekith dan pasukannya berhasil menerjang masuk. Untuk melindungi Jane, sang ibu: Frigga (Rene Russo) pun kehilangan nyawanya, membuat Loki sangat berduka.

Dalam keadaan genting, Thor yang dibantu oleh Volstagg (Ray Stevenson), Fandral (Zachary Levi) dan sang penjaga gerbang Bifröst: Heimdall (Idris Elba), memutuskan untuk membawa Jane pergi dari Asgard. Masalahnya, Bifröst, satu-satunya pintu gerbang yang bisa dilalui untuk pergi dari Asgard sudah dikuasai oleh Dark Elves. Hanya satu orang yang pernah berhasil keluar dari Asgard melalui jalan lain, yaitu Loki. Jika Thor tetap ingin memastikan Jane selamat, dia harus mau meminta bantuan sang master of trick, master of manipulation dan musuh bebuyutannya untuk saling bahu membahu memusnahkan Dark Elves. Apakah Loki memang bisa dipercaya?
Sang sutradara yang sebelumnya telah berhasil menyutradarai cukup banyak serial TV bermutu, termasuk Sex and the City, The Sopranos dan Game Of Thrones yang sangat terkenal itu kini mencoba menyutradarai film superhero pertamanya. Dan, bisa dibilang, sang sutradara asal Amerika itu memberikan bumbu yang menarik dalam seri kedua Thor ini.

Alurnya cepat, dengan special efek yang menakjubkan dan setting yang luar biasa. Beberapa asal muasal kisah yang disajikan dijelaskan dengan cukup detail sehingga para penonton tidak perlu bertanya-tanya. Hanya saja, penjelasan mengenai beberapa penelitian yang terkait dengan dunia Asgard tidak terlalu mudah untuk dimengerti. Ini cukup membuat saya bingung dan merasa lost. Dan kondisi ini terus terbawa sehingga kisah memasuki babak klimaks dan anti klimaks. Untungnya, semua itu tertutupi dengan joke-joke segar yang tersebar di sepanjang film dan alur cepatnya yang konstan.

Lagipula, duet antara superhero yang terlalu serius: Thor dan superhero dadakan yang manipulative dan ringan mulut: Loki, ternyata adalah paduan yang sangat unik dan menyegarkan. Keduanya mampu membawa twist cerita menjadi sesuatu yang segar ditonton sekaligus menjebak, in a good way.

Jadi, lupakan karakter tokoh yang tidak tergali dengan baik, lupakan beberapa penjelasan rumit yang tidak bisa kita ‘tangkap’, lupakan beberapa scene yang terlihat sangat tidak mungkin dan lupakan ending yang membuat geregetan itu. Jika dilihat dalam satu paket utuh, Thor: The Dark World adalah film yang sangat menyenangkan dan pastinya sangat sayang dilewatkan, bukan hanya agar timeline tentang Marvel Cinematic Universe kita tidak ‘bolong’, tapi film ini memang sangat seru ditonton.


Tiga setengah dari lima bintang untuk film ini.