THE RAID: FULL OF ACTION, LACK OF DRAMA


Saya, seperti begitu banyak orang Indonesia yang lain juga, adalah penggemar film-film box office keluaran Hollywood. Dan saya, seperti begitu banyak orang Indonesia yang lain juga, tidak begitu tertarik mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli tiket bioskop dan menonton film-film buatan anak bangsa. Memang kedengarannya sangat tidak nasionalisme, tapi saya tidak mau mengotori moment indah menonton bioskop saya dengan film-film horror komedi atau pun film horror yang hanya mengutamakan sisi sensualitas para pemerannya saja, seperti kebanyakan film-film Indonesia yang beredar di bioskop. Tapi begitu saya melihat trailer film ‘The Raid’ di televisi, untuk pertama kalinya saya merelakan sejumlah uang untuk menontonnya di bioskop.

Jujur saja, ada begitu banyak harapan sebelum saya duduk di bangku bioskop. Dari trailer yang saya saksikan, saya berharap  akan ada begitu banyak adegan action yang spektakuler di film ini, apa lagi saat membaca nama sutradara yang ternyata juga menggarap  film ‘Merantau’ yang konon katanya cukup berhasil menyajikan film action yang bermutu di Indonesia. Belum lagi mengingat bahwa sang sutradara adalah orang asing yang sekiranya bisa memberikan nilai lain dari sebuah film kepada penonton Indonesia yang sudah bosan menerima asupan film dalam negeri yang tidak bermutu. Dan apa yang saya terima setelah akhirnya menonton film ini sampai selesai? Bisa dibilang, saya senang.

Dikisahkan satu unit pasukan khusus ditugaskan untuk menyergap seorang Bandar narkoba yang tinggal di sebuah apartemen berlantai lima belas untuk kesekian kalinya. Dengan keyakinan yang kuat bahwa kali ini mereka akan bisa berhasil, sang kapten membawa (hanya) dua puluh orang pasukan untuk menyerbu masuk dan menangkap sang Bandar. Tugas mereka jelas dan simpel: masuk, lumpuhkan dan tangkap. Tapi ternyata satu hal penting luput dari pertimbangan mereka: para penghuni apartemen.

Selama ini sang Bandar telah berhasil berkelit dari jeratan kepolisian sehingga dengan sangat leluasa membangun sarangnya di apartemen itu. Dengan kekuasaannya, sang Bandar mengumpulkan para buronan polisi, preman dan berbagai macam criminal untuk bisa melindungi sang Bandar dari sentuhan pihak berwajib. Intinya, sang Bandar membangun kerajaannya di sana dan mempersenjatai bentengnya dengan para pengawal yang rela mati demi dia.
Alhasil, dua puluh orang anggota pasukan elite kepolisian yang terlatih pun kalang kabut menghadapi pengawal-pengawal sang Bandar. Dengan membabi buta, mereka menggunakan berbagai cara dan berbagai senjata tajam untuk melumpuhkan pasukan elite itu. Berhasilkah pasukan elite tersebut menyerbu masuk dan menyelesaikan tugas mereka? Akankah ada halangan lain yang membuat tugas  mereka menjadi semakin sulit untuk diselesaikan?

Bagi kalian penggemar film action yang sudah sangat muak dengan sajian film-film Indonesia (yang sebagian besar) tidak bermutu yang selama ini hadir di bioskop, film ini cukup layak untuk ditonton. Sajian actionnya sangat memanjakan mata, berhasil membuat anda ber ‘oh...’ dan ‘ah…’ dengan dramatis saat menonton aksi-aksi martial arts yang disajikan dengan sangat luwes, keras dan menggugah adrenalin. Paling tidak anda akan menerima adegan kekerasan yang nyaris seperti aslinya, tidak terlihat terlalu dibuat-buat dan efek yang mulus seolah benar-benar terjadi. Sinematografinya pun sangat bagus untuk dilihat, dengan angle kamera yang dinamis dan berhasil mempermainkan emosi para penontonnya dengan baik.

Tapi kata ‘senang’ bagi saya bukan berarti saya puas. Masih ada begitu banyak hal yang mengganjal di film ini yang tidak bisa membuat saya menghilangkan kata ‘tapi’ dari mulut saya.

Film ini berjalan dengan kisah yang tidak terpusat karena tidak ada satu tokoh yang bisa dijadikan center bagi para penonton. Selain itu, latar belakang kisah tentang alasan kedua puluh orang pasukan elite ini ditugaskan pun tidak dijelaskan secara detail. Penonton hanya disajikan adegan laga dari sejak awal film tanpa dijelaskan apa alasan mereka bertempur. Bagi saya yang seorang awam, saya berpikir bahwa seorang kepala pasukan tidak akan mengirimkan anggotanya begitu saja untuk sebuah misi yang tidak jelas berasal dari mana dan atas perintah siapa. Ini terdengar terlalu absurd. Belum lagi jumlah pasukan yang sangat sedikit untuk meringkus Bandar narkoda kelas kakap yang selama ini duduk nyaman di sarangnya tanpa pernah berhasil dikalahkan. Bukankah jumlah itu seperti jumlah yang bagus hanya untuk bunuh diri?

Selain itu, terdapat beberapa pertarungan yang tidak cukup masuk akal untuk terjadi. Misalnya saja, pertarungan beberapa pasukan dengan preman atau criminal awam yang ternyata bisa berkelahi tangan kosong dengan full teknik. Atau pertarungan dua lawan satu yang kelihatannya terlalu luar biasa, di mana sang musuh yang sebelumnya sudah bertarung dan memukuli orang lain malah bisa dengan sangat lihai dan tanpa kenal lelah bertarung nyaris tak terkalahkan melawan dua orang sekaligus. Tangan kosong pula.

Detail tokoh juga sangat disayangkan tidak dikembangkan lebih jauh. Walaupun diawali dengan kisah salah satu dari dua puluh orang pasukan elite ini, ternyata kisah itu hanya berakhir bahkan sebelum menit kelima belas. Padahal ada begitu banyak dialog yang seolah-olah dimaksudkan untuk menjelaskan beberapa detail kecil tentang para tokohnya, tapi ternyata tidak terselesaikan bahkan setelah saya tunggu hingga akhir cerita. Memang kelihatannya tidak terlalu penting, tapi kadang sebuah detail bisa merubah rasa dengan signifikan tanpa kita sadari. Yah paling tidak, saya rasa jika detail ini lebih diperhatikan, para penonton tidak akan merasa hanya disajikan adegan pukul-pukulan saja sejak awal film sampai akhir. Dan para penonton tidak akan keberatan duduk lima belas menit lebih lama hanya untuk melihat porsi drama para tokohnya yang sebenarnya mampu menambah ‘bumbu’ cerita di sela-sela adegan laga yang nyaris tanpa henti itu. Bagaimana pun juga, full action bukan berarti ‘no drama at all’.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang menyertai, film ini tetap saja merupakan sebuah angin segar bagi penikmat film Indonesia. Seperti yang saya bilang tadi, paling tidak para penonton bisa diberikan alternative menonton film dengan genre yang lebih bermutu. Dan yang lebih penting, para penonton bisa dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa film yang mendapatkan apresiasi yang bagus dari kalangan film luar negeri ini adalah film buatan Indonesia. Itu pun dengan mengesampingkan kenyataan bahwa sang sutradara adalah orang luar negeri dan sangat sedikit detail Indonesia (bahkan lambang unit khusus Indonesia pun tidak ada) tampak di film ini.

Bagaimanapun, kita harus bangga. Saya pun bangga, dengan mengesampingkan begitu banyak hal tentunya. J

230312 ~Black Rabbit~

FILES OF BLACK RABBIT'S DIARRIES: HEART

Terdiri dari sepuluh karya yang pernah dipublish di blog ini dan mendapatkan respon yang bagus, di antaranya:

1. Di Ujung Napas Verona
2. Kasmaran
3. Curi-curi Pandang
4. Aroma Buah Pir
5. Aku Minta Maaf Karena Aku Mencintaimu
6. Judi
7. Aku Tidak Mau Menjadi Orang Ketiga
8. Meragu
9. Surat Cinta Untuk Kekasih Gelapku
10. Pemuja Rahasia

Kesemuanya menceritakan kisah cinta dan problematikanya yang dijamin akan membuat kamu galau setengah mati.

Tapi buku ini sedikit eksklusif karena tidak dijual di toko buku biasa, hanya bisa dibeli melalui http://nulisbuku.com/ atau pesan langsung melalui saya ( plus ttd ) lewat e-mail/YM ke blackrabbit_1385@yahoo.com hanya dengan harga Rp. 34.000 saja ( belum termasuk ongkos kirim )

Ayo, buruan pesan jangan sampai ketinggalan! (^_^)

FANTASI KEMATIAN SEBELUM ALAM BAKA


( Diambil dari kolom BUKU PILIHAN Koran TRIBUN JABAR, terbit Minggu, 4 Maret 2012, halaman 15 )

TIDAK banyak penulis local yang menulis novel bergenre fantasi. Satu dari sedikit nama itu adalah Vinna Kurniawati, seorang penulis muda kelahiran Bengkulu. Melalui novel The Chronicle Of Enigma: The Two Rings ini, Vinna mencoba menembus persaingan dengan berjibunnya novel fantasi terjemahan.

Sebagai karya perdana, novel ini patut mendapatkan apresiasi yang layak. Imajinasinya mengenai dunia kematian seakan sulit dibendung. Meskipun alurnya terkesan lambat, kisahnya menarik untuk terus diikuti. Kata-katanya terpilih dan ungkapan-ungkapannya menunjukkan Vinna bukan penulis pemula. ( Di sampul belakang memang tertulis bahwa sebelum menulis novel ini Vinna kerap memublikasikan karyanya di internet.)

Meskipun temanya tentang (dunia) kematian, novel ini bukan jenis horor. Tidak ada adegan yang dibuat untuk dengan sengaja menakut-nakuti pembaca. Selain itu, kisahnya tidak menyinggung agama apa pun. Novel ini semata-mata kisah yang dituangkan dari imajinasi.

Alkisah, di sebuah negeri bernama Merlin, hidup seorang gadis 20 tahun bernama Caraveena. Berbeda dengan hampir semua penduduk negeri ini yang merupakan penyihir, Caraveena justru memilih menjadi peramal. Hanya segelintir orang yang memiliki pilihan yang sama dan satu di antaranya adalah Profesor Klain. Keduanya juga tertarik kepada penelitian yang sama: dunia kematian.

Caraveena pun mengajukan diri untuk menjadi kelinci percobaan yang dilakukan sang profesor. Ia masuk ke dunia kematian dan bertemu dengan Marlon, pemimpin negeri Nimbus, dunia tempat berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Marlon kemudian jatuh hati kepada Caraveena dan bersedia membantu si gadis meneliti lebih jauh negeri Nimbus.

Kedekatan Marlon dan Caraveena menyulut kemarahan penguasa Hades, negeri tempat dunia kematian. Manusia yang masih hidup seharusnya tidak boleh mengetahui dunia kematian. Hubungan Marlon dan Caraveena juga merupakan cinta terlarang. Untuk menjaga cinta mereka, jiwa mereka pun terancam.

Pemakaian sudut pandang orang pertama dengan tokoh-tokoh yang berlainan pada bab-bab yang berbeda bisa menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Nilai lebihnya, pembaca bisa menyelami dunia dalam para tokohnya. Kekurangannya, alur menjadi lambat, bahkan ada sejumlah pengulangan yang sebenarnya tidak perlu.

Catatan lain, novel ini terlalu kental rasa impor (barat)-nya. Judulnya sendiri, yang memakai bahasa Inggris, sudah menunjukkannya. Begitu juga nama-nama tokoh (Caraveena, Prof. Klain, dan lain-lain) dan nama lokasi cerita (Enigma, Numbus, dan sebagainya). Kalau saja cerita, nama-nama tokoh, dan latar tempat kisahnya dibawa ke situasi local, saya akan memberikan apresiasi lebih tinggi.

Meski demikian, novel ini pantas diterima khalayak pembaca kita, yang selama ini sudah terlampau lama “dicekoki” karya-karya terjemahan yang tidak semuanya berkualitas. (her)