SPLIT

Siapa yang tidak kenal dengan nama M. Night Shyamalan?

Well, mungkin sebagian dari kalian tidak kenal dengan nama ini. Karena dia bukanlah seorang aktor terkenal sekelas Tom Cruise ataupun Brad Pit. Shyamalan adalah seorang Sutradara, Penulis Naskah, Produser Film dan juga Aktor yang sering kali tampil menjadi cameo di salah satu film yang dibuatnya. Salah satunya adalah film yang berjudul Split yang baru saja tayang di bioskop tanah air.

Split mengetengahkan kisah mengenai seorang gadis remaja bernama Casey Cooke (cast: Anya Taylor-Joy) yang dikenal tertutup dan aneh oleh teman-temannya karena mengalami kekerasan baik fisik maupun seksual dari pamannya sendiri yang menjadi wali asuhnya.

Suatu hari Casey yang berada di tempat, waktu dan bersama dengan orang yang salah, diculik oleh seorang laki-laki bernama 'Dennis' (cast: James McAvoy) bersama kedua teman sekolahnya: Claire Benoit (cast: Haley Lu Richardson) dan Marcia (cast: Jessica Sula). Saat tersadar dari pingsannya, Casey, Claire dan Marcia berada di sebuah ruangan tertutup. Mereka berusaha kabur tapi sang penculik mengetahui rencana mereka dan akhirnya membuat mereka dikurung terpisah. Tapi yang semakin membuat mereka ngeri adalah saat mengetahui bahwa sang penculik ternyata memiliki tidak hanya satu atau dua melainkan dua puluh tiga kepribadian di mana tujuh dari semua kepribadian itu silih berganti mendominasi tubuh Kevin Wendell Crumb, kepribadian awal sang penculik.

Sementara itu Psikolog Kevin bernama Dr. Karen Fletcher (cast: Betty Buckley) merasakan hal yang aneh saat Kevin yang saat itu sedang 'dikuasai' oleh 'Dennis' bertemu dengannya dalam sesi pertemuannya yang biasa. Walaupun tahu bahwa Kevin dan 'teman-temannya' berbeda dengan orang pada umumnya, Dr. Fletcher berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan Kevin bahwa dia sama dengan orang lain dan dapat hidup 'normal'. Selain itu, Dr. Fletcher juga berusaha untuk memberikan keyakinan kepada Kevin dan 'teman-temannya' bahwa kepribadian kedua puluh empat yang mereka yakini bernama 'The Beast' tidaklah nyata dan tidak akan bisa 'mengontrol' mereka melakukan segala hal jahat yang mereka takutkan. Tapi saat Dr. Fletcher mengetahui bahwa 'Dennis' telah menculik tiga orang gadis dan menyekapnya di rumahnya, dia tahu bahwa semuanya sudah terlambat.


Pengalaman Shyamalan saat duduk di atas kursi Sutradara memang seperti sedang bermain roller coaster. Kinerjanya pernah sangat dipuji saat menggarap film The Sixth Sense pada tahun 1999 lalu bahkan hingga membuatnya memenangkan beberapa award. Tapi namanya juga pernah dicibir saat dinyatakan gagal menggarap film Lady In The Water pada 2006, The Happening pada 2008 dan The Last Airbender pada 2010 yang juga membuatnya dianugerahi berbagai macam penghargaan sebagai 'Worst Director', 'Worst Screen Play' dan bahkan 'Worst Supporting Actor'. Tapi untunglah Shyamalan tidak mudah menyerah dan menggarap film Split ini.

Kenapa saya berkata begitu? Karena menurut saya setelah The Sixth Sense maka Split adalah film yang akan selalu membuat saya memuji nama Shyamalan.

Dalam daftar pribadi saya, Split adalah film yang masuk ke dalam 'full package film' dengan daftar nilai yang bisa dikatakan nyaris sempurna. Cerita yang disajikan: bagus sekali. Simple. Tapi alur, plot, klimaks dan anti klimaks, semuanya disajikan dengan pas, enak untuk diikuti, tidak terburu-buru. Premisnya sederhana: sekelompok remaja yang diculik oleh seorang 'psikopat' yang ternyata memiliki kepribadian 'ganda'. Tapi karena disajikan dengan rapi dan dieksekusi dengan tepat semua terasa ciamik sekali. Sinematografinya tidak berlebihan, tapi pas, terasa menyatu dengan setting, musik, pakaian, semuanya. Karakteristik para tokohnya pun kuat. Sangat kuat. Shyamalan tidak menggunakan terlalu banyak aktor atau aktris sehingga para tokoh yang ditampilkan dapat tereksplor dengan sempurna. Dialog yang disajikan pun terasa 'gemuk' sekali. Berisi.

Apa lagi yang bisa saya komentari?

Ditambah dengan akting McAvoy yang luar biasa, semuanya terasa PAS (maaf, saya harus menggunakan caps lock untuk kata terakhir itu ). McAvoy benar-benar prima dalam film ini. Total banget. Bahkan saya dengar bahwa McAvoy sempat cukup frustasi karena merasa kurang bisa memerankan karakter 'Hedwig' dengan maksimal. Ini menandakan keseriusannya dalam mendalami karakter ini hingga berhasil membuat saya yakin bahwa McAvoy bukan aktor yang hanya bisa membintangi film 'bergenre Box Office' saja.

Yang membuat film ini tidak hanya film  psychological thriller biasa adalah keberadaan tokoh Dr. Fletcher yang 'bertugas' untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan sang tokoh utama sehingga penonton tidak hanya disajikan mengenai 'kegilaan' apa yang dilakukan oleh tokoh protagonis nya. Dan keberadaan Dr. Fletcher juga, tanpa disadari, menjalin kedekatan antara penonton dan sang protagonis sehingga kita bisa 'memahami' dan 'ikut merasakan' penderitaannya.

Hanya satu masalah yang membuat saya terganggu: last scene nya. Saya tidak mau memberikan bocoran terlalu banyak, hanya saya last scene ini membuat saya sedikit ketakutan. Apa lagi ada beberapa rumor yang saya dengar bahwa Shyamalan berencana membuat kelanjutan film ini yang akan disangkutpautkan dengan film lain yang pernah dia garap sebelumnya. Saya benar-benar berharap Shyamalan tidak melakukan kesalahan pada langkah berikut yang akan dia ambil mengenai film ini dan yang mungkin akan bisa menghancurkan kesempurnaan film ini, paling tidak di mata saya secara pribadi.

Can I give five stars for a movie? Saya tidak pernah memberikan lima bintang pada review-review film saya sebelumnya. Apakah kali ini saya boleh melakukannya? Terasa tidak berlebihan, kan?

Well, here we go. 🌟🌟🌟🌟🌟

DISORIENTASI TOKOH

Pernahkah kalian berada di situasi saat kalian menonton film Real Steel yang dibintangi Hugh Jackman sang Wolverine dan membayangkan bahwa tokoh yang diperankan Jackman akan mengeluarkan cakar adamentiumnya di tengah-tengah cerita dan menghancurkan semua robot yang ada lalu mengambil cerutunya dan kembali bergabung dengan teman sesama mutannya?

Aneh bukan? Well, kira-kira seperti itulah yang saya maksud dengan disorientasi tokoh. Masih belum 'ngeh' juga?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau yang disingkat dengan KBBI, disorientasi sendiri berarti kekacauan kiblat; kesamaran arah: pandangan (yang) akan timbul apabila terdapat kesenjangan antara organisasi sosial dan sistem nilai kebudayaankehilangan daya untuk mengenal lingkungan, terutama yang berkenaan dengan waktu tempat dan orang.

Secara gamblang, disorientasi tokoh yang saya maksud adalah ketika kita terjebak di dalam situasi di mana saat kita sedang menonton film aktor atau aktris favorit dan membayangkan bahwa aktor atau aktris tersebut akan kembali memerankan tokoh yang sebelumnya pernah mereka perankan.

Situasi ini bisa kita alami jika terdapat jarak yang terlalu dekat antara dua film atau lebih yang diperankan oleh satu pemeran yang sama. Atau situasi serupa juga dapat terjadi jika film tersebut diperankan oleh aktor atau aktris yang pernah memerankan tokoh yang cukup ikonik dan sulit untuk dilupakan begitu saja. Contoh yang paling mudah adalah tokoh yang diperankan oleh Daniel Radcliffe, sang Harry Potter. Jika Daniel Radcliffe bermain di film lain maka kita tidak akan bisa mengenyahkan bayangan Harry Potter dari dirinya.

Ini merupakan sebuah anugerah sekaligus kutukan bagi sang aktor atau aktris itu karena sekali mereka memerankan tokoh yang sangat ikonik dan melekat di hati para penonton maka akan sangat sulit melepaskan imej tersebut dan 'move on'. Tapi di sisi lain namanya yang melambung akibat peran ikonik tersebut akan memberi keuntungan seumur hidup pula.

Tidak percaya? Robert Pattinson yang terkenal dengan tokoh Edward Cullen sang Vampire tampan pun pernah berkata di salah satu wawancaranya bahwa dia sama sekali tidak suka dengan tokoh yang dia perankan dan berharap tidak pernah menerima tawaran itu. Daniel Radcliffe sendiri membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang ekstra keras untuk dapat menghilangkan imej Harry Potter yang telah dia perankan selama lebih dari sepuluh tahun. Sedangkan Emma Watson, sang pemeran Hermione Granger dalam seri Harry Potter tidak mau lagi memerankan tokoh yang sama.

Hehehe.... rumit yah....

Situasi seperti ini akan berdampak sedikit berbeda jika dilihat dari kaca mata perfilman dalam negeri. Di perfilman nusantara disorientasi tokoh yang saya alami terjadi karena seorang aktor atau aktris yang memerankan tokoh yang berbeda di dua film yang berbeda dalam jarak yang berdekatan dengan karakteristik tokoh yang mirip.

Mau saya beri contoh?

Sebenarnya saya tidak mau menyebutkan satu atau dua nama aktor atau aktris dalam negeri, karena jujur saja, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan perfilman dalam negeri. Tapi saya yakin kalian pasti bisa menyebutkan sendiri satu-dua atau bahkan tiga nama aktor atau aktris yang sangat sering hilir mudik di layar bioskop dengan berbagai judul film yang berbeda. Dan ini membuat saya miris. Maksud saya, please! Memangnya tidak ada aktor atau aktris lain yang mempunyai potensi untuk bisa berakting dengan baik? Memang sih akting mereka memang mumpuni, tapi tetap saja....

Tapi ada lagi fenomena lain yang tidak kalah menariknya untuk disimak dan sering kali memicu saya mengalami disorientasi tokoh. Biasanya fenomena yang satu ini terjadi saat saya menonton film-film yang dibintangi oleh aktor atau aktris tertentu yang memiliki nama besar melebihi karakter ikonik yang pernah mereka perankan. Biasanya lagi karakter tokoh yang mereka perankan memiliki tipe yang mirip sehingga ending cerita pun akan dapat mudah ditebak. Dan biasanya lagi dan lagi sang aktor atau aktris lebih dominan karakternya dibandingkan dengan karakter tokoh yang mereka perankan.

Fenomena ini sering saya alami jika saya menonton film yang dibintangi oleh Tom Cruise atau Will Smith. Apakah kalian sudah bisa melihat polanya? Aktor yang saya sebutkan tadi memang cenderung 'menguasai' film yang mereka perankan. Sehingga pada akhir cerita saya akan merasa menonton akting yang 'Tom Cruise banget' atau 'Will Smith banget'.

Jangan salah sangka, fenomena ini bukanlah suatu hal tabu yang sangat menyebalkan untuk saya rasakan karena sebagian besar saat fenomena ini terjadi saya toh masih tetap bisa menikmati film yang saya tonton. Tapi jika mau dinilai lebih kritis dengan kaca mata yang lebih cerewet, hal ini tentulah sedikit mengganggu. Dan sudah tentu fenomena seperti ini tidak akan bisa membawa sebuah film melangkah ke ranah tingkat perfilman yang lebih tinggi, semisal Oscar atau Golden Globe.

Kalau menurut kalian bagaimana?
Apakah kalian juga sering mengalami disorientasi tokoh seperti saya?


RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER

Film yang baru-baru ini saya tonton adalah Resident Evil: The Final Chapter. Sama seperti kelima film sebelumnya, film keenam dari seri Resident Evil yang diadaptasi dari game dengan judul yang sama garapan Capcom ini masih menceritakan kisah mengenai seorang gadis kloning bernama Alice (cast: Milla Jovovich) yang berusaha bertahan hidup dari serangan para zombie kelaparan yang terjangkit T-Virus ciptaan Umbrella Corp. Perusahaan yang sama jugalah yang menjadikan Alice sebagai kelinci percobaan dan yang 'tanpa sengaja' membuat kiamat datang ke muka bumi lebih cepat dari pada semestinya.

Bedanya kali ini Alice mendapat 'bantuan' dari sang musuh bebuyutannya sendiri: Red Queen (cast: Ever Gabo Anderson). Menurut Red Queen, Umbrella Corp. menyimpan satu tabung anti virus yang dapat memusnahkan semua T-Virus yang telah menyebar. Jika Alice ingin menyelamatkan sisa manusia yang masih bertahan hidup, Alice memiliki waktu empat puluh delapan jam untuk mendapatkan tabung yang terdapat di The Hive di Racoon City sebelum T-Virus menguasai dunia. Tapi pekerjaan Alice tidak semudah itu. Alice bukan hanya harus menghadapi jutaan zombie kelaparan di sepanjang perjalanannya, tapi dia juga harus bersiap menghadapi Dr. Alexander Isaacs (cast: Iain Glen) yang masih memburunya. Belum lagi terdapat kaki tangan Dr. Isaacs yaitu: Albert Wesker (cast: Shawn Roberts) yang mengawasinya dan siap menghadiahi Alice zombie-zombie hasil eksperimen yang harus darah.

Untungnya di tengah perjalanan panjangnya Alice bertemu dengan Abigail (cast: Ruby Rose) beserta beberapa orang lain yang masih bertahan hidup. Mereka bersedia membantu Alice untuk bisa mencapai The Hive tepat waktu dan mendapati bahwa yang menunggu Alice di sana lebih dari pada yang dia harapkan.


Sama seperti kelima pendahulunya, Resident Evil: The Final Chapter masih 'dikuasai' oleh Paul W. S. Anderson yang bukan saja menjadi sutradara (kecuali di film kedua dan ketiga) tapi juga menjadi produser dan penulis naskah. Bukan hanya itu, Paul juga seolah-olah tambah menguasai film ini dengan menempatkan sang istri: Milla Jovovich sebagai pemeran utamanya.

Film yang katanya merupakan seri terakhir dari serial yang awalnya merupakan sebuah game ini masih memiliki deretan panjang 'masih' di daftar saya. Film ini masih memiliki plot yang sama dengan film-film sebelumnya. Dengan konflik yang masih sama, tokoh yang masih sama, antagonis yang masih sama dan bahkan setting yang masih sama juga. Formula yang dimainkan Anderson dalam film keenam ini pun hampir sama persis dengan formula yang dia pakai pada film kelima. Apakah sang sutradara sudah mulai bosan menggali kisah ini dan ingin cepat-cepat menyelesaikan seri ini sampai di sini saja? Entahlah, tapi jika mengingat ending kisah yang sedikit menggantung, bisa saja suatu saat akan ada seri lanjutan dengan embel-embel 'return'.

Herannya, walaupun mendapatkan cukup banyak kritikan, toh film ini masih laris manis di bioskop. Buktinya dalam kurun waktu satu bulan saja film ini sudah menghasilkan keuntungan tiga kali lipat dari budget. Mungkin karena film dengan genre zombie masih tidak terlalu banyak beredar. Dan walaupun menurut saya pribadi kehadiran para zombie dalam film ini masih kalah jika dibandingkan dengan film zombie lain, tapi tetap saja masih sangat menarik untuk ditonton. Belum lagi para penggemar game nya yang akan dengan senang hati menanti kehadiran film ini di bioskop. Dan yang membuat saya sendiri betah menonton film ini adalah adegan aksinya yang konsisten dari awal hingga akhir film. Walaupun masih menggunakan setting dan makhluk-makhluk yang sama, tapi adegan laganya yang seru dan menegangkan masih memberi angin segar.

Saya hanya akan memberikan tiga dari lima bintang untuk film ini dan berharap bahwa tidak akan ada lagi kelanjutannya yang menggunakan pola 'napak tilas' seperti ini lagi.

🌟🌟🌟