ELYSIUM

Setelah berhasil menyuguhkan film bertema science fiction yang berjudul District 9 pada tahun 2009, Neill Blomkamp kini menghadirkan film dengan tema yang sama berjudul Elysium. Neill kini tidak hanya bertindak sebagai sutradara, tapi juga sebagai penulis naskah dan co-produser.

Elysium bercerita mengenai kondisi bumi pada tahun 2154, di mana bumi telah mengalami over-populasi dan berada dalam kondisi kemiskinan, penuh wabah dan kekerasan. Armadyne Corporation membangun sebuah stasiun luar angkasa bernama Elysium, tempat di mana para penduduk yang kaya dan berkedudukan tinggi dapat tinggal dengan nyaman. Bahkan system pemerintahan yang dikepalai oleh President Patel (Faran Tahir) dijalankan dari sana. Dengan segala kenyamanan dan teknologi canggih yang dimiliki Elysium, seluruh penduduk bumi yang terlantar rela melakukan segala cara agar bisa pergi ke sana. Tapi Elysium mempunyai Menteri Pertahanan yang hebat bernama Jessica Delacourt (Jodie Foster) yang tega menyingkirkan semua pemberontak yang ingin menyusup ke dalam Elysium dengan tangan dingin.

Sementara itu, seorang anak laki-laki bernama Max De Costa (Matt Damon) dibesarkan dalam lingkungan yang keras di Los Angeles. Dia dan teman masa kecil, sekaligus wanita yang dicintainya: Frey Santiago (Alice Braga), berkeinginan untuk bisa menjadi salah satu penduduk Elysium. Tapi setelah beranjak dewasa, cita-cita mereka itu pun pupus saat Frey harus pindah. Max tumbuh dewasa sebagai laki-laki yang sering melakukan tindakan criminal dan akhirnya bekerja di perusahaan Ermadyne. Suatu hari Max bertemu lagi dengan Frey yang bekerja sebagai seorang perawat dan ternyata sudah memiliki seorang anak perempuan bernama Matilda (Emma Tremblay) yang menderita leukemia.

Tanpa disengaja Max mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya terkena radiasi tingkat tinggi sehingga dapat membunuhnya dalam waktu lima hari. Karena tidak mau meninggal secepat itu, Max meminta bantuan seorang ketua geng pemberontak bernama Spider (Wagner Moura) agar bisa menyelundupkannya ke Elysium sehingga Max bisa menggunakan Med-Pod yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit di sana. Spider bersedia membantu jika Max mau mencuri data berharga di dalam kepala salah satu petinggi Elysium yang berada di bumi: John Carlyle (William Fichtner). Max dibekali sebuah Exoskeleton yang ditanamkan di seluruh tubuhnya melalui proses yang menyakitkan untuk meningkatkan kemampuan tubuhnya setingkat sebuah robot dan dapat menyimpan informasi yang mereka butuhkan di dalam kepala Max.

Sementara itu, Jessica Delacourt berencana melakukan kudeta. Dia meminta CEO Armadyne: John Carlyle untuk menciptakan sebuah program yang dapat memprogram ulang Elysium sehingga Jessica bisa mengikrarkan diri sebagai President Elysium yang baru. Sebagai balasannya, Jessica akan menandatangani kontrak baru dengan perusahaan John Carlyle untuk dua ratus tahun ke depan. Saat John Carlyle menyetujui rencana ini, dia menyimpan program tersebut di dalam otaknya sendiri demi keamanan lalu berangkat ke Elysium untuk menghadap Jessica dan melaksanakan rencana jahat mereka. Tapi di tengah jalan John diserang oleh Max dan program tersebut pun dicuri. Jessica yang marah dan panic memerintahkan agen lapangan rahasianya yang berada di bumi: Kruger (Sharlto Copley) untuk memburu Max dan merebut kembali data yang sangat berharga tersebut.

Akhirnya Max tidak hanya harus berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan nyawanya sendiri, tapi dia juga harus bertarung dengan para robot dan manusia setengah robot untuk bisa menyelamatkan apa yang masih bisa dia selamatkan serta mewujudkan cita-citanya sedari kecil: menjadi salah satu penduduk Elysium.
Tema apocalypse dan robot memang sudah tidak asing lagi di dunia perfilman Hollywood, tapi yang membuat film ini berbeda dengan film-film bertema serupa adalah isu politik dan sosialnya yang dengan berani memaparkan perbedaan tingkat social masyarakat yang sebenarnya sudah menjadi isu utama di kalangan masyarakat belakangan ini. Selain itu, nama Matt Damon, Jodie Foster dan William Fichtner yang sudah sering kita lihat di bioskop atau pun televisi nasional bisa menjadi salah satu jaminan untuk menarik perhatian penonton. Tapi bukan berarti film ini akan bisa sukses saat dilempar ke pasaran begitu saja.

Jika dilihat dari jadwal rilis di Indonesia, Elysium mungkin bisa cukup tenang karena keluar saat masih di (akhir) libur lebaran yang panjang dan tidak memiliki saingan yang cukup berat, mengingat Smurft 2 tidak terlalu berhasil di pasar perfilman Indonesia. Tapi, saya pribadi tidak terlalu suka dengan eksekusi film ini. Dengan tema yang cukup unik, detail ceritanya malah kurang disajikan dengan baik. Settingnya cukup menarik, animasinya pun tidak perlu diragukan lagi. Tapi karakter tokohnya kurang digali cukup mendalam sehingga para penonton tidak cukup menjalin emosi dengan para tokohnya. Twist cerita juga tidak membuat saya penasaran dan mudah ditebak. Sungguh sangat disayangkan karena jika saja film ini dapat dieksekusi dengan lebih baik, saya rasa film ini bisa menjadi film kuda hitam yang bisa diperhitungkan.


Saya hanya bisa memberikan dua setengah dari lima bintang untuk film ini karena saya tidak mendapatkan ‘wow factor’nya. Walaupun beberapa orang akan mencibir dan mengatakan bahwa saya salah menilai, tapi saya tidak akan mengubah pendirian saya kali ini. Sorry.


Ngintip: SHAKTI - AWAL PETUALANGAN

Buku pertama berjudul SHAKTI - AWAL PETUALANGAN. Buku ini adalah lanjutan dari buku pertamanya yang berjudul: Shakti Dan Bintang Jatuh dan buku ini juga termasuk ke dalam seri The Chronicle Of Enigma yang saya ciptakan, tapi buku ini tetap bisa dibaca tanpa perlu membaca buku pertama yang sudah saya terbitkan pada tahun 2011 lalu yang berjudul: The Two Rings.

Sudah mulai tertarik? Untuk sementara buku ini hanya bisa dibeli versi e-booknya di link ini: http://gramediana.com/books/detail/14082013173510-the-chronicle-of-enigma-shakti-awal-petualangan-book-2?locale=en



Atau kamu bisa coba baca dulu halaman pertamanya di sini! enjoy... :)

Chapter 1

Bintang Jatuh

Matahari sore sudah dijelang lagi, cahayanya yang jingga sekali lagi menyiratkan lelahnya sang mentari setelah melakukan tugasnya seharian. Shakti duduk di atas pohon untuk memandang sang mentari itu. Nyaris sepanjang hari dia duduk di sana tanpa ingin beranjak, air matanya berulang kali mengalir lalu berhenti dan mengalir lagi tanpa bisa dicegah. Entah kenapa, di dalam otaknya masih terus teringat satu kata yang selalu diputar ulang tanpa henti: Ruben tewas, Ruben tewas. Dan tanpa bisa disangkal, kata-kata inilah yang membuat air mata Shakti tidak bisa berhenti mengalir.
Dia juga tahu kalau petualangan yang dilewati bersama teman-temannya sudah berakhir, tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu kepada mereka. Mengatakan hal itu seolah hanya akan membuatnya bertambah sedih dan mengesahkan kematian Ruben sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Dia tidak ingin petualangannya berakhir seperti ini, dia tidak ingin mengecewakan teman-temannya dan terutama, dia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri.
Tom, Cognito dan Maxy berada di pinggir hutan yang lain, berkemah ditemani Leon yang sesekali datang menemui mereka. Mereka tidak peduli petualangan mereka sudah berakhir atau belum tapi mereka tidak bisa meninggalkan Shakti dalam keadaan seperti itu. Lagipula mereka tidak memiliki alasan dan tujuan untuk pergi. Bagi Tom, tidak ada lagi keluarga yang tersisa untuknya karena kelompok Gypsy Group sudah dibantai habis oleh orang-orang Path. Hanya Shakti yang sekarang sangat dikenalnya dan patut dia sebut sebagai sahabatnya.
Sedangkan bagi Maxy, Shakti adalah sahabat dan adiknya. Selama ini dia terkurung di dasar Titan Valley selama bertahun-tahun tanpa ada satu orang pun yang mengetahui keberadaannya, tapi semenjak Shakti menawarinya untuk ikut pergi dan meninggalkan Titan Valley, Maxy sudah meyakinkan diri bahwa Shakti-lah saudara perempuan yang akan dilindunginya seumur hidup. Sementara bagi Cognito, tidak ada alasan untuk menghentikan petualangannya hanya sampai di sini. Dia sudah begitu bersemangat saat pertama kali mengetahui bahwa akhirnya dia bisa berpetualang dan mewujudkan mimpinya selama ini, sehingga membohongi seluruh penduduk Orinoko dan Ayahnya pun setuju dilakukannya tanpa banyak pertimbangan. Petualangannya baru saja dimulai, dia tidak rela mengakhiri petualangannya sesingkat ini.
Jadi ketiganya memutuskan untuk tetap bertahan di tempat, seakan tidak rela kalau semuanya berakhir sebegini buruk dan menunggu Shakti memutuskan sesuatu, walaupun Shakti kelihatannya tidak ingin memutuskan apa-apa.
Sesekali di antara Tom, Cognito, Maxy atau Leon datang menghampiri Shakti untuk menanyakan kabar dan memberinya makanan. Walaupun Shakti tetap tidak menunjukkan keinginan untuk menghentikan tindakannya yang aneh itu, teman-temannya tetap sabar menghadapinya dan rela bulak-balik membujuk Shakti. Bukan membujuknya untuk turun dari atas pohon dan kembali berpijak di atas tanah seperti manusia normal lainnya, mereka tahu usaha itu tidak akan berhasil, tapi mereka berusaha sekuat tenaga agar Shakti bisa menerima kenyataan yang ada dengan hati yang lebih lapang dan sabar.
Ruben sudah tewas, tidak peduli Shakti mau mempercayainya atau tidak. Kenyataannya seorang saksi mengatakan kalau dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat sebuah pedang menebas punggung Ruben dan membunuhnya.
Tapi kelihatannya Shakti masih sulit untuk diyakinkan. Entahlah. Di dalam diri Shakti, sebagian dirinya yang kecil dan biasanya terletak di dasar hatinya, yakin kalau Ruben_entah bagaimana_belum meninggal. Dia yakin Ruben masih bernapas dan menunggu Shakti menjemputnya. Tetapi sebagian dirinya yang lain, yang lebih besar ukurannya dari pada bagian diri Shakti yang berada di dasar hatinya tadi, mempercayai fakta itu tapi tidak tahu bagaimana cara untuk meyakinkan dirinya sendiri. Ini yang membuatnya begitu sulit memutuskan hal apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia sadar, teman-temannya sedang menunggu keputusannya, tapi Shakti tidak bisa memutuskan, dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
Jadi, itulah alasan yang dapat menjelaskan kenapa sampai saat ini Shakti masih bertahan duduk di atas dahan pohon itu selama beberapa waktu seperti seorang pertapa.
“Kau, makan?“
Saat ini Maxy ada di bawah pohon dan sedang menyodorkan sebuah daun besar yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai piring. Di dalamnya berisi kentang panggang dan paha ayam bakar yang mengeluarkan wangi yang membuat Shakti tersadar kalau dia memang merasa lapar. Shakti mengambil piring daun itu dari tangan Maxy tanpa perlu menunduk karena tinggi badan Maxy nyaris sama dengan tinggi dahan itu, lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Maxy dengan pelan.
“‘gimana keadaanmu?“ tanya Maxy lagi yang sekarang sudah bersandar di pinggir pohon tempat Shakti duduk. Shakti berhenti menguyah untuk memikirkan jawabannya, lalu berkata dengan lemah sambil sedikit menyesal karena harus menjawab seperti ini.
“Aku tidak tahu, Maxy.“
Baik, kan?“ tanya Maxy lagi, ketiga matanya memandang Shakti dengan penuh harap dan khawatir.
“Baik, kurasa. Entahlah.“
Maxy menunduk dengan sedih lalu berjalan menjauhi Shakti dengan langkah berat sambil menyeret kakinya yang besar. Maxy kelihatan sangat kecewa dan Shakti tidak menyalahkannya. Dia tahu bukan jawaban seperti itu yang ingin Maxy dengar darinya, tapi Shakti tidak ingin berbohong kepada sahabat-sahabatnya dengan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa padahal rasanya dia ingin mati. Sehingga akhirnya Shakti memutuskan untuk kembali duduk termenung sambil menghabiskan makanannya yang ternyata tidak terasa enak seperti dugaan sebelumnya.
Shakti memandang jauh ke depan dan terkejut melihat desa Oz yang ditinggalkannya di balik bukit. Buru-buru dia turun dari atas dahan pohon dan berlari ke sana. Benar, itu desa Oz yang dirindukannya. Ada hamparan sawah yang sudah mulai menguning dan Tuan Koboi sedang berlarian riang di sekeliling sawah untuk mengusir burung pemakan biji yang suka merusak padi. Ada juga rumah kecilnya, lengkap dengan gorden putih yang tertiup angin dengan Ayah, Ibu dan Carmen sedang melambai dan tertawa riang kepada Shakti. Juga ada bukit kecil di belakang rumah, dan bukit berpuncak pohon, tempat favoritnya dan Ruben.
Di bukit itu, tepat di samping pohon yang besar, berdirilah Ruben. Tingginya masih sama dengan terakhir kali Shakti bertemu dengannya. Rambutnya juga masih terpotong rapi dan dia mengenakan pakaian yang tak kalah rapinya. Langsung saja Shakti berlari semakin kencang ke arah Ruben, merasa senang sekali akhirnya bisa melihat Ruben lagi dan bertekad ingin langsung memeluk Ruben begitu dia sampai di depannya. Tapi begitu sampai di tempat Ruben berada, Shakti malah menemukan pohon yang kering dan hampir roboh dengan daun-daunnya yang berguguran tanpa arti. Ruben masih berdiri di samping pohon itu, tapi wajahnya tanpa ekspresi, rambutnya berantakan dan darah segar mengaliri punggungnya sehingga menggenangi kakinya seperti kubungan lumpur berwarna merah darah.
Shakti menjerit kaget dan ketakutan sedangkan Ruben tampak tidak terganggu dengan suara apa pun. Masih dengan wajah tanpa ekspresi, Ruben berjalan mendekati Shakti, mengulurkan tangan kanannya yang juga dipenuhi darah yang kental dan berkata dengan suara terbata-bata, khas suara orang yang menahan sakit.
“Shak...ti...“
“AH!!!“
Shakti berteriak sekuat tenaganya sambil menutup telinga dengan kedua belah tangannya karena ngeri, tidak percaya dan takut sekaligus. Tapi tiba-tiba Shakti membuka matanya dan langsung meraih kedua cincin kembar bermahkota matahari yang tergantung di lehernya dengan sebuah tali hitam. Kedua cincin itu terasa panas, padahal semilir angin malam yang cukup kencang dan dingin sekarang sudah berhembus. Shakti melepaskan genggamannya lalu ganti meraba jantungnya. Debarannya sangat cepat, lebih cepat dari pada biasanya. Lalu Shakti mengusap keringat di kening dan lehernya dengan punggung tangan dan mencoba menarik napas panjang untuk sedikit meredakan debaran jantungnya tadi. Dia sadar kalau tadi itu hanyalah mimpi, mimpi yang benar-benar buruk.
Sekali lagi Shakti menarik napas panjang sambil menengadahkan kepala, berusaha menarik oksigen sebanyak paru-parunya muat menampung sambil memejamkan mata. Lalu saat membuka matanya lagi dengan kepala yang tetap menengadah memandang langit malam yang cerah berbintang, Shakti menemukan bintang jatuh lagi!
Bintang itu hampir sama dengan bintang yang dilihatnya bersama Ruben beberapa waktu yang lalu, yang akhirnya menuntunnya melakukan perjalanan. Bintang itu masih sama cemerlangnya, masih sama berkerlap-kerlip genit seperti dulu. Shakti buru-buru mengurungkan niatnya untuk menarik napas dalam-dalam lagi dan ganti memperhatikan bintang itu dengan saksama. Entah bagaimana, Shakti yakin sekali kalau itu adalah bintang yang sama, dan kejadian selanjutnya semakin mengukuhkan pendapatnya. Bintang itu jatuh! Lagi, untuk kedua kalinya! Dengan pikiran yang penuh dengan ketidak percayaan, kekagetan dan panik, Shakti buru-buru turun dari dahan pohon yang sudah didudukinya selama beberapa lama dan berlari mengikuti jatuhnya bintang itu.
Tidak peduli kakinya terasa kram atau apa pun, Shakti terus berlari mengikuti arah bintang jatuh itu, kali ini benar-benar bertekad tidak ingin kehilangan lagi. Dia memasuki hutan lagi sambil tetap mengawasi pergerakan bintang itu di sela-sela puncak pohon yang tidak terlalu rindang, lalu melewati pinggir hutan di mana Tom dan yang lainnya berkemah. Mereka sedang terlelap saat Shakti lewat. Tom dan Cognito duduk bersebelahan di samping pohon, Maxy tertidur dalam keadaan duduk di pinggir pohon yang lain, sedangkan Leon tertidur di pinggir semak dengan pedang yang biasanya selalu disampirkan di ikat pinggangnya tergeletak tak jauh dari kakinya.
Shakti melewati mereka tanpa memperhatikan jalur yang dilewatinya karena otaknya hanya dipenuhi dengan kenyataan bahwa dia menemukan bintang jatuh itu lagi. Karena terburu-buru dia tidak sengaja menyenggol pedang Leon saat berlari dan mengakibatkan pedang itu berguling dengan suara berisik. Seketika itu juga Leon, Tom, Cognito dan Maxy terbangun dengan kaget, Maxy malah terbangun sambil sedikit melengking. Tom langsung tersadar dari kekagetannya dan melihat Shakti berlari. Dia berteriak memanggil Shakti.
“Shakti, ada apa?“
“Kau mau pergi ke mana?“ tanya Cognito dengan sedikit berteriak karena Shakti sudah berlari semakin menjauh.
“Aku menemukan bintang jatuhku lagi! Dia belum jatuh!“ Shakti menjawab tanpa memperlambat atau menghentikan langkahnya.
“Apa?“ tanya Leon, tidak percaya. Tapi dia tidak menunggu penjelasan lebih lanjut dari Shakti. Sama seperti yang lain, dia malah buru-buru mengikuti Shakti berlari mengejar bintang jatuh itu juga.
Mereka berlari dengan terengah-engah, sesekali menengadah ke atas untuk melihat ke arah mana bintang jatuh itu bergerak. Ternyata bintang jatuh itu bergerak ke sudut hutan yang lain di mana hutan semakin melebar dan pohon-pohon semakin rindang sehingga semakin sulit melihat bintang jatuh itu bergerak. Tapi Shakti tidak peduli ke arah mana bintang jatuh itu bergerak, dia hanya ingin terus mengikuti bintang jatuh itu sampai jalannya terhenti karena ternyata hutan itu berakhir di ujung tebing.
Mereka berhenti di tebing itu, napas mereka masih terengah-engah tapi kepala mereka masih tetap memandang bintang jatuh itu bergerak terus ke seberang di mana pohon-pohon hitam terbentang luas. Mereka tidak bisa mengejar bintang jatuh itu lagi karena tebing itu begitu tinggi dan curam dan pada dasarnya mengalir sungai luas yang cukup dalam. Shakti hanya bisa memandangi bintang jatuh itu dengan pilu, hatinya begitu sedih karena berhasil menemukan bintang jatuh itu lagi tapi ternyata tidak bisa mengejarnya sampai dapat.
Tapi tiba-tiba bintang itu benar-benar jatuh di ujung sana sambil mengeluarkan cahaya yang terang lalu tanah yang Shakti injak terasa bergetar dan dua cincin kembar Shakti terasa panas lagi, bahkan kali ini terasa jauh lebih panas dari pada sebelumnya. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, seolah-olah hanya dalam satu kali kedipan mata, lalu keadaan kembali normal. Dan saat itu Shakti langsung tersadar dan menjadi begitu yakin bintang jatuh itu kali ini benar-benar jatuh dan sekarang dia harus mengambil bintang jatuh itu secepatnya.
Shakti berbalik menghadapi teman-temannya. Sinar bulan yang cukup terang memberi keluasaan bagi Shakti untuk bisa melihat wajah teman-temannya dengan jelas. Maxy sedang mengatur napasnya karena tiba-tiba diajak berlari ketika baru saja tersentak bangun. Ketiga matanya menutup kelelahan dan kedua tangannya yang besar memegangi kedua lututnya yang hitam legam sehingga kedua tanduk besarnya kelihatan seperti ingin menusuk Shakti.
Cognito duduk di tanah dengan kedua kaki pendeknya terjulur. Wajahnya juga kelelahan, napasnya juga terengah-engah dan kedua tangannya dibiarkan menopang badannya menyandar. Sedangkan Leon yang juga terengah-engah, tapi tidak terlalu kelihatan kepayahan jika dibandingkan yang lain, hanya berdiri dengan pedang yang tidak sengaja Shakti senggol sehingga membangunkan teman-temannya tadi tertancap di tanah seperti kaki ketiga Leon. Sedari tadi Leon terus memperhatikan Shakti dengan khawatir.
Dan Tom berdiri paling belakang, berkacak pinggang dan memandangi langit yang kosong dan tempat hilangnya bintang jatuh tadi bergantian. Kedua tangannya ditopang di pinggang sehingga kelihatannya sedang menantang orang. Shakti memandangi teman-temannya satu per satu, lalu mengatakan sesuatu dengan cepat dan diusahakannya sejelas mungkin.
“Teman-teman, ternyata bintang jatuh itu belum benar-benar jatuh dan sekarang aku akan mengambilnya.“
“Belum benar-benar jatuh?“ tanya Cognito, bingung.
“‘tak mungkin.“ gerutu Maxy.
“Bagaimana kau bisa yakin tentang itu?“ tanya Tom juga.
“Karena aku melihatnya lagi malam ini. Kalian melihatnya juga, kan? Karena itulah, sekarang aku akan mengejarnya lagi, kali ini aku tidak akan kehilangan jejak lagi karena bintang jatuh itu sudah benar-benar jatuh sekarang.“ Shakti menjelaskan dengan lebih menggebu-gebu dari pada yang diinginkannya.
“Bagaimana kau bisa yakin kalau kali ini bintang itu benar-benar jatuh?“ Leon juga bertanya.
“Ya ampun, bukankah sudah jelas? Kalian sendiri juga melihat kalau bintang itu jatuh lagi, dan dia terbanting di ujung sana. Bintang itu bahkan mengeluarkan cahaya dan menimbulkan gempa! Apa kalian tidak merasakannya juga?“ Shakti menjelaskan dengan tidak sabar, menunjuk tempat jatuhnya bintang tadi lalu memandang teman-temannya untuk melihat tanda-tanda kalau mereka mengerti. Tapi teman-temannya tidak menunjukkan tanda apa-apa, mereka malah hanya memandangi Shakti dengan tercengang.
“Kalian melihat dan merasakannya juga, kan? Kilatan cahaya dan gempa tadi?“ tanya Shakti sekali lagi, kali ini dengan lebih pelan. Teman-temannya hanya diam, hanya Maxy yang menggeleng pelan.
“Kami hanya melihat bintang jatuh itu memudar dan hilang di arah yang kau tunjuk tadi. Tapi tidak ada cahaya atau gempa seperti yang kau katakan itu.“ Tom menjelaskan sehingga membuat Shakti terdiam.
Kenapa bisa begitu? Tanya Shakti dalam hati. Bagaimana dia bisa melihat cahaya dan merasakan gempa kecil tadi sementara teman-temannya tidak? Memang kejadiannya begitu cepat, tapi jelas-jelas terasa nyata, bukan khayalan Shakti. Masih dengan bingung dan tidak percaya, tidak peduli lagi teman-temannya mempercayainya atau tidak dan akan mendukungnya atau tidak, Shakti berkata lagi.
“Aku sudah memutuskan, akan mengejar bintang jatuhku lagi. Aku yakin kali ini aku akan bisa aku mendapatkannya. Dengan atau tanpa bantuan kalian, aku akan tetap pergi.“
 “Tidak mungkin.“ Leon yang pertama kali bisa bereaksi dibandingkan teman-temannya yang lain setelah Shakti mengatakan keinginannya. “Kau tidak bisa mengejar bintang jatuh itu.“
“Kenapa tidak?“ tantang Shakti.
“Karena aku tidak yakin kalau kali ini kau benar-benar bisa mendapatkan bintang jatuh itu.“ Tom menjawab dengan terburu-buru, berusaha meyakinkan Shakti secepatnya, sebelum Shakti benar-benar menjalankan keputusannya itu.
“Kenapa? Aku jelas-jelas melihat bintang itu benar-benar jatuh. Bahkan aku melihat kilatan cahaya dan gempanya!“
“Tapi aku tidak melihat cahaya atau merasakan gempa apa pun.“ Cognito menimpali.
“‘ku juga tidak.“ Maxy berkomentar juga.
Semua ini malah membuat Shakti bertambah frustasi dan kesal. Saat ini dia sedang sangat ingin melanjutkan perjalanannya dan sangat yakin kalau kali ini dia akan menemukan bintang jatuh yang sudah benar-benar jatuh itu. Dengan kata lain, Ruben masih bisa ditemukan. Tidak tahu alasan apa yang mempengaruhinya berpikir seperti itu, tapi dia yakin itu. Karena itu yang diinginkannya sekarang hanya satu: mengejar bintang jatuh.
“Baiklah, aku juga tidak tahu kenapa kalian tidak bisa melihat cahaya atau merasakan gempa itu, tapi sekarang aku sangat yakin kalau aku akan menemukan bintang itu! Tidak peduli kalian percaya atau tidak, kalian akan menemaniku atau tidak, tapi aku akan tetap mencarinya.“
Sekarang keyakinan Shakti sudah begitu memuncak, bercampur dengan rasa kesal kepada teman-temannya karena mereka tidak mempercayainya. Kenapa teman-temannya malah meragukan keputusannya padahal sebelumnya mereka menunggu Shakti memutuskan sesuatu? Dia memandang keempat teman-temannya, masih tidak mengerti kenapa kali ini mereka meragukannya, lalu menyentak marah dan melangkah dengan geram.
Leon buru-buru menahan langkah Shakti.
“Tunggu Shakti, kau tidak bisa pergi begitu saja!“
“Ada apa lagi?“ Shakti bertanya sengit.
“Kau tidak bisa pergi sendirian—“ Shakti kembali memutar matanya dengan kesal dan bersiap-siap melanjutkan langkahnya, tapi Leon buru-buru menahannya lagi. “–paling tidak, biarkan kami bersiap-siap menemanimu. Lagipula, kau tidak bisa pergi mengejar bintang jatuh itu tanpa bekal apa-apa, bintang jatuh itu berada di Blackside!“
Kata-kata Leon ini akhirnya mampu menghentikan keinginan Shakti yang memang diputuskan dengan tergesa-gesa. Dia diam di tempatnya berdiri, kembali memandang teman-temannya yang anehnya saat ini kelihatan lebih menyetujui apa yang dikatakan Leon tadi.
Sekarang Shakti kembali memandang Leon, tanpa bisa mengatakan apa-apa seolah lidahnya mendadak beku, pandangan matanya mengisyaratkan Leon agar melanjutkan perkataannya dan menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksudnya tadi. Leon mengerti arti pandangan mata Shakti itu, dengan tekad yang diusahakan sekuat mungkin, Leon menjelaskan lagi kepada Shakti.
“Shakti, aku yakin kau pun tahu kalau Blackside sekarang dalam keadaan yang sangat tidak stabil. Banyak hal aneh terjadi di sana, membuat keadaan di sekitarnya menjadi begitu berbahaya. Kau tidak bisa pergi ke sana, paling tidak kau harus mempersiapkan dirimu dengan lebih baik lagi.“ kening Shakti berkerut, tanda kalau dia tidak mengerti dengan jelas apa yang Leon maksudkan.
“Kau harus belajar bertarung dan mempertahankan diri, Shakti.“ lanjut Leon. Shakti terdiam, mencoba mencari celah yang mengatakan kalau Leon sudah salah berbicara dengan melihat tampang ketiga sahabatnya yang lain, tapi bahkan mereka bertiga kelihatan setuju.
“Shakti, kami sudah membicarakan ini sebelumnya.“ sekarang Tom yang mencoba menjelaskan. Dia melangkah maju melewati Cognito dan Maxy dan sampai di depan Shakti, lalu melanjutkan. “Terlepas dari kenyataan bahwa kita akan melanjutkan petualangan kita mencari bintang jatuh ini atau tidak, kami memutuskan kalau kau, Shakti, harus bisa bertarung untuk mempertahankan diri. Itu akan sangat berguna untukmu, percayalah.“
“Dan kami akan membantumu. Kami akan mengajarimu bagaimana caranya berkelahi.“ kali ini Cognito yang menjelaskan, tapi bukannya membuat Shakti menjadi lebih mengerti, penjelasan ini malah membuat Shakti bertambah bingung. Dia menatap Maxy untuk meyakinkan kalau teman-temannya tidak melantur, tapi malah mendapati Maxy mengangguk, artinya dia juga mendukung perkataan teman-temannya yang lain.
Tapi, bagaimana mungkin mereka berpikir bisa mengajari Shakti berkelahi? Memang selama ini dia tidak tahu bagaimana cara mempertahankan diri atau berkelahi karena sedari kecil kedua orang tuanya tidak pernah berpikir kalau putri kecil mereka suatu saat nanti akan melakukan petualangan. Dan jujur saja, sebenarnya hal itu tidak pernah dipertimbangkan Shakti sebelumnya.
Pada saat Shakti memutuskan untuk berpetualang, dia tidak pernah berpikir kalau dia membutuhkan keahlian membela diri. Mungkin karena pikiran polosnya berhasil meyakinkannya bahwa tidak akan ada yang berniat melukainya. Tapi tentu saja pemikiran ini terbukti salah. Petualangannya tetap saja membawanya melewati daerah berbahaya yang dipenuhi orang-orang jahat yang tidak peduli apa dia bisa berkelahi atau tidak. Untunglah Shakti memiliki teman-teman seperjalanan yang lebih pintar dan lebih siap daripada dirinya sehingga urusan tidak bisa mempertahankan diri itu bisa diatasi di bawah perlindungan teman-temannya.
Tapi kali ini teman-temannya mengatakan kalau dia harus bisa berkelahi dan mempertahankan dirinya sendiri, apa ini berarti teman-temannya benar-benar tidak ingin menemaninya menuntaskan petualangan ini? Apa mereka pikir petualangan mereka hanya sampai di sini?
“Apa kalian bermaksud... kalian benar-benar tidak ingin melanjutkan ini? Kalian tidak percaya kalau kali ini bintang itu benar-benar jatuh?“ tanya Shakti sambil memandangi wajah teman-temannya satu per satu.
“‘kan begitu.“ sangkal Maxy buru-buru.
“Kalau kami tidak mempercayaimu, kami tidak akan ikut berpetualang bersamamu sampai sejauh ini.“ kata Tom, juga dengan terburu-buru. Lalu dia menghela napas sebentar dan melanjutkan kata-katanya dengan lebih lemah.

“Tapi... kami tidak tahu sampai kapan bisa selalu melindungimu. Apalagi kalau petualangan ini benar-benar akan dilanjutkan. Kita akan memasuki Blackside, daerah yang jauh lebih berbahaya dibanding daerah-daerah yang pernah kita lewati sebelumnya. Tidak ada ruginya bagimu untuk belajar berkelahi dan mempertahankan diri. Kita akan sangat membutuhkannya nanti.“

Ngintip: SHAKTI DAN BINTANG JATUH

Buku pertama berjudul SHAKTI DAN BINTANG JATUH. Buku ini termasuk ke dalam seri The Chronicle Of Enigma yang saya ciptakan, tapi buku ini tetap bisa dibaca tanpa perlu membaca buku pertama yang sudah saya terbitkan pada tahun 2011 lalu yang berjudul: The Two Rings.

Sudah mulai tertarik? Untuk sementara buku ini hanya bisa dibeli versi e-booknya di link ini: http://gramediana.com/books/detail/14082013112221-the-chronicle-of-enigma-shakti-dan-bintang-jatuh-book-1?locale=en

Atau kamu bisa coba baca dulu halaman pertamanya di sini! enjoy... :)

Chapter 1
Saat ini matahari sudah menggantung manis di atas langit dan memancarkan sinarnya yang terang dan menyengat tanpa malu-malu. Beberapa orang yang sedang bekerja di ladang berhenti hanya untuk menyeka keringat yang mengalir di pelipis sambil melirik tanpa daya ke arah sang surya yang bersinar. Mereka sedikit berharap matahari mau berbaik hati dengan membiarkan segumpal awan berlalu di hadapannya sehingga pancaran sinarnya sedikit terhalang dan para pekerja bisa merasakan sedikit kesejukan, tapi tentu saya keinginan itu tidak mungkin terwujud. Matahari masih bersinar dengan angkuh di singgasananya sehingga tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan kecuali kembali menggerakkan bajak, mencangkul, dan juga menebar benih.
Terdapat seekor kerbau di pinggir salah satu sawah, duduk di dalam kubangan dengan kelelahan setelah selesai membajak. Seekor burung bertengger di punggungnya, mencari kutu di sela-sela bulu kerbau yang kasar. Di sawah yang lain terdapat seorang gadis bertubuh mungil dan berambut pendek yang sedang membungkuk menanam benih padi dengan teratur. Namanya adalah Shakti, gadis berusia delapan belas tahun yang manis. Dia adalah salah satu di antara mereka yang berdiri di tengah ladang seolah menantang matahari. Keringatnya menetes, tengkuknya terasa panas karena terbakar matahari, tapi dia tidak mengeluh. Dia malah melakukan semuanya sambil tersenyum dan bernyanyi di dalam hati, berharap padinya mendengarkan nyanyiannya dan tumbuh subur.
Segenggam benih terakhir sudah ditanam dan tugasnya pun telah selesai. Tapi Shakti tidak pergi meninggalkan sawahnya, dia berjalan ke gubuk di sisi lain sawah dan duduk di sana. Di dalam gubuk terdapat gulungan tali dan sebuah orang-orangan yang dibuat ayahnya untuk menghalau burung-burung agar tidak memakan padi-padi mereka. Orang-orangan itu dibuat dari gulungan jerami yang dipakaikan sebuah baju bekas dan topi ayahnya, yang disambungkan pada seutas tali sehingga bisa digerakkan dari gubuk tanpa perlu berjalan ke tengah sawah untuk membuat burung-burung takut. Shakti menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya, menikmati sedikit angin sepoi-sepoi yang mendadak bertiup melewati gubuk lalu menarik napas panjang dan tersenyum lagi.
“Cuacanya panas, ya.“ katanya kepada Ruben yang berada di sampingnya, sedang duduk sambil mengipas-ngipas dengan tangannya sendiri.
“Iya.” jawab Ruben singkat sambil tersenyum kecil.
“Tapi tidak jadi soal kalau panas terus, yang penting kita bisa panen. Iya, kan?” lanjut Shakti.
“Tentu. Semua orang pasti senang kalau musim panen datang. Apalagi Tuan Koboi.“ Ruben menunjuk orang-orangan di tengah sawah yang mereka beri nama Tuan Koboi karena orang-orangan itu memakai topi koboi yang sudah penuh lubang milik ayah Shakti.  “Selama musim panen, dia bisa beristirahat dulu untuk sementara waktu, cuti dari pekerjaannya menakuti burung-burung sambil bersantai dengan teduh di rumah.“ lanjut Ruben.
Shakti terkikik geli memikirkan Tuan Koboi yang sedang bersantai di rumahnya sambil tidur di atas kasur empuk. Dan saat membayangkan Tuan Koboi meminum segelas jus dingin sambil melenggangkan kaki, Shakti langsung tertawa terbahak-bahak, diikuti Ruben yang seakan mengerti apa yang dibayangkan Shakti.
“Hahaha... Membayangkannya saja membuatku haus. Kau mau minum juga?“ Tanya Shakti sambil menatap Ruben di sampingnya yang masih saja tersenyum lebar.
Tetapi Ruben belum sempat menjawab pertanyaan dari Shakti, karena tiba-tiba seseorang memanggil nama Shakti. Gadis itu menoleh ke asal suara dan menemukan Carmen, kakak perempuannya yang berbadan tinggi dengan rambut panjang yang terikat dengan kencang di belakang kepalanya sedang berjalan menghampiri gubuk di mana Shakti berada.
“Kau mau ke mana? Ibu baru saja memintaku menggantikanmu di sini. Katanya kau bisa pulang, makan siang sudah siap.“ tanya Carmen.
“Aku baru mau mengambil minuman.“ jawab Shakti.
“Tadi kau sedang berbicara dengan siapa?“ Carmen bertanya lagi sambil menengok ke kiri dan ke kanan, berharap menemukan seseorang atau sesuatu yang diajak bicara oleh adiknya tadi, rambut kuncir kudanya bergerak-gerak liar.
“Dengan Ruben.“ Shakti langsung menjawab.
“Ruben?“ tanya Carmen sambil masih melihat sekelilingnya.
“Iya. Tadi Ruben menemaniku di sini.“ jawab Shakti dengan cepat.
Carmen memutar kedua matanya asal saja. Dengan tangan di pinggang dia memandangi adiknya dengan kesal lalu berkata. “Jangan bercanda, itu tidak lucu.“
“Benar kok, aku tidak bercanda.“ lanjut Shakti.
Carmen mendecak lalu menantang Shakti. “Baik, kalau memang begitu, di mana Ruben sekarang? Aku tidak melihatnya di sini.“
Tapi Shakti tidak terpancing untuk memulai pertengkaran. Dengan kesal dia menjawab sambil memukul pelan lengan Carmen. “Sudah, pulang sana, mengganggu saja...“
“Memangnya kenapa?“ tanya Carmen dengan perasaan menang, dia memang tahu adiknya itu tidak akan berani menjawab tantangannya tadi. Tapi setelah melihat wajah Shakti yang semakin cemberut, Carmen berkata lagi dengan lebih ramah. “Sudahlah Shakti, jangan seperti itu lagi, orang lain akan mengira kau sudah gila.“
“Tapi aku tidak gila.“ tegas Shakti.
“Aku tahu, karenanya jangan bersikap seperti itu lagi. Lebih baik sekarang kau pulang saja, aku akan menggantikanmu di sini.“ Carmen membalas.
Akhirnya Shakti berjalan kembali ke rumah sambil menggerutu kesal karena kakaknya telah mengganggu pertemuannya dengan Ruben. Baginya pertemuan dengan Ruben adalah saat-saat berharga yang tidak boleh disia-siakan atau diganggu bahkan oleh kakaknya sekalipun.
Sambil terus menggerutu dia berjalan melewati deretan sawah yang membentang luas sambil sesekali membalas sapaan para penduduk yang menanyakan kenapa raut wajahnya begitu kusut dengan tersenyum dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Lalu Shakti berjalan melewati sederetan ladang jagung yang tinggi menjulang dengan berbonggol-bonggol jagung muda menggantung di tiap batangnya. Semilir angin berhembus lagi, membuat rambut pendek Shakti berkibar pelan. Walaupun tidak terlalu sejuk, angin itu cukup bisa menenangkan Shakti, membuat rasa kesalnya terhadap Carmen tadi sedikit berkurang.
“Kak Shakti!“ sebuah suara anak kecil memanggil nama Shakti dari belakang dan saat Shakti menoleh untuk balas menyapa, dia mendapati seorang gadis kecil berlari-lari ke arahnya dengan wajah senang yang bersemu merah, sebelah tangannya menggenggam selembar kertas.
“Ada apa Liana?“ tanya Shakti saat gadis kecil itu sudah sampai di hadapannya. Liana membungkuk sebentar untuk menarik napas panjang karena kelelahan lalu kembali menatap Shakti dan tersenyum lebar.
“Lihat, aku baru saja mendapat surat dari Kak Leon!“ jawab Liana dengan girang.
“Surat?“ tanggap Shakti dengan sedikit kaget.
“Iya! Kak Leon mengatakan kalau Kakak kangen denganku! Kak Shakti juga dapat surat, kan?“ Liana menjawab, masih dengan raut wajah penuh kebahagian yang sama, membuat Shakti tersentuh dan menjawab.
“Tentu saja.” Shakti menjawab dengan berbohong, tidak ada surat satu pun yang datang dalam satu tahun ini. Tapi Liana tersenyum makin lebar saat mendengar jawabannya.
“Iya, ya! Tentu saja! Sudah ya Kak, aku ingin memperlihatkan surat ini kepada teman-temanku! Dah, Kakak!“
“Dah…“ Shakti membalas lambaian tangan Liana sambil tersenyum lagi, lalu saat sosok Liana sudah menghilang di belokan, Shakti menurunkan lengannya. Perasaan Shakti makin kesal karena mengingat sosok Leon, Kakak laki-laki Liana. Shakti berusaha untuk tenang dan melanjutkan perjalanannya dengan perasaan yang lebih merana dari pada sebelumnya.
*          *          *