‘Val’phobia ( part 6 )


…Cerita Sebelumnya…
Kejadian tak terduga lain terjadi lagi. Kali ini aku benar-benar bertemu dengan Val! Kali ini benar-benar Val yang aku temui, Val yang aku kira sudah di telan bumi entah kemana. Ternyata dia masih mengenaliku…

 
Setelah pertemuan tidak sengajaku dengan Val itu, malamnya Val langsung menghubungiku. Awalnya pembicaraan kami masih seputar pembicaraan biasa, basa basi teman lama yang sudah tidak bertemu cukup lama, kaku dan berhati-hati. Bahkan acara SMS pertama kami hanya berjalan sebentar. Tapi jujur saja, perbincangan lewat SMS yang 'hanya sebentar' itu sangat membekas di hatiku. Malamnya aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jantungku masih berdebar-debar tidak karuan dan di sela-sela tidurku yang tidak nyenyak itu aku bermimpi bertemu dengan Val di pinggir jalan dengan mobil yang aku lihat beberapa hari yang lalu.
Keesokan harinya, ternyata Val menghubungiku lagi. Kali ini dia tidak menunggu malam, tapi pagi-pagi sekali dia mengirimi pesan selamat pagi yang sangat manis melalui SMS. Aku senang bukan main. Apa lagi saat membaca kata-kata manisnya yang tidak pernah aku terima sebelumnya, bahkan dari Daniel sekalipun. Malamnya, Val meneleponku dan kami mengobrol dengan cukup seru. Hanya dalam hitungan menit obrolan kami yang awalnya masih seputar obrolan standart mulai beranjak menjadi obrolan seputar pekerjaan atau hobi yang dulu sama-sama kami sukai. Anehnya, selama itu Val tidak pernah mengungkit masalah SMS terakhir yang menyakitkan waktu itu. Mungkin dia sedang mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya atau mungkin sebenarnya Val memang tidak mau membicarakan masalah SMS itu sama sekali.
Beberapa malam berikutnya ketika aku sedang sibuk membaca sebuah buku bagus yang baru saja aku beli dengan sangat serius, aku mengangkat telepon saat handphoneku berdering dengan nyaring. Jujur saja, saat mendengar deringan telepon itu orang yang terpikirkan olehku pertama kalinya adalah Val, karena beberapa hari belakangan ini dia memang selalu menghubungiku pada jam-jam seperti ini. Jadi tanpa perlu repot-repot melihat ID yang tertera di handphone, aku menjawab dengan senang dan ceria, berharap mendengar suara merdu Val di ujung sana yang dengan sangat manis menanyakan kabarku malam ini.
Tapi ternyata yang mengubungiku bukanlah Val.
" Hallo, sayang… " Aku langsung terdiam selama beberapa detik karena kaget dan bertanya-tanya di dalam hati suara siapakah gerangan yang ada di ujung telepon itu. " Kamu lagi ngapain? " Dan saat mendengar kata-kata berikutnya, aku langsung menghela napas panjang dan menjawab kalau aku sedang membaca buku. Itu adalah suara Daniel, ternyata Daniel yang menghubungiku. Diam-diam aku lega karena tidak menyebut nama Val saat menjawab telepon tadi.
" Aku benar-benar kangen denganmu, sudah hampir dua minggu kita tidak bertemu! " Aku mendengar riuh suasana jalan raya sebagai latar belakang suara, Daniel pasti sedang berada di jalan pulang.
" Aku juga kangen sekali. Kamu sedang menyetir? " Jawabku dan Daniel membenarkan pertanyaanku. " Eh, seharusnya kamu tidak boleh menelepon saat sedang mengemudi, berbahaya! " Aku memperingatkan dengan tegas, ngeri memikirkan kejadian buruk apa yang bisa menimpa Daniel jika dia menelepon saat sedang berkendara.
" Aku tidak perduli, aku sangat kangen denganmu dan sangat ingin mendengar suaramu, tidak bisa menunggu lagi sampai di rumah. " Daniel menjawab dengan nada manjanya, dan biasanya kalau Daniel sudah bersikap seperti ini maka aku tidak akan bisa menolaknya. Tapi kali ini, entah kenapa, aku merasa sedikit kesal mendengar sikapnya yang seperti anak kecil itu.
" Dan, aku serius! Jangan menelepon saat sedang menyetir. Konsentrasi saja dengan mobilmu dan hubungi aku lagi setelah kau sampai di rumah, ya? " Bisa aku bayangkan, Daniel pastilah cemberut mendengar perkataanku, tapi aku tidak perduli. Yang aku inginkan sekarang hanyalah mendengar Daniel menuruti perkataanku dan menutup teleponnya saat ini juga. Aku tidak mau Val tidak jadi menghubungiku karena teleponku sedang sibuk menerima telepon lain.
" Iya-iya. Ya sudah, aku hubungi lagi kalau aku sudah sampai. "
Dan akhirnya acara menelepon antara aku dan Daniel selesai sampai di sana.
Tapi setelah malam semakin larut dan aku mulai mengantuk, tidak ada satu pun telepon masuk lagi ke handphoneku. Val tidak meneleponku. Daniel juga tidak meneleponku. Padahal aku tahu dia pasti sudah sampai di rumahnya kurang lebih tiga puluh menit setelah dia meleponku tadi, tapi Daniel tetap tidak meneleponku. Dia hanya mengirimkan SMS yang mengatakan kalau dia sudah sampai ke rumah dengan selamat dan mengucapkan selamat malam.
Akhirnya, malam itu aku tidur dengan keadaan cemberut.
Tapi besok paginya Val menghubungiku lagi, dia meminta maaf karena tidak bisa menghubungiku kemarin malam karena dia harus lembur di kantor. Dan setelah menerima telepon dari Val itu, semangatku langsung naik lagi. Kami mengobrol banyak hal, membahas lagi pertemuan pertama kami dulu dan tertawa membicarakan segala kelakuan bodoh yang kami lakukan dulu. Lalu sesuatu tercetus dari mulut Val: dia mengajakku bertemu.
Selama ini kami hanya menghabiskan waktu mengobrol lewat SMS dan telepon, tapi kami tidak pernah bertemu lagi secara langsung setelah pertemuan tidak sengaja kami waktu itu. Ajakan Val itu membuatku berdebar-debar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan aku lakukan kalau bertemu lagi dengan Val. Bagaimana aku akan bertindak dan apa yang akan aku katakan. Tapi membayangkan dapat melihat wajah Val lagi, melihat senyumnya lagi dan memandangi wajah tampannya lagi membuat rasa takutku menguap. Benar, aku memang ingin bertemu dengannya lagi. Akhirnya, aku menyetujui ajakannya dan kami berjanji akan bertemu minggu depan. Val mengatakan kalau dia ingin mengajakku ke suatu tempat favoritnya, dan aku setuju.

 
… Bersambung …

 

‘Val’phobia ( part 5 )


…Cerita Sebelumnya…
Ternyata Val masih menghantui hidupku. Suatu siang tanpa sengaja aku melihat seorang laki-laki yang mirip dengannya. Aku tidak tahu apa benar orang itu adalah Val, tapi pertemuan itu membuatku melakukan hal paling bodoh yang pernah aku lakukan dalam hidupku: mencoba menghubunginya lagi lewat handphone…

 
Ini adalah hari libur bagiku dan bagi otakku untuk memikirkan masalah pertunanganku yang akan berlangsung sekitar tiga minggu lagi. Selama beberapa hari ini semua orang di sekitarku selalu saja sibuk mengurusinya sampai-sampai sepertinya mereka hidup memang untuk mempersiapkan semua itu. Bahkan aku dan Daniel harus rela dipingit dan tidak bertemu nyaris selama sebulan penuh. Aneh, padahal ini hanyalah acara tunangan, bukan lamaran, jadi seharusnya aku dan Daniel tidak perlu di pingit seperti ini. Tapi kedua orang tua kami tetap meminta kami untuk tidak bertemu dulu selama beberapa waktu, dan tidak ada yang bisa kami lakukan lagi selain menuruti permintaan mereka.
Hari ini aku mendapatkan kesempatan yang sangat langka untuk bisa menghabiskan waktu satu hari penuh tanpa melakukan apa pun yang berhubungan dengan pesta pertunanganku. Kesempatan ini aku manfaatkan sebaik-baiknya dengan melakukan hal-hal yang sangat ingin aku lakukan sendiri, seperti jalan-jalan ke mall.
Setelah cukup lelah berjalan-jalan ke mall sendirian, aku yang sekarang merasakan perutku yang keroncongan memutuskan untuk makan di salah satu restoran cepat saji. Sekarang aku sedang berada di antara orang-orang yang mengantri di depan kasir di salah satu fast food terkenal untuk menghabiskan hari ini tanpa memikirkan masalah pertunangan itu.
Setelah berhasil memesan makanan, aku membawanya ke salah satu meja kosong dan duduk di sana, lalu beranjak lagi untuk pergi mencuci tangan. Acara mencuci tangan berjalan dengan lancar, tapi sayangnya acara jalan kembali ke tempat duduk tidak berjalan dengan lancar. Di tengah jalan aku tidak sengaja menyenggol seseorang yang kelihatannya sedang terburu-buru. Aku juga langsung buru-buru minta maaf, tapi saat aku menoleh untuk melihat wajah orang itu, aku malah terkaget-kaget.
Itu Val. Orang yang aku tabrak itu adalah Val! Bahkan wajah Val juga kelihatan kaget saat melihatku. Dia berhenti, diam, lalu berkata:
" … Flor… ? "
" … Val… ? "
Aku menjawab terbata-bata dan Val mengangguk-angguk untuk mengiyakan pertanyaanku.
" Kamu makan disini? " Aku yang mengangguk kali ini. " Kamu jangan kemana-mana, aku ada perlu sebentar. Tunggu aku disini. " Val langsung pergi lagi sedangkan aku hanya terdiam.
Pelan-pelan aku bergerak dari tempatku berdiri dan melangkah kembali ke tempat dudukku, sama sekali tidak ingat kalau Val tadi memintaku untuk tidak pergi kemana-mana. Otakku masih berada dalam kondisi pasca kekagetan yang luar biasa. Ternyata Val memang ada disini, dia tidak pergi kemana-mana!
Aku menguyah makananku dalam diam, masih merasa tidak percaya, masih merasa apa yang terjadi tadi hanyalah sebuah mimpi. Sampai tiba-tiba punggungku terasa dicolek oleh seseorang. Aku menoleh ke belakang dan tubuhku langsung melemas.
" Hai, sendirian, kan? " Aku mencoba untuk mengangguk pelan menjawab pertanyaan Val itu.
" Aku juga mau makan, boleh aku temani, kan? " Lagi, aku mencoba mengangguk pelan.
" Aku pesan makanan dulu, ya. " Lagi-lagi, aku mencoba mengangguk pelan. Aku seperti orang bodoh. Hanya melihat Val saja sudah membuatku mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Tampangku pasti kacau.
Tak lama kemudian Val datang sambil membawa nampan makanannya dan duduk di depanku. " Hai lagi. " Katanya sambil tersenyum.
" Hai juga. " Jawabku kali ini, yang untungnya tidak aku jawab dengan anggukan lagi.
Dia membuka bungkus makanannya dan mulai makan, sementara aku yang tadinya juga sangat ingin menghabiskan makananku malah kehilangan selera makan. Gara-gara bertemu Val, ususku mendadak berhenti bekerja. Rasanya aku masih belum bisa percaya kalau Val yang terakhir kali aku temui kurang lebih dua tahun yang lalu sekarang ada dihadapanku! Aku bisa melihat matanya lagi, tinggi badannya, rambut hitamnya, kulit putihnya, paras gantengnya dan senyum manisnya yang dulu selalu membuatku meleleh!
Val meneguk minumannya dan meletakkan bungkus makanannya yang sudah habis di pinggir nampan.
" Maaf, aku makan seperti orang kelaparan, ya? " Aku hanya bisa tersenyum, suaraku masih belum lancar keluar.
" Tadinya aku janji bertemu temen disini, tapi dia sudah pulang. Ngomong-ngomong, kebetulan sekali kita bertemu disini. Sendirian? " Aku mengangguk, walaupun sadar kalau ini adalah pertanyaan yang sama yang sudah dia tanyakan tadi. Jantungku masih berdebar kencang, tapi perlahan aku tahu kalau semua ini nyata dan perlahan mencoba mengatur napasku.
" Kamu berubah, ya Flor. "
" Apanya? " Akhirnya suaraku keluar juga.
" Kamu tambah cantik. "
Wuih… wajahku pasti memerah. Diam-diam aku memperhatikan lagi penampilanku hari ini. Bagiku mungkin ini adalah penampilanku yang biasa, tapi bagi Val yang mengenalku dua tahun yang lalu saat penampilanku masih sangat berantakan, maka penampilanku saat ini pasti sangat jauh berbeda.
" Terima kasih. " Jawabku pelan.
" Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Berapa lama, ya? "
" Dua tahun. " Jawabku dan menambahkan 'tiga bulan sebelas hari' dalam hati.
" Dua tahun? Tidak terasa, ya? Bagaimana kabarmu? "
" Baik… sekarang aku sudah jadi penulis. "
" Oh iya?! "
" Iya, kamu sendiri bagaimana? "
" Masih sama. Hanya sekarang aku sudah punya toko sendiri. "
" Oh iya? Hebat dong! Buka toko dimana? "
Belum sempat Val menjawab pertanyaanku tadi, tiba-tiba ponselku berdering. Aku meminta maaf dan menjawab. Itu telepon dari ibuku, dia mengingatkan kalau aku ada janji dengan tukang bunga dan catering satu jam lagi.
" Kenapa Flor, ada janji? "
" Eh, iya sih… " Jawabku tidak enak setelah menutup telepon.
" Sebenarnya aku masih mau berbincang denganmu, mumpung kita bertemu lagi, tapi sepertinya kamu terburu-buru. "
" Maaf… " Mau membicarakan apa? Aku bertanya, tapi hanya di dalam hati.
" Tidak masalah, kita masih punya banyak waktu. Kamu naik apa kesini? "
" Taksi. "
" Kalau begitu aku antar kamu pulang, deh. " Val sudah mulai beranjak naik sehingga aku buru-buru mencegahnya.
" Tidak perlu repot-repot, aku sudah di jemput ibuku kok. "
Dan benar saja, ponselku langsung berbunyi begitu Val sudah kembali duduk di bangkunya. Kali ini sebuah SMS masuk dari ibuku lagi.
Flor, ibu sudah ada di depan nih!
" Tuh, aku sudah dijemput! " Buru-buru aku masukkan ponselku ke dalam tas dan siap-siap meninggalkan meja. Aku tidak mau membuat ibuku menunggu.
" Aku duluan ya, Val. " Pamitku.
" Ok, maaf tidak bisa mengantar. Nanti aku hubungi kamu lagi, boleh? " Aku mengangguk dan menyebutkan nomor handphoneku. Val mencatat di handphonenya dengan cepat. " Baiklah, aku akan menghubungimu secepatnya. Senang sekali bisa bertemu lagi denganmu, Flor. " Aku balas mengangguk untuk menyetujui perkataannya, lalu akhirnya aku pergi sambil melambaikan tangan.

 
… Bersambung …

 


 

‘Val’phobia ( part 4 )


…Cerita Sebelumnya…
Daniel melamarku! Setelah berpacaran sekian lama akhirnya aku dan Dan akan menikah juga! Dia mengajakku makan malam berdua di sebuah restoran mahal dan melamarku disana. Tentu saja aku senang sekali. Benar kan, aku memang sudah seharusnya mengubur dalam-dalam sosok seorang Val…

 
Daniel benar-benar serius dengan niatnya untuk bertunangan denganku. Dua hari berikutnya setelah lamaran tidak resminya di restoran itu, Daniel datang ke rumah orang tuaku dan meminta izin mereka. Tentu saja ayah dan ibuku menyetujuinya, mereka sudah lama menunggu berita kelanjutan hubunganku dengan Daniel, dan sekarang akhirnya mereka mendapatkannya juga. Maklumlah, aku adalah anak sulung mereka. Setelah mereka dengan susah payah membesarkan anak-anak mereka dan saat ini sudah mulai merasakan masa tua mereka, jelas saja mereka ingin melihat anak mereka satu per satu melepas masa lajang mereka, menikah dan memberikan cucu kepada mereka. Untunglah aku masih sempat mewujudkan cita-cita mereka itu.
Setelah berbincang selama beberapa waktu, akhirnya diputuskan bahwa aku dan Daniel akan bertunangan dua bulan lagi dan setahun kemudian kami akan menikah. Memang semuanya terkesan terlalu cepat, tapi aku dan Daniel tidak bisa lagi membendung keinginan kedua orang tua kami yang ingin cepat melihat kami menikah, jadi sebagai anak yang berbakti, kami harus menuruti mereka.
Acara pertunangan kami tidak akan dirayakan terlalu meriah. Kami hanya akan mengadakan acara sederhana yang dihadiri keluarga besar dan teman-teman dekat kami saja. Tapi walaupun begitu aku tetap saja sibuk mempersiapkan acaranya. Seperti sekarang misalnya, aku sedang berada di salah satu butik langganan ibuku untuk mengepas gaun yang akan aku kenakan.
" Ya ampun …! Akhirnya Flor tunangan juga! Sama siapa? "
" Daniel. " Jawab ibuku.
" Oh iya! Daniel yang cuco itu! "
Aku tersenyum di dalam kamar pas saat mendengar Mas Sammy_pemilik butik yang dikenal ibuku ini_berbicara dengan gaya genitnya. Aku keluar dari kamar pas dengan mengunakan sebuah kebaya berwarna putih yang penuh dengan payet dan rok panjang berwarna coklat mengkilat. Ini adalah gaun terindah yang pernah aku pakai sejauh ini.
" Oh-My-God! Cuantik buanget! Cocok sama gaun itu. " Mas Sammy langsung bertepuk tangan saat melihatku keluar dari kamar pas, begitu pula dengan ibuku yang melongo melihatku. Sepertinya ibuku baru sadar kalau putrinya ini memang cantik.
" Mas Sammy, sepertinya roknya terlalu panjang, deh. Bisa dipendekkan saja? Saya tidak mau keliatan 'tenggelam'. "
" Oh… tidak masalah. Tunggu dulu sebentar disini, saya ambil kursi dan jarum dulu, ya. " Mas Sammy keluar dari ruangan dan meninggalkan aku dan ibuku berdua. Ibuku menghampiriku, mengelus kepalaku sambil tersenyum. Matanya kelihatan berkaca-kaca dan sesaat aku sangat yakin kalau ibuku akan menangis.
" Kamu beruntung bisa mendapatkan Daniel, Flor. Dia laki-laki yang sangat baik, kamu pasti bisa berbahagia dengannya. Jangan kecewakan Daniel, ya sayang? "
Aku mengangguk.
Ayah dan ibuku memang sangat mempercayai Daniel. Soalnya selama empat tahun ini Daniel sudah membuktikan kebaikan dan keseriusannya kepada orang tuaku, dia bahkan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku dan juga seluruh keluargaku. Jadi, jika aku membuat Daniel sakit hati, maka itu berarti aku juga akan membuat seluruh anggota keluargaku kecewa.
Akhirnya tak lama kemudian Mas Sammy masuk lagi dengan membawa sebuah kursi kayu pendek dan setumpuk jarum pentul. Aku diminta naik ke atas kursi kecil itu dan dibawahnya Mas Sammy mulai mengelim ujung gaun untuk diperpendek. Kurang lebih satu jam kemudian acara mengelim itu selesai juga. Kini aku sudah ada di depan butik, menunggu ibuku yang masih saja mengobrol dengan Mas Sammy.
Aku clingak-clinguk melihat sekeliling jalan di siang hari yang panas ini. Jalanan masih dipadati dengan kendaraan bermotor, lampu lalu lintas masih menyala merah-kuning-hijau secara bergantian dan banyak orang yang masih saja mau berlalu lalang dihari sepanas ini.
Tiba-tiba pandangan mataku berhenti pada satu sosok laki-laki yang mengenakan kaos polo berwarna putih polos dan celana tiga per empat berwarna coklat. Laki-laki itu berbicara melalui ponselnya dan berjalan memasuki sebuah mobil. Aku kenal sosok itu, itu sosok khas seorang Valentino Pratama!
Aku mendadak panik dan otakku terus berpikir kalang kabut. Apa yang harus aku lakukan? Benarkah itu Val, atau hanya seorang laki-laki yang mirip dengan Val? Tapi kenapa Val ada disini? Bukankah terakhir kali aku berhubungan dengan Val, dia bilang akan ditugaskan di luar pulau?
Laki-laki tadi sampai di depan mobilnya, masuk dan langsung meluncur pergi, sedangkan aku masih terdiam tak bisa berbuat atau berkata apa-apa sampai ibuku keluar dari butik dan menyadarkanku. Aku mengikuti ibuku ke tempat parkir dan masuk ke dalam mobil lalu pulang tanpa banyak berkata-kata lagi.
Sampai dirumah, aku langsung duduk merenung di depan meja kerjaku. Pikiranku masih berkutat pada penemuanku tadi siang. Benarkah laki-laki tadi adalah Val? Mendadak aku menatap ponselku yang seolah-olah mengundangku untuk menggunakannya. Menggunakannya untuk apa? Untuk menelepon Val? Untuk apa? Jelas-jelas Val tidak ada disini, dia ada di salah satu pulau lain di Indonesia ini. Entah dimana, yang jelas tidak ada di pulau ini. Tapi ponsel itu terus saja menggodaku dan akhirnya aku pun meraih ponselku itu. Aku menatapnya lama… sekali. Sepertinya ponsel itu memiliki sesuatu yang berbeda dari biasanya, padahal ini adalah ponsel yang sama yang sudah aku pakai selama beberapa tahun ini, sebenarnya tidak ada yang berubah dari ponsel itu.
Aku masih menatap ponselku. Apa aku benar-benar harus melakukan ini? Aku masih ingat betul nomor telepon itu: kosong-delapan… Sepertinya ini tidak akan terlalu sulit untuk dilakukan, aku hanya akan menanyakan kabarnya dan sedikit mengorek tentang keberadaannya. Lima… Atau aku akan berpura-pura ingin mengundangnya ke pesta pertunanganku nanti. Enam-Dua…
Sudah tersambung. Deringan pertama, kedua…
" Hallo? "
Oh Tuhanku, dia mengangkatnya! Buru-buru kumatikan teleponku dan merasakan jantungku yang berdebar kencang sekarang. Itu tadi suara Val! Tapi nyaliku tidak cukup besar untuk mengobrol dengannya lagi. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, mencoba menenangkan jantungku sambil membodohi diriku sendiri.
Tapi tiba-tiba ponselku berdering nyaring dan langsung membuatku panik lagi karena layar ponselku menunjukkan nomor asing dengan kode area kota ini. Siapa yang menghubungiku? Apa Val? Tapi Val kan ada di luar kota, tidak mungkin dia meneleponku dengan kode area kota ini. Bisa jadi itu adalah telepon dari Daniel yang menelepon untuk mengatakan kalau dia merindukanku. Pasti begitu. Buru-buru aku tenangkan hati dan jantungku, aku tidak mau membuat Daniel bingung kalau perkataanku tidak karuan nantinya.
" Hallo. " Sahutku.
" Hallo, ini siapa, ya? Tadi ada yang menghubungiku dengan nomor ini."
Rasanya aku mau mati saja, itu suara Val! Ternyata Val yang meneleponku dan aku langsung diam seribu bahasa. Aku tidak bisa menjawab, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa! Dan alhasil aku langsung memutuskan telepon itu setelah sebelumnya mengatakan kalau ternyata aku salah sambung dengan sangat cepat.
Ya ampun, aku bodoh sekali! Kenapa aku harus menghubungi Val tadi? Dia tidak mengenaliku lagi padahal aku menghubunginya menggunakan nomor ponsel yang sama seperti saat kami sering SMS-an dulu. Tapi sekarang dia tidak tahu kalau ini adalah nomorku, berarti dia telah menghapus nomorku dari ponselnya. Jadi bagaimana ini?
Aku menghembuskan napas dengan pelan dan dalam, mencoba mengatur lagi debaran jantungku. Handphoneku tidak berbunyi lagi, Val tidak menghubungiku lagi. Aku telah melakukan sesuatu yang salah, seharusnya aku tidak melakukan itu. Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat, debaran jantungku semakin tenang.
Sudahlah! Aku tidak akan pernah meneleponnya lagi. Tidak akan pernah lagi! Biar saja Val ada di sini, biar saja Val sudah menghapus nomorku dari ponselnya, biar saja Val sudah melupakanku. Itu semua bukan urusanku.

 
… Bersambung …

‘Val’phobia ( part 3 )


…Cerita Sebelumnya…
Kembali mengingat mengenai sosok Val ternyata tidak bisa membuatku melupakannya begitu saja. Semua itu malah membuatku mengenang kembali semua kejadian dan kenangan di antara kami sehingga membuatku melupakan tujuan awalku: mencari inspirasi. Aku harus kembali ke kehidupan nyataku secepatnya…

 
Rasa hangat dari air yang membasahi badanku saat aku mandi masih terasa di kulitku bahkan hingga aku selesai mandi dan mengenakan pakaianku. Aku memilih mengenakan gaun terusan berwarna ungu dengan rok yang mengembang sebatas paha. Bagian atasnya ditutupi kerah longgar yang memamerkan leherku. Aku memadukan semua itu dengan sandal berwarna putih dengan aksen bunga berwarna ungu yang senada dengan gaunku, juga sebuah tas kulit berwarna hitam yang mungil. Saat ini penampilanku memang jauh lebih baik dari pada saat aku bertemu dengan Val dulu. Setelah merasa sakit hati oleh Val dulu, keinginanku semakin kuat untuk bisa menjadi seorang wanita yang cantik dan membuktikan kalau aku bisa menjadi seseorang yang lebih baik dari yang dia pikirkan. Aku tidak mau diremehkan terus menerus, dan yakin saja kalau Val akan sangat menyesal karena telah membuatku patah hati.
Tepat pukul enam sore Daniel datang menjemputku. Seperti biasa, dia berdandan rapi dengan kemeja hitam polos dan celana panjang berwarna coklat muda. Daniel mengandeng tanganku dan mengatakan bahwa aku cantik, lalu membuka pintu mobilnya untukku. Aku hanya bisa tersenyum menerima semua kebaikannya itu. Daniel memang selalu berhasil memperlakukanku dengan 'manis'.
Mobil yang dikendarai Daniel melaju mulus ke salah satu restoran yang terletak dibagian utara kota yang cukup terkenal. Suasananya cukup romantis dengan cahaya remang-remang yang berasal dari lampu-lampu kuning yang tergantung di atas ruangan dan ditutupi oleh kotak rotan yang berwarna coklat kayu. Disudut ruangan terdapat panggung kecil, beberapa macam alat musik bersuara dimainkan pemiliknya dan sang vokalis sudah mulai menyanyikan sebuah lagu slow yang merdu. Kami duduk di salah satu meja yang terletak di pojok ruangan dan langsung disambut oleh seorang pelayan yang menanyakan pesanan kami: sepiring steak daging dan segelas juice strawberi untukku dan sepiring spagethi dan segelas lemon ice untuk Daniel.
Kami menikmati makanan kami dengan santai, sambil mengobrol dan sesekali tertawa bersama. Sebenarnya kami tidak pernah makan seformal ini. Biasanya kami hanya akan makan malam dirumah saja atau makan di salah satu restoran cepat saji atau juga di warung pinggir jalan, tapi tidak di restoran besar seperti ini. Mangkanya sewaktu Daniel memintaku untuk berpakaian sedikit lebih formal, aku terus saja penasaran tentang apa yang akan dilakukan atau dibicarakan Daniel disini. Tapi sejauh ini semuanya biasa saja, Daniel tidak menunjukkan gejala-gejala yang mengarah keseriusan, jadi aku mulai berpikir kalau Dan tidak memiliki maksud khusus.
" Bagaimana novel kamu? Sudah mulai lagi? "
Daniel bertanya setelah kami menghabiskan makanan utama kami dan seorang pelayan sudah menggantikan piring kotor kami dengan semangkuk koktail buah. Ini menu penutup yang dipesan Daniel special untukku, dia tahu kalau aku sangat suka dengan koktail buah. Sementara itu aku menggeleng lemah untuk menjawab pertanyaan Daniel tadi sambil mengingat usahaku tadi siang yang tidak menghasilkan apa-apa.
" Kenapa? Bukankah deadlinenya sebentar lagi? "
" Iya sih… tapi aku sedang tidak mood. "
Daniel akhirnya hanya bisa tersenyum lalu mengelus kepalaku dengan lembut. Dia tahu betul kalau aku berkarya berdasarkan mood. Kalau moodku sedang jelek atau bahkan tidak timbul sama sekali, maka aku tidak akan bisa menulis. Tapi kalau moodku sudah muncul dan mulai bagus maka aku akan terus dan terus menulis, rasanya ide cerita meluap-luap di otakku.
" Oh iya, Flor. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. "
O-ow… ini dia. Ternyata Daniel memang benar-benar akan mengatakan sesuatu yang sepertinya sangat penting. Apa lagi Daniel rela mengajakku makan malam di restoran yang sudah pasti tidak murah ini.
" Hm… ? " Aku masih berusaha tenang.
" Sebenarnya, aku sudah memikirkan ini dari jauh-jauh hari. Aku juga sudah membicarakan masalah ini dengan orang tuaku… "
Omongan Daniel terhenti dan aku semakin berdebar-debar. Apa sesuatu yang akan dibicarakannya denganku sampai-sampai dia harus meminta izin kepada orang tuanya? Ada apa sih? Jangan-jangan… Daniel merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sesuatu. Sesuatu itu kelihatannya seperti sebuah kotak kecil berwarna merah maroon. Ya ampun, itu seperti…
" Flor, kamu mau bertunangan denganku, kan? "
Daniel menyodorkan kotak itu dan… benar saja. Di dalamnya terdapat sepasang cincin perak yang berkilau dengan sebuah berlian bening berada tepat di tengah-tengah cincin itu. Ya ampun… Daniel melamarku!
Aku tersenyum dan mulai merasakan mataku yang panas dan berair, sebentar lagi aku pasti akan menangis. Jadi sebelum aku bercucuran air mata, aku langsung mengangguk dan mengatakan 'iya'. Daniel juga tersenyum dan berbinar-binar, lalu meraih tanganku, menciumnya dan memasangkan cincin itu di jari manisku.
Lihatkan? Apa lagi yang kurang dari diri Daniel? Dia manis, baik dan paling penting dia sangat mencintaiku. Untuk apa aku menginginkan orang lain lagi dan membuang-buang waktu dengan mengungkit-ungkit kenanganku bersama Val? Aku akan melupakan Val, seratus persen akan melupakannya, sehingga aku bisa menjalani hidup yang bahagia bersama Daniel.

 
… Bersambung …