Buku ( juga ) Berperasaan


-->
Sebagai peminat dan pengoleksi buku, sangat penting untuk menjaga kondisi buku yang kita miliki. Tentu akan sangat menyebalkan jika buku yang sudah kita beli dengan harga yang tidak murah itu malah akhirnya rusak. Begitu pula jika kita akan meminjamkan buku-buku itu kepada orang lain. Saya pribadi akan merasa harap-harap cemas dengan keadaan buku saya nantinya saat dikembalikan karena orang lain belum tentu akan memperlakukan buku itu sebaik yang kita sendiri lakukan.
Keadaan ini juga berlaku jika kita adalah orang yang meminjam buku kepada orang lain, atau kepada tempat peminjaman buku. Tidak dipungkiri, mereka pasti akan sangat senang jika kita mengembalikan buku tersebut dalam keadaan baik, seperti sebelumnya, tanpa kurang satu apa pun.
Berikut adalah tips memperlakukan buku dengan baik a la Black Rabbit:
1. Disarankan untuk langsung menyampul buku ketika baru dibuka sehingga hasil menyampul akan terlihat bagus dan keadaan buku akan terlihat masih seperti baru.
2. Pilihlah sampul plastic yang tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal dan jangan menempelkan solasi pada cover buku karena itu akan membuat cover buku mengelupas jika kita akan mengganti sampulnya.
3. Simpan buku dalam lemari tertutup sehingga terhindar dari debu dan simpanlah dalam keadaan rapi. Keadaan horizontal lebih disarankan sehingga buku tidak akan melengkung, tapi jika diletakkan secara vertical, pastikan buku dijajarkan secara rapat tanpa celah yang terlalu lebar.
4. Letakkan beberapa butir kapur barus ke dalam lemari buku. Selain berguna untuk membuat buku menjadi wangi juga dapat menyingkirkan jamur dan mencegah buku menjadi kuning. Lebih disarankan menggunakan kapur barus yang dilapisi kertas tipis atau terbungkus khusus.
5. Jangan meletakkan buku di bawah panas matahari langsung, ini akan membuat buku menjadi kuning.
6. Jangan melipat buku dan mencoret-coret di bagian manapun! Gunakan saja pembatas buku.
7. Jangan menelungkupkan buku dalam keadaan terbalik, ini bisa merusak jilid buku. Gunakan saja pembatas buku.
8. Membaca dalam keadaan tiduran atau bertumpu pada satu tangan akan membuat tangan kita harus menekuk buku dengan terlalu keras sehingga buku melengkung dan merusak jilid dan cover buku.
9. Pilih pembatas buku yang tidak terlalu tebal dan tidak banyak ornament sehingga buku tidak menggelembung.
10. Jangan menyimpan buku di dalam tas yang penuh barang. Lebih baik membungkus buku tersebut dengan kantong plastic atau tas khusus sebelum di masukkan ke dalam tas.
Semoga bisa membantu, karena bagaimana pun buku juga punya perasaan.
221210 ~ Black Rabbit ~

… Kalau Saja …


Ada sebuah jeritan terdengar dari dalam hatiku. Jeritan seseorang, bukan aku, tapi anehnya terdengar begitu dekat dalam diriku. Seolah sebagian dari diriku sendiri yang menjerit, bukan orang lain. Itu jeritan kesakitan, tapi bukan karena luka bakar, luka iris atau luka lainnya, melainkan luka yang lain, yang lebih menyakitkan, yang lebih menakutkan. Aku hanya bisa menebak bahwa itu adalah luka hati…
Kenapa semua hal harus begitu sulit untuknya? Mengapa ada begitu banyak rintangan yang harus dihadapinya tanpa bisa ditinggalkan begitu saja? Tidak bisakah dia lari dari semuanya dan memutuskan untuk melewati rintangan yang lain saja asal jangan rintangan yang satu ini? Aku tahu dan merasakan bahwa hatinya sudah hancur berkeping-keping tanpa perlu dihancurkan dengan masalah yang satu ini. Dan bisakah semuanya berjalan lancar untuknya, kali ini saja? Dia telah memutuskan begitu banyak hal yang besar dalam dirinya. Semua menguras tenaganya, menguras setiap rasa di dalam hatinya, membuatnya merasa tidak lagi memiliki sisa rasa yang bisa diperasnya untuk merasa sedikit bahagia. Dia hanya ingin berbahagia, sama seperti orang lain, sama seperti kita. Tapi kebahagiaan itu begitu sulit untuk diraih baginya. Seperti bintang, yang letaknya terlalu jauh untuk bisa di capai. Dan kali ini dia harus menggantung kebahagiaan orang yang paling dekat dengannya demi mendapatkan kebahagiaannya sendiri.
Kenapa begitu? Kenapa harus ada seseorang yang menderita lebih dulu agar dia bisa merasakan kebahagiaan? Kenapa? Kenapa? KENAPA?!?!? Dan kenapa dia harus mempertaruhkan kebahagiaannya dengan kebahagiaan ayahnya sendiri? Itu adalah hal yang paling berat yang harus di laluinya, aku yakin itu. Mencoba merasakan perjuangannya saja sudah membuatku merasa tersayat-sayat, seolah ada seseorang yang memaksaku untuk bunuh diri, atau membunuh orang lain agar tetap hidup. Tapi bagaimana jika apa yang dipertaruhkannya adalah sesuatu yang sangat diidamkannya, sesuatu yang tidak bisa disangkalnya akan bisa membuatnya berbahagia, lahir dan batin? Jelas saja, dia tidak bisa memutuskan keduanya, dia harus memilih salah satu, atau dia bisa memilih pilihan ketiga, yaitu membiarkan dirinya sendiri ikut menderita bersama kedua korbannya.
Dan ada sebuah kekecewaan besar lain yang aku rasakan. Lagi-lagi bukan diriku yang merasakannya, tapi terasa begitu dekat, seolah sebagian lain dari diriku yang merasakan kekecewaan itu. Rasanya sakit sekali, seperti menusuk hatiku, seperti menyayat, seperti membakar. Dan rasanya luka itu tidak akan bisa hilang dan sembuh, akan menjadi cacat seumur hidup, membuatku teringat akan sakitnya, tak akan pernah lupa. Aku merasakan sakit hati itu, perasaan terhina itu, perasaan dikhianati…
Memang, rasanya sakit sekali. Seperti ada seseorang yang menusukmu dari belakang, seseorang yang dekat… anakmu sendiri, darah dagingmu… Aku meneteskan air mata kepedihannya, aku merasakan kesesakannya, rasanya begitu menyakitkan, membuatku ingin berteriak, ingin lari, ingin lepas dari semua belenggu itu, berharap semuanya tidak kacau seperti ini. Tapi kenyataan telah menggariskan nasibnya dengan seenaknya, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Itu membuatnya merasa semakin terkhianati. Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa semuanya bisa berubah menjadi kacau begini? Kenapa? Apa? Bagaimana bisa? KENAPA?!?!? Apa lagi yang mereka inginkan darinya? Dia telah berusaha untuk bersabar sejauh ini, berusaha menerima semua perubahan yang ada padahal dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi. Harga dirinya jatuh dan hancur berkeping-keping saat partner hidup yang dipilihnya telah mencuranginya. Semua kehancuran itu berawal dari sana. Dari satu titik tuba yang menetes dan mencemari semuanya. Setelah itu nama baiknya tercoreng dengan kelakuan darah dagingnya sendiri, dua sekaligus. Mereka menusuk punggungnya dari belakang dan membiarkannya tersungkur jatuh ke lubang malu dan keputusasaan yang dalam tanpa bisa menyelamatkan diri.
Dia hanya ingin berbahagia, membangun rumah dengan pondasi yang di bangunnya sendiri dan mempertahankan rumah itu dari segala macam badai dengan usaha kerasnya. Dia hanya ingin berbahagia dengan prinsip-prinsipnya, dengan apa yang diyakini akan dapat membahagiakannya dan keluarganya. Tapi kenapa dia malah dikhianati oleh darah dagingnya sendiri? Seolah mereka telah meracuninya secara perlahan dan membiarkannya sekarat. Dan sekarang apa lagi yang mereka inginkan? Setelah dia menginjak-injak harga dirinya sendiri, setelah dinding yang telah dibangun dengan keringatnya harus dia hancurkannya sendiri, setelah dengan hati yang hancur berkeping-keping yang telah dengan suka rela dia lem kembali untuk menerima semua kenyataan yang ada. Sekarang mereka menginginkannya untuk menjatuhkan dirinya lagi ke jurang yang sama? Betapa kejamnya? Tidakkah mereka tahu seberapa hancur hatinya? Seberapa dalam luka baru yang mereka timbulkan sementara luka lama itu masih tetap membekas dan terus saja berdenyut-denyut menyakitkan sampai sekarang? Kali ini aku yakin, dia tidak lagi memiliki stok kesabaran yang selama ini selalu dia keluarkan jika menghadapi situasi seperti ini. Dia tidak lagi bisa bersabar, tidak lagi bisa menerima semuanya begitu saja. Ini bukan masalah sepele, ini tentang masa depan mereka. Dia harus memegang prinsipnya kali ini, prinsip yang dia anggap paling benar. Prinsip yang paling didasari oleh instingnya sebagai seorang ayah.
Aku berada di antara dua pilihan yang begitu sulit untuk diputuskan. Salah satunya adalah sebelah hatiku dan yang lainnya adalah darahku. Keduanya adalah unsur paling penting dalam hidupku dan keduanya adalah penentu hidup matiku, penentu kebahagiaanku sendiri. Bagaimana aku bisa hidup tanpa sebelah hatiku? Dan bagaimana pula aku bisa hidup tanpa aliran darahku? Dan apa yang harus aku lakukan? Keduanya berhak untuk diperjuangkan, dipertahankan, dibahagiakan; tapi keduanya tidak bisa sejalan. Mereka memilih jalan mereka masing-masing, tapi sayangnya kedua jalan itu sangat berbeda, jauh berbeda. Tidak mungkin menyatukan keduanya pada satu jalur yang sama karena mereka memiliki keyakinan mereka masing-masing yang nyaris tidak bisa digoyahkan, tidak bisa dirayu. Hanya mereka sendiri yang bisa menyatukan jalan mereka. Hanya saling pengertian yang bisa menolong mereka, keinginan untuk melihat masing-masing diantara mereka berbahagia, walaupun dengan cara mereka masing-masing. Mereka harus bisa saling jujur satu sama lain, saling mengerti, saling memaklumi, saling meminta maaf karena jalan yang mereka pilih berbeda. Aku tidak bisa memutuskan harus memihak ke mana. Pilihan itu tidak akan bisa aku lakukan. Semuanya membingungkanku, semuanya membuatku sedih, seolah aku dapat merasakan segalanya dari kedua sisi. Itu menyakitkan, itu menyesakkan, itu membuatku sendiri ingin bunuh diri. Kalau saja kekacauan ini tidak dibiarkan terjadi begitu saja sejak awal. Kalau saja perbedaan itu sudah diantisipasi sejak pertama kali mencuat ke permukaan, kalau saja keduanya bisa saling memahami dan menerima dengan lebih lapang dada, kalau saja…
Kalau saja aku tidak berada di tengah semua kerumitan ini…
Kalau saja…

 
201209 ~ Black Rabbit ~

Cuplikan Buku Harian Rab


Hari ini aku pulang cukup malam dengan badan yang capai dan kaki yang pegal. Sepulang dari kantor tadi aku harus langsung pergi untuk bertemu dengan salah satu teman sekolahku dulu untuk mengadakan acara reuni kecil-kecilan. Saat masuk ke dalam kamar, aku melihat dia sudah tertidur di samping tempat tidurku, dengan laptop yang masih menyala dan novel yang sedang dibacanya tergeletak di sampingnya, sepertinya baru saja dibaca sedikit. Aneh, dia tidak pernah membiarkan laptopnya aktif begitu saja, dia juga tidak pernah meninggalkan bukunya tanpa selesai membaca setidaknya pada akhir setiap bab. Memang, beberapa hari ini aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya, ada yang sedang dipikirkannya, dan itu membuatnya stress, tapi aku tidak yakin masalah apa.
Aku melangkah mendekatinya dengan sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun sehingga dia tidak terbangun dari tidur yang kelihatannya nyenyak itu. Dia kelelahan, dia sepertinya memang butuh banyak istirahat. Setelah merapikan bukunya, aku beranjak menarik laptopnya dari atas tempat tidur, tapi saat aku baru saja berniat mematikan laptop itu, aku tertarik membaca apa yang tersaji di layarnya.
Sepertinya itu adalah buku hariannya. Aku tahu dia memang sering menulis buku hariannya di laptop ini, tapi tentu saja aku tidak pernah membacanya sedikitpun karena data itu dilindungi dengan password. Tapi data itu sekarang terbuka, tampaknya secara tidak sengaja dia telah meninggalkannya dalam keadaan terbuka. Tiba-tiba terbersit niatku untuk membacanya. Sedikit saja, aku janji tidak akan membaca terlalu banyak. Bagaimana pun kalau dia tidak tahu aku membaca buku hariannya tentu dia tidak akan marah, betul kan?
Baiklah, aku akan mulai membacanya. Hanya sedikit, aku janji.

 
Ada yang tidak beres denganku hari ini. Aku tidak yakin itu apa, tapi semua itu membuat suasana hatiku menjadi jelek. Aku memikirkan sesuatu, dan gawatnya itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak aku pikirkan. Aku memikirkan seseorang yang salah, seseorang yang sebetulnya tidak aku kenal.
Semua ini bermula dari sebuah ketidak sengajaan. Aku berkenalan dengannya melalui media yang tadinya aku kira sangat tidak mungkin aku yakini. Dunia maya, dunia yang teralu absurd, yang tidak nyata, dunia yang aku remehkan. Disitulah aku mengenalnya.
Aku sama sekali tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Bagiku pribadi, aku harus sangat mengenal orang itu sebelum bisa menyakinkan diriku untuk menerimanya menjadi seorang teman atau pun sahabat. Jangankan untuk seorang tambatan hati, aku bahkan hanya memiliki beberapa orang sahabat yang banyaknya masih bisa dihitung dengan jari pada salah satu tanganku saja. Aku juga tidak suka berkenalan dengan seseorang yang sama sekali asing melalui media yang tidak aku kenal dengan baik. Bagiku, cara seperti itu terlalu banyak kemungkinan dan kesempatan untuk berbohong. Biasanya orang-orang yang berusaha mengajakku mengobrol melalui media itu hanya aku tanggapi seadanya, bahkan mungkin cenderung ketus.
Tapi dengan dia semua itu berbeda.
Sejak sapaan pertama, ada sesuatu yang berbeda darinya. Ada sebuah keyakinan, entah dari mana, yang mengatakan bahwa kami berkenalan berdasarkan itikad baik. Dan bahkan ada sebuah suara kecil dari sudut hatiku yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang aku cari selama ini, seseorang yang bisa menjadi sangat berarti bagiku. Aku tahu ini bodoh sekali. Bagaimana aku bisa merasakan dan berkata seperti itu padahal aku bahkan tidak pernah bertemu dan berbicara langsung dengannya? Tapi aku sudah berjanji dengan hatiku sendiri bahwa aku tidak akan membohongi diriku sendiri lagi. Seberapa pun memalukannya perasaan itu, seberapa pun menyebalkannya pikiranku dan seberapa pun konyolnya itu, aku akan berusaha jujur dengan diriku sendiri. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menghargai diriku sendiri. Karena itulah aku tidak akan menyangkal bahwa memang perasaan itulah yang aku rasakan saat pertama kali berbicara dengannya.
Walaupun begitu, bukan berarti aku tidak meyakinkan diriku sendiri sebelumnya. Aku bertanya dengan blak-blakan kepadanya tentang motifnya ingin berkenalan dan mengobrol panjang lebar denganku. Bagaimana pun, tidak akan semudah itu seseorang mau mengobrol panjang lebar dan menceritakan kisah hidupnya kepada orang asing. Paling tidak, aku bersikap seperti itu. Mungkin saja dia hanya ingin mempermainkan aku, atau bercanda dan menggangguku seperti kebanyakan pria iseng dimuka bumi ini. Atau mungkin dia sama seperti pria hidung belang lainnya yang akan berbuat sangat kurang ajar jika akhirnya aku dan dia kopi darat nantinya. Tapi dengan entengnya dia hanya berkata: " Maksudmu aku hanya ingin mempelajari anatomi tubuh seorang gadis? Yang seperti itu banyak di buku pelajaranku. ".
Yah, dia memang seorang calon dokter, tapi aku tidak yakin semua calon dokter akan berpikir seperti itu. Jujur saja, dia memang berbeda dengan semua pria yang pernah aku kenal. Semua kata-katanya, cara bicaranya ( walaupun itu cuma aku ketahui dari tulisan-tulisannya ) dan juga sikapnya yang sangat perduli itu terlihat tulus. Seolah dia memang benar-benar perduli denganku, tidak ada alasan yang lain. Hanya perduli, itu saja.
Tapi, aku sendiri tidak bisa seyakin itu. Bukan dengannya, tapi dengan diriku sendiri.
Aku tidak yakin apa aku benar-benar bisa menerima semua itu. Maksudku, semua ini adalah sebuah pengalaman baru bagiku, sesuatu yang tidak pernah aku rasakan dan aku alami sebelumnya. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Bagaimanapun perhatiannya, bagaimanapun sikap manisnya, aku tetap tidak bisa menerima teori itu. Bagaimana mungkin aku bisa menaruh hati kepada orang asing?
Dia tidak tahu apa-apa mengenai aku, dia tidak tahu mengenai kisah hidupku yang kacau, dia tidak tahu mengenai keluargaku yang memalukan. Dia sama sekali tidak mengenal aku, jadi bagaimana mungkin dia bisa begitu saja ingin dekat denganku? Itu tidak masuk akal, sama sekali tidak masuk akal. Aku bukanlah seorang gadis baik, aku jelek, begitu penuh dengan kekurangan, dan dengan semua sifat jelekku… bagaimana mungkin ada orang lain yang mau mengerti semua itu, memakluminya dan menerima aku begitu saja? Tidak, tidak akan ada orang lain yang akan bisa memahami. Aku bahkan nyaris percaya bahwa tidak akan ada orang lain di dunia ini yang mau menerima semua kekuranganku itu. Aku terlalu buruk, terlalu jelek, terlalu memprihatinkan.
Karena itulah aku tidak berani menerima tawarannya untuk bertemu. Aku tahu dia telah berusaha menyempatkan diri untuk bertemu denganku, aku tahu dengan penolakanku itu dia pasti akan sangat tersinggung. Tapi sungguh, aku tidak bisa membiarkan diriku melakukannya dan pada akhirnya malah mempermalukan diriku sendiri! Tidak bisa, aku tidak mau.
Sekarang aku benar-benar telah membohongi diriku, aku mengingkari kata hatiku sendiri. Tapi kali ini aku memaafkannya. Aku yakin aku harus melakukannya, kalau tidak aku akan membuatnya kecewa. Aku bahkan sudah membuatnya kecewa dengan segala perhatian berlebihan yang seharusnya tidak aku berikan kepadanya. Aku yakin sikapnya yang berusaha menahan diri dan sopan itu karena dia juga sangat menghormatiku, menghormati statusku yang tidak sendiri lagi.
Jadi kali ini biarkan saja aku berbohong dengan hatiku, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan hatiku sendiri. Aku tidak mau kehilangan dia yang sudah seperti kakak pribadiku_sosok yang sebenarnya aku cari-cari selama ini_tapi aku juga tidak bisa memaksakan kehendakku yang akan menyakitinya pada akhirnya.
Benar, aku harus berbohong dengan diriku sendiri. Kali ini saja. Biarkan saja.

 
~ Rab ~

 
Ya ampun, aku tidak sadar kalau aku sudah membaca semuanya! Memang aku tidak membaca semua datanya yang aku yakin sudah dia isi sejak awal tahun, tapi tetap saja aku sudah membaca terlalu banyak! Aku tidak sengaja, sungguh! Aku tahu seharusnya aku berhenti membaca sejak paragraf pertama, tapi aku tidak bisa mencegah keingintahuanku karena siapa tahu dengan membaca ini aku bisa mengerti apa yang sedang dipikirkannya selama beberapa hari ini dan yang membuatnya begitu stress.
Aku tahu, aku mengaku salah.
Tapi, kalau memang semua itulah yang dipikirkannya selama ini, berarti dia memang sedang mengalami masalah yang cukup serius. Masalah percintaan memang selalu menjadi masalah serius, tapi kalau itu adalah masalah percintaan di dunia maya? Apa lagi dia juga sampai-sampai harus membohongi dirinya sendiri. Itu tidak sehat, tidak baik untuk dirinya sendirri. Ya ampun, itu jauh lebih serius lagi.
Aku tidak akan menanggapi apa-apa lagi, aku juga sudah tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Tapi yang jelas aku bersyukur karena sudah sedikit mengerti bagaimana situasi yang sedang dihadapinya. Paling tidak dengan begini aku bisa memutuskan harus memilih bersikap bagaimana untuk menanggapinya nanti.
Tenang, aku akan berusaha menjadi seorang kakak yang paling baik baginya, yang akan terus mendukung dan menuntunnya di jalan yang benar.
Aku janji, jadi jangan khawatir.

 
200910 ~ Black Rabbit ~

LIFT LOVE


Aku sedang membayangkan bagaimana kalau aku menderita phobia tempat tertutup? Mungkin aku akan sangat ketakutan sekarang, panas dingin dan keringat bercucuran. Bukan karena kepanasan, tapi karena menahan takut. Soalnya sekarang aku sedang berada di dalam lift yang akan membawaku turun dari lantai dua puluh sebuah hotel mewah menuju lantai dasar. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk turun ke lantai dasar_perlu lima belas menit bahkan dua puluh menit kalau lift ini berhenti di setiap lantai yang dilewatinya. Ya, inilah tandanya jika dunia sudah berkembang jauh lebih modern, gedung-gedung bertingkat di bangun menjulang setinggi-tingginya, seolah mencoba melampaui awan. Dan lift sudah tidak asing lagi digunakan, sehingga para phobia tempat tertutup harus terbiasa dengan lift karena terpaksa harus menggunakan lift tertutup selama beberapa menit tiap harinya. Tapi untunglah aku tidak menderita penyakit seperti itu. Aku hanya sedang berada di dalam lift dan tidak tahu harus melakukan apa selama dua puluh menit kedepan, jadi aku melamun saja memikirkan para phobia tempat tertutup.
Kalau tidak karena Tante Susan, tentu aku tidak akan berada di dalam lift ini, atau malah aku tidak akan pernah mengunjungi hotel ini. Inikan hotel besar yang super terkenal, hotel bintang lima yang memiliki dua puluh lantai, dengan landasan helikopter di lantai teratas, tiga kolam berenang outdoor bertaraf internasional ( tidak perlu bertanya bagaimana aku tahu mengenai fasilitas hotel ini, pokoknya aku tahu! ). Sangkin terkenal dan mewahnya, hotel ini menjadi pilihan pertama bagi para turis dan pejabat untuk menginap walaupun harus membayar jutaan rupiah hanya untuk satu malam. Aku yang bukan berasal dari keluarga kaya raya tidak akan sanggup membayarnya.
Tante Susan adalah adik ipar Ibuku yang menikah dengan seorang laki-laki kebangsaan Australia yang kaya. Dia sedang melewatkan waktu liburannya disini dan meminta aku dan kakakku, Audrey, untuk menemaninya. Aku tidak begitu yakin kenapa Tante Susan begitu menyukai kami, saudara-saudara jauhnya, tapi yang jelas aku menyukai Tante Susan karena dia begitu baik, berjiwa muda dan mau berbaur. Tante Susan menempati kamar dilantai paling atas hotel ini atas pesanan suami bulenya, mangkanya aku yang baru saja mengantar Tante Susan ke kamarnya sekarang berada di dalam lift untuk turun ke lantai dasar.
Aku jadi ingat sebuah adegan film yang dibintangi dua artis pendatang baru. Itu loh yang ada adegan di dalam liftnya. Kalau tidak salah mereka terjebak di dalam lift berdua saat lift itu tiba-tiba macet. Dan di dalam lift itu mereka saling berkenalan dan mulai mengobrol, bahkan mulai jatuh cinta. Tapi sayangnya adegan itu berhenti saat mereka nyaris berciuman. Untuk aku yang sangat memuja romantisme cinta, kejadian itu sangat disayangkan dan mengecewakan. Bukankah hal yang manis kalau pacarmu mau menciummu di dalam lift saat kalian hanya berdua? Kalau aku sih pengen banget merasakan ciuman di dalam lift, mumpung first kiss-ku belum tergadaikan.
Sedang asik-asiknya melamun mengenai first kiss di lift, tiba-tiba bunyi 'Ting!' nyaring terdengar, pintu lift terbuka. Aku melirik angka yang tertera di atas pintu lift. Delapan belas, lift ini berhenti di lantai delapan belas. Seorang laki-laki jangkung, mengenakan celana jeans dan jaket masuk ke dalam lift. Wajahnya tertutup topi sehingga aku tidak bisa melihatnya, lalu dia berjalan ke sudut lift dan menyender di sana, tetap berusaha menutupi wajahnya dengan topi. Di sudut lift yang lain, aku mengernyit heran. Laki-laki ini aneh benar, setiap kali aku melirik ke arahnya dia selalu berusaha menutupi wajahnya lebih dalam lagi.
Keherananku semakin bertambah ketika laki-laki itu mulai terbatuk-batuk. Batuknya aneh, bukan seperti batuk berdahak atau batuk kering tapi seperti batuk menahan sakit. Aku menatapnya beberapa kali, tapi dia masih saja berusaha menutupi wajahnya dan batuk-batuk lagi. Laki-laki yang aneh, misterius banget. Mungkin wajahnya sangat menakutkan sekaligus punya penyakit menular atau apa. Tapi kalau begitu, aku beresiko ketularan karena hanya aku yang ada di dalam lift bersamanya. Atau mungkin dia baru saja minum minuman keras atau menggunakan obat-obatan terlarang. Gejalanyakan bisa mengarah ke situ. Wah, situasi yang super gawat! Tiba-tiba posisiku berubah menjadi sangat terancam sedangkan masih ada lima belas lantai lagi yang harus aku lewati.
Apa yang bisa membuat aku lega saat ini? Jawabannya simpel saja, kalau Tuhan memberikan kesempatan agar aku bisa lepas dari laki-laki misterius yang mencurigakan ini, maka itulah kebaikan Tuhan yang paling aku butuhkan saat ini. Dan ternyata Tuhan mengabulkan permintaanku. Di lantai lima belas, tiba-tiba lift berbunyi lagi dan seorang laki-laki gemuk masuk ke dalam. Dia berdiri di depanku, menutupi pandanganku ke arah panel angka sehingga aku tidak bisa melihat angka mana yang dia tekan_tempat dia akan keluar. Aku sangat berharap Bapak ini juga turun di lantai dasar sehingga aku tidak perlu berada berdua saja di dalam lift bersama laki-laki aneh yang sepertinya juga turun di lantai dasar karena dia tidak menekan angka manapun di panel angka.
Ternyata bukan hanya aku yang merasa terganggu dengan keberadaan laki-laki misterius itu, Bapak ini juga tampak terganggu. Buktinya setelah mendengar laki-laki misterius itu batuk lagi, Bapak ini melirik dan mengernyit aneh karena melihat sikap laki-laki misterius itu yang selalu berusaha menutupi wajahnya. Bapak itu melirik panel angka di atas pintu lift lagi, angka berganti disana dari angka dua belas ke angka sebelas. Masih ada sepuluh lantai lagi, aku mohon Bapak ini jangan turun dulu. Tapi saat angka sepuluh tercetak di panel angka dan bunyi 'Ting!' terdengar, pintu lift terbuka dan Bapak itu keluar dengan lega. Aku hanya bisa menghela napas, nasib sedang mempermainkan aku. Sesaat tadi dia menempatkanku di posisi sulit lalu memberikan sedikit pengharapan dan akhirnya malah kembali menempatkanku di posisi sulit lagi.
Pintu lift kembali tertutup dan aku melirik laki-laki misterius itu lagi. Keadaanya masih sama, masih menyembunyikan wajahnya dan batuk-batuk menahan sakit. Pandanganku beralih ke panel angka. Sembilan, masih ada delapan lantai lagi. Baru kali ini aku merasa tidak nyaman berada di dalam lift semewah ini.
Lift ini berukuran besar, dengan kertas dinding bermotif kayu menutupi seluruh bagian sampai ke langit-langitnya dan lantai lift itu ditutupi karpet empuk berwarna abu-abu. Seharusnya lift ini bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemakainya, atau mungkin menunjang situasi romantis yang bisa terjadi di dalam lift seperti di film itu. Tapi mengingat situasiku yang sedang terancam, suasana senyaman apa pun tidak akan berpengaruh banyak.
Keadaanku lebih terancam lagi saat tiba-tiba lift macet di lantai enam. Lampu lift tiba-tiba berkedap-kedip liar dan lift berhenti mendadak dengan hentakan keras. Aku otomatis berteriak, sedangkan laki-laki misterius itu berhenti batuk seketika. Lampu lift mati total selama beberapa detik, membuatku mundur ke pojok lift, lalu menyala lagi. Tapi lift itu tidak ikut berjalan, lift itu diam, macet. Aku menatap bingung ke langit-langit lift, berharap ada orang yang akan memberitahu apa yang terjadi, tapi tentu saja tidak ada, jadi aku malah mengatakan sesuatu, cenderung untuk diriku sendiri.
" Liftnya macet. "
Perkataanku malah ditanggapi dengan suara batuk lagi. Sepertinya kali ini batuknya lebih serius sehingga laki-laki misterius ini menahan sakit sampai terduduk. Aku kaget melihatnya. Buru-buru aku menghampiri laki-laki itu dan bertanya penuh khawatir:
" Lo kenapa? " Laki-laki itu masih batuk. " Heh, lo kenapa? Nggak pa-pa, kan? " Aku menyentuh lengannya, membuat laki-laki itu kaget lalu menyentakkan tanganku dengan keras sambil berteriak: " Gua nggak papa! "
Saat laki-laki itu menengadah melihatku setelah berteriak itulah terjadi suatu hal yang sangat tidak disengaja: dia menciumku tepat di bibir! Kejadiannya sangat cepat, aku saja sempat tidak sadar, soalnya laki-laki itu berada tepat di bawahku dan aku menghampirinya terlalu dekat! Apalagi saat melihat wajahnya, aku langsung meloncat mundur dan berteriak kaget, lalu otomatis menampar wajahnya. Iya, aku menampar laki-laki itu! Padahal wajah laki-laki itu terlihat sangat mengenaskan: matanya sedikit bengkak, alis kanannya berdarah, bibirnya pun mengeluarkan darah, persis seperti orang yang baru saja dipukuli.
Aku tidak pernah bermaksud memukul orang yang sudah babak belur, tapi masalahnya tanganku bergerak sendiri tanpa aku sadari! Laki-laki itu memelototiku dengan susah payah, lalu bertanya galak kepadaku:
" Ngapain lo mukul gua? "
" Abis lo nyium gua! "
" Gua nggak sengaja! Siapa suruh lo ada di deket gua? " Aku tidak bisa menjawabnya, pikiranku sedang sibuk melihat wajahnya dan memikirkan dari mana dia mendapatkan luka-luka itu. Mendadak masalah lain terlupakan olehku.
" Muka lo kenapa? "
" Bukan urusan lo! " Laki-laki itu tersadar bahwa wajah babak belur yang sudah susah payah ditutupinya malah tidak sengaja diperlihatkannya kepada orang lain. Buru-buru dia menunduk lagi.
Tepat saat laki-laki itu menundukkan kepalanya lagi, lift tiba-tiba bergerak turun. Laki-laki itu memelototiku seolah mengancam kalau aku tidak boleh bertanya lagi, sedangkan aku terus memandanginya dengan penuh tanya. Mungkin laki-laki itu tidak senang aku pandangi, jadi saat lift yang sudah bergerak turun itu berhenti dan mengeluarkan bunyi 'Ting!' nyaring, laki-laki itu buru-buru keluar tanpa melihat di lantai mana lift itu berhenti. Seorang Ibu muda masuk sambil membawa kereta dorong bayi lalu tersenyum kepadaku.
" Tadi liftnya macet, ya? "
Aku mengangguk lalu tersenyum. Panel angka saat itu menunjukkan angka empat. Aku tidak tahu laki-laki itu memang ingin turun ke lantai ini atau dia keluar hanya gara-gara aku sudah melihat keadaan wajahnya tanpa disengaja. Tapi yang jelas, laki-laki itu memang sangat misterius.
# # #
Aku bukannya berharap akan bertemu dengan laki-laki misterius itu lagi selama bulak balik dari lantai dua puluh ke lantai dasar untuk mengantar Tante Susan. Tapi jujur saja, aku sangat penasaran bagaimana laki-laki itu bisa babak belur seperti itu. Aku pikir dia pasti bertengkar dengan seseorang, tapi dengan siapa aku tidak tahu. Lagi pula bukan hanya masalah itu yang mengganjal pikiranku. Aku sekarang ingat benar kalau laki-laki itu sudah menciumku. Dia merebut first kiss-ku sekaligus membuyarkan harapanku untuk bisa mendapatkan first kiss yang romantis bersama orang yang aku cintai di dalam lift. Tapi aku tidak bisa meminta pertanggung jawabannya, soalnya sudah tiga hari ini aku tidak bertemu lagi dengannya, padahal aku masih saja harus bulak balik hotel itu. Mungkin dia sudah check out dari hotel ini, atau mungkin dia bahkan tidak pernah check in.
Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Tepat sehari sebelum Tante Susan akan pulang ke Australia, yang membuat aku tidak akan pernah datang ke hotel ini lagi, saat itu aku bertemu lagi dengannya di dalam lift. Tapi kali ini lift yang kami naiki penuh berisi orang lain. Kami sama-sama kaget, merasa saling kenal tapi tidak berani menegur duluan. Kami hanya sama-sama menyender di pojok lift dengan seorang wanita setengah baya berada di antara kami. Aku deg-degan bukan main. Aku hanya takut kalau laki-laki itu ingat aku sudah menamparnya saat terakhir kali kami bertemu. Tapi dari raut wajahnya yang canggung, aku juga tahu kalau dia takut aku ingat bagaimana keadaannya sewaktu kami bertemu. Sekarang wajahnya tidak babak belur lagi, jadi aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresinya yang canggung itu.
Lift tidak pernah kosong, bahkan nyaris selalu terisi penuh sehingga tidak ada kesempatan untuk kami saling menyapa, sampai lift berhenti di lantai tujuh. Kali ini tidak didahului dengan lampu yang padam, tapi lift langsung berhenti. Semua orang yang berada di dalam lift tersentak kaget lalu mulai menggumam kalau liftnya berhenti. Semua orang tidak melakukan apa-apa selama beberapa menit, mengira lift akan berjalan lagi selama beberapa menit itu, tapi ternyata tidak, lift tetap diam sehingga orang-orang mulai berbisik panik. Seorang bapak yang mengenakan jas dan kemeja rapi berjalan ke panel angka dan menekan tombol merah, tombol darurat.
Sebuah suara terdengar tak lama kemudian dari speaker yang tertanam di samping panel angka. " Ya, ada apa? "
" Liftnya macet pak, nggak bisa jalan dilantai tujuh. " Kata Bapak yang berpakaian rapi itu kearah speaker.
" Oh maaf, liftnya memang sedang diperbaiki, mungkin butuh waktu beberapa menit, tolong sabar semua. " Seluruh isi lift langsung menggerutu kesal, sementara aku hanya bisa menghela napas dan memukul jidat.
Ternyata beberapa menit yang dikatakan laki-laki dari speaker itu tidak benar. Buktinya setelah menunggu selama hampir setengah jam, lift itu belum juga jalan. Orang-orang yang berada di dalam lift sudah mulai kesal, laki-laki berpakaian rapi tadi sudah melonggarkan dasi dan melepas jasnya, sementara sepasang suami istri yang membawa kedua anak sudah mulai sibuk menenangkan anak-anak mereka. Sang ayah sibuk menjawab pertanyaan anak balitanya yang tidak berhenti, sedangkan ibunya sedang sibuk menenangkan bayinya yang mulai menangis.
Keadaan tidak nyaman ini membuat kami tambah pusing. Aku terpaksa merapatkan diri ke arah laki-laki misterius itu sementara wanita setengah baya yang tadinya berdiri diantara kami yang ternyata adalah suster bayi yang menangis itu memintaku bertukar tempat. Kini semua orang duduk di lantai lift, berusaha menyamankan diri sementara tangisan sang bayi semakin menggelegar.
Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa selama menunggu. Rasanya sangat tidak enak kalau kau berdampingan dengan orang yang kau kenal tapi tidak berani kau sapa. Aku berpikir keras untuk memutuskan cara apa yang akan aku pakai untuk menyapa laki-laki ini, tapi saat aku sudah memutuskan untuk mulai bertanya, ternyata laki-laki itu melakukan hal yang sama sehingga omongan kami bertabrakan. Kami berhenti pada saat yang bersamaan juga lalu sama-sama tersenyum lega.
" Lo dulu, deh. " Kataku duluan.
" Lo aja. " Jawabnya menggeleng.
" Nggak, lo aja. Omongan gua nggak teralu penting. " Bantahku.
" Gua cuma mau bilang, kalau kita kayaknya ditakdirin buat ketemu waktu lift macet mulu, ya? " Aku tersenyum manis, tahu benar kalau itulah kata-kata yang ingin aku katakan tadi.
" Liftnya udah tua, kali. " Tanggapku, lalu kami berdua tertawa, merasa lega karena suasana diantara kami sudah tidak kaku lagi walaupun sang bayi sekarang sudah menjerit-jerit.
" Ngomong-ngomong, thank's waktu itu lo mau bantu gua. " Kata laki-laki itu akhirnya.
" Nggak pa-pa, masa ada orang yang lagi susah nggak gua bantu. Tapi kalo boleh gua tau, siapa yang mukulin lo sampe babak belur kayak gitu? " Aku tahu pertanyaan ini sedikit lancang ditanyakan, jadi sebelum sempat dijawab aku buru-buru menambahkan: " Kalo lo nggak mau jawab juga—"
" Bokap gua. "
" Hah? "
" Gua dipukulin bokap gua. Dia selingkuh sama cewek lain di hotel ini. Waktu gua pergokin, bokap gua malah marah dan mukulin gua. " Laki-laki itu ternyata menjawab pertanyaanku walaupun dengan mata menerawang yang seolah-olah menyesali kebenaran kata-katanya. Aku buru-buru minta maaf, sekaligus aku juga sangat menyesal karena sempat mengira dia yang bukan-bukan: pemakai narkoba, bahkan sampai orang berpenyakit menular.
" Sorry ya, gua sempet mukul lo. "
" Nggak pa-pa, gua juga yang salah nggak sengaja nyium lo. "
Aku langsung tersipu malu, ingat kalau ternyata kami memiliki hubungan yang tidak seperti orang yang berkenalan di lift lainnya karena kejadian kecil itu.
Saat tersipu malu itu, tiba-tiba lift bergerak turun lagi. Semua orang di dalam lift bernapas lega, beranjak dari duduknya dan membenahi penampilan mereka, tahu benar kalau enam lantai lagi lift akan berhenti di lantai dasar tempat tujuan mereka. Bahkan sang bayi berhenti menangis, seolah tahu kalau dia akan segera keluar dari penjara berlapis kertas dinding bermotif kayu ini.
Aku dan laki-laki itu tidak berkata apa-apa lagi sampai lift membuka di lantai dasar dan semua orang keluar dari lift. Aku berada di urutan terakhir, masih berpikir bagaimana caranya supaya aku tidak hanya berhubungan dengan laki-laki misterius itu sampai disini. Tapi otakku tidak bisa diajak untuk berpikir sehingga laki-laki misterius yang berada di depanku berbalik dan bertanya duluan.
" Nomor handphone lo berapa? "
Aku tersenyum manis sekali lalu memberikan kartu namaku dengan mata berbinar senang. Dia berpikir sama dengan yang aku pikirkan! Jeritku dalam hati. Laki-laki itu menatap kartu nama bermotif bunga terbaruku lalu tersenyum manis.
" Nama lo Snada? Gua Danang. Entar gua telepon lo, oke? "
Masih dengan tersenyum manis dia berlalu dari hadapanku, membuat senyum di bibirku mengembang semakin lebar. Sekarang aku sudah berkenalan dengannya, tinggal menunggu sebuah nomor asing menghubungi ponselku dan mengaku bernama Danang. Sepertinya ada sebuah kisah _yang mudah-mudahan_romantis menungguku karena kejadian di dalam lift itu. Dan siapa tahu aku akan mengalami kejadian romantis lain di dalam lift bersama laki-laki misterius ini? Eh, handphone ku berdering, ada nomor asing menghubungiku!

 
SELESAI

 

 

Bagai Kelinci Merindukan Bulan


BAGAI KELINCI MERINDUKAN BULAN
Sekarang pukul 22.45.
Aku menantang langit malam yang dingin lagi dengan berada di atas motor. Lutut dan pipiku terasa membeku, tapi ada sebuah tangan yang mengulur di depanku, mencoba menghangatkan ke dua sisi tubuhku. Cukup berhasil. Entah bagaimana, tangan itu memang selalu terasa membara hangat setiap kali aku kedinginan. Aku menengadahkan kepala, dan menemukan sesuatu di sana. Bulat, terang, tanpa awan, tanpa bintang dan nyaris tanpa noda. Bulan menguasai langit malam ini. Matahari malam. Cukup sulit untuk bisa terus menatap bulan dari atas motor yang terus bergerak, aku harus menggerakkan kepalaku menengadah ke atas sehingga nyaris membentuk sudut sembilan puluh derajat sempurna terhadap leherku. Posisi itu tidak bisa bertahan lama karena leherku akan terasa kram hanya dalam hitungan detik. Tapi dengan bandel aku tetap mencuri pandang kepada bulan itu, dan dia memang terus berada di sana, tetap saja tanpa cela.
Aku sempat mengikuti perjalanan bulan beberapa waktu belakangan ini. Entah mengapa aku memutuskan untuk mengamatinya tapi aku menemukan sesuatu dari pengamatanku itu. Aku memutarkan kepalaku ke arah lain, mencari, dan menemukannya cukup jauh, berada nyaris berseberangan dengan posisi bulan. Sebuah bintang: terang, kekuningan dan tak berkedip. Sebenarnya aku tidak yakin apakah itu memang sebuah bintang atau bukan, tapi benda yang menyerupai bintang itu selalu ada setiap saat aku bisa melihat bulan. Kadang kala bintang itu berada sangat dekat, tapi kala lainnya dia berada sangat jauh dengan bulan. Tapi posisinya selalu berada di belakang bulan, seolah dialah yang selalu mengikuti bulan, menjadi pendamping setia bulan.
Aku menyukai bintang itu. Dia seolah menyatakan diri sebagai pendamping setia yang selalu ada bagi sang bulan dan selalu siap sedia berada di belakang bulan untuk memberinya dukungan. Kadang kala berada cukup dekat untuk dapat sesegera mungkin memberikan bantuan dan dorongan jika bulan membutuhkan dan juga bersedia berada cukup jauh untuk memberikan bulan kesempatan menguasai langit seorang diri.
Aku menghormati bintang itu. Karena dia berusaha bersinar dengan usahanya sendiri dan mengatakan kepada dunia bahwa dia mampu melakukannya seorang diri. Tapi dia tetap berada di belakang bulan-nya, tidak pernah pergi meninggalkannya dan juga tidak mengganggunya untuk mencuri cahaya bulan-nya yang special. Dan dia juga akan siap sedia untuk membantu bulan-nya menguasai langit saat cahayanya meredup. Nyaris seperti ban cadangan di bagasi mobil.
Aku salut dengan bintang itu. Yang tanpa di sadari sang bulan telah melengkapi keindahannya dan perlahan tapi pasti telah meninggalkan jejaknya di sekitar sang bulan. Mungkin bulan-nya belum menyadari, tapi keberadaannya telah menjadi perangkat dan pelengkap, sehingga absennya akan segera membuat sang bulan merasakan kehilangan dalam kehampaan.
Sayangnya aku tidak sempat mengambil gambar bintang itu, dan aku rasa kamera handphoneku tidak akan mampu mengabadikan sosoknya dengan baik. Tapi jika kau menengadah memandangi bulan yang terang di langit malam, tolong bantu aku menemukan bintang itu dan sampaikan salamku kepadanya. Katakan: bersemangatlah bintang dan teruslah mendukung bulan-mu, tidak perduli sang bulan sadar atau tidak. Tapi percayalah, suatu saat sang bulan akan tahu bahwa kehadiranmu sangat berharga di sana.
270610 ~ Black Rabbit ~

Shakti And The Shooting Stars ( Middle Part 2 )


… … …
Terdengar suara teriakan seorang wanita dari luar caravan. Shakti langsung terdiam dan buru-buru mengikuti Tom keluar. Di depan caravan mereka melihat seorang wanita berlari tertatih-tatih sambil memegangi dadanya. Walaupun malam sudah dijelang dan langit sudah menularkan kegelapannya di sekitar caravan, Shakti masih bisa melihat dengan jelas darah segar yang mengalir dari dada wanita itu. Tom berlari menghampirinya, yang ternyata adalah Bibi Merry yang merupakan salah satu anggota sirkus yang dipimpin ayah Tom. Dengan terbata-bata sambil meringis menahan sakit dan mata terbelalak, bibi Merry berkata:
" Orang-orang Path, mereka tiba-tiba menyerang, melukai semua orang... "
Lalu bibi Merry berlari lagi, meninggalkan Tom yang terdiam sangkin kagetnya. Shakti menghampirinya, menyentuh lengannya dengan pelan, ingin bertanya atau mengatakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar karena tertahan oleh teriakan lain, kali ini lebih keras dan lagi-lagi membuat Tom tersadar dari keterkagetannya dan berlari menuju asal suara. Shakti juga bisa mendengar suara-suara itu dengan jelas. Suara jeritan, pukulan, bunyi dentingan logam lalu suara api yang menderak dan lebih banyak teriakan. Shakti ngeri bukan main, dia tidak tahu dan sebenarnya tidak ingin tahu suara apa itu, tapi toh dia tetap mengikuti Tom berlari ke asal suara.
Di tengah kumpulan caravan, tempat dimana beberapa hari ini Shakti dan semua kelompok Gypsy makan malam sambil menyanyi dan menari dan tempat dimana sebuah api unggun selalu dinyalakan, disana sudah tidak ditemukan suasana menyenangkan lagi. Api unggun memang masih ada di tengah, tapi apinya menyala sangat besar dan menari-nari seperti sedang marah. Disekitar api itu, pemandangan yang dapat dilihat sangat tidak menyenangkan. Lebih dari lima puluh orang tersebar di sekeliling api unggun, mengenakan pakaian lusuh dengan pedang, tombak, pisau, senjata apa pun di tangan mereka. Mereka adalah orang-orang dari kota Path. Shakti bisa melihat wajah-wajah mereka yang penuh koreng berwarna merah dan berair, tangan mereka berwarna hitam dengan kulit yang mengelupas dan mengeluarkan darah. Mata mereka merah dan melotot mengerikan sambil memukul, menebas, melukai siapa saja yang menghalangi mereka. Keadaan wajah dan kulit seperti itu jelas bukan dikarenakan luka perang, itu pasti karena wabah penyakit misterius yang diceritakan Rebeca.
Kelompok Gypsy yang berada di sekitar api unggun itu melawan dengan sekuat tenaga. Dapat dilihat dengan jelas bahwa kelompok Gypsy tidak dalam keadaan siap saat orang-orang Path menyerang. Mereka hanya menggunakan kayu bakar, panci, tongkat pemanggang, bahkan gitar untuk melawan. Shakti bergidik ngeri lagi, di depan matanya seorang Gypsy sedang berjuang mati-matian melawan seorang pasukan Path yang baru saja berhasil menusuk lengannya. Darah mengucur kemana-mana dari lengan itu, tapi dia tetap melawan. Tom juga kaget bukan main. Beberapa meter di depan dilihatnya sang ayah sedang berjuang melawan dua orang pasukan Path yang mencoba menebas lehernya. Tom langsung mengambil sebuah pedang yang terlempar dari tangan seorang pasukan Path dan berlari menerobos kerumunan langsung menuju ayahnya.
" Papa, apa yang terjadi? " Tanya Tom sambil berteriak setelah berhasil memukul dua orang pasukan Path yang mengepung ayahnya. Sekarang ayah dan anak itu melawan sambil saling memunggungi.
" Orang-orang Path ini... sepertinya mereka tidak bisa menahan diri untuk menyerang kita. "
TRANG! Pedang beradu pedang. Tom mendorong ke depan sekuat tenaga saat pedangnya menghantam pedang seorang pasukan Path. Dia terpelanting ke belakang dan Tom langsung menusuk jantungnya.
" Dimana mama? " Tanya Tom lagi yang dalam hatinya sedang sangat bersyukur karena sang ayah telah mengajarinya bagaimana menahan serangan lawan sejak dia masih kecil. Selama ini anggota Gypsy Group lain mengatakan kalau ayah Tom adalah orang aneh, yang mengatakan kalau semua orang harus bisa melindungi, paling tidak dirinya sendiri. Sekarang hasil pembelajarannya terbukti membantu Tom melawan pasukan Path yang menggila seperti banteng mengamuk.
" Aku tidak tahu. Tadi dia pergi menyingkir bersama Viera dan wanita-wanita yang lain. Kau pergilah, cari mamamu, selamatkan dia! "
" Bagaimana dengan papa? " Tanya Tom.
Ayah Tom menusuk perut seorang pasukan Path, membuat orang itu jatuh tersungkur lalu menjawab lagi: " Aku bisa menangani mereka! Kau pergi saja! Cepat! "
Tom menatap ayahnya lagi, ingin sekali membantah perintahnya kali ini, tapi sang ayah memandanginya seolah mengancam sehingga Tom mau tidak mau melangkah pergi tepat saat lengan ayahnya tertusuk tombak.
Sementara itu, Shakti yang tadi ditinggal sendiri oleh Tom terpaksa mengambil sebuah kayu dan menghantamkannya ke kepala seorang pasukan Path yang mendekatinya dengan membabi buta dan membawa pisau. Dia tidak pernah berkelahi sebelumnya, dia tidak tahu bagaimana caranya meninju orang lain, jadi dia memutuskan untuk menyingkir. Dia berjalan ke belakang sebuah caravan yang tidak terlalu ramai tapi malah menemukan Viera dan beberapa wanita duduk meringkuk dan sedang bersembunyi di caravan lain. Shakti berlari untuk bergabung bersama mereka, tapi baru saja melangkah dilihatnya seorang pasukan Path menyelinap tepat dibelakang Viera sambil mengacungkan pedang, siap menyerang. Secara otomatis Shakti berteriak: " Awas! "
Diambilnya sebongkah batu besar yang tergeletak di samping kakinya lalu dilemparnya tepat mengenai wajah musuhnya. Pasukan Path itu terhunyung, pedangnya jatuh dan Viera dengan gagah berani mengambil pedang yang terjatuh itu dan menusukkannya ke dada pasukan Path itu. Jeritan memekakkan telinga, membuat semua wanita itu juga ikut menjerit. Shakti sudah bergabung dengan rombongan itu saat Viera berteriak: " Dia wanita! Orang-orang Path ini membiarkan wanita ikut menyerang sedangkan kita tidak! Kita harus melarikan diri! Masuk ke hutan! "
Kumpulan wanita itu menjerit lagi karena beberapa pasukan Path sudah menemukan tempat persembunyian mereka dan mulai menyerang. Semua wanita Gypsy itu berlarian ke segala arah, mencoba melarikan diri. Ada yang tidak berhasil, ada yang tertusuk pedang, ada yang jatuh terjembab dan menjadi sasaran empuk tendangan, ada juga yang rambutnya dijambak, sedangkan Shakti terdorong kesana kemari sambil membelalak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pembantaian tanpa belas kasihan ini.
Disisi lain, beberapa caravan mulai terbakar, kuda-kuda meringkik ketakutan dan berlari pergi begitu juga dengan kerbau-kerbau dan kambing perliharaan. Derak api makin terdengar menyeramkan, teriak kesakitan dan kemarahan terdengar memilukan. Anak-anak menangis, ibu-ibu menangis, bau darah tercium dimana-mana. Tom mencari sosok ibunya kalang kabut, memasuki setiap caravan yang belum terbakar sambil memanggil ibunya, tapi tidak ada hasil. Dia sudah sangat panik. Jumlah caravan yang terbakar juga sudah semakin banyak, orang-orang makin banyak bergelimpangan, Tom sendiri tidak yakin apa ayah dan ibunya bisa selamat. Jumlah orang-orang Path ini begitu banyak, seperti tidak ada habisnya dan mereka menyerang dengan sangat mendadak dan membabi buta, tidak membiarkan kelompok Gypsy melawan sedikit pun. Tom bersandar di balik caravan yang gelap, merasa lelah. Marah, sedih dan kesal. Matanya sudah sangat panas, dia ingin menangis. Tapi tiba-tiba sebuah suara terdengar dari samping kanannya. Tom menggenggam pedang dengan kuat, siap menyerang siapa pun yang menampakkan diri. Dibelakangnya, sebuah caravan meledak terbakar lagi, itu klinik Viera. Dengan api yang berkobar, Tom dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang berjalan ke arahnya dan buru-buru menahan gerak pedangnya yang hampir saja membunuh. Karena orang itu adalah Shakti, berjalan dengan hati-hati lalu kaget melihat Tom mengarahkan pedang kepadanya.
" Tom! " Teriak Shakti.
" Shakti! " Tom langsung mengesampingkan pedangnya.
" Kau melihat ibuku? … Apa kau melihatnya? " Tanya Tom.
Shakti menggeleng dengan terburu-buru. " Aku hanya melihat banyak darah, banyak mayat, aku tidak bisa mengenali satu pun! "
Lalu keduanya terlonjak kaget. Seseorang berlari ke arah mereka dan menabrak punggung Tom. Ia langsung mengangkat pedangnya lagi, tapi ternyata orang itu adalah Marion, berlari dengan tergesa-gesa sambil memeluk bola kristal, kartu tarot dan botol-botol sherrynya.
" Kalian! " Katanya setelah menyadari siapa yang ditemuinya. " Cepat pergi! Sudah kubilang akan terjadi bencana! Sudah kuramalkan dengan jelas! Pergilah! Kalian berdua harus pergi, sekarang! " Marion memelototi Shakti dan Tom lalu menunjuk ke arah hutan dengan telunjuk kanannya sehingga kartu tarotnya jatuh dari pelukan. Tapi sepertinya Marion tidak perduli dengan kartu tarotnya lagi, dia malah kelihatan sangat marah dan entah kenapa saat ini Shakti begitu percaya dengan semua perkataan Marion. Dia tidak meragukannya sedikitpun, bahkan sekarang dia sangat ingin berlari kehutan seperti yang diperintahkan Marion. Jadi dengan sedikit tidak sadar, Shakti menarik tangan Tom dan mengajaknya berlari masuk ke dalam hutan yang ditunjuk Marion itu. Mereka masih bisa mendengar Marion yang berteriak lagi: " Ya, begitu! Kalian harus pergi jauh—AH!! " Selanjutnya yang terdengar hanya suara botol-botol sherry milik Marion yang jatuh dan pecah berkeping-keping, lalu terdengar teriakan:
" Ada yang kabur ke hutan! Kejar mereka! Jangan sampai ada yang lolos! Bunuh semuanya! "
Shakti sebenarnya ingin sekali berbalik menolong Marion, dan dia yakin Tom juga menginginkan hal yang sama dengannya, tapi dia terus saja berlari menerobos dahan-dahan pohon, semak-semak dan akar pohon yang membuat limbung. Shakti bisa mendengar langkah-langkah kaki berat berlari di belakang mereka sementara dia sendiri bisa merasakan napasnya yang berat dan terengah-engah. Dahan dan semak masih saja melukai tangan dan wajah Shakti walaupun sudah diusahakan untuk disingkirkannya. Lalu terdengar sebuah suara tarikan busur dan sebuah anak panah melesat melewati ujung matanya dan menancap di batang pohon. Suara tarikan busur terdengar lagi, lalu Tom berteriak mengalahkan suara derap lari pasukan Path di belakang mereka. Shakti menghentikan larinya dan berbalik melihat Tom yang sudah jatuh terjembab sambil memegangi lengan kirinya.
" Tom, kau kena! " Teriak Shakti, melihat lengan Tom yang luka dan wajah Tom yang meringis menahan sakit.
" Aku tidak apa-apa. " Tom membalas.
" Itu mereka! " Pasukan Path itu masih mengejar mereka, malah terlihat tepat di belakang Tom terdapat seorang pasukan Path yang membawa sebuah busur panah yang siap ditembakkan. Tom mengambil pedang yang terjatuh di dekat kakinya yang sedari tadi dibawa lalu memegangnya seperti sebuah tombak dan melemparkannya kearah pasukan Path yang memegang panah itu. Pedang itu tepat mengenai perut pasukan itu.
" Lari! " Tom berdiri sambil berteriak lalu berlari lagi dengan tangan kanan memegangi lengan kirinya yang berdarah. Shakti mengikuti Tom, pikirannya makin kalut, tidak perduli kemana Tom akan membawanya yang penting mereka harus bisa lepas dari orang-orang Path ini. Shakti memandang kebelakang, dia dapat melihat pasukan Path itu mengacung-acungkan senjata mereka yang memantulkan cahaya bulan. Lalu baru disadarinya kalau pepohonan tidak lagi tumbuh disekitarnya dan Shakti menabrak sesuatu. Dia memandang kedepan lagi dan melihat Tom yang berhenti dan menunduk memandang sesuatu dibawahnya. Shakti ikut berhenti juga, ia memandang kebawah dan menemukan sebuah lubang yang dalam sekali sehingga Shakti tidak dapat melihat dasarnya yang gelap. Tom menggerang putus asa lalu memandang sekeliling lubang yang ternyata sudah dikelilingi oleh pasukan Path lain sehingga Tom dan Shakti buru-buru berbalik kearah jalan yang dilewati mereka tadi tapi malah dihadang oleh pasukan Path yang sudah berdiri beberapa meter dihadapan mereka, memegang senjata sambil menyeringai dengan senang.
" Mau kemana lagi kalian? " Seorang pasukan Path yang berdiri paling depan berkata sambil menyeringai. Giginya kuning sekali dan koreng di wajahnya dipenuhi nanah yang berwarna kuning kehijauan menjijikkan. Pasukan lain terkekeh geli.
" Sudah ku bilang, kalian tidak bisa lari... " Katanya lagi.
" Kalian telah membunuh semua keluarga dan saudara-saudaraku, tidak akan aku izinkan kalian puas dengan membunuhku juga. Tidak ada pilihan lain... " Tom menggerutu dengan berbisik sehingga hanya Shakti yang bisa mendengarnya.
" Apa katamu, Tom? " Tanya Shakti, juga dengan suara berbisik.
" Kita harus lompat. " Kata Tom lagi, masih dengan berbisik. Sementara itu pasukan Path mulai melangkah maju dan siap menghunuskan senjata mereka. Shakti dan Tom benar-benar terpojok jadi Tom memegang tangan Shakti lalu berteriak sekali lagi:
" Lompat!!! " Akhirnya Tom dan Shakti melompat, membiarkan orang-orang Path itu mengutuk keras karena tidak menyangka Tom dan Shakti akan melakukan lompatan bunuh diri itu. Shakti bisa merasakan angin disekitarnya menderu karena dia jatuh, lalu tubuhnya menghantam tanah dan terus berguling kebawah. Teriakan Tom terdengar disampingnya, tangannya masih memegang tangan Shakti sementara mereka terus berguling dan akhirnya terhempas.
… … …

Shakti And The Shooting Stars ( Middle Part )


… … …
Memang ada pesta disana. Suara denting piano, suara nyanyian yang nyaring, pukulan pada gelas kristal dan petikan gitar semakin jelas terdengar. Sekarang Shakti berada di atas balkon dengan sebuah tangga yang menghubungkan balkon itu dengan lantai di bawahnya yang bundar, sepertinya dia berada di sebuah rumah besar, atau sebuah kastil. Tapi tidak seperti rumah atau kastil lain, yang ini pastilah tidak pernah dibersihkan, soalnya ada begitu banyak sulur-sulur, batang pohon, akar-akar dan bunga berwarna-warni dengan berbagai ukuran memenuhi dinding dan langit-langit. Hampir sama seperti ruangan tempat Shakti terbangun dari tidurnya tadi, bedanya ruangan ini jauh lebih banyak bunga dan jauh lebih harum. Tapi kesan tidak terawat ini malah membuat kastil ini menjadi sangat mengagumkan dan indah. Tidak ada orang lain di rumah itu selain Shakti seorang diri, padahal Shakti dengan jelas masih bisa mendengar suara musik dan tawa cekikikan. Alih-alih orang, yang dapat dilihat oleh mata Shakti hanya gumpalan cahaya putih menyilaukan sebesar dua telapak tangan orang dewasa melayang disekitar ruangan dengan jumlah yang sangat banyak. Shakti maju beberapa langkah lagi, masih berusaha mencari sosok seseorang, tapi tetap saja tidak menemukan apa-apa selain gumpalan cahaya putih yang jumlahnya bertambah banyak. Shakti mulai merasa sedikit merinding takut. Mendengar begitu banyak suara tapi tidak menemukan satu orang pun memang tidak bisa dikatakan hal yang biasa. Dilangkahkan lagi kakinya ke depan, mencoba meraih ujung tangga dihadapannya, tapi Shakti dikagetkan oleh gumpalan cahaya yang bergerak kearahnya seolah-olah ingin menabrak wajah Shakti. Buru-buru ditepisnya gumpalan itu dengan tangan kanannya, tapi anehnya gerakan tangan Shakti terhenti di udara, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi tangan Shakti menyentuh gumpalan cahaya itu.
" Hei! Hati-hati dengan tanganmu, aku hanya ingin mengucapkan halo ! "
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari bawah tangan kanan Shakti dimana gumpalan cahaya tadi berada. Buru-buru dilihatnya ke balik tangan kanannya yang masih ditahan sesuatu dan langsung terpekik kaget.
Ada sesuatu dibawah sana yang sangat mirip dengan manusia kecil sedang menahan tangan kanan Shakti dengan kedua tangan diatas kepalanya, tampak bersusah payah mendorong tangan Shakti ke arah sebaliknya. Badannya mungil sekali, mengenakan pakaian berwarna ungu dengan mata melotot besar dan pipi yang bersemu merah. Shakti yakin benar kalau makhluk itu adalah peri, soalnya sepasang sayap bergetar dibelakang punggungnya, putih, transparan tapi kelihatan begitu kokoh dan indah.
" Apa kau sudah bisa menyingkirkan tanganmu dari atas kepalaku? " Kata peri itu lagi sambil tetap menopang tangan Shakti dengan suara melengking dan nyaring. Buru-buru Shakti menarik tangannya sambil berkata: " Maaf ... "
" Tidak apa-apa! Aku senang akhirnya kau bangun juga! " Peri itu berkata sambil tersenyum lebar sekali. Setelah tidak ditutupi tangannya, Shakti bisa melihat kalau peri itu kelihatan sangat bercahaya, bahkan rambutnya yang berwarna hitam dan digelung ke atas kepalanya pun seperti bercahaya juga. Rasanya seperti berbicara dengan bola lampu.
" Memangnya sudah berapa lama aku pingsan? " Tanya Shakti lagi, masih mengagumi cahaya yang dikeluarkan peri itu. Si peri membelalakkan mata besarnya dengan bergairah, sepertinya sangat senang Shakti menanyakan hal itu.
" Oh, berjam-jam! Dua belas jam, kurasa! Atau mungkin lima belas jam! Entahlah, aku tidak sempat menghitungnya! Hi... hi... hi... " Peri itu mengikik dengan nyaring.
" Kalau begitu, kau yang telah menyelamatkan aku? " Shakti bertanya lagi dengan telapak tangan yang membuka dan si peri yang kecil mungil itu duduk di atasnya.
" Aku? Bukan-bukan! Mereka yang telah menolongmu... " Peri itu menggeleng-geleng lalu menunjukan tangannya ke belakang Shakti. Shakti melihat ke arah yang ditunjuk peri itu dan semakin kaget lagi. Yang ditunjuk si peri adalah gumpalan cahaya lain yang sudah melayang menggerumuni Shakti. Dan semua gumpalan-gumpalan itu ternyata adalah peri-peri lain, sama kecil dan bercahaya dengan peri pertama tadi. Semuanya, yang jumlahnya banyak sekali sampai mata Shakti sedikit sakit menahan cahaya terang benderang yang berasal dari semua peri itu, mengepakkan sayap kecil mereka dengan suara berdegung. Dan semuanya memandang Shakti dengan sangat antusias, memamerkan gigi runcing mereka dan hampir serentak menyapa Shakti sehingga terdengar seperti paduan suara dengan suara nyaring.
" HALOOO... !!! "
" Ha—lo juga ... " Jawab Shakti dengan salah tingkah sekaligus tidak percaya, lalu berkata pelan lagi: " Kalian—"
" Kau tidak tahu siapa kami? " Sambar peri lain yang berdiri dekat sekali dengan peri pertama yang menyapa Shakti tadi. Peri ini memakai gaun berwarna putih dan rambut keriting merahnya tergerai hampir menutupi sayapnya sendiri. Shakti menggeleng.
" Kami adalah bangsa peri! " Jawab peri lain yang juga berdiri, atau melayang lebih tepatnya, tak jauh dari peri tadi. Warna rambutnya hampir sama hijaunya dengan warna daun di sulur yang Shakti perhatikan di dalam ruangan tadi.
" Dan tempat ini bernama Fairy Castel ! " Kata peri yang lain dengan suara nyaring dan sayap yang mengepak-ngepak tidak berhenti. Mata kecilnya menunjukkan betapa bersemangatnya dia.
" Fairy... Castel... ? " Jawab Shakti bingung.
" Iya! Tempat dimana kau bisa terus bernyanyi dan menari! " Peri lain yang menjawab kali ini membuat semua peri lain mengumam setuju dan menganggukkan kepala dengan antusias.
Setelah itu, entah bagaimana, suara dentingan piano dan suara musik lainnya terdengar lagi, kali ini lebih keras dari pada sebelumnya. Pelan-pelan aroma wangi yang tadi dicium Shakti menyeruak lagi, lebih wangi dan lebih menyenangkan dari pada sebelumnya. Kerumunan peri sudah memudar, kembali berpencar dan terkikik, sementara lima peri yang tadi berbicara dengan Shakti sudah menarik-narik tangan Shakti, dua di tangan kiri dan tiga di tangan kanannya.
" Kalian mau membawaku kemana? " Tanya Shakti memandang dari tangan kiri ke tangan kanannya.
" Bersenang-senang! " Jawab salah satu peri di tangan kirinya.
" Iya! Kau harus ikut bernyanyi dan menari bersama kami! " Peri berambut hitam yang menyapanya pertama kali tadi juga menjawab di tangan kanannya.
Dan akhirnya Shakti mengikuti kelima peri itu yang membawanya ke lantai bundar dibawah yang selain penuh dengan bunga, sulur-sulur dan lilitan akar, juga dipenuhi dengan rumput-rumput pendek berwarna hijau yang kelihatannya halus sekali. Dipinggir tangga terletak sebuah piano besar yang terdiri dari begitu banyak pipa berongga yang menjulang tinggi. Beberapa peri bermain-main di atas tuts piano, meloncat sambil terkikik menekan salah satu tuts dan duduk diam sambil tertawa saat menekan tuts agak lama. Anehnya, cara mereka bermain piano malah menciptakan musik yang unik dan indah. Sementara itu beberapa peri yang lain sedang asik berterbangan di atas pipa berongga yang tinggi itu, mengikik riang saat pipa berbunyi dan mengeluarkan udara dari rongganya sehingga peri-peri itu terlempar ke atas. Di sampingnya berdiri sebuah lemari rendah dengan sebuah bunga matahari besar mekar dengan indah diatas permukaannya. Beberapa peri menari berpasangan di atas bunga matahari itu, menari balet, tap, tango bahkan berdansa gila-gilaan dan tidak beraturan. Disamping piano yang lain ada sebuah meja panjang yang diatasnya berderet biola, gitar dan cello besar yang masing-masing dikerumuni beberapa peri. Dua orang peri memegangi alat gesek biola dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan sementara beberapa peri yang lain berloncatan di atas senarnya. Keadaan gitar dan cello besar disampingnya tidak jauh berbeda, hanya saja tidak ada alat gesek pada gitar sehingga seorang peri memegang alat petik gitar yang pipih bulak balik pada senarnya. Sedangkan pada cello dibutuhkan lebih dari sepuluh peri untuk memegangi alat gesek dan menekan senarnya.
Hal yang lebih lucu adalah melihat sekumpulan peri di pojok ruangan lain yang menggerumuni satu set perangkat minum yang terbuat dari kristal. Semua peri berebut ingin memukul-mukul kristal yang bisa mengeluarkan bunyi nyaring itu. Ada dua orang peri yang sedang memperebutkan sebuah gelas kristal berkaki tinggi sehingga gelas itu bergerak ke kiri dan ke kanan dan akhirnya terjatuh dengan bunyi nyaring. Kedua peri melanjutkan pertarungan dengan saling memukul anggota tubuh lawan yang bisa dicapai, sedangkan peri-peri lain menertawakan di sekitar mereka. Ada juga seorang peri yang sepertinya terjebak di dalam sebuah botol kristal kosong, seorang peri lain duduk diatas tutup botol itu sehingga si peri yang terperangkap tidak bisa keluar, sedangkan beberapa peri lain memukul botol itu bergantian sehingga si peri yang terperangkap harus menutup telinganya rapat-rapat supaya suara dentingan kristal itu tidak memekakkan telinganya. Celakanya, si peri yang malang itu tidak bisa menutup kedua telinganya dengan rapat sehingga dentingan kristal masih terdengar di telinganya dan matanya berputar-putar karena pusing. Ada juga seorang peri yang berada di dasar gelas panjang sambil cegukan, matanya berputar-putar dan mulutnya menyeringai bodoh. Sepertinya peri itu telah meminum habis seluruh isi gelas itu dan langsung mabuk. Sementara itu seorang peri berdiri di luar gelas, menatap peri di dalam gelas itu sambil berkacak pinggang, lalu menggeleng dan mulai marah-marah. Shakti tertawa-tawa melihat tingkah peri-peri itu.
Lalu tiba-tiba terdengar suara paling aneh yang pernah di dengar Shakti, membuatnya buru-buru berbalik ke asal suara. Di seberang ruangan yang lain Shakti menemukan sekumpulan peri yang berjejer rapi makin kebelakang makin tinggi, mengepakkan sayap dan menangkupkan tangan di depan dada mereka. Berdiri paling depan dan membelakangi Shakti, terdapat seorang peri yang menggenggam sebuah tusuk gigi yang digerakkannya di udara memberi aba-aba kepada peri-peri lain. Tepat di hadapannya, melayang sebuah buku musik besar yang ternyata memandunya menggerakkan tusuk gigi tadi di udara. Setelah Shakti bergesar lebih ke kiri, dilihatnya dua orang peri yang dengan susah payah menopang buku musik yang besar itu. Koor peri itu terus membahana, bernyanyi dengan suara mereka yang nyaring dan melengking.
Kami adalah bangsa peri
Dengan sayap putih kami menari
Juga dengan musik kami menyanyi dan menari
Mengikik dan berlari
Bukan waktunya untuk bersedih
Tidak perlu merasa gundah dan lirih
Buang jauh-jauh rasa resah
Tinggalkan saja pikiranmu yang lemah
Selama kau bersama kami, kaum peri
Riang yang akan manghampiri
Senang akan mengelilingi
Menyanyi saja tralala trilili
Ayo goyangkan kakimu
Kalau punya, kepakkan saja sayapmu
Menari mengikuti alunan lagu
Lupakan semua yang mengganggu
Dengar, musik masih dimainkan
Berarti kita akan terus menyanyikan
Lagu-lagu yang menyenangkan
Yang akan menggembirakan
Ya! Kamilah para peri
Yang suka bernyanyi tralala trilili
Ayolah, ikuti kami menari
Melompat dan mengikiklah hihihi
… … …

Ny. Lars – Part 31 – LAST PART


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 31 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny memutuskan untuk pergi menemani ayahnya pulang ke Jerman, meninggalkan Kevin dan Lars. Dia memutuskan untuk tidak mendapatkan keduanya dari pada kembali membuat salah satunya menderita. Sementara itu Lars menyadari semua perasaan dan situasi itu dengan sangat terlambat …

 
amela Anderson dengan memakai salah satu pakaian bermerek yang menampilkan payudaranya yang 'super' itu, menempel di papan iklan yang besar. Beberapa meter di depannya terdapat seorang wanita mengenakan pakaian musim semi berwarna hijau muda, duduk di bangku taman dengan menggenggam sebuah buku dan sepotong sandwich. Ini adalah waktu makan siang dan wanita itu adalah Jenny yang sedang melakukan rutinitas siangnya.
Tiga bulan sudah berlalu dan berbagai kejadian sudah dilewati. Pameran lukisan ayah Jenny sukses besar, hampir setengah lukisannya terjual dengan harga tinggi dalam sekejap mata dan sisanya berada di salah satu galeri terbesar di Jerman. Sekarang Jenny bekerja di galeri itu, mengurusi lukisan ayahnya dan lukisan-lukisan lain, sementara ayahnya terus melukis di rumah sekaligus studio mereka.
Tapi ada yang tidak berubah dalam hidup Jenny, salah satunya adalah kenangannya akan Lars dan niatnya untuk menjadi satu-satunya nyonya Lars. Mungkin waktu tiga bulan belum cukup lama untuk mengubur cita-cita itu. Jenny menghabiskan sandwichnya dan meneguk kopinya sampai habis, lalu dibukanya lembar buku selanjutnya.
" Gutten tag, Frau Jenny. ( Selamat Siang, Ibu Jenny. ) "
Jenny kesal mendengar suara yang mengganggunya. Biasanya, orang iseng yang suka mengganggunya saat sedang membaca buku di jam istirahat siangnya hanyalah seorang tukang koran yang menawarinya koran, majalah atau apa saja yang bisa ditawarkan. Jenny memasang wajah sekesal mungkin dan siap mengatakan 'tidak'.
" Sepertinya ada orang yang bisa hidup tenang walaupun terbelit hutang. "
Ternyata yang didapatinya bukanlah tukang koran yang menyebalkan, tapi dia menemukan seorang laki-laki berdiri di depannya mengenakan mantel coklat, rambut sedikit gondrong dan kaca mata tipis bergagang hitam, membuat wajahnya terlihat lebih dewasa. Itu sosok yang dulu sangat dikenalnya dan yang dulu sangat dirindukannya.
" Lars?! "
" Hei. " Senyum itu lagi. Rasanya sudah begitu lama Jenny tidak melihat senyum itu.
" Kenapa lo ada disini? Ngapain lo ada disini? Dari mana lo tau gua ada disini? "
" Jawab yang mana dulu, nih? "
" Dari mana lo tau gua ada disini? " Ulang Jenny.
" Dari bokap lo. Tadi gua ke rumah lo dan bokap lo bilang, lo pasti ada disini. "
" Dari mana lo tau alamat gua? "
" Louise. "
Jenny teringat sosok sahabatnya yang satu itu lalu tersenyum. Dari dulu dia memang selalu menjadi penyebar berita yang efektif.
" Trus, ngapain lo disini? "
" Mau nagih utang. "
" Utang apa? "
" Katanya ada yang mau mempertanggung jawabkan semuanya kalo ketemu gua. "
Jenny teringat lagi dengan surat yang ditujukan kepada Lars sebelum dia pergi dan dia teringat kalau dia memang menjanjikan sesuatu.
" Cuma itu? Lo nggak mungkin datang jauh-jauh kesini hanya buat ngomong itu ke gua. " Tanya Jenny.
" Nggak sih. "
" Trus apa? "
" Gua sekaligus mau ngasih jawaban buat pertanyaan lo selama ini. "
" Buat apa? "
Jenny ingin meyakinkan pendengarannya sehingga dia bertanya lagi kepada Lars, tapi terlambat. Tanpa meminta izin terlebih dahulu Lars meraih tubuh Jenny dan memeluknya. Jenny terkaget-kaget sehingga tak bisa mengatakan apa-apa. Apa lagi saat Lars meraih wajahnya dan berkata pelan:
" Gua mau nyium lo. "
Tanpa menunggu jawaban dari Jenny, Lars meraih bibir Jenny dan menciumnya. Jantung Jenny berdebar kencang dan di dalam dadanya ada sesuatu yang menggelitik. Butterfly, dia merasakannya lagi.
" Dua tahun lebih gua memendam perasaan buat ngelakuin itu sama lo. " Kata Lars setelah ciuman itu selesai dengan sedikit disesali Jenny. " Sekarang gua minta lo ikut gua pulang. " Kata Lars lagi.
" Ikut pulang? Kemana? "
" Ikut gua pulang, kerja lagi sama gua. Kali ini lo bukan lagi asisten gua, lo jadi pendamping gua. " Jenny lebih kaget lagi. " Gua baru sadar kalo gua juga ternyata sayang sama lo, gua cinta sama lo, gua pengen milikin lo. Mangkanya, lo harus ikut gua pulang, kita tebus dua tahun lebih yang kita habisin tanpa sadar apa-apa. "
Tidak salah lagi, ini adalah sebuah lamaran! Tidak seperti Kevin yang pernah melamarnya dengan sebuah cincin berlian, Lars tidak membawa apa-apa. Tapi anehnya, apa yang dilakukan Lars ini jauh lebih manis dan mengesankan dibandingkan lamaran siapa pun juga. Dan Jenny memeluk Lars dengan erat sebagai jawabannya.
14 Februari
Disebuah taman terdapat beberapa meja bundar yang dikelilingi beberapa kursi berlapis kain putih. Di salah satu sudut terdapat sebuah panggung kecil yang setiap tiangnya dililit bunga mawar merah muda.
Terdapat banyak tamu disana, sedang berdiri di depan kursi masing-masing dan memandang ke atas panggung menyaksikan Lars dan Jenny. Lars yang mengenakan jas hitam dan kemeja putih, terlihat sedang memasangkan sebuah cincin bertahtakan berlian kecil ditengahnya ke jari manis di tangan kiri Jenny. Jenny sendiri mengenakan long dress panjang bertali di bagian punggung. Gilirannya menyematkan cincin kedua yang sama dengan cincin pertama tadi ke jari manis tangan kiri Lars.
Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink lembut berlaku sebagai pembawa acaranya. Setelah prosesi itu, dengan lantang dia berkata:
" Dengan senang hati saya mengumumkan bahwa Lars dan Jenny pada hari ini sudah resmi bertunangan! "
Louise, Norman, Kevin, ayah Jenny, ibu Jenny dan Filemon, juga semua tamu lainnya bertepuk tangan dengan meriah. Dan Lars mencium Jenny diatas panggung.
" And now, let's get party begin, tapi sebelumnya ada pesan khusus dari Lars untuk Jenny, katanya: 'Jen, tolong jangan sentuh sampangenya'. "
Dan semua orang tertawa termasuk Jenny dan Lars yang berada di atas panggung.

 
~ TAMAT ~

Ny. Lars – Part 30 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 30 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny sedang berperan sebagai dokter cinta bagi Lars. Untuk mengobati sakit hati bosnya itu, Jenny berusaha dengan berbagai cara untuk membuat Lars tertawa dan melupakan sakit hatinya. Dia mengajak Lars ke mall, bermain permainan anak kecil, ke klub dan mendengarkan curhat Lars. Tapi tanpa disadari oleh Jenny dan tanpa dikehendaki oleh Lars sendiri, Lars sedikit demi sedikit menyadari perasaan yang sebenarnya dia rasakan terhadap Jenny …

 
Sekarang giliran Kevin yang sedang menemani Lars menjadi dokter cintanya. Mereka sedang berada di salah satu restoran, baru saja melahap tiga puluh tusuk sate ayam sambil mengobrol seru mengenai pertandingan bola kemarin malam. Lalu topik pertandingan bola berubah menjadi topik lain.
" Lo nggak cerita kalo lo udah putus sama Jenny. " Kata Lars.
" Nggak ada yang perlu diceritain menurut gua. Berita buruk nggak perlu dibagi-bagi. " Jawab Kevin enteng. Tapi anehnya jawaban enteng ini malah membuat Lars jengkel.
" Emang kenapa? Lo bikin salah sama dia? "
" Nggak. "
" Lo selingkuh? "
" Nggak. "
" Terus kenapa kalian putus? " Tanya Lars bandel.
" Dia yang putusin gua. "
" Kan lo udah janji nggak bakal bikin dia sedih! Lo janji sama gua! " Sekarang nada suara Lars sudah meninggi.
" Gua nggak pernah nyakitin dia. Dia suka sama orang lain, bukan gara-gara gua bikin salah sama dia. " Jawab Kevin sambil menambahkan dengan sedih di dalam hati: 'Dan orang lain itu lo, Lars'.
" Yakin lo nggak bikin dia sedih? "
Kevin mengangguk mantap, Lars mereda emosinya.
" Kenapa lo khawatir banget sama Jenny? " Sekarang Kevin yang bertanya kepada Lars dengan serius.
" Karena dia asisten gua. "
" Cuma gara-gara itu? "
" Iya. Emang apa lagi? "
" Bukan gara-gara lo suka sama Jenny? "
Lars terdiam menerima pertanyaan ini. Sebenarnya ini pertanyaan yang sering dia tanyakan kepada dirinya sendiri, tapi entah kenapa Lars tidak pernah mendapat jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini.
" Nggak lah… " Kata Lars akhirnya, tapi dia langsung diam lagi seperti salah menjawab. " Gua juga nggak ngerti. " Jawab Lars akhirnya. Terdengar seperti jawaban yang lebih tepat dari pada sebelumnya.
" Gua selalu anggap dia temen gua yang paling deket, sahabat gua, malah kadang adik gua. Tapi belakangan ini gua jadi ngerasa sepi kalo nggak ada dia. Gua jadi butuh dia—bukan berarti gua mau ngambil Jenny dari lo. "
Lars buru-buru mengoreksi karena melihat wajah Kevin yang mengeras marah. Tapi Kevin menggeleng.
" Gua nggak apa-apa, lanjutin aja. " Kata Kevin.
" Well, yang jelas gua jadi pengen dapetin Jenny. Pengen ngabisin waktu sama dia terus. "
" Kalo gitu dapetin dia, Lars. " Kata Kevin sedikit tiba-tiba, membuat Lars kaget.
" Tapi, dia kan pacar lo. "
" Mantan pacar gua. " Koreksi Kevin. " Gua mau lo dapetin apa yang nggak bisa gua dapetin. Kalo lo yang bisa ngedapetin itu, gua rasa gua nggak bakal nyesel. Asalkan itu lo, bukan cowok lain. "
Tanpa disadarinya, Lars nyegir lebar sekali. Perasaannya seringan bulu saat mendengar kalau Kevin mendukungnya, seperti mendapat bantuan kekuatan dari belakang.

 
Sementara itu di rumah Jenny…
" Bukannya lo berangkatnya tiga hari lagi? Kok maju jadi besok, sih? "
Ini pertanyaan dari Louise yang dikatakan dari sela-sela kegiatan packing barang-barang Jenny dirumahnya.
" Bokap gua udah ngebet banget pengen pulang, lagian kita harus siap-siap buat pameran lukisan bokap gua dua minggu lagi. " Jawab Jenny masih sambil melipat baju-bajunya.
Louise hanya diam, merasakan hatinya yang merebak sedih saat ingat kalau dia akan kehilangan salah satu sahabat terbaiknya. Jenny menoleh menatap Louise yang tidak membalas ucapannya seperti biasa, lalu menghampiri Louise dan memeluknya kerana sekarang Louise sudah menangis.
" Kok lo nangis sih? "
" Gua pasti bakal kangen sama lo, Jen. "
" Gua juga, tapi gua kan udah janji bakal rajin contact lo. Ya? "
" Tapi, gua juga ngerasa salah sama lo. " Kata Louise lagi. Jenny malah merasa aneh.
" Maksud lo? "
" Iya, gua ngerasa salah. Gara-gara gua, lo harus pura-pura pacaran sama Kevin, hubungan lo jadi nggak enak sama Lars, semua salah gua. "
" Nggak! Lo nggak ada salah apa-apa. Justru gua yang harusnya berterima kasih sama lo, kalo lo nggak ngelakuin itu, mungkin sampe sekarang gua nggak bisa ngerti perasaan gua sendiri. "
Louise tersenyum dan Jenny juga ikut dan mereka berpelukan lagi. Setelah itu mereka kembali melanjutkan acara mengepak yang sempat terhenti tadi.
" Lo udah pamit sama Lars? " Louise memasukkan bedak milik Jenny yang terakhir di koper make up mini, lalu menutupnya. Sementara itu Jenny menggeleng lemah.
" Kok belum sih? "
" Gua nggak tau gimana ngomongnya. "
" Ck! " Louise menggeleng gemas lalu meraih ponsel Jenny dan menyodorkannya tepat di depan hidung Jenny. Jenny mengambilnya dengan wajah bingung.
" Telepon dia sekarang! "
" Tapi Lou, gua—"
" Telepon! "
Louise mengeluarkan tampang marahnya yang paling menyeramkan sehingga Jenny menurut tanpa banyak bicara lagi. Nada sambung terdengar sekali, dua kali, tiga kali, lalu diangkat.
" Hallo Lars? "
" Jen, kenapa lo telepon sekarang? Gua lagi rapat nih! "
" Sorry… Gua hanya mau ngomong sebentar. "
" Tunggu, saya tidak sependapat dengan anda. "
" Lars? "
" Oke, satu menit. "
" Gua cuma mau bilang, gua mau pindah ke Jerman ikut bokap gua, berangkatnya besok pagi jam 8. "
Tidak ada tanggapan yang terdengar, hanya ada suara berdebat diujung sana.
" Lars? Lo denger nggak? "
Tut… Telephone tertutup dan Jenny memandangi ponselnya dengan bingung.
" Kenapa? Gimana? " Tanya Louise penasaran.
" Teleponnya diputus. Kayaknya Lars lagi sibuk banget. "
" Tapi lo udah ngomong, kan? "
Jenny mengangguk lalu menggeleng. " Kalo pun tau, dia nggak bakal ngapa-ngapain, kok. "
" Tapi—lo yakin mau dibiarin kayak gini aja? "
" Mungkin emang harus kayak gini kali, Lou. "
Louise meraih Jenny dan memeluknya lagi, sementara Jenny meneteskan air mata tanpa yakin apa yang ditangisinya. Kelegaan atau kesedihan?
Rapat sampai larut malam benar-benar menyita tenaga dan pikiran Lars sampai habis. Dan ini membuat Lars melupakan percakapannya dengan Jenny kemarin sore di telepon. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan Jenny. Kalau tidak salah Jenny mengatakan sesuatu mengenai pesawat. Ya ampun! Umpat Lars dalam hati. Dia baru ingat kalau Jenny akan pergi ke Jerman pagi ini. Buru-buru dia bangun, mencuci muka dan pergi dengan mengenakan baju yang dipakainya saat pulang kantor kemarin malam. Dia tidak peduli jam tangannya menunjukkan tepat pukul delapan pagi, dia akan tetap pergi walaupun terlambat.
Lima belas menit kemudian, setelah melewati perang dengan kemacetan di pagi hari, Lars sampai di bandara. Keadaannya tidak terlalu ramai sehingga Lars dengan mudah menemui Louise dan ibu Jenny yang ditemani Filemon. Louise kaget melihat Lars yang kusut itu, sementara ibu Jenny berhasil mengatakan sesuatu di sela-sela isakannya.
" K-kau terlambat d-datang untuk m-mencegah putriku pergi… "
Lars mengatur jantungnya yang baru saja dipacu untuk berlari lalu berkata tersengal-sengal: " Jadi dia udah pergi? "
" Ternyata lo nggak sadar juga… " Louise menggeleng dalam dan menatap tajam. Lars malah bertanya lagi:
" Sadar apa? "
" Sadar kalo Jenny sebenernya cinta sama lo! "
Lars terdiam, sepertinya dia baru saja terkena pukulan keras dan tidak sadarkan diri.
" Mendingan lo baca ini, biar lo bisa makin sadar. "
Louise menyodorkan sebuah amplop putih bertuliskan 'Untuk Lars' di depannya. Itu tulisan tangan Jenny. Lars menerimanya dan membiarkan Louise, ibu Jenny dan Filemon melangkah pergi. Dia pergi ke arah balkon dimana semua orang bisa melihat kapal terbang yang tinggal landas atau pun yang mendarat. Disana dia membuka surat dari Jenny dan membacanya.

 

 

 

 
Dear Lars…
Sorry kalo gua norak banget pake nulis surat segala ke lo, tapi gua nggak tau lagi gimana bisa ngejelasin semuanya ke lo sebelum gua pergi.
Lo masih inget waktu gua bilang sama lo kalo gua udah putus sama Kevin karena nggak cocok? Gua boong. Sebenernya gua sama Kevin nggak ada hubungan apa-apa. Gua baru kenal sama Kevin sekitar tiga bulan yang lalu, lewat biro jodoh. Gua minta dia buat jadi pacar bohongan gua buat ngeyakinin lo kalo gua nggak boong soal pacar gua. Gua nggak tau kalo ternyata lo sama Kevin sobatan, gua minta maaf.
Dan soal tipe cowok yang gua suka waktu itu? Cowok itu lo. Yang cuek, yang misterius, dewasa dan sebagainya. Well… intinya, gua suka sama lo, semenjak lo nabrak gua di supermarket waktu itu. Gua sendiri baru nyadar kalo ternyata selama ini perasaan gua nggak berubah. Walaupun lo playboy, gua cinta sama lo. Tapi gua tau kalo perasaan gua nggak mungkin dapet balesan dari lo. Banyak cewek yang ngantri buat jadi cewek lo, gua nggak ada apa-apanya dibandingin mereka. Jadi gua cukup seneng jadi asisten lo, nikmatin lo pake cara gua sendiri.
Gua udah banyak banget salah sama lo, Lars. Gua banyak boong sama lo, soal Kevin, soal Cherry, soal diri gua sendiri, soal perasaan gua. Gua bener-bener minta maaf.
Dan soal pekerjaan gua dibengkel semua udah gua beresin, jadi kalo lo dapet asisten yang baru, dia nggak bakal susah ngelanjutin kerjaan gua. Gua janji bakal mempertanggung jawabkan semuanya ke lo kalo kita ketemu lagi nanti. Itu juga kalo kita ketemu.
Well, sekali lagi gua hanya mau lo tau: gua suka sama lo dan selamanya bakal suka. Sorry gua harus pergi pake cara kayak gini, tapi gua lega udah nggak mesti nutup-nutupin masalah apa pun sama lo.
Thank's for being just you, Lars.
Bye.
Jen

 
Lars diam dan merenungi semua kata-kata yang tertera di atas kertas itu. Dia ingat Jenny: perhatiannya, kebohongannya, kepolosannya, sikapnya selama ini, semuanya seperti menjadi sesuatu yang menjadi lengkap. Dan kelengkapan itu menyadari dan membuka mata Lars yang selama ini tertutup. Dia mengingat lagi sosok Jenny: wajahnya yang polos dan manis, rambut panjangnya yang coklat, kulit putihnya; kapan Lars pernah lupa kalau semua itu membuatnya rindu? Lars baru sadar kalau selama ini Jenny-lah yang paling mengerti dirinya. Menjawab teleponnya di malam hari sewaktu dia kesal, menemaninya pergi ke gym setiap pagi, mengurusnya saat babak belur atau sakit, tidak mengganggunya saat sedang mandi dan menghiburnya saat dia patah hati. Saat semua orang memilih untuk membiarkan Lars sendiri dan menenangkan diri, Jenny justru menemaninya dan membuatnya tertawa lagi, walaupun melalui hal-hal sederhana dan tidak berarti. Ya ampun, ternyata Jenny lebih dari sekedar asisten bagi Lars!
Tapi sudah terlambat untuk menyadari semuanya. Kini Jenny sudah memutuskan untuk tidak menerima apa-apa dan pergi. Seolah meninggalkan semua masa lalunya dan pergi untuk mencari kehidupan lain. Lars tertunduk sedih dan menyesali semua keterlambatannya, sementara Jenny berada diatas sana, memandang rumah dan semua yang berpijak ke dalam perut bumi dengan ukuran sangat kecil, terlindung di balik logam yang menyelimuti badan pesawat terbang dan tersenyum lega karena telah menuntaskan segala sesuatu yang memang harus dituntaskan.

 
...Bersambung...