ESCAPE PLAN

Film yang disutradarai oleh seorang sutradara Swedia bernama Mikael Håfström dan mendapatkan rating R ini menceritakan kisah mengenai seorang pengusaha jenius bernama Ray Breslin (Sylvester Stallone). Dia memiliki sebuah agensi bernama Breslin-Clark yang khusus menguji escape-proof pada penjara-penjara yang memiliki tingkat keamanan maksimum di seluruh dunia. Selama ini dia telah berhasil kabur dari begitu banyak penjara dengan kemampuan observasi, pengetahuan dan keberaniannya.

Suatu saat, seorang agen CIA bernama Jessica Miller (Caitriona Balfe) mendatangi Ray untuk menawarinya sebuah pekerjaan dengan kontrak bernilai jutaan dolar. Yang perlu Ray lakukan hanya menguji escape-proof sebuah penjara yang berbeda dengan penjara yang pernah Ray masuki sebelumnya. Penjara ini terkenal dengan tingkat keamanan yang tinggi, menggunakan para penjaga yang sangat berpengalaman dan dihuni oleh berbagai narapidana yang paling berbahaya di dunia. Dan bukan hanya itu. Demi menjaga keamanan, letak penjara ini sangat dirahasiakan. Merasa tertantang dan disemangati oleh partner bisnisnya: Lester Clark (Vincent D’Onofrio), tanpa mempedulikan saran asistennya Abigail Ross (Amy Ryan) dan ahli komputernya Hush (Curtis ’50 Cent’ Jackson), Ray pun menerima tawaran ini tanpa pikir panjang.

Keesokan harinya, Ray mengalami penculikan dan dibius hingga pingsan, begitu terbangun dia sudah berada di dalam penjara yang dikenal dengan sebutan ‘The Tomb’ itu. Tapi penjara itu tidak seperti yang dibayangkannya. Bukan hanya kepala penjara yang merupakan satu-satunya orang yang mengetahui tugasnya di penjara itu ternyata tidak ada, Ray sama sekali tidak tahu di mana letak penjara itu sebenarnya, plus kode evakuasinya tidak berlaku. Ray pun sadar bahwa semua ini adalah jebakan. Ada seseorang yang menginginkannya terkurung di penjara itu tanpa bisa keluar selamanya, dan dia berusaha untuk mengetahui siapa orang itu.

Di dalam penjara Ray bertemu dengan Emil Rottmayer (Arnold Schwarzenegger) yang sangat bersemangat membantu Ray dan ingin mengetahui asal usul Ray. Walaupun pada awalnya Ray merasa terganggu dengan kehadiran Emil, tapi beberapa kali Emil membuktikan bahwa dia bisa membantu Ray merencanakan pelarian mereka. Sehingga akhirnya, dengan kemampuannya dan juga bantuan beberapa tawanan lain, mereka pun melakukan berbagai cara untuk kabur dari pengawasan sang kepala penjara yang kejam: Willard Hobbs (Jim Caviezel).

Sepertinya Stallone sedang getol-getolnya mengumpulkan para dedengkot action lawas untuk berakting bersamanya. Setelah cukup sukses menggarap Expendable 1 dan 2, dan sekarang sedang menggarap film ketiganya, kini, sebagai ‘proyek sampingannya’ dia menggaet Arnold Schwarzenegger sebagai lawan mainnya. Dan seperti film-film ‘reuni’-nya yang lain, kali ini genre yang diambilnya masih tetap action thriller, dengan formula film yang hampir sama pula. Mungkin dalam Escape Plan kali ini ada beberapa formula baru yang digunakan Stallone, misalnya menyajikan cerita yang sedikit lebih kompleks. Tapi, menurut saya, semua formula itu tidak digarap dengan cukup baik.

Alurnya cepat, tidak bertele-tele dan actionnya menarik, tapi penokohannya tidak cukup ‘lengket’ di hati pembaca. Bahkan ada beberapa tokoh yang tadinya saya kira akan menjadi tokoh pembantu utama ternyata tidak mendapatkan peran cukup penting, sedangkan tokoh pembantu lain yang pada awalnya terlihat tidak berperan cukup banyak malah mendapatkan peran yang penting menjelang akhir cerita. Twist yang digunakan terkesan terlalu memaksakan dan penjelasan di ending cerita pun sama sekali tidak membantu. Untungnya beberapa joke dan kekonyolan Schwarzenegger memberi penyegaran dalam film ini. Dan jelas keputusan mantan Gubernur California ke-38 ini untuk bermain bersama Stallone merupakan keputusan yang tepat, mengingat debut film comeback solonya kemarin yang berjudul ‘The Last Stand’ terhitung floop dipasaran.

Tapi jika mengingat kebiasaan Stallone yang menggarap film dengan skrip ‘seadanya’ dan terlalu mengedepankan action saja, rasanya sangat disayangkan, yah. Dengan nama besar yang disandangnya, kalau saja skripnya dapat digarap dengan lebih baik, mungkin akting Stallone dan actor lainnya akan tereksplore dengan lebih baik juga dan para penonton dari berbagai kalangan pun bisa tertarik dan terpuaskan. Karena tidak semua penonton mau menonton film hanya karena ingin bernostalgia saja, ada juga kalangan penonton muda yang jauh lebih kritis, yang jika berhasil digaet dengan baik akan menjadi penonton yang sangat potensial dan loyal.


Saya hanya bisa memberikan tiga dari lima bintang untuk film ini, itu juga dibantu dengan satu scene memorable di mana Schwarzenegger dan Faran Tahir yang menjadi lawan mainnya berpose sangat konyol di kamera pengintai.


GRAVITY

Gravity adalah sebuah survival drama film yang menceritakan mengenai upaya bertahan hidup seorang Mission Specialist bernama Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock). Dia adalah seorang Bio-medical Engineer yang baru pertama kali melakukan misi luar angkasanya. Sementara pendampingnya adalah seorang veteran astronot yang melakukan misi terakhirnya sebelum memutuskan untuk pensiun bernama Matt Kowalski (George Clooney). Mereka sedang mengecek Hubble Space Telescope di luar angkasa saat sebuah satelit Russia meledak dan mengakibatkan serangkaian ledakan beruntun di beberapa satelit lain. Akibatnya, terjadi hujan sampah ledakan yang juga menghancurkan telescope yang sedang mereka perbaiki sehingga mereka berdua terhempas ke luar angkasa dan terombang-ambing di sana tanpa arah. Dengan persediaan oksigen yang menipis, saluran komunikasi ke pusat yang terputus dan sebuah roket yang mulai kehabisan bahan bakar, mereka harus bisa menyelamatkan diri dengan cara mendatangi stasiun luar angkasa milik Negara lain sebelum hujan sampah ledakan menghancurkan satelit-satelit itu dan menggagalkan usaha mereka untuk kembali ke bumi.

Benar, inti cerita film ini bisa saya simpulkan dalam satu paragraph saja. Dan satu paragraph ini dapat menghasilkan sebuah film berdurasi 91 menit yang sangat-amat menakjubkan. Film ini disutradarai oleh Alfonso Cuarón yang sebelumnya berhasil menyutradarai film Harry Potter ketiga: Harry Potter and the Prisoner Of Azkaban dan Pan’s Labirinth. Dan bukan hanya itu saja, Cuarón juga memproduseri dan mengedit sendiri serta menulis scenario film ini bersama sang anak: Jonás Cuarón. Cinematografi film ini ditangani oleh sahabatnya sendiri: Emmanuel Lubezki yang sudah sering kali bekerja sama dengan Cuarón dan sudah dinominasikan sebanyak lima kali dalam Academy Award untuk berbagai film termasuk A Little Princess, Sleepy Hollow dan The Tree Of Life.

Yang lebih menakjubkan lagi, film berbudget $80-$100 million ini hanya dibintangi oleh Sandra Bullock dan George Clooney saja, sementara beberapa orang lain hanya menyumbangkan suaranya. Hampir 80% film ini terpusat pada Sandra Bullock sebagai pemeran utama dan acting actress berusia 49 tahun yang telah memenangkan begitu banyak penghargaan ini benar-benar luar biasa. Sandra Bullock berhasil membawa emosi para penonton untuk merasakan bagaimana kepanikan seorang astronot pemula yang harus terombang ambing di luar angkasa sendirian. Dia juga berhasil membawa karakter tokohnya yang merasa depresi dan kesepian, yang tidak punya tujuan dan begitu putus asa dengan baik. Sebagai tokoh central dalam film ini, di mana tidak ada cukup banyak pemeran pembantu yang dapat mengalihkan perhatian para penonton, kualitas actingnya benar-benar patut diacungi empat jempol sekaligus, atau bahkan pantas diganjar sebuah penghargaan lagi.

Tema sederhana yang dipadukan dengan penyutradaraan yang bagus, acting yang luar biasa, scenario yang mumpuni, cinematografi yang mengagumkan, setting yang tidak biasa dan special efek yang nyaris tanpa cacat, rasanya penonton tidak membutuhkan adegan action yang penuh ledakan atau aksi kejar-kejaran yang berlebihan di sini. Semuanya tetap terasa menegangkan dan penuh emosi. Terasa pas dan tidak berlebihan. Tidak diragukan lagi, saya akan memberikan empat setengah dari lima bintang untuk film ini.


Astaga, saya tidak pernah menyangka akan bisa membuat sebuah review film sependek ini dan memberikan begitu banyak bintang untuk sebuah film berdurasi satu setengah jam yang hanya menampilkan dua pemeran saja. Film ini memang benar-benar ruarrrr biasaaaa…. =)

BEAUTIFUL MISTAKE

Oh damn, I think that’s the best kiss I’ve ever had.

Ever.

Aku membuka pelupuk mataku dan menemukannya di hadapanku. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti, bahkan kedua bibir kami jauh lebih dekat lagi. Dalam satu langkah singkat saja aku bisa meraih bibir itu lagi, melumatnya sekali lagi dan merasakan sensasi itu lagi. Benar, itu adalah sensasi yang begitu membuat sakau. Seolah ada sebuah kupu-kupu menyusup ke dalam dadaku dan mengepak dengan liar di sana, membuat napasku memburu. Napasnya lebih berat dari pada napasku dan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium bau tembakau menguar dari tubuhnya. Beberapa detik yang lalu aku baru saja merasakan sensasi pahitnya tembakau itu dari lidahnya dan walaupun aku membenci rokok, tapi bau itu mampu menghipnotisku.

Aku melonggarkan kedua tanganku yang melingkari lehernya, memberi jarak pada kedua bibir kami sehingga aku bisa mengatur detak jantungku yang berantakan. Kedua kaki telanjangku akhirnya bisa menapak dengan benar ke atas bumi setelah sebelumnya aku tekuk untuk berjinjit, berusaha menggapai dosa manisku tadi: bibirnya. Walaupun aku bisa merasakan bahwa dia enggan melepas pelukannya dari pinggangku, tapi dia juga memberi jarak tanpa perlu melepaskan pelukannya. Dan aku sama sekali tidak keberatan. Aku memang tidak ingin berada terlalu jauh darinya.

Aku kembali menatap kedua matanya. Letaknya beberapa senti di atas mataku sehingga aku harus sedikit menengadahkan kepala, membuat poni panjangku bergerak menghalangi. Aku sedikit memejamkan mata untuk menahan rasa sakit saat poni itu menusuk mataku, sama sekali tidak sudi untuk memindahkan kedua tanganku yang sedang memeluk lehernya untuk menyingkirkan poni yang mengganggu itu. Tapi seperti bisa membaca apa yang aku inginkan, dia melepas salah satu pelukan tangannya dari pinggangku dan menyingkirkan poni itu dengan lembut. Ujung jarinya bertahan di pipiku selama beberapa detik sebelum kembali melingkari pinggangku dan kehangatan yang membuatku merinding memancar dari sana dan bertahan lebih lama lagi. Dengan kedua mata yang begitu dekat, aku dapat menikmati kedua matanya yang bersinar penuh kehangatan itu dengan leluasa, seolah kedua mata itu hanya untukku. Lalu pandangan mataku mengarah ke hidungnya yang sedikit mancung, ke tulang pipinya yang tegas dan berhenti di bibirnya. Oh ya ampun, aku ingin sekali merasakan bibir itu. Lagi. Berkali-kali.

Tiba-tiba bibir itu tersenyum dengan begitu manisnya, membuatku tersadar bahwa sang pemilik bibir itu pastilah sadar aku sedang memandangi bibirnya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Otomatis pandangan mataku kembali kepada dua bola matanya, dan benar saja, ada pandangan penuh persengkongkolan yang aku temukan di sana. Secara perlahan dan pasti senyumnya mengembang makin lebar, membuatku salah tingkah. Dan detik berikutnya dia mulai berbicara sambil mengunci kedua mataku dengan pandangan matanya yang tajam.

“Apakah kau tahu bahwa kau punya mata coklat yang sangat menakjubkan?”

Perlu waktu beberapa detik bagiku untuk mencerna kata-kata yang diucapkannya dengan sedikit berbisik itu. Sepertinya bau tembakau yang menguar dari kotak rokok yang ada di saku kemejanya telah berhasil menghinoptisku semakin dalam sehingga aku tidak bisa berpikir dengan benar. Aku bahkan tidak bisa bernapas dengan baik. Oh, dear…

Tapi aku berhasil menguasai diri dengan cepat dan ingat bahwa apa yang dikatakannya tadi sudah pernah aku dengar diucapkan oleh orang lain, orang yang selama ini telah memiliki bibirku. Begitu kesadaran itu menyerbuku, semua rasa yang menggetarkan itu lenyap seketika, seolah kupu-kupu yang sedari tadi terbang di dadaku mendadak mati. Aku melepaskan kedua tanganku dari lehernya dan mundur satu langkah sambil buru-buru berbicara dengan terbata-bata.

“Aku… sorry…”

Sorot matanya berubah dengan sangat cepat menjadi begitu menyedihkan untuk dilihat. Dengan sigap diraihnya kedua tangan yang aku lepaskan dari lehernya tadi dan menghentikan gerakannya sehingga kedua tanganku berada tepat di dalam lingkup kedua telapak tangannya. Aku memejamkan mata dengan cepat, berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan perasaan nyaman yang menyerbuku dengan sangat tiba-tiba saat kedua tangan besarnya itu begitu hangat dan pas melingkupi kedua telapak tanganku yang kecil. Tapi begitu sulit untuk menghilangkan perasaan itu, apalagi dengan adanya dia di hadapanku, menatapku seperti itu.

“Ada apa?” tanyanya, sedikit ragu.

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat sambil menghembuskan napas panjang dan memejamkan kedua mata dengan frustasi. Ya ampun, apa yang telah aku lakukan?

“Aku… minta maaf…” kataku setelah berusaha berbicara dengan susah payah.

“Kenapa? Apa salahmu? You’re a very good kisser and that’s the best kiss I ever had, so far.”

Me too. Tapi, itu dia masalahnya. Semua ini tidak seharusnya terjadi. Aku telah melakukan kesalahan dan bagaimana caranya aku bisa memperbaiki kesalahan ini? Aku memejamkan mataku lagi dengan jauh lebih frustasi. Aku mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan diri lagi, tapi bau tembakau itu kembali tercium, membuat semuanya terasa semakin sulit.

“Kamu menyesal karena ciuman tadi?” tanyanya lagi yang kali ini membuatku buru-buru menggeleng.

Aku sama sekali tidak menyesal karena pernah merasakan ciuman ini. Aku hanya menyesal karena berani melakukannya, melakukan sesuatu yang salah tapi begitu sulit untuk disesali.

“Hanya saja… selama ini aku telah berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang bisa saja aku sesali nantinya.”

“Apakah itu artinya kamu sudah lama menginginkan ini? Maksudku, apakah kamu memang ingin menciumku?” dia bertanya lagi dan aku kembali menutup kedua mataku dengan frustasi.

Iya, aku sudah berusaha sekuat tenaga menjauhkan keinginan untuk menghambur ke arahnya dan menciumnya. Seharusnya aku bisa menahan keinginan itu lebih lama lagi, atau mungkin membuang jauh-jauh keinginan bodohku itu. Tapi semua usahaku itu langsung terlupakan begitu saya setelah dia pergi selama beberapa waktu tanpa pamit dan tidak bisa dihubungi. Lalu tiba-tiba dia mendatangiku dan menyodorkan gelang itu tadi. Dan aku langsung menghambur ke pelukannya begitu saja, tanpa ingat untuk berpikir. Bodoh, aku tahu. Tapi aku tidak bisa menemukan alasan lain untuk tetap mempertahankan usaha itu. Aku sudah memutuskan untuk lebih jujur terhadap perasaanku sendiri. Dan inilah yang aku inginkan dan inilah yang aku lakukan, dari lubuk hatiku yang paling dalam. Jadi, apa yang bisa aku lakukan kecuali menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan terakhirnya tadi?

“Kalau begitu, sepertinya aku harus sering-sering pergi tanpa mengabarimu, supaya bisa mendapatkan moment seperti ini lagi.”

Begitu mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya, aku langsung melepaskan genggaman tanganku dengan kasar dan memukulkan tinjuku ke dadanya yang bidang dengan sekuat tenaga. Tapi dia malah tersenyum geli dan buru-buru menggenggam kedua tanganku untuk menghentikan pukulanku. Aku tidak menyerah, dengan kesal aku kembali menumpahkan amarahku melalui omelan.

“Jangan sekali-sekalinya kau berani pergi tanpa kabar seperti itu lagi. Kau membuatku khawatir!”

Dia menunduk untuk menatapku dengan kedua tangan yang masih menggenggam tanganku di depan dadanya, lalu menjawab lagi.

“Kau baru saja mengabarkan sebuah keputusan yang sangat mengagetkan untukku. Aku perlu menenangkan diriku lebih dulu.”

Aku menundukkan kepala lebih dalam lagi, semakin merasa menyesal. Dengan enggan dan nyaris berbisik, aku menjawab.

“Aku… sudah memutuskan.”

“Aku tahu.” Jawabnya dengan cepat. Dia melepaskan genggaman tangan kanannya, meraba cincin di jari manisku dengan cepat lalu meletakkan telapak tanganku di depan dadanya dan meraih daguku dengan tangan kanannya yang bebas. Kini, kedua mata kami sudah kembali saling menatap, mengunci.

“Karena itulah seharusnya aku yang meminta maaf. Walaupun aku sama sekali tidak menyesali semua ini, tapi aku tahu, seharusnya aku menghormati keputusanmu. Dan aku pun tahu, seharusnya aku tidak boleh menciummu, atau memberikan gelang itu sebagai hadiah perpisahan, atau bahkan memelukmu seperti ini. Tapi, aku hanya ingin… memilikimu. Paling tidak sekali dalam hidupku, aku ingin merasakan bagaimana rasanya jika aku memilikimu, seutuhnya.”

Aku tidak tahu apakah aku akan bisa menahan air mataku lebih lama lagi agar tidak jatuh ke pipiku. Penjelasannya kali ini benar-benar mengundang air mata.

Sepertinya dia melihat kedua mataku yang sudah mulai berkaca-kaca, karena itulah dia buru-buru berkata lagi.

“Aku mohon, jangan menangis. Aku tidak akan mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku tahu itu sudah terlambat, kata-kata itu sudah tidak ada gunanya lagi. Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa apa yang aku rasakan adalah perasaan yang tulus. Jadi, aku mohon, jangan menyesali apa pun. Izinkan aku menyelesaikan ini dan menciptakan sebuah kenangan indah di antara kita. Walaupun penuh kepura-puraan.”

Aku tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya dan aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan merasakannya. Aku rasa ini memang bukan sebuah kesalahan. Ini adalah sebuah pembuktian, pembuktian akan kekuatan cinta yang tidak bisa saling memiliki, pembuktian bahwa sebuah keputusan membutuhkan pengorbanan, pembuktian bahwa sebuah kesalahan belum tentu salah, hanya butuh dibuktikan agar dapat dimengerti. Dan kini, aku mengerti bahwa perasaan ini adalah benar, hanya waktu dan tempat yang kurang tepat, seperti yang selama ini telah disadarinya.

“Tolong, jangan sesali aku.”

Itu adalah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mulutnya karena detik selanjutnya bibir kami telah bertemu kembali. Kali ini lebih lembut, lebih manis, lebih menggetarkan hati. Kupu-kupu tadi kembali terbang lagi di dadaku dan lidahku kembali merasakan tembakau yang pahit. Napas kami saling memburu dan kedua lengan kami saling memeluk. Lalu, hampir sama cepatnya seperti ciuman itu dimulai, semua itu berakhir. Aku mundur satu langkah sambil merenggangkan lengan kiriku, memberi jarak pada kami berdua. Lalu aku memandanginya, memberikan senyum terbaik yang bisa aku berikan, dan berkata dengan mantap.

“Terima kasih, untuk semuanya.”

Aku berbalik dalam satu gerakan, meraih tasku yang terletak di atas meja dan pergi tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku tidak merasakan tangannya yang menahan kepergianku atau suaranya yang memanggilku untuk berhenti. Aku hanya merasakan tangan kiriku yang menggenggam erat gelang perak yang baru saja diberikannya kepadaku dan berjanji di dalam hati bahwa aku akan mengenakan gelang itu selamanya tanpa rasa menyesal sedikit pun.


160913 ~Black Rabbit~