Beberapa Waktu Belakangan Ini


Jika aku sedang tidak berada di sini, mungkin aku tidak akan bisa mengagumi sesuatu. Aku bahkan tidak ingat apakah aku pernah mengagumi sesuatu beberapa waktu belakangan ini. Tapi hei, aku sekarang berada di sini, di negeri singa, sudah seharusnya aku mengagumi sesuatu.
Aku tahu akan terdengar sangat sombong jika aku mengatakan alasan apa sebenarnya aku pergi ke tempat ini. Aku hanya ingin keluar dari rutinitas harianku, menemukan suasana baru untuk memperbaharui lagi semangatku. Aku bahkan sempat berpikir untuk mematikan semua ponselku. Aku hanya ingin beristirahat sejenak dari mereka yang biasanya merecokiku dengan urusan pekerjaan setiap harinya.
Tapi aku tidak bisa melakukannya, maksudku mematikan semua ponselku. Karena dia masih akan menghubungiku lagi.
Aku rasa aku tidak akan keberatan kalau dia yang menghubungiku, hanya dia, jangan orang lain. Karena hanya dengan membaca pesan yang dikirimkannya saja sudah bisa membuatku senang.
Tapi sayang, dia tidak berada di sini denganku.
Andai saja dia memang ada di sini pastinya aku akan merasa lebih senang dari pada ini. Dia memang selalu bisa membuatku senang, tersenyum, tertawa. Sesuatu yang tidak bisa aku lakukan sendiri tanpa bantuannya dalam beberapa waktu belakangan ini. Tepatnya waktu-waktu di mana aku belum mengenalnya. Waktu di mana dia belum menjadi penyemangatku.
Kalau dipikir-pikir, rasanya dia sudah berubah menjadi seseorang yang penting bagiku. Aku tidak pernah merasa seperti ini sejak kisah menyakitkan itu menusuk hatiku dengan begitu dalam. Ketika itu aku kira tidak akan pernah bisa merasakan kegembiraan lagi. Rasanya seluruh tenagaku terkuras habis saat aku mempertanyakan segala yang terjadi.
Untuk apa kasih sayang yang telah aku berikan selama bertahun-tahun jika sakit hati yang aku terima sebagai balasan?
Aku meneriakkan kata-kata itu selama beberapa waktu, selama luka itu masih berdenyut menyakitkan. Dan sekarang dengan senang hati aku umumkan bahwa luka itu perlahan mengering dan sembuh. Memang akan meninggalkan bekas, tapi tidak apa-apa, aku bisa memaklumi bekas itu.
Tapi...
Andai saja aku bisa memilih untuk tidak menerima luka lain, luka baru yang akan terasa lebih menyakitkan dari pada lukaku sebelumnya, tentu aku akan memilih itu. Tapi aku tidak bisa memilih. Aku hanya bisa menerima.
Tepat saat aku mengira akan bisa menemukan seseorang, aku malah harus menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.
Seharusnya aku tidak perlu mengharapkan apa-apa lagi. Seharusnya aku memutuskan untuk langsung pergi menjauh begitu menerima kenyataan yang satu ini.
Seharusnya memang begitu. Andai saja aku bisa berbuat seperti itu sejak awal. Tapi aku malah memilih untuk menipu diriku sendiri. Mengatakan kepada diriku sendiri kalau semuanya akan berjalan lancar. Aku akan bisa mendapatkan dia suatu saat nanti, bagaimanapun caranya. Yang aku perlukan hanya bersabar dan menunggu. Hanya itu, sesimple itu.
Aku tahu, aku salah.
Seharusnya aku lebih memperhatikan lagi sebuah teriakan yang terus bergema di sudut hatiku. Selama ini aku hanya berusaha tidak peduli, menulikan telinga dan menganggap semua teriakan itu hanyalah sekumpulan lebah di taman.
Dia bukan untukmu.
Kata-kata itulah yang bergema berulang-ulang di dalam kepalaku.
Ya-ya... aku tahu! Demi Tuhan, kau tidak perlu berteriak sekencang itu!
Aku hanya tidak ingin memikirkannya, memikirkan semua itu hanya akan mengesahkan semuanya. Meresmikan kenyataan itu dan membuatku benar-benar terluka.
Untuk apa aku melukai diriku sendiri? Dia bahkan tidak pernah membuatku berpikir untuk melukai diriku sendiri. Dia menerimaku, dia tidak meninggalkanku sendirian, tidak peduli apa status yang di sandangnya.
Memang, kalian menyebutnya pengkhianatan, tapi aku memanggilnya kesediaan. Dia tetap bersedia menganggapku sebagai seseorang yang spesial, memberikan penyembuh bagi lukaku. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain berterima kasih?
Aku tidak mau semua ini berakhir. Aku tahu akan merasakan rasa sakit itu lagi, tapi toh aku memutuskan untuk tidak mengingat kemungkinan itu dulu. Biarkan saja dia tetap menjadi seseorang di dalam kehidupanku yang menempati tempat yang lebih spesial dari pada orang lain. Biarkan saja seperti ini, aku hanya ingin menikmati semuanya terlebih dulu, sebelum aku merasakan lagi rasa sakit itu, rasa sakit yang aku takutkan beberapa waktu belakangan ini.
Udara di negeri singa ini benar-benar cerah, waktu yang tepat untuk melakukan kunjungan wisata. Aku masih berusaha melupakan kenyataan tentang ketidakhadirannya di sini, di sampingku, menemaniku. Aku berjalan ke sebuah toko souvenir. Ada sebatang coklat di sana, kelihatannya cukup untuk oleh-oleh.

 
200611 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 56 )


Tolong
Jangan panggil aku hanya untuk mendengar keluh kesahmu
Jangan ingat aku hanya saat kau sendu
Aku tak ingin melihatmu menangis
Aku benci dengan raut sedih di wajahmu
Tak seharusnya raut itu ada di sana
Itu tabu, itu hina
Dimana aku saat kau senang?
Kau melupakanku saat itu juga
Dan jangan hina aku saat aku berusaha menyadarkanmu
Jangan hakimi aku sebagai tak berperasaan saat aku menunjukkan kelelahanku
Bukankah itulah tugasku?
Mengingatkanmu saat kau salah
Menjadi logikamu saat kau terjembab di kubangan mekankolis
Menjadi bagian dari dirimu yang tetap sadar saat kau hilang kendali
Bukankah itulah gunanya seorang teman yang baik?
Tidak menghardikmu walau aku muak dengan rengek tangismu
Tidak menutup telinga saat kau memanggil namaku
Tidak pura-pura buta saat kau menuliskan namaku penuh permintaan tolong
Tapi hei, aku pun bisa merasa muak
Aku pun bisa merasa bosan
Dan pernahkah kau merasa begitu ingin mendengar orang berteriak kata lain selain 'tolong'?

 

170411 ~ Black Rabbit ~