… CERPEN 4 …


HOKINYA CINTA

 

Hai, namaku Yusa, masih berumur lima belas tahun kelas 1 SMU swasta yang cukup terkenal. Aku gadis biasa saja kok, serius. Hanya saja baru beberapa minggu masuk SMU ini, hidupku jadi lebih dari biasa saja. Bukan sesuatu yang terlalu penting sih, tapi bagiku pribadi ini sudah merupakan langkah besar, langkah yang luar biasa besar. Mulai penasaran, ya? Oke aku beritahu, sekarang aku punya pacar. Mungkin bagi kalian ini hanya masalah biasa: masuk SMU, punya pacar dan menghabiskan masa SMU yang indah bersama pacar tercinta. Tapi percaya deh, buatku ini adalah hal luar biasa yang aku alami.
Penampilanku biasa saja, nyaris sama seperti teman-temanku yang lain: cantik, manis dan aktif juga ceria. Aku tidak membanggakan diri dengan menyebut kalau aku cantik, loh. Bagiku, cantik itu relative bagi setiap orang, dan cantik bukanlah patokan utama untuk bisa menilai apa pemilik wajah cantik itu memiliki sifat yang cantik juga atau tidak. Aku juga tidak membanggakan diri dengan mengatakan kalau aku baik. Sekali lagi, baik itu relative, tergantung bagaimana cara orang menilainya. Yang jelas, aku hanya ingin menekankan kalau aku nyaris sama seperti teman-teman sebayaku. Mungkin hanya satu yang bisa membedakan semuanya: aku tidak bisa bicara. Bukan-bukan, aku tidak bisu, hanya saja aku ditakdirkan untuk memiliki ukuran lidah lebih pendek dari pada milik orang lain sehingga aku tidak bisa berbicara dengan jelas. Aku bisa mengeluarkan suara, tapi suara itu terdengar tidak sama dengan suara orang lain. Iya, aku cacat.
Jelas kan kenapa tadi aku mengatakan kalau mempunyai seorang pacar seperti sebuah mukjizat buatku? Sekali lagi aku katakan, aku cacat. Tidak banyak orang yang bisa memaklumi keadaanku yang seperti ini. Sebagian besar menganggap aku orang cacat yang merepotkan. Tapi untungnya ada juga yang tidak berpikiran seperti itu, seperti keluargaku misalnya. Aku memiliki kedua orang tua yang masih lengkap dengan seorang adik laki-laki yang semuanya selalu mau membantu, mendukungku untuk terus percaya diri dan memperlakukanku seperti orang normal. Walaupun memiliki aku yang cacat dan hidup pas-pasan, mereka tidak pernah mengeluh dan selalu bersemangat.
Selain keluargaku, ada juga para kakek dan nenek yang tinggal di panti jompo tempat ibuku bekerja sebagai perawat selama sepuluh tahun lebih, yang juga memperlakukanku dengan sangat baik. Sejak kecil aku yang tidak pernah bermain dengan teman-teman sebayaku karena mereka menganggapku sangat merepotkan, diperbolehkan bermain di panti untuk menemani para kakek-nenek disana. Mungkin ibuku tidak tega meninggalkan aku sendirian dirumah, jadi dia meminta izin untuk membawaku ke panti. Tapi aku sangat bersyukur diperbolehkan bermain di panti itu karena aku bisa menemani para lansia yang memperlakukanku dengan sangat baik.
Satu lagi orang yang sangat memahami keadaanku adalah Suci. Dia adalah teman sejak aku masih kecil. Aku ingat, dulu sewaktu aku masih SD dan sangat ingin bergabung dengan teman-temanku yang sedang bermain lompat tali, mereka tidak memperbolehkan aku ikut dan malah mengejekku habis-habisan. Mereka mengatakan aku anak cacat jelek yang merepotkan, dan aku hanya bisa menangis tanpa bisa membalas. Tapi tiba-tiba Suci datang merentangkan tangannya di depanku dan membelaku dengan berani. Mulai saat itu dia adalah sahabat pertamaku, sampai sekarang.
Kembali pada kenyataan kalau aku sudah punya pacar. Namanya Yuma. Nama kami memang mirip dan gara-gara nama yang mirip inilah kami bisa berkenalan. Hari ketiga aku masuk sekolah, aku mendengar pengeras suara memanggil namaku supaya datang ke kantor kepala sekolah. Aku panik saat itu, tidak tahu apa kesalahan yang sudah aku lakukan sehingga aku dipanggil menghadap kepala sekolah. Apa pihak sekolah baru menyadari kalau mereka sudah salah memasukkan anak cacat ke sekolah umum? Apa alasan yang mengatakan bahwa aku masih bisa berjalan, mendengar dan berpikir dengan normal tidak bisa dijadikan point plus lagi buatku?
Aku masuk ke ruang kepala sekolah tanpa sempat mengetuk pintu sangkin paniknya. Dan yang aku temukan adalah cowok ganteng, tinggi, berkulit putih dengan rambut pirang ala landak, duduk di depan Ibu kepala sekolah yang kelihatannya sedang marah. Aku terdiam di depan pintu, tidak tahu harus bagaimana.
" Yusa, kenapa kamu kesini? " Ibu kepala sekolah memandangiku dengan heran, sedangkan Yuma_cowok ganteng, tinggi dan sebagainya tadi_memandangiku dengan tatapan heran dan cuek sekaligus. Dan aku? Aku diam saja sambil membalas pandangan mereka dengan polosnya.
" Kamu salah denger,ya? Kirain Ibu manggil kamu? " Tanya Ibu kepala sekolah lagi. Aku buru-buru mengangguk. " Ya udah, kamu duduk dulu disini, kebetulan memang ada yang mau Ibu omongin juga sama kamu. " Ibu kepala sekolah menunjuk kursi lain diseberang mejanya, kursi yang berada tepat disamping Yuma. Aku berjalan lambat dan duduk dengan canggung disana, lalu Ibu kepala sekolah melanjutkan obrolannya dengan Yuma yang terputus tadi.
Kedengarannya Ibu kepala sekolah marah sekali melihat warna rambut Yuma yang mencolok itu dan mengancam Yuma agar mengembalikan warna rambutnya dalam satu hari atau Yuma akan di skors dua minggu. Yuma menanggapinya dengan cuek, seakan tidak perduli kalaupun dia dikeluarkan sekalipun. Walaupun begitu, besoknya aku melihat rambut Yuma sudah berwarna hitam lagi; ternyata dia tidak sepenuhnya cuek.
Setelah selesai memarahi Yuma, Ibu kepala sekolah menatapku dengan pandangan sayang lalu berkata dengan lembut.
" Yusa, kamu harus betah sekolah disini. Kamu diperlakukan sama dengan anak-anak lain, nggak ada yang ngebeda-bedain, jadi kamu nggak usah minder, ya? "
Sebenarnya aku tidak ingin mengeluarkan sepatah katapun saat itu, tapi Ibu kepala sekolah kelihatannya menungguku untuk menjawab, jadi aku menjawab dengan gagap seperti biasa, merasa sedikit canggung dengan kenyataan ada Yuma disampingku.
Pertemuan keduaku dengan Yuma terjadi di sekolah lagi. Saat itu aku sedang berada disituasi yang cukup gawat. Aku tidak sengaja menabrak Serli, ketua klub cheerleaders yang dikenal paling cantik, paling berpengaruh juga paling jutek. Merasa tidak terima ditabrak olehku, Serli cs malah memarahiku dan mendorongku sampai terpojok ke dinding. Mungkin mereka pikir ini adalah saat yang tepat untuk menggencetku. Aku ketakutan, tidak tahu harus melawan bagaimana dan rasanya mau menangis. Tapi untunglah tiba-tiba terdengar seorang cowok berteriak memerintah Serli cs berhenti. Yang berteriak itu Yuma, dengan tampang galak menatap Serli dan teman-temannya. Serli cs langsung pergi meninggalkanku gemetar di dinding.
" Lo nggak pa-pa? " Yuma sudah ada disampingku, menatapku dengan khawatir. Aku buru-buru menggeleng. " Mereka tuh emang resé! Lain kali lo jangan jalan sendirian, ya! " Aku buru-buru mangangguk lagi dan Yuma pergi meninggalkanku sambil masih saja menggerutu. Saat itu aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah dilakukan Yuma terhadapku. Dia sudah membantuku lepas dari jeratan Serli cs, seperti seorang pangeran dengan kuda putihnya yang menyelamatkan aku dari antara para penyamun. Dan diam-diam aku mulai menyukainya.
Pertemuan ketiga membuatku jauh lebih menyukainya, karena apa? Karena Yuma langsung memintaku menjadi pacarnya. Waktu itu aku diminta menemani Suci untuk pergi bersama pacar barunya, Hans. Awalnya aku tidak mau, soalnya aku tidak pernah berpikir untuk menjadi pengganggu diantara dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini, tapi Suci memintaku berulang-ulang dan sebagai teman yang baik akhirnya aku menyetujuinya. Tapi persetujuan itu aku buat sebelum aku tahu kalau ternyata Yuma juga diajak! Ternyata Yuma dan Hans memang berteman akrab jadi tidak salah kalau Hans mengajak sahabatnya ikut kencan karena pacarnya pun mengajak sahabatnya ikut juga. Tapi kebetulan itu membuatku tidak nyaman karena ternyata bisa berhadapan langsung dengan Yuma setelah aku menyadari kalau aku menyukainya malah membuat jantungku berdebar kencang. Sekarang aku hanya bisa berdoa semoga Yuma tidak mendengar suara jantungku.
Yah, paling tidak acara kencan pertama Suci dan Hans berjalan lancar walaupun anggapan ini hanya berlaku untuk Suci, karena semuanya sesuai dengan yang direncanakannya. Suci dan Hans sibuk bergandengan tangan dan berjalan beriringan, sementara aku dan Yuma berjalan di belakang mereka dalam diam dengan jarak nyaris satu meter.
" Lo masih suka digangguin sama Serli? " Ini pertanyaan pertama yang dilontarkan Yuma setelah sekian lama kami berdiam diri dan aku menggeleng. Sebenarnya gangguan itu masih ada, tapi tidak langsung berasal dari Serli, melainkan dari teman-teman gengnya, tapikan Yuma menanyakan Serli, bukan teman-temannya, jadi aku menggeleng saja.
" Cewek kayak lo emang paling enak dijadiin sasaran. Lo jadi pacar gua aja, jadi lo nggak bakal digangguin lagi. "
Begitu saja. Yuma mengatakannya dengan jelas dan tegas, bukan menanyakan pendapatku, tapi seperti perintah. Dan aku mematuhinya walaupun tanpa menjawab, soalnya kata-katanya begitu tegas, seolah-olah tidak mau dibantah. Tapi bagaimana aku bisa yakin kalau kata-kata Yuma itu adalah pernyataan cinta, bukan hanya celetukan biasa? Bisa saja Yuma hanya mengatakannya saja tapi tidak memintaku untuk benar-benar pacaran dengannya. Ya, aku bisa yakin karena besoknya Yuma menjemputku pagi-pagi di depan rumah. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui alamatku, yang jelas saat aku bertanya kenapa dia ada disini dengan suara gagapku yang biasa, dengan entengnya dia menjawab:
" Ngejemput lo, gua kan pacar lo. "
Jadi jelas kan kalau sekarang aku memang pacarnya? Aku memang beruntung, aku tahu. Kalian tidak akan pernah tahu seberapa bersyukurnya aku karena hokiku yang satu ini. Sumpah.
# # #
Itu kejadian dua minggu yang lalu. Sekarang semua kejadian yang seperti mimpi itu sudah bisa aku terima bukan hanya sekedar mimpi indah tapi memang kenyataan. Yuma sudah menjadi seorang pacar yang sangat memperhatikan dan melindungiku dari gangguan orang-orang seperti Serli cs. Dia bagaikan pangeran yang mengendarai motor sport sebagai ganti kuda putihnya, walaupun pangeran yang satu ini tidak romantis seperti pangeran-pengeran lain dari negeri dongeng. Yuma tidak pernah memegang tanganku, yang dia lakukan hanyalah berjalan satu langkah di depanku dan memberikan lengannya agar aku bisa menggelayut disana. Semua orang sudah mengetahui hubungan kami. Orang tuaku menyukai Yuma karena sikap protektifnya di nilai sangat gentlemen dan semua orang disekolah pun tahu. Awalnya semua orang tampak terkejut, tapi aku tidak heran kok. Yuma pacaran denganku memang sesuatu yang tidak masuk akal tapi benar-benar terjadi. Mungkin kisah cintaku ini hampir mirip dengan dongeng 'Beauty and the Beast' yang legendaris itu, tapi bedanya di dongeng ini aku yang menjadi 'Beast'.
Bahkan Serli pun kaget. Setiap kali aku dan Yuma lewat di depan Serli cs, mereka memandangi kami seolah melihat Yuma sedang berjalan di sebelah alien dari planet lain. Tapi bagaimana pun juga, Serli cs tidak pernah menggangguku lagi sejak kabar aku berpacaran dengan Yuma itu resmi benar. Yuma memang tidak pernah membiarkanku jalan sendirian, mungkin Serli cs merasa tidak punya kesempatan.
Satu-satunya orang yang menanggapi kabar ini dengan sangat senang hanyalah Suci. Terlalu senang malah. Walaupun awalnya dia sedikit marah karena aku tidak memberitahu kepadanya kalau aku menyukai Yuma sejak beberapa waktu yang lalu, tapi tetap saja dia sangat senang dan mendukung. Menurutnya, dengan berpacarannya aku dan Yuma berarti cita-citanya untuk bisa double date denganku akan segera tercapai. Alasan yang aneh.
Tapi hari ini adalah hari pertama aku ke sekolah tanpa Yuma. Dia terserang flu yang cukup parah yang membuat badannya panas, kepalanya pusing dan terkapar tidak berdaya. Aku sih maklum saja, soalnya selama beberapa minggu ini dia sudah mati-matian menjagaku, mengantar dan menjemputku dalam cuaca apa pun. Jadi aku tidak boleh mengeluh hanya karena Yuma tidak bisa menemaniku. Bagaimanapun Yuma sakit gara-gara aku. Jadi aku berjalan ke kelas dengan santai seperti biasa sambil berpikir apa buku PR Matematikaku sudah aku masukkan ke dalam tas. Tapi tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku dan membawaku ke balik dinding kelas paling ujung yang dekat dengan kantin pojok sekolah. Disamping kantin pojok itu ada sebuah lahan kosong yang sering digunakan anak-anak nakal untuk merokok. Aku dibawa kesana dan didorong ke dinding. Siku kiriku terbentur dinding, rasanya berdenyut dan sakit sekali.
" Sakit, ya... " Suara cewek terdengar mengejekku. Aku menengadah dan menemukan bukan hanya satu, dua, tapi lima. Lima cewek yang sudah aku kenal menggerumuniku dengan seorang cewek berambut ikal panjang berdiri di tengah rombongan. Itu Serli.
" Wah, liat siapa cewek di depan gua? Yusa si anak cacat! "
Serli mulai mengejekku lagi, aku kira dia tidak berani lagi. Mungkin keberaniannya timbul lagi karena mendengar Yuma sedang sakit dan membiarkan aku berkeliaran sendirian tanpa kandang. Dia memandangiku dengan jijik sambil menyilangkan tangan di depan dada. Aku balas menatapnya, bukan dengan pandangan ketakutan tapi dengan pandangan kesal.
" Apa lo liat-liat?! " Hardik Serli saat aku menatapnya seperti itu.
" Lo mau apa? " Tanyaku dengan suara cacatku yang biasa sambil memasang tampang paling galak yang aku bisa.
" Lo ngomong apa, sih? Kalo nggak bisa ngomong, ya nggak usah ngomong! Denger ya, jangan kira lo jadian sama Yuma berarti lo hebat. Yuma pasti punya alasan yang menyedihkan sampe mau pacaran sama lo! "
" Lo jangan ngomong sembarangan! " Teriakku dengan gagap seperti biasa, marah karena nama Yuma dibawa-bawa.
" Nggak percaya? Denger ya, yang pantes pacaran sama Yuma tuh gua, bukan lo. Jadi gua saranin lo putus sama Yuma. Ngerti? " Aku tidak menjawab. " Ngerti nggak?! " Tangan Serli sudah terangkat, sepertinya siap mendorongku lagi atau_lebih parah lagi_mungkin akan memukulku. Tapi terdengar bel masuk berbunyi nyaring di ujung sana, membuat Serli menghentikan tangannya diudara, mendecak kesal dengan pelan, lalu mengajak anak buahnya pergi. Aku langsung menghela napas dengan lega. Kali ini aku selamat, untunglah.
Tapi bukan Serli namanya kalau dia akan menyerah untuk menyiksaku sampai disitu. Tidak. Besoknya semua masih terus berlanjut. Aku yang masih harus pergi ke sekolah sendirian masuk ke kelas dengan selamat. Tapi saat aku mau duduk di mejaku, aku langsung takut lagi. Yang aku temui adalah tempat dudukku yang penuh lumpur, cat dan rumput-rumput kotor, juga penuh dengan coretan dan goresan yang terbaca: 'Orang cacat nggak pantes ada disini!'. Sekarang rasa takutku sudah bercampur dengan kesal, sedih dan marah. Semua anak-anak menggerumuni tempat dudukku dan berbisik sambil sesekali tertawa dan menunjuk-nunjuk aku, bukannya membantu aku. Sampai akhirnya seorang guru datang dan melihat keadaan tempat dudukku. Guru itu marah sekali. Dia tidak mau mendengar alasan yang aku katakan dengan tergagap-gagap dan tetap menganggap aku sengaja merusak meja dan bangku sekolah. Akhirnya aku diperintahkan untuk memindahkan meja dan kursiku sendiri ke gudang dan belajar sendiri di perpustakaan. Ini tidak adil, aku tahu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela diri. Aku hanya melihat Serli cs saat keluar kelas. Mereka melihatku dengan tatapan puas dan tertawa senang. Ini perbuatan mereka, aku tahu, tapi aku tidak punya bukti apa-apa.
Suci menghampiriku saat istirahat, menatapku dengan prihatin lalu marah-marah memaki Serli cs dengan geram.
" Gua yakin ini pasti ulah Serli, deh! Siapa lagi yang berani ngelakuin kayak gitu kalau bukan dia sama antek-anteknya? Dasar monyet! Dia tuh sebenernya ngiri sama lo gara-gara lo jadian sama Yuma! " Omel Suci panjang lebar, sementara aku hanya diam. Entah kenapa, sekarang aku berpikir mungkin apa yang dikatakan Serli itu memang benar.
" Mungkin gua emang nggak pantes buat Yuma. " Kataku lemas dengan gagap biasa.
" Nggak pantes gimana? " Sembur Suci cepat. " Lo pikir Yuma cuma mainin lo? Dia Cuma kasian sama lo? Nggak bener-bener sayang sama lo? " Aku diam saja. Jujur saja, aku memang memikirkan itu, tapi aku lebih memiliih tidak mengakuinya. " Denger, ya. " Lanjut Suci. " Gua kenal sama Yuma dan gua yakin dia bukan cowok yang kayak lo pikirin, jadi jangan mikir yang aneh-aneh, ok? "
Suci memandangiku dengan lebih serius, seolah-olah mengancamku untuk mengatakan 'iya', jadi aku buru-buru mengangguk walaupun masih tidak yakin.
Dan inilah karma yang aku terima karena sudah meragukan perasaan Yuma terhadapku. Sepulang sekolah aku mendapat kecelakaan. Saat aku hendak menuruni tangga yang menghubungkan laboratorium dan perpustakaan, aku merasakan ada seseorang yang dengan sengaja menyenggolku dan membuat aku jatuh terguling ke bawah tangga. Semua anak-anak terlihat sangat kaget melihat kecelakaan itu tapi tidak ada satu orang pun yang bertampang sangat puas atau apa yang bisa dituduh sebagai tersangka. Bahkan seorang kronco Serli yang berdiri di puncak tangga juga terlihat sangat kaget sama seperti anak-anak lain. Hanya Suci yang buru-buru menghampiriku dan membantuku naik, dan saat itulah aku merasa kalau pergelangan kakiku sangat sakit. Suci bersikeras mengantarku ke dokter dan setelah memeriksaku sebentar aku divonis mengalami keseleo dan harus istirahat di rumah selama tiga hari penuh.
Jadi aku disini, tinggal dirumahku yang nyaman di temani televisiku yang paling setia sepanjang masa menyiarkan semua acara tanpa henti. Sedang asik menonton infotainment yang (lagi-lagi) menanyakan mengenai perceraian artis yang menghebohkan, tiba-tiba pintu depan diketuk. Dengan tertatih-tatih aku melangkah ke depan pintu dan membukanya. Ada Yuma disana, mengenakan jaket dan celana jeans biasa.
" Hai. Gua tau dari Suci kalo kaki lo keseleo, jadi gua kesini buat jenguk lo. Udah baikan? " Yuma berusaha tersenyum walaupun dia sendiri masih belum sembuh benar. Suaranya masih terdengar bindeng dan hidungnya masih merah. Aku menjawab kalau aku baik-baik saja lalu mempersilahkan Yuma masuk dengan sedikit canggung. Pikiran kalau Yuma tidak benar-benar mencintaiku masih terngiang di otakku dan aku tidak tahu harus bertanya bagaimana.
" Serli yang ngedorong lo sampe kayak gini? " Tanya Yuma lagi, aku diam saja. " Mungkin gara-gara gua nggak masuk dua hari, jadi dia pikir bisa mainin lo lagi. Sialan banget! " Lanjut Yuma dengan geram, dan lagi-lagi aku hanya diam.
" Gua juga denger dari Suci kalo Serli bikin lo bingung soal gua. Dia bilang gua salah pacaran sama lo, ya? " Aku tertunduk malu, tidak menyangkan kalau ternyata kekhawatiranku yang memalukan ini akan dijawab langsung oleh Yuma secepat ini. Terima kasih Suci, kau membuatku tidak perlu repot-repot bertanya. Dasar!
" Lo mungkin nggak tau, tapi gua punya adik cewek yang sama kayak lo, nggak bisa ngomong lancar. Tapi dia meninggal dua taun yang lalu gara-gara ditabrak mobil. Jadi gua nggak asing lagi ngedenger cara ngomong lo. "
Aku tidak tahu mengenai ini, Yuma tidak pernah bercerita kalau dia punya adik yang cacat seperti aku yang sudah meninggal. Pantas kalau dia begitu mengerti apa pun yang aku katakan dengan gaya gagapku yang biasa. Dia menganggapku seperti adiknya sendiri, ini bukan sesuatu yang buruk.
" Lo juga mungkin nggak tau kalo gua dari kecil tinggal sama nenek gua. Tapi semenjak setaun yang lalu, nenek minta dipindahin ke panti jompo. Gua sering ngunjungin dia di panti, dan di sana gua ngeliat lo pertama kali. "
Buru-buru aku menengadah. Yang benar? Jadi nenek Yuma tinggal di panti jompo tempat Ibuku bekerja? Jadi kemungkinan besar aku sudah mengenal dan akrab dengan nenek Yuma?
" Nenek gua juga sering cerita tentang lo. " Lanjut Yuma. " Dia bilang, ada gadis cacat, anak suster bagian dapur yang baik banget. Dia selalu nemenin kakek-nenek di panti, bikin mereka seneng. Walaupun cacat, dia nggak pernah minder atau malu, malah mukanya kayak malaikat: putih, polos dan cantik. "
Wajahku otomastis memerah mendengar perkataan Yuma ini. Aku tidak tahu kalau kakek-nenek di panti beranggapan seperti itu mengenai aku. Aku hanya merasa diterima dengan baik disana, jadi aku sangat menghargai dan menyayangi semua penghuni panti.
" Gua bukan orang yang bisa disogok sama kecantikan fisik atau materi, atau hal-hal remeh kayak gitu. Gua tau gimana rasanya dianggap anak cacat dari adik gua, dan gua juga tau gimana rasanya nggak mau ngerepotin orang dari nenek gua. Dan itu bikin gua sadar kalau orang nggak bisa dinilai dari fisik. Gua lebih milih mencintai cewek yang cacat fisik dari pada cacat hati. Gua lebih milih lo dari pada cewek kayak Serli. "
Kalian tahu bagaimana rasanya jika sebuah benda panas disiram oleh air dingin? Benda itu akan mengeluarkan asap karena melepas panas secara tiba-tiba lalu mendesis seolah bernapas lega. Itulah yang aku rasakan setelah mendengar penjelasan Yuma tadi. Tiba-tiba semua pikiran jelekku kemarin hilang seketika. Aku memang tolol karena meragukan Yuma, tapi paling tidak sekarang aku tidak perlu bertanya-tanya lagi.
" Jadi lo masih mau nanya lagi seberapa besar rasa suka gua sama lo, atau lo mau tau apa yang bakal gua lakuin buat ngebales Serli? "
Tanya Yuma sambil tersenyum menatapku. Hidungnya tidak semerah tadi, kini dia terlihat lebih sehat. Aku juga ikut tersenyum. Entah bagaimana, rasanya kakiku yang terkilir sudah tidak terasa sesakit tadi. Sepertinya aku sudah kuat berjalan dan buru-buru ingin menunjukkan kepada Serli kalau ternyata Yuma lebih memilih gadis yang cacat fisik dari pada cacat hati, dan gadis cacat itu aku. Hokiku memang bagus dalam percintaan, aku tahu.
" Dua-duanya. " Jawabku dengan gagap seperti biasa.

 
SELESAI

Questions Book ( page 11 )


Ayo, santaikan dirimu sejenak
Lihat, otakmu begitu tegang
Kau butuh menarik napas panjang
Kau butuh memejamkan mata sejenak dan menikmati semilir angin
Ototmu tegang sekali, jantungmu bekerja terlalu keras
Coba perhatikan, senyummu begitu kaku
Tahu kah bahwa kau terlalu cepat tersinggung?
Santai saja…
Semua akan baik-baik saja tanpa perlu menyiksa dirimu sendiri
Manjakan dirimu sendiri, beri waktu untuk hatimu
Ikut aku tersenyum, mari turuti tawaku
Benarkan, kau akan kelihatan jauh lebih ganteng jika tersenyum
Coba lihat aku, tersenyumlah!
Aku ada untukmu, aku bisa membuat senyummu mengembang
Sepertinya itulah gunanya aku untukmu…

 

171009 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 10 )


Aku muak dengan semuanya
Aku lelah terus menerus berangan-angan
Aku sakit menahan semuanya sendirian, bermain dengan perasaanku sendiri
Tolong tanggapi aku
Aku mohon, jangan anggap aku seperti anak kecil
Aku ada dihadapanmu
Aku selalu berusaha ada di sampingmu
Mengingatkanmu tentang keberadaanku, walaupun tak bisa langsung kau rasakan
Aku selalu mengingatkanmu bahwa aku ada
Tidakkah kau sadar?
Ataukah selama ini aku memang bermain dengan perasaanku sendiri saja?
Bisakah kau bersikap sedikit lebih dewasa dan bisa memutuskan apakah aku harus terus berusaha ataukah aku menyerah saja
Ambang batas kesabaranku sudah tersentuh
Aku lelah, aku muak, aku bosan
Aku butuh kepastian
Aku butuh status
Jika iya, maka iya
Jika bukan, ya bukan
Sebegitu sulitnyakah bagimu hanya untuk memutuskan hal itu?
Jangan menggantungku dengan begitu kejam
Lalu kau pergi begitu saja seolah tak terjadi apa-apa di antara kita
Jangan tipu dirimu sendiri
Jangan bodohi hati orang lain
Aku tidak bisa dibodohi, aku tidak bisa di tipu
Tidak dengan hatiku, tidak dengan kebahagiaanku
Bodohi yang lain, asal jangan aku
Tipu wanita lain, asal bukan aku
Tulusku jangan kau sia kan
Hatiku hanya ada satu
Aku berusaha untuk selalu membuatnya berbahagia, bukan malah meluluh lantahkannya
Jangan kacaukan hatiku, jangan hancurkan pertahananku
Jangan uji kesabaranku, jangan biarkan aku menunggu
Jadilah seorang pria sejati dan katakan
Kau ingin aku
Ataukah
Kau tidak ingin aku
Hanya itu saja pilihanmu
Kau tak punya pilihan lain
Karena setelah kau memutuskan satu diantaranya
Maka selanjutnya adalah tugasku
Jadi, ayolah, putuskan sesuatu

 

151009 ~ Black Rabbit ~

…… CERPEN 3 ……


BUKAN CINDERLELA
Aku sedang membaca.

 
... lalu Cinderlela duduk dan mencoba sepatu kaca itu. Semua orang terperangah saat sepatu kaca itu masuk dengan pas kedalam kakinya, tidak kebesaran seperti pada kaki kakak perempuan pertamanya, atau kekecilan seperti pada kaki kakak keduanya. Dan sang Pangeran langsung melamar Cinderlela menjadi istrinya, and they live happily ever after...

 
Kalian tahu cerita ini, kan? Dongeng Cinderlela yang terkenal itu? Kalian juga pasti tahu, bahkan mungkin sudah menghapal diluar kepala, bahwa kisah itu berakhir dengan bahagia, sama seperti dongeng percintaan lain. Tapi apa kalian yakin dongeng ini benar? Apa tidak ada rekayasa di balik cerita ini? Apa benar Cinderlela dan Pangeran akhirnya hidup bahagia selama-lamanya padahal kalian tidak pernah tahu sampai saat ini siapa nama Pangeran itu? Kalau kalian mau tahu, jawabannya: tidak.
Aku perkenalkan: Cindy Armadela, Cinderlela yang sebenarnya. Dia adalah temanku, dan kenapa aku mengatakan bahwa dia adalah Cinderlela yang sebenarnya? Karena kisah Cinderlela adalah kisah hidupnya. Cindy tinggal bersama ibu tiri dan kedua kakak tirinya yang memperlakukannya dengan tidak terlalu baik. Dia juga pergi ke sebuah pesta dansa yang diadakan keluarga besarku yang memang (bukan maksud menyombong) adalah keturunan bangsawan. Dan dipesta itu dia bertemu Martin, sepupuku, pangerannya. Mereka jatuh cinta tanpa ada insiden sepatu kaca karena waktu itu Cindy mengenakan sepatu biasa. Dan tentu saja tidak ada yang namanya ibu peri. Tapi akhir yang bahagia seperti pada dongeng Cinderlela itu tidak ada. Martin dipaksa pergi ke Amerika, ayahnya ingin membuka lahan perkebunan disana sehingga mereka harus berpisah. Jadi lihat? Tidak ada akhir yang bahagia, itu hanya bumbu pemanis cerita dari tukang dongeng.
Satu lagi yang membedakan Cindy dengan Cinderlela adalah kenyataan bahwa Cindy adalah anak tomboi, tidak feminim seperti Cinderlela. Cindy berambut panjang berwarna merah (yang cukup indah, kalau kau tanya pendapatku) tapi rambut itu selalu di ikat ekor kuda. Cindy senang menggunakan pakaian laki-laki, bukan mengenakan gaun panjang dan besar seperti gadis lain. Dia suka tertawa terbahak-bahak dengan mulut membuka lebar, tidak seperti wanita lain yang biasanya hanya akan tersenyum malu atau tertawa di balik kipas. Cindy juga menyukai teater, hal yang biasa dimainkan laki-laki. Dan dia suka memakai sepatu boot, sepatu kaca tidak akan bertahan lama dikakinya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kisah Cinderlela itu kurang otentik.
Dan apa yang membuatku ingin menceritakan hal ini? Ini semua semata-mata hanya karena satu hal: aku telah dengan tidak sengaja jatuh cinta dengan Cinderlela itu. Dengan Cindy, maksudku.
Ini jelas bukan masalah sederhana bagiku. Pertama, kenyataan bahwa Cindy adalah gadis yang dicintai sepupuku tidak bisa dihilangkan begitu saja. Walaupun aku menganggap kalau sepupuku itu telah melakukan kesalahan besar karena meninggalkan Cindy demi perintah ayahnya, ini tetap tidak mengubah kenyataan. Dia bahkan menitipkan Cindy kepadaku, dan ini menambah dilema tersendiri bagiku.
Kedua, mencintai seorang gadis biasa yang bukan dari keluarga bangsawan, yang darahnya tidak biru, yang uangnya tidak menggunung di brangkas kamar mereka adalah hal tabu dalam keluargaku. Kalau ayah Martin hanya memerintahkan Martin untuk pergi ke Amerika demi usahanya memisahkan Martin dan Cindy, maka keluargaku beda. Pikiran mereka lebih kolot, cara mereka lebih kejam. Keluargaku akan dengan rela melakukan sesuatu agar kami tidak hanya akan berpisah, tapi juga akan saling membenci dengan cara yang tidak terduga. Kalian tidak akan percaya kalau ternyata mereka bisa berbuat seperti itu.
Sudah berkali-kali aku mencoba untuk berpikir lebih rasional lagi. Aku tidak bisa jatuh cinta dengan Cindy. Dunia kami berbeda, terlalu banyak hal yang menghalangi. Aku bukan Martin, yang bisa mengacuhkan orang tuanya mengamuk atau orang lain mencibir karena dia telah jatuh cinta dengan seorang gadis biasa. Bukan berarti aku juga peduli dia bangsawan atau bukan, tapi terlalu banyak yang harus diperjuangkan jika kami ingin bersama. Lagipula, Cindy kelihatan sangat mencintai Martin, dia bahkan rela menunggunya selama setahun ini, jadi aku tidak akan pernah bisa jatuh cinta dengan Cindy.
Roy, sahabatku, sudah sering memperingatkan kalau aku tidak boleh jatuh cinta dengan Cindy. Dia bilang Cindy memang gadis yang gampang dicintai orang (mengingat betapa manis dan supelnya dia, aku setuju), tapi Cindy bukanlah calon yang akan membuat orang tuaku langsung menikahkan kami jika kami mengumumkan bahwa kami saling mencintai. Aku setuju itu, tapi semakin aku berusaha mengerti, aku malah semakin menyukai Cindy.
" Ethan! "
Itu dia Cindy. Dia sedang berlari kearahku, mengenakan celana dan sepatu boot seperti biasa, rambutnya masih dikuncir ekor kuda, wajahnya menyeringai. Otomatis, aku juga ikut menyeringai. Dia sampai didepanku, mengibaskan ekor kudanya ke belakang dan sambil terengah-engah berkata:
" Ethan, kau sudah berjanji akan berlatih denganku hari ini, ayo mulai! "
Aku mengangguk lalu Cindy duduk disebelahku dan menyerahkan buku naskah kepadaku. Kami bermain dalam teater yang sama dimana sekarang kami sedang mempersiapkan pementasan untuk dua bulan lagi. Dalam pementasan itu, kami berdua menjadi pemeran utama yang merupakan sepasang kekasih. Kecut juga kalau ingat bahwa kami berdua bisa menjadi sepasang kekasih hanya di dalam teater.
" Kau kenapa? Latihanmu jelek, tidak biasanya seperti ini. " Kataku sambil memandang wajah cantik itu. Dia memang tidak seperti biasanya, dialog yang dibacanya terpatah-patah dan berhenti tidak pada jeda yang tepat. Matanya juga tidak berbinar-binar lagi, seringainya menjadi jarang muncul. Dia menggeleng, aku melotot tidak percaya, dan akhirnya dia tertunduk.
" Boleh aku pinjam punggungmu? "
Matanya langsung berkaca-kaca, air mata malah sudah menetes dan sebelum aku sempat menjawab, Cindy sudah memutar badanku dan menangis dipunggungku.
Mungkin ini salah satu alasan aku jatuh cinta dengannya. Aku melihatnya tertawa, berjuang, bahkan menangis dengan mata kepalaku sendiri. Aku hanyut kedalam perasaannya, berbagi rasa dengannya, sesuatu yang tidak bisa dirasakan Martin, sehingga perlahan rasa peduliku berubah menjadi rasa sayang dan ingin melindungi. Bahkan sekarang aku begitu ingin memeluknya, biar dia bisa membasahi dadaku saja, jangan punggungku.
Cindy perlahan kembali berbalik ke hadapanku, mencoba tersenyum dengan matanya yang sembab lalu berbagi cerita. Dia bilang kalau dia sedang sedih menghadapi keluarga tirinya yang menyebalkan dan dia sedang sangat merindukan Martin. Ini adalah hal lain yang paling menyebalkan dari Martin yang dia sendiri tidak menyadarinya: dia selalu membuat Cindy menangis.
" Kau tahu? Pedih sekali rasanya jika kau sedang sangat membutuhkan seseorang tapi ternyata orang itu tidak ada disana untukmu. Rasanya seperti ada di pinggir jurang tapi tidak ada yang membantumu menyebranginya. "
" Aku tahu. "
" Tidak, kau tidak tahu. " Kata Cindy menyelaku. Dia tidak tahu bahwa perasaan seperti itulah yang aku rasakan terhadapnya. Ingin menggapainya, tapi tidak pernah bisa tergapai.
" Paling tidak, kau masih punya aku. " Kataku lagi yang membuat Cindy tersenyum lepas kali ini, tidak kecut seperti tadi, tidak dengan mata sembab, tapi benar-benar tersenyum.
" Itulah istimewanya kau dimataku. Kau selalu ada saat aku membutuhkanmu. Kau sudah menjadi lebih spesial dari pada Martin di hatiku. "
Cindy menatapku agak lama, mata ke mata, tapi aku malah menangkap sesuatu yang lain dari mata itu. Dia berpaling lalu berkata lagi:
" Aku mau cuci muka dulu, sekarang pasti terlihat lebih kusut dari pada tadi. "
Dia berbalik. Tapi entah sedang berpikir apa, aku malah menahan kepergiannya dengan memegang lengannya dan langsung menariknya kepelukanku lalu menciumnya. Cindy kelihatan kaget sekali, tapi dia tidak mendorongku, dia membiarkan aku menciumnya selama hampir semenit lalu baru dia mendorongku. Matanya jadi lebih berkaca-kaca lagi.
" Kau! Apa-apaan sih? " Cindy memelototiku dengan mata berkaca-kacanya lalu pergi. Aku yang baru saja sadar, sekarang panik mengejarnya sambil berteriak-teriak.
" Cindy! Cindy, aku minta maaf! "
Aku berhasil meraih tangannya dan menariknya berhenti.
" Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menciumku? Apa yang kau pikirkan? "
" Aku minta maaf, tapi aku menciummu dengan sepenuh hati! Aku menyukaimu, Cindy. Aku menyayangimu. Mendengar keluh kesah dan senyum ceriamu malah membuatku tambah menyukaimu! " Aku tidak bisa berpikir, aku hanya bisa berbicara tanpa berpikir.
" Tapi aku pacar sepupumu! "
" Aku tahu. "
" Lagipula-lagipula, kita tidak akan bisa bersatu, derajat kita jauh berbeda, orang tuamu hanya akan membencimu seumur hidup! "
" Tapi aku menyukaimu! "
" Aku juga! " Aku langsung terdiam. " Iya! Aku juga menyukaimu, Ethan, tapi aku tidak bisa bersamamu. Kita berbeda, aku tidak mau kau berkorban untukku, cukup aku dan Martin yang merasakan susahnya pengorbanan itu! Jangan menciumku lagi. Jangan menciumku lagi dan menyesalinya nanti. "
Cindy pergi, kali ini aku tidak bisa menghentikannya. Dia sadar dengan cintaku dan sekaligus dia sadar dengan keadaan keluargaku, itu membuat kakiku tidak bisa bergerak. Kami terlalu berbeda dan dia tahu itu. Dia bahkan tidak ingin aku dibenci orang tuaku seumur hidup. Pikiran kami sama, tapi cinta kami ternyata tidak sejalan.
Sebulan kemudian Martin pulang, menikahi Cindy tanpa perduli dengan orang tuanya dan membawa Cindy ke Amerika. Mereka hidup bahagia selama-lamanya disana.
Sial, ternyata dongeng itu memang berakhir dengan bahagia.

 
# # #

 
Suara tepuk tangan bertalu-talu menggema memantul di ruangan luas itu. Aku tersadar dari lamunan kilatku karena sebuah tangan menarik lenganku dan membawaku ke tengah panggung yang sedari tadi aku naiki. Sudah ada sederet orang ditengah panggung itu, semua mengenakan kostum abad pertengahan dengan make up tebal. Kami semua membungkuk ke arah penonton yang masih saja bertepuk tangan, naik lagi, lalu satu per satu kembali ke belakang panggung.
Dibelakang panggung, situasinya tidak kalah meriah. Walaupun tidak banyak dipenuhi orang, semuanya ikut bertepuk tangan sehingga para pemain satu per satu membungkuk lagi dengan lebih santai dan menyengir lebar.
" Bangus banget, Lan. Lo mainnya bagus banget. "
Seseorang menepuk punggungku dan saat aku berbalik, aku menemukan Mas Agus, sutradara drama teater yang baru saja selesai aku mainkan tadi. Aku menggumamkan terima kasih dengan lemah.
Kalau yang tadi hanya pementasan teater, maka inilah yang sebenarnya: aku adalah Alan, seorang pemain teater yang baru saja selesai mementaskan sebuah drama dengan sangat sukses kalau dilihat dari sambutan penonton tadi. Drama teater yang kalian saksikan tadi berjudul 'Bukan Cinderlela' yang menceritakan _seperti yang kalian ikuti tadi_ mengenai seorang laki-laki keturunan bangsawan yang mencintai gadis bernama Cindy yang kisah hidupnya mirip dengan kisah Cinderlela. Dan Cindy adalah pacar sepupunya sendiri.
Secara sangat kebetulan, drama teater ini memang menceritakan kisahku yang sebenarnya. Aku sama dengan Ethan _nama tokoh yang aku perankan dalam drama teater ini_ yang (memang) menyukai seorang gadis bernama Cindy _yang dalam kehidupan nyataku bernama Dwi. Dwi sama seperti Cindy. Dia adalah gadis tomboi yang cantik dan sama seperti Cindy _yang juga sangat disayangkan_ Dwi juga sudah punya pacar. Nama pacarnya adalah Ben, yang untungnya bukan sepupuku. Dwi tidak tinggal bersama keluarga tirinya, dia tinggal dengan kedua orang tua kandungnya yang sangat menyayanginya.
Jadi sebenarnya yang kisah hidupnya sangat mirip dengan cerita itu, bahkan nasibnya pun sama, adalah aku dan Ethan.
Setelah membersihkan semua make up di wajahku, setelah mengganti baju dengan baju biasa milikku sendiri dan setelah memastikan handphoneku sudah aman di dalam tas, aku melangkah keluar dari ruang ganti untuk pulang dan beristirahat. Ditengah jalan, tepatnya di depan pintu keluar, jalanku terhenti karena aku melihat Dwi disana. Tampaknya dia ingin pulang juga tapi terhenti oleh seorang laki-laki tampan yang menyodorkan serangkaian bunga kepadanya. Itu Ben, pacarnya. Dwi menerima bunga itu sambil tersenyum manis lalu dia merangkul pacar gantengnya dan mereka berjalan beriringan keluar.
Aku terpaku ditempatku, tidak sedang memikirkan apa-apa, hanya tiba-tiba ingat dialog yang dibacakan Dwi saat dia sedang berakting di atas panggung sebagai Cindy bersamaku tadi.
" Pedih sekali rasanya jika kau sedang sangat membutuhkan seseorang tapi ternyata orang itu tidak ada disana untuk kita. "
Aku mengangguk untuk diriku sendiri. Benar juga, seperti berada di pinggir jurang tapi tidak ada orang yang mau membantu menyebranginya, kataku kecut di dalam hati. Sambil tersenyum pahit mengejek kemalangan nasib kisah cintaku sendiri, aku melanjutkan langkahku keluar dari gedung teater untuk menyongsong hari-hariku yang lain yang masih tetap tidak ada Dwi-nya ataupun Cindy-nya.

 
SELESAI

Questions Book ( page 9 )


Kenapa?
Disaat aku sedang lemah, dia tidak bisa menguatkanku?
Menarikku dari jurang kesedihan yang tidak berpangkal
Kenapa?
Waktu aku sedang tidak berdiri tegak, dia tidak bisa membangkitkanku?
Seolah aku tidak boleh layu seperti orang lain
Kenapa?
Ketika aku sedang sangat membutuhkan seseorang, dia tidak bisa menemaniku?
Sehingga sosoknya yang selalu berada disampingku terasa begitu asing
Kenapa?
Sewaktu aku butuh belaian, dia tidak bisa membelaiku?
Membuatku menjadi seseorang yang sangat haus belaian melebihi seekor kucing rumah?
Kenapa?
Saat aku sedang membutuhkannya, dia malah menjauh dariku?
Seolah aku adalah makhluk asing yang baru ditemuinya di pinggir jalan
Pedih sekali merasakan hal itu
Hal yang mati-matian aku sangkal
Hal yang aku pikir sangat tabu aku lakukan di depannya
Aku harus selalu tampil sebagai seorang wanita tegar
Setegar batu karang, sekuat pohon besar, sebuah panutan tanpa kenal lelah
Tapi aku juga manusia
Aku juga merasakan lelah
Aku tahu bagiamana rasanya sedih
Aku juga bisa jatuh
Tidak selamanya aku bisa berdiri tegak
Selama ini aku selalu berusaha terlihat tegar dan tegak
Cenderung memaksakan diri malah
Karena aku tidak mau orang lain melihat kelemahanku ini
Tapi aku hanya manusia biasa
Yang bisa merasakan segala kesedihan
Dan kau yang aku kira adalah buku harianku malah tidak mau menampung keluh kesahku
Aku serasa dikhianati
Merasa ditolak oleh penjaga rahasiaku
Orang yang aku kira paling tahu sosokku dibalik topeng ketegaran itu
Tapi ternyata aku dikhianati
Apakah aku tidak boleh merasa lelah?
Walaupun sebentar?
Walaupun hanya sejenak?
Bolehkah aku sedetik saja meminta kerelaanmu untuk membahagiakan kesedihanku?
Mengubah kedudukan, aku menjadi orang yang didukung dan kau pendukungnya
Bukan sebaliknya, kau menjadi orang yang didukung dan aku pendukungnya, seperti selama ini
Aku bosan harus mengingatkanmu terus kalau aku hanya manusia biasa
Kau selalu lupa itu
Kau selalu lupa bahkan untuk benar-benar mencerna semua teriakanku
Teriakan hati kecut seorang manusia biasa yang bertingkah aneh, seperti ini.

 
230806 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 8 )


Aku tidak tahu
Apakah yang akan aku lakukan ini adalah hal yang benar ?
Atau tidak…
Aku bingung
Aku takut…
Rasanya semua ancaman ada si hadapanku
Kiriku adalah pisau
Kananku adalah jurang
Belakangku pedang
Depanku kapak
Aku akan tetap terluka, tak perduli jalan mana yang akan aku pilih
Jadi aku harus bagaimana?
Aku tidak ingin terluka
Tapi aku tidak bisa diam saja di tempatku saat ini
Aku harus bergerak, melangkah
Tak ada alasan apa pun
Bagaimana ini?
Apa yang harus aku lakukan?
Apa?
Aku bingung, dan takut, dan kalut, dan sekarat, dan menderita
Aku… tidak tahu bagaimana caranya menyelamatkan diriku sendiri…

 

121009 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 7 )


Ternyata aku mengeluhkan hal yang sama dengan semua manusia biasa lainnya
Apa yang akan terjadi?
Kenapa ini terjadi?
Bagaimana itu bisa terjadi?
Mengapa semua harus terjadi?
Sepertinya hidup hanya ada untuk dipertanyakan
Tanda tanya menjadi sebuah mimpi buruk
Karena tanda tanya itu meminta jawaban
Dan kacaunya, sang jawaban tidak bisa ditemukan dimanapun
Aku sudah mencarinya dikaki langit
Aku berusaha menemukannya di atas awan
Aku bahkan menyelam ke dasar bumi
Tapi aku tidak menemukannya
Dimanapun, aku tidak bisa menemukannya
Dan ternyata, aku lupa untuk mencarinya di dalam hatiku
Aku sudah mati-matian mencarinya, ternyata aku malah menemukannya dekat di dalam hatiku!
Sialan!
Semuanya berusaha mempermainkanku, ya?!
Kenapa tidak ada satu orang pun yang mau memberitahuku sejak awal?
Tidak ada satu orang pun yang mau memperingatkanku!
Semua kejam!
Mereka membiarkanku menutup telinga dan mataku sekaligus!
Tapi tunggu dulu
Bukankah aku sendiri yang menutup mataku?
Bukankah aku sendiri yang menyumbat telingaku?
Aku membangun tembok disekitarku dengan tanganku sendiri!
Gawat!
Aku menipu diriku sendiri
Aku membutakan mataku sendiri
Dan aku malah menyalahkan mereka?!
Ya ampun…
Sebegitu parahnyakah diriku?

 
180806 ~ Black Rabbit ~

…… CERPEN ……


SERIGALA
Aku tersentak kaget saat melihat jarum jam di dindingku sudah menunjuk ke pukul dua belas tengah malam, tapi tak sedetik pun mataku ingin istirahat. Sekarang aku hanya bisa duduk di sudut jendela kamarku, menatap langit yang hitam dan putihnya bulan purnama. Aku sadar kalau tubuhku mengalami perubahan yang sangat tidak seperti biasanya.

 
Kejadian itu aku alami sejak terjadi gerhana bulan total yang lalu. Saat itu tiba-tiba tubuhku terasa dialiri api dan listrik secara bergantian. Aku sangat terkejut tapi tidak bisa melakukan apa-apa selain memasrahkan diri. Keadaan itu hilang kira-kira tiga puluh menit kemudian dan untuk beberapa saat aku bisa sedikit tenang.
Dua hari setelah kejadian itu, tiba-tiba tubuhku bergetar dengan perasaan yang sama. Aku makin terkejut ketika aku sadar ternyata muncul sepasang telinga dan mata serigala menggantikan telinga dan mata manusiaku. Aku menjerit lalu terjatuh pingsan, dan paginya saat aku bangun, aku merasa lega melihat telinga dan mataku sudah kembali seperti semula.
Kejadian yang menakutkan itu terjadi lagi. Dua hari selanjutnya saat aku sedang asik mengerjakan tugas fisikaku, tubuhku terasa bergetar lagi. Telinga dan mataku berubah menjadi telinga dan mata serigala. Tapi sekarang tiba-tiba mulut dan hidungku berubah menjadi mulut dan hidung serigala. Lagi, akhirnya aku hanya bisa memasrahkan diri sambil menjerit kesakitan dan pingsan.
Seminggu kemudian aku sudah tenang kembali dan menganggap bahwa segala sesuatu yang aku alami beberapa hari yang lalu hanyalah mimpi. Tapi malamnya aku merasakan lagi getaran yang sama. Kali ini tubuhku dipenuhi bulu-bulu serigala yang kasar dan jari-jari kaki kesayanganku mulai berubah menjadi cakar dan sangat berbulu. Aku berteriak dan mencoba memberontak, tapi anehnya suaraku tak keluar. Aku malah mengaung bagaikan seekor serigala betina.
Tepat dua puluh hari setelah gerhana bulan total waktu itu, aku mengalami getaran itu lagi. Kali ini ketakutanku luar biasa besarnya. Sekarang aku yakin bahwa semua ini benar-benar bukan mimpi buruk, melainkan suatu kenyataan yang sangat tidak terduga. Lama kelamaan secara perlahan-lahan tubuhku semakin menunduk dan aku berubah menjadi seekor serigala sempurna. Saat itu aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Aku rasanya baru saja bangun dari tidur yang panjang dan merasa sangat lapar. Aku langsung meloncat keluar dari jendela dan pergi, lalu aku lupa segalanya.
Paginya aku bangun dengan mata yang terbuka lebar. Badanku serasa ringan dan perutku kenyang. Aku terkejut saat melihat piyamaku yang terkoyak-koyak di sisi jendela dan aku tidur berselimut tanpa mengenakan busana. Apa yang aku lakukan tadi malam? Aku melangkahkan kaki keluar ketika beberapa menit yang lalu aku mandi dan menenangkan diri. Langsung aku duduk di salah satu kursi meja makan, mengambil koran yang tergeletak disebelahku dan membacanya perlahan.

 
' Seorang pria tewas mengenaskan di pelataran parkir gedung Jasa Raharja. '

 
Aku terperanjat kaget lalu meneruskan bacaan itu.

 
' Korban meninggal dengan tubuh yang terkoyak-koyak seperti gigitan serigala. '

 
Lagi-lagi aku terperanjat kaget. Aku berusaha membuka sisa ingatan yang ada di otakku dan aku termenung. Apa sebenarnya yang aku lakukan kemarin malam?
Hari-hari berlalu dan setiap malam yang aku ingat hanyalah tubuhku yang lagi-lagi berubah ke wujud serigala. Tapi hari-hari perubahanku itu selalu disertai dengan berbagai kejadian pembunuhan yang mengenaskan. Dan anehnya, semua korban sepertinya dikoyak-koyak oleh taring serigala. Itukah yang aku lakukan selama ini?
Dua hari berikutnya aku berpapasan dengan kakek tua di daerah hutan belakang kota. Rupa kakek itu sempat sangat mengagetkanku saat kusadari bahwa tubuhnya menyerupai serigala. Aku sempat mundur beberapa langkah, dan segera pergi meninggalkan kekek itu sendirian sesaat setelah kakek itu itu berkata:
" Kamulah serigala cantik yang aku cari selama ini. "
Mulai saat itu aku menyelidiki asal usul keluargaku. Aku ingin mengetahui apakah benar aku hanya seorang gadis yatim piatu biasa ini ternyata adalah keturunan serigala jadi-jadian? Aku mengetahui informasi ini dari seseorang yang meneleponku dengan suara yang tak asing_terdengar seperti suara kakek tua waktu itu_yang mengatakan bahwa aku adalah keturunan dari seorang serigala jadi-jadian. Aku berkeliling bertanya kepada orang-orang yang aku yakini tahu tentang almarhum keluargaku. Dan ternyata itu benar. Kakek buyutku dulu adalah seorang serigala legendaris yang sangat disegani oleh serigala lain. Begitupun ayah dan ibuku. Karena jarang terdapat serigala murni berdarah serigala, dengan kata lain tak ada campuran dari darah manusia biasa, maka serigala berdarah murni itu sangat unik dan berharga. Ada legenda yang mengatakan bahwa jika lahir seorang serigala yang berdarah murni, maka jika jantan akan mendapatkan kekuasaan sebagai raja dari segala serigala, sedangkan jika betina akan menjadi seekor serigala wanita yang sangat berbahaya.
Sore menjelang malam lima hari berikutnya, aku sedang terburu-buru pulang kerumah sebelum matahari terbenam. Aku jelas tidak mau berubah menjadi serigala di tengah jalan dan dihadapan orang-orang banyak, karena itu aku tak menyadari bahwa aku diikuti oleh orang asing. Aku sampai di rumah tepat pada waktunya. Beberapa langkah setelah aku masuk ke kamar, tubuhku bergetar cepat dan panas lalu perlahan-lahan seluruh tubuhku berubah menjadi serigala jadi-jadian yang sangat lapar. Aku langsung melompat keluar.
Beberapa menit kamudian saat aku masih berjalan berkeliling dengan hati-hati untuk mencari mangsa_entah kenapa aku sudah bisa mengingat semua yang aku lakukan kali ini_tiba-tiba aku dikagetkan dengan seseorang yang menendangku dari belakang. Aku langsung berpaling dan membelalakkan mata serigala milikku.
" Kau takkan bisa lari lagi! "
Aku melihat sekelilingku, ternyata aku telah dikepung oleh sekelompok wanita dengan berbagai macam senjata di tangan mereka masing-masing. Mereka terlihat sangat berhasrat untuk menghabisiku. Tiba-tiba salah satunya mulai menyerangku dilanjutkan dengan yang lainnya, sambil berteriak:
" Serigala legendaris harus segera dimusnahkan demi terciptanya kedamaian dan keamanan dunia! "
Aku berusaha melawan dengan sekuat tenaga, tapi alangkah sialnya nasibku, ternyata kekuatanku tak dapat membendung serangan bertubi-tubi dari kira-kira sepuluh orang wanita tadi. Dan saat jantungku terasa ditusuk oleh benda tajam dan dilanjutkan dengan tusukan bertubi-tubi ke arah hati dan sekujur tubuhku, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri... untuk selamanya.
Sementara itu disalah satu sudut kota itu, si kakek tua berwajah serigala waktu itu mendesah panjang lalu berkata lirih:
" Sebenarnya aku sudah berusaha mengingatkanmu tentang keberadaan para pembasmi serigala itu dan menyuruhmu untuk berhati-hati. Tapi sepertinya itu sudah terlambat. "
Kakek tua itu hanya menggelengkan kepala lalu berbalik badan dan beranjak pergi.

 
Dan sekarang disinilah aku, berdiri disudut jendela kamarku dengan tubuh melayang yang tak bernyawa.
# # #

 
Aku benapas lega. Sebuah beban yang cukup berat diatas kepalaku segera kulepaskan dan aku tersenyum.
" Bagaimana nyonya? " Sebuah suara menyambutku.
" Luar biasa sekali. Semuanya benar-benar terasa nyata. "
" Kaca mata virtual ini memang di desain agar dapat menjangkau alam bawah sadar manusia. Bahkan kaca mata ini bias menyajikan cerita sesuai keinginan sang pemakai. Anda merasakan semua getaran dan bahkan perasaan hati sang tokoh bukan, nyonya? "
" Ya… Tokoh tadi memang figur tokoh yang aku inginkan. "
" Ya! Bahkan jalan ceritanya pun sesuai dengan keinginan sang pemakai. Hanya dengan memikirkannya saja, secara otomatis kaca mata virtual ini akan mengembangkan cerita tersebut sesuai dengan keinginan anda. "
" Fantastis! Hanya dengan kaca mata ini aku bisa menjadi seorang serigala yang tak memiliki tulang rapuh seperti ini. "
Kami berdua tertawa. Tak lama seorang wanita muda masuk menghampiriku.
" Terima kasih atas acara nontonnya. "
" Sama-sama, nyonya. "
Aku beranjak meninggalkan ruangan itu dengan perlahan dibantu cucuku_wanita muda yang datang tadi.
" Zaman benar-benar sudah berubah. Untung aku masih ada sampai tahun 2013 ini, kalau tidak tentu aku takkan pernah merasakan teknologi secanggih itu. "
Cucuku tersenyum mendengar perkataanku, lalu berkata:
" Ayo nek, kita pulang. "

 

 
SELESAI

Questions Book ( page 6 )


Aku bukan anak kesayangan
Kalau aku anak kesayangan, maka bapa tidak akan membiarkan aku menderita begini
Aku akan dimanja, diperhatikan dijaga agar tidak luka atau cacat sedikitpun
Aku tidak akan dibiarkan menangis
Aku akan dijaga bak gelas kristal yang rapuh
Tapi buktinya aku merasakan penderitaan itu
Aku dibiarkan menangis
Aku dibiarkannya merasakan perihnya duri
Bapa begitu ingin melihatku terpuruk
Rasanya adalah kesalahan besar kalau aku merasa bahagia
Dia tidak pernah membiarkanku terbang dan merasa sesuatu yang disebut tenang
Dan jika aku mengeluh, maka tuduhan yang aku terima
Orang lalim, tidak tahu diri, pendosa, orang akan mencaciku seperti itu
Mereka akan menyorakiku, menuduhku anak yang durhaka karena ingat bapanya kalau sedang dirundung masalah saja
Tapi mereka tidak tahu bagaimana syukurku saat menemukan kebahagiaan yang secuil itu
Diriku sendiri kadang tidak sadar kalau aku pernah bersyukur
Bapa begitu senang melihatku menangis
Apa aku sebegitu pendosanya sehingga hukuman yang pantas untukku hanyalah penderitaan?
Apa salahku sehingga aku harus merasakan kepedihan ini?
Apa semua perjuanganku untuk berbuat baik tidak berarti apa-apa?
Mengapa masalah begitu senang mengikatku dan menusukkan semua durinya disekujur tubuhku?

 
040806 ~ BlackRabbit ~

Questions Book ( page 5 )


Ada yang bisa bantuin aku nggak?
Hatiku lagi sendu nih
Rasanya ada semacam syndrome mematikan yang merenggut kebahagiaan
Merampas kerinduan tersembunyi yang selama ini bertengger manis ditempatnya
Syndrome itu tahu benar bagaimana menggugah rasa pilu paling dalam
Penyakit ini tahu benar bagaimana mengingatkanku tentang sebuah warna yang hilang di puzzle hatiku
Bagaimana ini?
Rasanya aku ingin menjerit
Aku ingin berteriak agar dia tahu kalau aku sedang memanggilnya
Mungkin ini yang namanya rindu
Kalau sanggup, aku akan menemukan jalan apa pun agar bisa menemuinya
Ini namanya syndrome cinta
Cinta yang salah atau benar
Cinta itu tidak tahu dan tidak mau tahu
Cinta hanya tahu bagaimana merasa
Cinta hanya tahu bagaimana merindu
Hanya saja bumbu cinta itu yang membuat rasa pedih
Membuat rasa gundah menyeruak ke permukaan dan membuatku ingin berteriak
Syndrome itu membuatku gila
Cinta itu juga yang membuatku gila
Aku harus bagaimana?
Aku lupa pengobatannya
Gawat, aku bakal mati kalau begini terus!

 
010806 ~ Black Rabbit ~

Stupid Rapunzel…


Tahukah kau bahwa ada sebuah dongeng yang menceritakan mengenai seorang putri yang dikurung oleh seorang penyihir jahat di atas sebuah menara yang sangat tinggi. Sang penyihir memenjarakan putri itu agar tidak ada satu orang pun yang bisa menemui putri itu dan mengganggunya kecuali sang penyihir itu sendiri. Jika sang penyihir ingin mengunjungi putri itu untuk membawakannya makanan atau hanya sekedar mengecek situasi, sang putri akan menjatuhkan gulungan rambutnya yang sangat panjang ke bawah menara melalui jendela agar sang penyihir bisa memanjat naik. Jadi begitulah, sang putri tidak pernah turun dari menara dan terbelenggu di sana sampai suatu saat ada seorang pangeran yang secara tidak disengaja ataupun tidak menemukan menara itu, jatuh cinta kepada sang putri, membunuh sang penyihir dan membebaskan sang putri. Tamat, akhir yang bahagia, habis perkara.
Tapi bagiku, perkaranya tidak hanya sampai disini saja.
Aku ingin sekali mencari dimana letak menara tinggi itu. Aku tidak perduli jika ternyata masih ada sang penyihir jahat di dalam menara itu, aku juga tidak perduli dengan ada atau tidak adanya pangeran yang akan menyelamatkanku dari atas menara itu. Aku tidak butuh semua itu, yang aku butuhkan dan sangat aku inginkan hanyalah berada di atas menara itu, sendirian, tanpa gangguan, jauh dari jangkauan orang lain.
Baru kali ini aku merasa begitu ingin menyendiri. Selama ini aku selalu takut sendirian, seolah kata itu dapat menelanku dan menjauhkanku dari segala hal yang bisa menenteramkan. Kesendirian sepertinya mampu membunuhku dengan perlahan dan begitu meyakitkan. Menjauhkanku dari harapan, dukungan dan perhatian yang menenteramkan hati. Tapi kali ini aku rasa aku bisa menerima sedikit kesendirian, bahkan aku rela berada di menara tinggi itu sendirian untuk beberapa waktu, karena aku harus merenung.
Apa yang akan aku renungkan?
Aku sendiri juga tidak yakin.
Oke, mari kita sederhanakan pertanyaan-pertanyaan itu terlebih dahulu.
Apa yang membuatku ingin merenung?
… cinta…
Ada sebongkah cinta yang telah mempengaruhiku dengan sedemikian rupa sehingga berhasil membuatku melakukan hal-hal yang selama ini aku pikir tidak akan pernah bisa aku lakukan sebelumnya.
Memangnya apa yang telah aku lakukan?
Aku sempat berupaya membuka hatiku untuk orang lain dan bahkan rela menuruti apa yang diinginkannya untuk sekedar mencoba bagaimana rasanya mencicipi hati orang lain. Padahal aku sama sekali tidak mengenal orang itu. Iya, aku tahu, aku memang bodoh. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan kalau aku sudah merasa seperti terhipnotis oleh sesuatu yang sangat kuat yang dinamakan cinta? Cinta semu, cinta sesaat, cinta gorilla, entah apa istilah yang tepat untuk menyebutnya. Seharusnya aku ingat sebuah nasihat yang mengatakan bahwa tidak baik berbicara dengan orang asing, apa lagi mudah dipengaruhi olehnya.
Ya sudahlah, apa lagi yang bisa aku lakukan? Semua itu sudah terjadi.
Dan apa hasil yang aku dapatkan?
Aku tidak mendapatkan apa-apa.
Setelah semua pengorbanan yang telah aku lakukan, setelah semua keinginannya aku turuti, setelah setiap jalan yang diinginkannya aku ikuti telah kujalani, yang aku dapatkan hanyalah ucapan terima kasih.
Oh, kau menyebutnya sebuah pertemanan.
Aku mengisi hatimu saat kau merasa kosong tapi lalu harus segera pergi dari kedudukan itu saat sebuah kesempatan besar pengisi hatimu yang 'kosong' datang di depan matamu. Kedengarannnya seperti ban serep.
Sial!
Dan yang lebih memuakkan lagi adalah kenyataan bahwa aku tidak boleh mengeluh, mengumpat atau bahkan mengundurkan diri, karena tanpa sadar aku telah menyetujui semua syarat-syarat itu saat aku memutuskan untuk mengikuti jalan yang disediakannya. Sepertinya aku telah menandatangani kontrak bunuh diriku sendiri, tanpa aku sadari.
Ya Tuhan, ini semua adalah ulahnya. Tak tiknya begitu jitu sehingga apa pun yang akhirnya dia pilih semuanya akan berdampak bagus bagi dirinya sendiri. Peduli setan dengan nasibku, apa pedulinya dengan nasib orang lain.
Aku tahu, seharusnya aku sudah menyadarinya dari awal. Bodoh.
Jadi seharusnya aku tak perlu sebegini terpuruk dan menderita, karena… aku juga sudah mengatur strategiku sendiri, bukan? Ingatkah kau bahwa sebongkah cinta yang lain selalu siap untukmu, untuk memuaskan keserakahanmu atas cinta dan kasih sayang? Iya, benar juga. Bahkan cinta itu jauh lebih besar dan jauh lebih dalam juga jauh lebih membahagiakan bagiku. Cinta yang nyaris selalu berkobar dan tak pernah padam atau bahkan meredup. Jadi tak perlu bergaul dengan kecemburuan, lupakan khayalan tingkat tinggimu, ambil saja cinta itu.
Memang beginilah akhirnya. Dari awal memang akan menjadi seperti ini.
Aku meletakkan sisirku di atas meja dan merasakan semilir angin yang bertiup dari jendela yang juga adalah pintu masuk menara tinggi itu. Bayangan wajahku yang dipantulkan cermin di hadapanku kelihatan sulit untuk di tebak. Seperti gabungan antara raut wajah sedih, pasrah dan kecewa juga tenang membaur menjadi satu.
" Hallo, my princess… "
Itu dia pangeranku. Dia datang menemuiku untuk menyelamatkanku dari menara tinggi ini. Lihat, dia tidak perlu naik menggunakan gulungan rambut panjangku, aku juga tidak perlu berteriak dengan begitu keras untuk meminta tolong. Dia datang begitu saja, seolah tahu bahwa aku sedang berada dalam bahaya dan segera butuh pertolongan.
Tentu saja, dia kan memang pangeranku.

 
200809~Black Rabbit~

Questions Book ( page 4 )


Kenapa sih hidup selalu punya beban?
Kenapa kita harus merasakan sesuatu yang dinamakan beban?
Kenapa kita harus merasakan ada sebuah bongkahan batu besar bertengger di atas bahu?
Membuat kaki terasa lebih berat lagi
Sehingga bernapas saja rasanya seperti di cekik
Dan kenapa bongkahan itu begitu senang berada di sana, tidak berniat untuk pindah, atau turun untuk beristirahat sejenak?
Kenapa bongkahan itu seperti patung yang tegak berdiri tanpa kenal lelah dalam keadaan apa pun?
Kalau begitu, bahuku adalah pondasinya
Yang diwajibkan untuk menanggung semua beban itu tanpa mengeluh
Tapi kan aku juga manusia
Bukan batu, bukan pondasi_tadi itu hanya perumpamaan
Aku kan bisa mengeluh lelah
Soalnya aku memang lelah
Aku bukan orang munafik yang berkata tidak merasa lelah, padahal bulir keringat sudah mengisyaratkan lelah itu tanpa perlu kata-kata
Intinya, aku bisa merasa lelah
Masalahnya sekarang, pantaskah aku mendapatkan waktu istirahat?
Waktu untuk menarik napas
Atau hanya sekedar menyeka peluh?
Ini bukan zaman rodi lagi
Buruh paling hina pun berhak mendapatkannya
Jadi apakah aku, yang katanya adalah domba kesayangan, juga diberi kesempatan yang sama?
Mungkin tidak
Mungkin hak itu bukan untuk domba gadungan
Domba gadungan itu aku
Merasa diri sebagai domba, padahal hanyalah kambing hitam biasa
Jadi kesempatan itu tidak diberikan kepada kambing penipu
Sudahlah
Kambing atau bukan, damba atau apalah
Yang jelas aku ini hanya sedang merasa lelah
Suatu kewajaran, yang walaupun begitu relative tetap saja dianggap sebuah kewajaran
Yang jelas aku ini hanya pembual, penuntut, penjahat, perusak, pembuat onar
Biasanya orang macam ini harus di hukum
Hukum saja
Mungkin itu jalan paling baik bagiku, bagi kalian, bagi semua.

 
310706 ~Black Rabbit~