SAHABAT DINGINKU


Melamun bukanlah aktifitas yang pantas dilakukan, apalagi di dalam Mal, di tempat keramaian seperti ini. Bukan hanya suasana Mal tidak pernah sepi sehingga bisa sangat mendukung untuk dijadikan tempat perenungan, tapi juga karena Mal memang bukan diperuntukkan untuk merenung. Mal ada untuk berinteraksi bagi orang lain, tempat untuk bersenang-senang, menghilangkan stress dengan berbelanja atau menghabiskan uang dengan cara apa pun. Semua orang tahu itu. Tapi ada satu hal yang tidak diketahui orang lain, bahwa ada satu tempat dimana merenung adalah aktifitas yang paling tepat dilakukan di sana. Dan hebatnya, tempat itu berada di dalam salah satu Mal paling besar dan terkenal.
Tempat itu dingin, bukan hanya karena pengaruh pendingin ruangan, tapi juga karena ada hamparan es di bawahnya yang nyaris selalu tidak pernah sepi oleh para peminat dan penikmat olah raga rumit itu. Dan tidak ada kursi yang diletakkan di sekitar tempat itu karena pihak Mal memang tidak ingin membuat orang lain begitu kerasan untuk berlama-lama di situ tanpa mengeluarkan sepeser pun uang di sekitar tempat makan itu. Tapi buatku, semua kekurangan itu tidak mengendurkan niatku untuk berada di sana. Berdiri menyandar di pinggir pagar, memandangi hamparan es yang penuh dengan aktifitasnya sendiri tanpa perduli dengan hawa dinginnya atau orang lain.
Hanya di sana aku bisa merasa tenang, merenung di antara hiruk pikuk Mal dengan pikiranku sendiri, menikmati dinginnya hamparan es itu dan diam-diam berharap agar hawa dinginnya bisa membekukan air mataku yang sering kali menetes. Merasa seolah-olah hamparan es itu adalah hatiku yang beku dan mulai mencair gara-gara tergores sepatu ski. Bukan hamparan es yang seperti hatiku itu yang membuatku menangis, tapi sepatu-sepatu ski itu. Yang menari-nari dengan begitu indahnya di atas hamparan es hatiku tanpa perduli goresan-goresan yang ditimbulkannya.
Tempat itu memang sering kali membuatku menangis. Entah karena duri kehidupan, jerat cinta yang penuh keegoisan atau karena kerangkeng hidup yang menyesakkan. Aku bahkan merasa bahwa tempat itu, titik di mana aku selalu berdiri berlama-lama di sana, selalu di titik yang sama tanpa aku sadari, adalah sahabatku. Dan sekali aku berada di sana, aku bertekad untuk bisa menikmatinya sebelum tempat itu berubah menjadi tempat lain yang tidak aku kenal. Tempat makan baru yang lebih modern dan nyaman untuk bisa menarik setiap orang agar mau membayarkan sejumlah uang, mungkin. Tapi yang jelas, tempat itu tidak akan senyaman seperti sebelumnya, sedingin sahabatku.
Aku sedang berharap untuk bisa berada di sana. Saat ini, detik ini juga.
Aku sedang merindukan suasana dinginnya, hiruk pikuknya, lelehan air mataku yang tidak perlu aku sembunyikan ataupun membuatku malu.
Karena aku sedang ingin menangis.
Aku sedang kecewa, bimbang dan bingung karena cinta. Bukan karena cinta yang selama ini sudah kurasakan dan kunikmati sarinya, tapi justru karena cinta yang lain. Ini adalah cinta yang membuatku tolol, yang menawarkannya kepedaku dengan begitu menggebu-begu tapi juga menjauhiku seolah kau makhluk menjijikan pada hari yang lain. Jujur saja, aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya dan ini membuatku bingung untuk memilih. Cinta yang ini menyusup pelan-pelan dari bawah pintu, dari celah-celah jendela, seperti pencuri di malam hari. Dan aku yang memergokinya bukannya berteriak sekencang-kencangnya dan berlari sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri, tapi aku tidak melakukan apa-apa. Seperti anak gadis yang pasrah menghadapi seorang penjahat yang akan memperkosanya.
Itu karena caranya menyusup begitu lihai. Pelan tapi pasti jejak langkahnya meninggalkan bekas mendalam di tepian pantai hatiku dan itu bahkan membuat arti dirinya semakin tidak bisa diabaikan bahkan oleh otakku sendiri.
Apa yang terjadi padaku?
Ah bukan, mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah: apa sebenarnya yang diinginkannya?
Dia tahu keadaanku. Aku tahu, dia tahu benar soal ini, tanpa perlu aku beritahu secara terang-terangan. Tapi kenapa tetap saja dia menawarkannya kepadaku? Dia selalu senang membuatku terbang ke langit tapi langsung menjatuhkanku begitu saja. Dia selalu menawariku sebuah harapan tapi lalu menggantungku di langit itu dan meninggalkanku. Begitu saja, tanpa peringatan dan niat meminta maaf.
Dan apa yang aku lakukan?
Aku hanya menerimanya begitu saja, dan bahkan mengaguminya karena semua hal itu. Karena tidak ada yang memperlakukan aku seperti itu sebelumnya, seperti yang dilakukannya kepadaku. Tidak ada yang bisa menggoyahkan posisi amanku selama ini, tidak ada yang berani menantangku untuk keluar dari lingkaran amanku, yang terkendali dan selalu bisa aku atasi. Dan jiwa liarku merasa sangat tertantang sehingga jiwa egoisku menyeruak dengan nafsu ingin memiliki dan menaklukkan yang tidak bisa di bendung.
Dan hanya Tuhan yang tahu bagaimana sikap nakal tapi dewasa, menyebalkan tapi menggemaskan, cuek dan peduli yang dimilikinya membuatku lapar seperti segerombolan singa mengelilingi seekor domba.
Coba, tolong jelaskan kepadaku.
Bagaimana kau bisa menawarkan sebongkah cinta kepadaku tapi aku tidak boleh memilikinya? Bagaimana kau bisa menunjukkan sebegitu inginnya kau bersamaku tapi aku tidak boleh membalas perasaan itu walaupun aku juga begitu menginginkanmu? Bagaimana kau bisa menahan perasaanmu sendiri, berkutik dengan cintamu sendiri, merasa puas hanya dengan menatap mataku dengan penuh hasrat dalam jarak lebih dari tiga meter tapi aku tidak boleh menanggapinya? Bagaimana kau bisa dan boleh berlaku sebegitu egoisnya dengan menikmati perasaan-perasaanmu itu hanya untuk dirimu sendiri?
Itu tidak adil untukku, itu tidak adil untuk dirimu sendiri juga.
Aku tahu kau terbelenggu dengan masa lalumu. Aku tahu kau juga takut, bukan hanya aku yang merasakan takut itu. Tapi tidak adil bagimu untuk tetap terbelenggu di kubangan masa lalumu itu. Jika aku adalah orang yang bisa membuatmu keluar dari kubangan itu, aku mohon jangan tipu dirimu lagi. Sambut uluran tanganku, buka hatimu dan tertawalah lepas. Nikmati hidup dan bercintalah, walaupun itu artinya tidak ada aku di sampingmu. Karena percayalah, aku hanya ingin kau bahagia dan melihat tawa penuh kebahagiaan yang selama ini selalu menjadi misteri untukku.
Aku menghela napas.
Aku tidak jadi menangis, karena tidak ada hamparan es itu di bawahku yang siap membekukan air mataku. Jadi aku hanya duduk dan mencoba bernapas dengan teratur. Tidak ada hal lain yang ingin aku lakukan kecuali menatapmu dan berbicara, dari hati ke hati, tanpa rasa segan, tanpa rasa malu ataupun takut salah paham. Bukan bicara mengenai pekerjaan yang selama ini selalu berusaha kita lakukan dan gagal, tapi mengenai kita, mengenai hidup dan problematika kita, tanpa beban seolah curhat dengan sahabat. Karena, ya Tuhan, aku baru saja tersadar kalau ternyata aku sama sekali tidak mengenalmu. Apa makanan kesukaanmu, apa hobimu, apa cita-citamu, apa keinginan terbesarmu, siapa kamu?
Handphoneku bergetar tepat jam dua belas lewat dua puluh menit malam, membuatku tersadar bahwa ternyata aku sudah duduk berjam-jam untuk termenung tanpa melakukan apa-apa. Dan tanpa aku sadari, ini waktunya beramah tamah dengannya yang sepertinya hari ini sedang memiliki mood yang bagus dan sedang ingat denganku.
Baiklah, jika itu memang keinginanmu, aku akan mengikuti arus yang sudah kau ciptakan untuk aku ikuti.

 
~Na~