… CERPEN 4 …


HOKINYA CINTA

 

Hai, namaku Yusa, masih berumur lima belas tahun kelas 1 SMU swasta yang cukup terkenal. Aku gadis biasa saja kok, serius. Hanya saja baru beberapa minggu masuk SMU ini, hidupku jadi lebih dari biasa saja. Bukan sesuatu yang terlalu penting sih, tapi bagiku pribadi ini sudah merupakan langkah besar, langkah yang luar biasa besar. Mulai penasaran, ya? Oke aku beritahu, sekarang aku punya pacar. Mungkin bagi kalian ini hanya masalah biasa: masuk SMU, punya pacar dan menghabiskan masa SMU yang indah bersama pacar tercinta. Tapi percaya deh, buatku ini adalah hal luar biasa yang aku alami.
Penampilanku biasa saja, nyaris sama seperti teman-temanku yang lain: cantik, manis dan aktif juga ceria. Aku tidak membanggakan diri dengan menyebut kalau aku cantik, loh. Bagiku, cantik itu relative bagi setiap orang, dan cantik bukanlah patokan utama untuk bisa menilai apa pemilik wajah cantik itu memiliki sifat yang cantik juga atau tidak. Aku juga tidak membanggakan diri dengan mengatakan kalau aku baik. Sekali lagi, baik itu relative, tergantung bagaimana cara orang menilainya. Yang jelas, aku hanya ingin menekankan kalau aku nyaris sama seperti teman-teman sebayaku. Mungkin hanya satu yang bisa membedakan semuanya: aku tidak bisa bicara. Bukan-bukan, aku tidak bisu, hanya saja aku ditakdirkan untuk memiliki ukuran lidah lebih pendek dari pada milik orang lain sehingga aku tidak bisa berbicara dengan jelas. Aku bisa mengeluarkan suara, tapi suara itu terdengar tidak sama dengan suara orang lain. Iya, aku cacat.
Jelas kan kenapa tadi aku mengatakan kalau mempunyai seorang pacar seperti sebuah mukjizat buatku? Sekali lagi aku katakan, aku cacat. Tidak banyak orang yang bisa memaklumi keadaanku yang seperti ini. Sebagian besar menganggap aku orang cacat yang merepotkan. Tapi untungnya ada juga yang tidak berpikiran seperti itu, seperti keluargaku misalnya. Aku memiliki kedua orang tua yang masih lengkap dengan seorang adik laki-laki yang semuanya selalu mau membantu, mendukungku untuk terus percaya diri dan memperlakukanku seperti orang normal. Walaupun memiliki aku yang cacat dan hidup pas-pasan, mereka tidak pernah mengeluh dan selalu bersemangat.
Selain keluargaku, ada juga para kakek dan nenek yang tinggal di panti jompo tempat ibuku bekerja sebagai perawat selama sepuluh tahun lebih, yang juga memperlakukanku dengan sangat baik. Sejak kecil aku yang tidak pernah bermain dengan teman-teman sebayaku karena mereka menganggapku sangat merepotkan, diperbolehkan bermain di panti untuk menemani para kakek-nenek disana. Mungkin ibuku tidak tega meninggalkan aku sendirian dirumah, jadi dia meminta izin untuk membawaku ke panti. Tapi aku sangat bersyukur diperbolehkan bermain di panti itu karena aku bisa menemani para lansia yang memperlakukanku dengan sangat baik.
Satu lagi orang yang sangat memahami keadaanku adalah Suci. Dia adalah teman sejak aku masih kecil. Aku ingat, dulu sewaktu aku masih SD dan sangat ingin bergabung dengan teman-temanku yang sedang bermain lompat tali, mereka tidak memperbolehkan aku ikut dan malah mengejekku habis-habisan. Mereka mengatakan aku anak cacat jelek yang merepotkan, dan aku hanya bisa menangis tanpa bisa membalas. Tapi tiba-tiba Suci datang merentangkan tangannya di depanku dan membelaku dengan berani. Mulai saat itu dia adalah sahabat pertamaku, sampai sekarang.
Kembali pada kenyataan kalau aku sudah punya pacar. Namanya Yuma. Nama kami memang mirip dan gara-gara nama yang mirip inilah kami bisa berkenalan. Hari ketiga aku masuk sekolah, aku mendengar pengeras suara memanggil namaku supaya datang ke kantor kepala sekolah. Aku panik saat itu, tidak tahu apa kesalahan yang sudah aku lakukan sehingga aku dipanggil menghadap kepala sekolah. Apa pihak sekolah baru menyadari kalau mereka sudah salah memasukkan anak cacat ke sekolah umum? Apa alasan yang mengatakan bahwa aku masih bisa berjalan, mendengar dan berpikir dengan normal tidak bisa dijadikan point plus lagi buatku?
Aku masuk ke ruang kepala sekolah tanpa sempat mengetuk pintu sangkin paniknya. Dan yang aku temukan adalah cowok ganteng, tinggi, berkulit putih dengan rambut pirang ala landak, duduk di depan Ibu kepala sekolah yang kelihatannya sedang marah. Aku terdiam di depan pintu, tidak tahu harus bagaimana.
" Yusa, kenapa kamu kesini? " Ibu kepala sekolah memandangiku dengan heran, sedangkan Yuma_cowok ganteng, tinggi dan sebagainya tadi_memandangiku dengan tatapan heran dan cuek sekaligus. Dan aku? Aku diam saja sambil membalas pandangan mereka dengan polosnya.
" Kamu salah denger,ya? Kirain Ibu manggil kamu? " Tanya Ibu kepala sekolah lagi. Aku buru-buru mengangguk. " Ya udah, kamu duduk dulu disini, kebetulan memang ada yang mau Ibu omongin juga sama kamu. " Ibu kepala sekolah menunjuk kursi lain diseberang mejanya, kursi yang berada tepat disamping Yuma. Aku berjalan lambat dan duduk dengan canggung disana, lalu Ibu kepala sekolah melanjutkan obrolannya dengan Yuma yang terputus tadi.
Kedengarannya Ibu kepala sekolah marah sekali melihat warna rambut Yuma yang mencolok itu dan mengancam Yuma agar mengembalikan warna rambutnya dalam satu hari atau Yuma akan di skors dua minggu. Yuma menanggapinya dengan cuek, seakan tidak perduli kalaupun dia dikeluarkan sekalipun. Walaupun begitu, besoknya aku melihat rambut Yuma sudah berwarna hitam lagi; ternyata dia tidak sepenuhnya cuek.
Setelah selesai memarahi Yuma, Ibu kepala sekolah menatapku dengan pandangan sayang lalu berkata dengan lembut.
" Yusa, kamu harus betah sekolah disini. Kamu diperlakukan sama dengan anak-anak lain, nggak ada yang ngebeda-bedain, jadi kamu nggak usah minder, ya? "
Sebenarnya aku tidak ingin mengeluarkan sepatah katapun saat itu, tapi Ibu kepala sekolah kelihatannya menungguku untuk menjawab, jadi aku menjawab dengan gagap seperti biasa, merasa sedikit canggung dengan kenyataan ada Yuma disampingku.
Pertemuan keduaku dengan Yuma terjadi di sekolah lagi. Saat itu aku sedang berada disituasi yang cukup gawat. Aku tidak sengaja menabrak Serli, ketua klub cheerleaders yang dikenal paling cantik, paling berpengaruh juga paling jutek. Merasa tidak terima ditabrak olehku, Serli cs malah memarahiku dan mendorongku sampai terpojok ke dinding. Mungkin mereka pikir ini adalah saat yang tepat untuk menggencetku. Aku ketakutan, tidak tahu harus melawan bagaimana dan rasanya mau menangis. Tapi untunglah tiba-tiba terdengar seorang cowok berteriak memerintah Serli cs berhenti. Yang berteriak itu Yuma, dengan tampang galak menatap Serli dan teman-temannya. Serli cs langsung pergi meninggalkanku gemetar di dinding.
" Lo nggak pa-pa? " Yuma sudah ada disampingku, menatapku dengan khawatir. Aku buru-buru menggeleng. " Mereka tuh emang resé! Lain kali lo jangan jalan sendirian, ya! " Aku buru-buru mangangguk lagi dan Yuma pergi meninggalkanku sambil masih saja menggerutu. Saat itu aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah dilakukan Yuma terhadapku. Dia sudah membantuku lepas dari jeratan Serli cs, seperti seorang pangeran dengan kuda putihnya yang menyelamatkan aku dari antara para penyamun. Dan diam-diam aku mulai menyukainya.
Pertemuan ketiga membuatku jauh lebih menyukainya, karena apa? Karena Yuma langsung memintaku menjadi pacarnya. Waktu itu aku diminta menemani Suci untuk pergi bersama pacar barunya, Hans. Awalnya aku tidak mau, soalnya aku tidak pernah berpikir untuk menjadi pengganggu diantara dua sejoli yang sedang dimabuk cinta ini, tapi Suci memintaku berulang-ulang dan sebagai teman yang baik akhirnya aku menyetujuinya. Tapi persetujuan itu aku buat sebelum aku tahu kalau ternyata Yuma juga diajak! Ternyata Yuma dan Hans memang berteman akrab jadi tidak salah kalau Hans mengajak sahabatnya ikut kencan karena pacarnya pun mengajak sahabatnya ikut juga. Tapi kebetulan itu membuatku tidak nyaman karena ternyata bisa berhadapan langsung dengan Yuma setelah aku menyadari kalau aku menyukainya malah membuat jantungku berdebar kencang. Sekarang aku hanya bisa berdoa semoga Yuma tidak mendengar suara jantungku.
Yah, paling tidak acara kencan pertama Suci dan Hans berjalan lancar walaupun anggapan ini hanya berlaku untuk Suci, karena semuanya sesuai dengan yang direncanakannya. Suci dan Hans sibuk bergandengan tangan dan berjalan beriringan, sementara aku dan Yuma berjalan di belakang mereka dalam diam dengan jarak nyaris satu meter.
" Lo masih suka digangguin sama Serli? " Ini pertanyaan pertama yang dilontarkan Yuma setelah sekian lama kami berdiam diri dan aku menggeleng. Sebenarnya gangguan itu masih ada, tapi tidak langsung berasal dari Serli, melainkan dari teman-teman gengnya, tapikan Yuma menanyakan Serli, bukan teman-temannya, jadi aku menggeleng saja.
" Cewek kayak lo emang paling enak dijadiin sasaran. Lo jadi pacar gua aja, jadi lo nggak bakal digangguin lagi. "
Begitu saja. Yuma mengatakannya dengan jelas dan tegas, bukan menanyakan pendapatku, tapi seperti perintah. Dan aku mematuhinya walaupun tanpa menjawab, soalnya kata-katanya begitu tegas, seolah-olah tidak mau dibantah. Tapi bagaimana aku bisa yakin kalau kata-kata Yuma itu adalah pernyataan cinta, bukan hanya celetukan biasa? Bisa saja Yuma hanya mengatakannya saja tapi tidak memintaku untuk benar-benar pacaran dengannya. Ya, aku bisa yakin karena besoknya Yuma menjemputku pagi-pagi di depan rumah. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui alamatku, yang jelas saat aku bertanya kenapa dia ada disini dengan suara gagapku yang biasa, dengan entengnya dia menjawab:
" Ngejemput lo, gua kan pacar lo. "
Jadi jelas kan kalau sekarang aku memang pacarnya? Aku memang beruntung, aku tahu. Kalian tidak akan pernah tahu seberapa bersyukurnya aku karena hokiku yang satu ini. Sumpah.
# # #
Itu kejadian dua minggu yang lalu. Sekarang semua kejadian yang seperti mimpi itu sudah bisa aku terima bukan hanya sekedar mimpi indah tapi memang kenyataan. Yuma sudah menjadi seorang pacar yang sangat memperhatikan dan melindungiku dari gangguan orang-orang seperti Serli cs. Dia bagaikan pangeran yang mengendarai motor sport sebagai ganti kuda putihnya, walaupun pangeran yang satu ini tidak romantis seperti pangeran-pengeran lain dari negeri dongeng. Yuma tidak pernah memegang tanganku, yang dia lakukan hanyalah berjalan satu langkah di depanku dan memberikan lengannya agar aku bisa menggelayut disana. Semua orang sudah mengetahui hubungan kami. Orang tuaku menyukai Yuma karena sikap protektifnya di nilai sangat gentlemen dan semua orang disekolah pun tahu. Awalnya semua orang tampak terkejut, tapi aku tidak heran kok. Yuma pacaran denganku memang sesuatu yang tidak masuk akal tapi benar-benar terjadi. Mungkin kisah cintaku ini hampir mirip dengan dongeng 'Beauty and the Beast' yang legendaris itu, tapi bedanya di dongeng ini aku yang menjadi 'Beast'.
Bahkan Serli pun kaget. Setiap kali aku dan Yuma lewat di depan Serli cs, mereka memandangi kami seolah melihat Yuma sedang berjalan di sebelah alien dari planet lain. Tapi bagaimana pun juga, Serli cs tidak pernah menggangguku lagi sejak kabar aku berpacaran dengan Yuma itu resmi benar. Yuma memang tidak pernah membiarkanku jalan sendirian, mungkin Serli cs merasa tidak punya kesempatan.
Satu-satunya orang yang menanggapi kabar ini dengan sangat senang hanyalah Suci. Terlalu senang malah. Walaupun awalnya dia sedikit marah karena aku tidak memberitahu kepadanya kalau aku menyukai Yuma sejak beberapa waktu yang lalu, tapi tetap saja dia sangat senang dan mendukung. Menurutnya, dengan berpacarannya aku dan Yuma berarti cita-citanya untuk bisa double date denganku akan segera tercapai. Alasan yang aneh.
Tapi hari ini adalah hari pertama aku ke sekolah tanpa Yuma. Dia terserang flu yang cukup parah yang membuat badannya panas, kepalanya pusing dan terkapar tidak berdaya. Aku sih maklum saja, soalnya selama beberapa minggu ini dia sudah mati-matian menjagaku, mengantar dan menjemputku dalam cuaca apa pun. Jadi aku tidak boleh mengeluh hanya karena Yuma tidak bisa menemaniku. Bagaimanapun Yuma sakit gara-gara aku. Jadi aku berjalan ke kelas dengan santai seperti biasa sambil berpikir apa buku PR Matematikaku sudah aku masukkan ke dalam tas. Tapi tiba-tiba sebuah tangan menarik lenganku dan membawaku ke balik dinding kelas paling ujung yang dekat dengan kantin pojok sekolah. Disamping kantin pojok itu ada sebuah lahan kosong yang sering digunakan anak-anak nakal untuk merokok. Aku dibawa kesana dan didorong ke dinding. Siku kiriku terbentur dinding, rasanya berdenyut dan sakit sekali.
" Sakit, ya... " Suara cewek terdengar mengejekku. Aku menengadah dan menemukan bukan hanya satu, dua, tapi lima. Lima cewek yang sudah aku kenal menggerumuniku dengan seorang cewek berambut ikal panjang berdiri di tengah rombongan. Itu Serli.
" Wah, liat siapa cewek di depan gua? Yusa si anak cacat! "
Serli mulai mengejekku lagi, aku kira dia tidak berani lagi. Mungkin keberaniannya timbul lagi karena mendengar Yuma sedang sakit dan membiarkan aku berkeliaran sendirian tanpa kandang. Dia memandangiku dengan jijik sambil menyilangkan tangan di depan dada. Aku balas menatapnya, bukan dengan pandangan ketakutan tapi dengan pandangan kesal.
" Apa lo liat-liat?! " Hardik Serli saat aku menatapnya seperti itu.
" Lo mau apa? " Tanyaku dengan suara cacatku yang biasa sambil memasang tampang paling galak yang aku bisa.
" Lo ngomong apa, sih? Kalo nggak bisa ngomong, ya nggak usah ngomong! Denger ya, jangan kira lo jadian sama Yuma berarti lo hebat. Yuma pasti punya alasan yang menyedihkan sampe mau pacaran sama lo! "
" Lo jangan ngomong sembarangan! " Teriakku dengan gagap seperti biasa, marah karena nama Yuma dibawa-bawa.
" Nggak percaya? Denger ya, yang pantes pacaran sama Yuma tuh gua, bukan lo. Jadi gua saranin lo putus sama Yuma. Ngerti? " Aku tidak menjawab. " Ngerti nggak?! " Tangan Serli sudah terangkat, sepertinya siap mendorongku lagi atau_lebih parah lagi_mungkin akan memukulku. Tapi terdengar bel masuk berbunyi nyaring di ujung sana, membuat Serli menghentikan tangannya diudara, mendecak kesal dengan pelan, lalu mengajak anak buahnya pergi. Aku langsung menghela napas dengan lega. Kali ini aku selamat, untunglah.
Tapi bukan Serli namanya kalau dia akan menyerah untuk menyiksaku sampai disitu. Tidak. Besoknya semua masih terus berlanjut. Aku yang masih harus pergi ke sekolah sendirian masuk ke kelas dengan selamat. Tapi saat aku mau duduk di mejaku, aku langsung takut lagi. Yang aku temui adalah tempat dudukku yang penuh lumpur, cat dan rumput-rumput kotor, juga penuh dengan coretan dan goresan yang terbaca: 'Orang cacat nggak pantes ada disini!'. Sekarang rasa takutku sudah bercampur dengan kesal, sedih dan marah. Semua anak-anak menggerumuni tempat dudukku dan berbisik sambil sesekali tertawa dan menunjuk-nunjuk aku, bukannya membantu aku. Sampai akhirnya seorang guru datang dan melihat keadaan tempat dudukku. Guru itu marah sekali. Dia tidak mau mendengar alasan yang aku katakan dengan tergagap-gagap dan tetap menganggap aku sengaja merusak meja dan bangku sekolah. Akhirnya aku diperintahkan untuk memindahkan meja dan kursiku sendiri ke gudang dan belajar sendiri di perpustakaan. Ini tidak adil, aku tahu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela diri. Aku hanya melihat Serli cs saat keluar kelas. Mereka melihatku dengan tatapan puas dan tertawa senang. Ini perbuatan mereka, aku tahu, tapi aku tidak punya bukti apa-apa.
Suci menghampiriku saat istirahat, menatapku dengan prihatin lalu marah-marah memaki Serli cs dengan geram.
" Gua yakin ini pasti ulah Serli, deh! Siapa lagi yang berani ngelakuin kayak gitu kalau bukan dia sama antek-anteknya? Dasar monyet! Dia tuh sebenernya ngiri sama lo gara-gara lo jadian sama Yuma! " Omel Suci panjang lebar, sementara aku hanya diam. Entah kenapa, sekarang aku berpikir mungkin apa yang dikatakan Serli itu memang benar.
" Mungkin gua emang nggak pantes buat Yuma. " Kataku lemas dengan gagap biasa.
" Nggak pantes gimana? " Sembur Suci cepat. " Lo pikir Yuma cuma mainin lo? Dia Cuma kasian sama lo? Nggak bener-bener sayang sama lo? " Aku diam saja. Jujur saja, aku memang memikirkan itu, tapi aku lebih memiliih tidak mengakuinya. " Denger, ya. " Lanjut Suci. " Gua kenal sama Yuma dan gua yakin dia bukan cowok yang kayak lo pikirin, jadi jangan mikir yang aneh-aneh, ok? "
Suci memandangiku dengan lebih serius, seolah-olah mengancamku untuk mengatakan 'iya', jadi aku buru-buru mengangguk walaupun masih tidak yakin.
Dan inilah karma yang aku terima karena sudah meragukan perasaan Yuma terhadapku. Sepulang sekolah aku mendapat kecelakaan. Saat aku hendak menuruni tangga yang menghubungkan laboratorium dan perpustakaan, aku merasakan ada seseorang yang dengan sengaja menyenggolku dan membuat aku jatuh terguling ke bawah tangga. Semua anak-anak terlihat sangat kaget melihat kecelakaan itu tapi tidak ada satu orang pun yang bertampang sangat puas atau apa yang bisa dituduh sebagai tersangka. Bahkan seorang kronco Serli yang berdiri di puncak tangga juga terlihat sangat kaget sama seperti anak-anak lain. Hanya Suci yang buru-buru menghampiriku dan membantuku naik, dan saat itulah aku merasa kalau pergelangan kakiku sangat sakit. Suci bersikeras mengantarku ke dokter dan setelah memeriksaku sebentar aku divonis mengalami keseleo dan harus istirahat di rumah selama tiga hari penuh.
Jadi aku disini, tinggal dirumahku yang nyaman di temani televisiku yang paling setia sepanjang masa menyiarkan semua acara tanpa henti. Sedang asik menonton infotainment yang (lagi-lagi) menanyakan mengenai perceraian artis yang menghebohkan, tiba-tiba pintu depan diketuk. Dengan tertatih-tatih aku melangkah ke depan pintu dan membukanya. Ada Yuma disana, mengenakan jaket dan celana jeans biasa.
" Hai. Gua tau dari Suci kalo kaki lo keseleo, jadi gua kesini buat jenguk lo. Udah baikan? " Yuma berusaha tersenyum walaupun dia sendiri masih belum sembuh benar. Suaranya masih terdengar bindeng dan hidungnya masih merah. Aku menjawab kalau aku baik-baik saja lalu mempersilahkan Yuma masuk dengan sedikit canggung. Pikiran kalau Yuma tidak benar-benar mencintaiku masih terngiang di otakku dan aku tidak tahu harus bertanya bagaimana.
" Serli yang ngedorong lo sampe kayak gini? " Tanya Yuma lagi, aku diam saja. " Mungkin gara-gara gua nggak masuk dua hari, jadi dia pikir bisa mainin lo lagi. Sialan banget! " Lanjut Yuma dengan geram, dan lagi-lagi aku hanya diam.
" Gua juga denger dari Suci kalo Serli bikin lo bingung soal gua. Dia bilang gua salah pacaran sama lo, ya? " Aku tertunduk malu, tidak menyangkan kalau ternyata kekhawatiranku yang memalukan ini akan dijawab langsung oleh Yuma secepat ini. Terima kasih Suci, kau membuatku tidak perlu repot-repot bertanya. Dasar!
" Lo mungkin nggak tau, tapi gua punya adik cewek yang sama kayak lo, nggak bisa ngomong lancar. Tapi dia meninggal dua taun yang lalu gara-gara ditabrak mobil. Jadi gua nggak asing lagi ngedenger cara ngomong lo. "
Aku tidak tahu mengenai ini, Yuma tidak pernah bercerita kalau dia punya adik yang cacat seperti aku yang sudah meninggal. Pantas kalau dia begitu mengerti apa pun yang aku katakan dengan gaya gagapku yang biasa. Dia menganggapku seperti adiknya sendiri, ini bukan sesuatu yang buruk.
" Lo juga mungkin nggak tau kalo gua dari kecil tinggal sama nenek gua. Tapi semenjak setaun yang lalu, nenek minta dipindahin ke panti jompo. Gua sering ngunjungin dia di panti, dan di sana gua ngeliat lo pertama kali. "
Buru-buru aku menengadah. Yang benar? Jadi nenek Yuma tinggal di panti jompo tempat Ibuku bekerja? Jadi kemungkinan besar aku sudah mengenal dan akrab dengan nenek Yuma?
" Nenek gua juga sering cerita tentang lo. " Lanjut Yuma. " Dia bilang, ada gadis cacat, anak suster bagian dapur yang baik banget. Dia selalu nemenin kakek-nenek di panti, bikin mereka seneng. Walaupun cacat, dia nggak pernah minder atau malu, malah mukanya kayak malaikat: putih, polos dan cantik. "
Wajahku otomastis memerah mendengar perkataan Yuma ini. Aku tidak tahu kalau kakek-nenek di panti beranggapan seperti itu mengenai aku. Aku hanya merasa diterima dengan baik disana, jadi aku sangat menghargai dan menyayangi semua penghuni panti.
" Gua bukan orang yang bisa disogok sama kecantikan fisik atau materi, atau hal-hal remeh kayak gitu. Gua tau gimana rasanya dianggap anak cacat dari adik gua, dan gua juga tau gimana rasanya nggak mau ngerepotin orang dari nenek gua. Dan itu bikin gua sadar kalau orang nggak bisa dinilai dari fisik. Gua lebih milih mencintai cewek yang cacat fisik dari pada cacat hati. Gua lebih milih lo dari pada cewek kayak Serli. "
Kalian tahu bagaimana rasanya jika sebuah benda panas disiram oleh air dingin? Benda itu akan mengeluarkan asap karena melepas panas secara tiba-tiba lalu mendesis seolah bernapas lega. Itulah yang aku rasakan setelah mendengar penjelasan Yuma tadi. Tiba-tiba semua pikiran jelekku kemarin hilang seketika. Aku memang tolol karena meragukan Yuma, tapi paling tidak sekarang aku tidak perlu bertanya-tanya lagi.
" Jadi lo masih mau nanya lagi seberapa besar rasa suka gua sama lo, atau lo mau tau apa yang bakal gua lakuin buat ngebales Serli? "
Tanya Yuma sambil tersenyum menatapku. Hidungnya tidak semerah tadi, kini dia terlihat lebih sehat. Aku juga ikut tersenyum. Entah bagaimana, rasanya kakiku yang terkilir sudah tidak terasa sesakit tadi. Sepertinya aku sudah kuat berjalan dan buru-buru ingin menunjukkan kepada Serli kalau ternyata Yuma lebih memilih gadis yang cacat fisik dari pada cacat hati, dan gadis cacat itu aku. Hokiku memang bagus dalam percintaan, aku tahu.
" Dua-duanya. " Jawabku dengan gagap seperti biasa.

 
SELESAI