… CERPEN 5 …


LIFT LOVE
    
Aku sedang membayangkan bagaimana kalau aku menderita phobia tempat tertutup? Mungkin aku akan sangat ketakutan sekarang, panas dingin dan keringat bercucuran. Bukan karena kepanasan, tapi karena menahan takut. Soalnya sekarang aku sedang berada di dalam lift yang akan membawaku turun dari lantai dua puluh sebuah hotel mewah menuju lantai dasar. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk turun ke lantai dasar_perlu lima belas menit bahkan dua puluh menit kalau lift ini berhenti di setiap lantai yang dilewatinya. Ya, inilah tandanya jika dunia sudah berkembang jauh lebih modern, gedung-gedung bertingkat di bangun menjulang setinggi-tingginya, seolah mencoba melampaui awan. Dan lift sudah tidak asing lagi digunakan, sehingga para phobia tempat tertutup harus terbiasa dengan lift karena terpaksa harus menggunakan lift tertutup selama beberapa menit tiap harinya. Tapi untunglah aku tidak menderita penyakit seperti itu. Aku hanya sedang berada di dalam lift dan tidak tahu harus melakukan apa selama dua puluh menit kedepan, jadi aku melamun saja memikirkan para phobia tempat tertutup.
Kalau tidak karena Tante Susan, tentu aku tidak akan berada di dalam lift ini, atau malah aku tidak akan pernah mengunjungi hotel ini. Inikan hotel besar yang super terkenal, hotel bintang lima yang memiliki dua puluh lantai, dengan landasan helikopter di lantai teratas, tiga kolam berenang outdoor bertaraf internasional ( tidak perlu bertanya bagaimana aku tahu mengenai fasilitas hotel ini, pokoknya aku tahu! ). Sangkin terkenal dan mewahnya, hotel ini menjadi pilihan pertama bagi para turis dan pejabat untuk menginap walaupun harus membayar jutaan rupiah hanya untuk satu malam. Aku yang bukan berasal dari keluarga kaya raya tidak akan sanggup membayarnya.
Tante Susan adalah adik ipar Ibuku yang menikah dengan seorang laki-laki kebangsaan Australia yang kaya. Dia sedang melewatkan waktu liburannya disini dan meminta aku dan kakakku, Audrey, untuk menemaninya. Aku tidak begitu yakin kenapa Tante Susan begitu menyukai kami, saudara-saudara jauhnya, tapi yang jelas aku menyukai Tante Susan karena dia begitu baik, berjiwa muda dan mau berbaur. Tante Susan menempati kamar dilantai paling atas hotel ini atas pesanan suami bulenya, mangkanya aku yang baru saja mengantar Tante Susan ke kamarnya sekarang berada di dalam lift untuk turun ke lantai dasar.
Aku jadi ingat sebuah adegan film yang dibintangi dua artis pendatang baru. Itu loh yang ada adegan di dalam liftnya. Kalau tidak salah mereka terjebak di dalam lift berdua saat lift itu tiba-tiba macet. Dan di dalam lift itu mereka saling berkenalan dan mulai mengobrol, bahkan mulai jatuh cinta. Tapi sayangnya adegan itu berhenti saat mereka nyaris berciuman. Untuk aku yang sangat memuja romantisme cinta, kejadian itu sangat disayangkan dan mengecewakan. Bukankah hal yang manis kalau pacarmu mau menciummu di dalam lift saat kalian hanya berdua? Kalau aku sih pengen banget merasakan ciuman di dalam lift, mumpung first kiss-ku belum tergadaikan.
Sedang asik-asiknya melamun mengenai first kiss di lift, tiba-tiba bunyi 'Ting!' nyaring terdengar, pintu lift terbuka. Aku melirik angka yang tertera di atas pintu lift. Delapan belas, lift ini berhenti di lantai delapan belas. Seorang laki-laki jangkung, mengenakan celana jeans dan jaket masuk ke dalam lift. Wajahnya tertutup topi sehingga aku tidak bisa melihatnya, lalu dia berjalan ke sudut lift dan menyender di sana, tetap berusaha menutupi wajahnya dengan topi. Di sudut lift yang lain, aku mengernyit heran. Laki-laki ini aneh benar, setiap kali aku melirik ke arahnya dia selalu berusaha menutupi wajahnya lebih dalam lagi.
Keherananku semakin bertambah ketika laki-laki itu mulai terbatuk-batuk. Batuknya aneh, bukan seperti batuk berdahak atau batuk kering tapi seperti batuk menahan sakit. Aku menatapnya beberapa kali, tapi dia masih saja berusaha menutupi wajahnya dan batuk-batuk lagi. Laki-laki yang aneh, misterius banget. Mungkin wajahnya sangat menakutkan sekaligus punya penyakit menular atau apa. Tapi kalau begitu, aku beresiko ketularan karena hanya aku yang ada di dalam lift bersamanya. Atau mungkin dia baru saja minum minuman keras atau menggunakan obat-obatan terlarang. Gejalanyakan bisa mengarah ke situ. Wah, situasi yang super gawat! Tiba-tiba posisiku berubah menjadi sangat terancam sedangkan masih ada lima belas lantai lagi yang harus aku lewati.
Apa yang bisa membuat aku lega saat ini? Jawabannya simpel saja, kalau Tuhan memberikan kesempatan agar aku bisa lepas dari laki-laki misterius yang mencurigakan ini, maka itulah kebaikan Tuhan yang paling aku butuhkan saat ini. Dan ternyata Tuhan mengabulkan permintaanku. Di lantai lima belas, tiba-tiba lift berbunyi lagi dan seorang laki-laki gemuk masuk ke dalam. Dia berdiri di depanku, menutupi pandanganku ke arah panel angka sehingga aku tidak bisa melihat angka mana yang dia tekan_tempat dia akan keluar. Aku sangat berharap Bapak ini juga turun di lantai dasar sehingga aku tidak perlu berada berdua saja di dalam lift bersama laki-laki aneh yang sepertinya juga turun di lantai dasar karena dia tidak menekan angka manapun di panel angka.
Ternyata bukan hanya aku yang merasa terganggu dengan keberadaan laki-laki misterius itu, Bapak ini juga tampak terganggu. Buktinya setelah mendengar laki-laki misterius itu batuk lagi, Bapak ini melirik dan mengernyit aneh karena melihat sikap laki-laki misterius itu yang selalu berusaha menutupi wajahnya. Bapak itu melirik panel angka di atas pintu lift lagi, angka berganti disana dari angka dua belas ke angka sebelas. Masih ada sepuluh lantai lagi, aku mohon Bapak ini jangan turun dulu. Tapi saat angka sepuluh tercetak di panel angka dan bunyi 'Ting!' terdengar, pintu lift terbuka dan Bapak itu keluar dengan lega. Aku hanya bisa menghela napas, nasib sedang mempermainkan aku. Sesaat tadi dia menempatkanku di posisi sulit lalu memberikan sedikit pengharapan dan akhirnya malah kembali menempatkanku di posisi sulit lagi.
Pintu lift kembali tertutup dan aku melirik laki-laki misterius itu lagi. Keadaanya masih sama, masih menyembunyikan wajahnya dan batuk-batuk menahan sakit. Pandanganku beralih ke panel angka. Sembilan, masih ada delapan lantai lagi. Baru kali ini aku merasa tidak nyaman berada di dalam lift semewah ini.
Lift ini berukuran besar, dengan kertas dinding bermotif kayu menutupi seluruh bagian sampai ke langit-langitnya dan lantai lift itu ditutupi karpet empuk berwarna abu-abu. Seharusnya lift ini bisa memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemakainya, atau mungkin menunjang situasi romantis yang bisa terjadi di dalam lift seperti di film itu. Tapi mengingat situasiku yang sedang terancam, suasana senyaman apa pun tidak akan berpengaruh banyak.
Keadaanku lebih terancam lagi saat tiba-tiba lift macet di lantai enam. Lampu lift tiba-tiba berkedap-kedip liar dan lift berhenti mendadak dengan hentakan keras. Aku otomatis berteriak, sedangkan laki-laki misterius itu berhenti batuk seketika. Lampu lift mati total selama beberapa detik, membuatku mundur ke pojok lift, lalu menyala lagi. Tapi lift itu tidak ikut berjalan, lift itu diam, macet. Aku menatap bingung ke langit-langit lift, berharap ada orang yang akan memberitahu apa yang terjadi, tapi tentu saja tidak ada, jadi aku malah mengatakan sesuatu, cenderung untuk diriku sendiri.
" Liftnya macet. "
Perkataanku malah ditanggapi dengan suara batuk lagi. Sepertinya kali ini batuknya lebih serius sehingga laki-laki misterius ini menahan sakit sampai terduduk. Aku kaget melihatnya. Buru-buru aku menghampiri laki-laki itu dan bertanya penuh khawatir:
" Lo kenapa? " Laki-laki itu masih batuk. " Heh, lo kenapa? Nggak pa-pa, kan? " Aku menyentuh lengannya, membuat laki-laki itu kaget lalu menyentakkan tanganku dengan keras sambil berteriak: " Gua nggak papa! "
Saat laki-laki itu menengadah melihatku setelah berteriak itulah terjadi suatu hal yang sangat tidak disengaja: dia menciumku tepat di bibir! Kejadiannya sangat cepat, aku saja sempat tidak sadar, soalnya laki-laki itu berada tepat di bawahku dan aku menghampirinya terlalu dekat! Apalagi saat melihat wajahnya, aku langsung meloncat mundur dan berteriak kaget, lalu otomatis menampar wajahnya. Iya, aku menampar laki-laki itu! Padahal wajah laki-laki itu terlihat sangat mengenaskan: matanya sedikit bengkak, alis kanannya berdarah, bibirnya pun mengeluarkan darah, persis seperti orang yang baru saja dipukuli.
Aku tidak pernah bermaksud memukul orang yang sudah babak belur, tapi masalahnya tanganku bergerak sendiri tanpa aku sadari! Laki-laki itu memelototiku dengan susah payah, lalu bertanya galak kepadaku:
" Ngapain lo mukul gua? "
" Abis lo nyium gua! "
" Gua nggak sengaja! Siapa suruh lo ada di deket gua? " Aku tidak bisa menjawabnya, pikiranku sedang sibuk melihat wajahnya dan memikirkan dari mana dia mendapatkan luka-luka itu. Mendadak masalah lain terlupakan olehku.
" Muka lo kenapa? "
" Bukan urusan lo! " Laki-laki itu tersadar bahwa wajah babak belur yang sudah susah payah ditutupinya malah tidak sengaja diperlihatkannya kepada orang lain. Buru-buru dia menunduk lagi.
Tepat saat laki-laki itu menundukkan kepalanya lagi, lift tiba-tiba bergerak turun. Laki-laki itu memelototiku seolah mengancam kalau aku tidak boleh bertanya lagi, sedangkan aku terus memandanginya dengan penuh tanya. Mungkin laki-laki itu tidak senang aku pandangi, jadi saat lift yang sudah bergerak turun itu berhenti dan mengeluarkan bunyi 'Ting!' nyaring, laki-laki itu buru-buru keluar tanpa melihat di lantai mana lift itu berhenti. Seorang Ibu muda masuk sambil membawa kereta dorong bayi lalu tersenyum kepadaku.
" Tadi liftnya macet, ya? "
Aku mengangguk lalu tersenyum. Panel angka saat itu menunjukkan angka empat. Aku tidak tahu laki-laki itu memang ingin turun ke lantai ini atau dia keluar hanya gara-gara aku sudah melihat keadaan wajahnya tanpa disengaja. Tapi yang jelas, laki-laki itu memang sangat misterius.
# # #
Aku bukannya berharap akan bertemu dengan laki-laki misterius itu lagi selama bulak balik dari lantai dua puluh ke lantai dasar untuk mengantar Tante Susan. Tapi jujur saja, aku sangat penasaran bagaimana laki-laki itu bisa babak belur seperti itu. Aku pikir dia pasti bertengkar dengan seseorang, tapi dengan siapa aku tidak tahu. Lagi pula bukan hanya masalah itu yang mengganjal pikiranku. Aku sekarang ingat benar kalau laki-laki itu sudah menciumku. Dia merebut first kiss-ku sekaligus membuyarkan harapanku untuk bisa mendapatkan first kiss yang romantis bersama orang yang aku cintai di dalam lift. Tapi aku tidak bisa meminta pertanggung jawabannya, soalnya sudah tiga hari ini aku tidak bertemu lagi dengannya, padahal aku masih saja harus bulak balik hotel itu. Mungkin dia sudah check out dari hotel ini, atau mungkin dia bahkan tidak pernah check in.
Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Tepat sehari sebelum Tante Susan akan pulang ke Australia, yang membuat aku tidak akan pernah datang ke hotel ini lagi, saat itu aku bertemu lagi dengannya di dalam lift. Tapi kali ini lift yang kami naiki penuh berisi orang lain. Kami sama-sama kaget, merasa saling kenal tapi tidak berani menegur duluan. Kami hanya sama-sama menyender di pojok lift dengan seorang wanita setengah baya berada di antara kami. Aku deg-degan bukan main. Aku hanya takut kalau laki-laki itu ingat aku sudah menamparnya saat terakhir kali kami bertemu. Tapi dari raut wajahnya yang canggung, aku juga tahu kalau dia takut aku ingat bagaimana keadaannya sewaktu kami bertemu. Sekarang wajahnya tidak babak belur lagi, jadi aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresinya yang canggung itu.
Lift tidak pernah kosong, bahkan nyaris selalu terisi penuh sehingga tidak ada kesempatan untuk kami saling menyapa, sampai lift berhenti di lantai tujuh. Kali ini tidak didahului dengan lampu yang padam, tapi lift langsung berhenti. Semua orang yang berada di dalam lift tersentak kaget lalu mulai menggumam kalau liftnya berhenti. Semua orang tidak melakukan apa-apa selama beberapa menit, mengira lift akan berjalan lagi selama beberapa menit itu, tapi ternyata tidak, lift tetap diam sehingga orang-orang mulai berbisik panik. Seorang bapak yang mengenakan jas dan kemeja rapi berjalan ke panel angka dan menekan tombol merah, tombol darurat.
Sebuah suara terdengar tak lama kemudian dari speaker yang tertanam di samping panel angka. " Ya, ada apa? "
" Liftnya macet pak, nggak bisa jalan dilantai tujuh. " Kata Bapak yang berpakaian rapi itu kearah speaker.
" Oh maaf, liftnya memang sedang diperbaiki, mungkin butuh waktu beberapa menit, tolong sabar semua. " Seluruh isi lift langsung menggerutu kesal, sementara aku hanya bisa menghela napas dan memukul jidat.
Ternyata beberapa menit yang dikatakan laki-laki dari speaker itu tidak benar. Buktinya setelah menunggu selama hampir setengah jam, lift itu belum juga jalan. Orang-orang yang berada di dalam lift sudah mulai kesal, laki-laki berpakaian rapi tadi sudah melonggarkan dasi dan melepas jasnya, sementara sepasang suami istri yang membawa kedua anak sudah mulai sibuk menenangkan anak-anak mereka. Sang ayah sibuk menjawab pertanyaan anak balitanya yang tidak berhenti, sedangkan ibunya sedang sibuk menenangkan bayinya yang mulai menangis.
Keadaan tidak nyaman ini membuat kami tambah pusing. Aku terpaksa merapatkan diri ke arah laki-laki misterius itu sementara wanita setengah baya yang tadinya berdiri diantara kami yang ternyata adalah suster bayi yang menangis itu memintaku bertukar tempat. Kini semua orang duduk di lantai lift, berusaha menyamankan diri sementara tangisan sang bayi semakin menggelegar.
Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa selama menunggu. Rasanya sangat tidak enak kalau kau berdampingan dengan orang yang kau kenal tapi tidak berani kau sapa. Aku berpikir keras untuk memutuskan cara apa yang akan aku pakai untuk menyapa laki-laki ini, tapi saat aku sudah memutuskan untuk mulai bertanya, ternyata laki-laki itu melakukan hal yang sama sehingga omongan kami bertabrakan. Kami berhenti pada saat yang bersamaan juga lalu sama-sama tersenyum lega.
" Lo dulu, deh. " Kataku duluan.
" Lo aja. " Jawabnya menggeleng.
" Nggak, lo aja. Omongan gua nggak teralu penting. " Bantahku.
" Gua cuma mau bilang, kalau kita kayaknya ditakdirin buat ketemu waktu lift macet mulu, ya? " Aku tersenyum manis, tahu benar kalau itulah kata-kata yang ingin aku katakan tadi.
" Liftnya udah tua, kali. " Tanggapku, lalu kami berdua tertawa, merasa lega karena suasana diantara kami sudah tidak kaku lagi walaupun sang bayi sekarang sudah menjerit-jerit.
" Ngomong-ngomong, thank's waktu itu lo mau bantu gua. " Kata laki-laki itu akhirnya.
" Nggak pa-pa, masa ada orang yang lagi susah nggak gua bantu. Tapi kalo boleh gua tau, siapa yang mukulin lo sampe babak belur kayak gitu? " Aku tahu pertanyaan ini sedikit lancang ditanyakan, jadi sebelum sempat dijawab aku buru-buru menambahkan: " Kalo lo nggak mau jawab juga—"
" Bokap gua. "
" Hah? "
" Gua dipukulin bokap gua. Dia selingkuh sama cewek lain di hotel ini. Waktu gua pergokin, bokap gua malah marah dan mukulin gua. " Laki-laki itu ternyata menjawab pertanyaanku walaupun dengan mata menerawang yang seolah-olah menyesali kebenaran kata-katanya. Aku buru-buru minta maaf, sekaligus aku juga sangat menyesal karena sempat mengira dia yang bukan-bukan: pemakai narkoba, bahkan sampai orang berpenyakit menular.
" Sorry ya, gua sempet mukul lo. "
" Nggak pa-pa, gua juga yang salah nggak sengaja nyium lo. "
Aku langsung tersipu malu, ingat kalau ternyata kami memiliki hubungan yang tidak seperti orang yang berkenalan di lift lainnya karena kejadian kecil itu.
Saat tersipu malu itu, tiba-tiba lift bergerak turun lagi. Semua orang di dalam lift bernapas lega, beranjak dari duduknya dan membenahi penampilan mereka, tahu benar kalau enam lantai lagi lift akan berhenti di lantai dasar tempat tujuan mereka. Bahkan sang bayi berhenti menangis, seolah tahu kalau dia akan segera keluar dari penjara berlapis kertas dinding bermotif kayu ini.
Aku dan laki-laki itu tidak berkata apa-apa lagi sampai lift membuka di lantai dasar dan semua orang keluar dari lift. Aku berada di urutan terakhir, masih berpikir bagaimana caranya supaya aku tidak hanya berhubungan dengan laki-laki misterius itu sampai disini. Tapi otakku tidak bisa diajak untuk berpikir sehingga laki-laki misterius yang berada di depanku berbalik dan bertanya duluan.
" Nomor handphone lo berapa? "
Aku tersenyum manis sekali lalu memberikan kartu namaku dengan mata berbinar senang. Dia berpikir sama dengan yang aku pikirkan! Jeritku dalam hati. Laki-laki itu menatap kartu nama bermotif bunga terbaruku lalu tersenyum manis.
" Nama lo Snada? Gua Danang. Entar gua telepon lo, oke? "
Masih dengan tersenyum manis dia berlalu dari hadapanku, membuat senyum di bibirku mengembang semakin lebar. Sekarang aku sudah berkenalan dengannya, tinggal menunggu sebuah nomor asing menghubungi ponselku dan mengaku bernama Danang. Sepertinya ada sebuah kisah _yang mudah-mudahan_romantis menungguku karena kejadian di dalam lift itu. Dan siapa tahu aku akan mengalami kejadian romantis lain di dalam lift bersama laki-laki misterius ini? Eh, handphone ku berdering, ada nomor asing menghubungiku!

 
SELESAI