RATING FILM BAGI PENONTON

Pernahkan kalian menonton film di televisi local kita dan mendapati beberapa adegan yang diblur, ditimpa gambar lain atau bahkan dipotong? Pernahkah kalian memperhatikan sebuah huruf kecil di pojok layar televisi anda yang biasanya berwarna putih transparan setiap anda sedang menonton? Atau pernahkah kalian memperhatikan pada detik-detik awal sebelum layar bioskop memutar film Hollywood yang akan kalian tonton, terdapat layar hijau atau merah dengan beberapa kotak dan huruf di tengahnya? Sebenarnya symbol apakah itu?
Bagi yang belum mengetahui, symbol tersebut adalah Rating, di mana rating tersebut berguna untuk memberikan informasi kepada para penonton apakah film atau tayangan tersebut layak untuk ditonton bagi kalangan tertentu, terutama bagi anak-anak.
Amerika Serikat yang bisa disebut sebagai salah satu kiblat perfilman dunia memiliki lembaga yang mengatur mengenai rating film-film yang beredar. Lembaga swasta tersebut bernama MPAA (Motion Picture Association of America) yang berdiri pada 1 November 1968 dan bertujuan untuk membantu para penonton, terutama para orang tua, untuk menentukan film dan tayangan mana saja yang layak ditonton bagi anak-anak mereka. Terdapat beberapa unsur yang sangat diperhatikan lembaga ini, antara lain bahasa, hal cabul atau nudity, tindak kekerasan atau violence, penggunaan obat-obatan terlarang dan beberapa unsur lain. Macam-macam rating tersebut adalah sebagai berikut:
-    G (General Audiences) All Ages Admitted. Jenis rating ini untuk film yang mengandung unsur bahasa, tema atau nudity, penggunaan obat-obatan terlarang dan violence yang minim. Umumnya bisa ditonton siapa saja tanpa perlu dampingan orang dewasa.
-    PG (Parental Guide Suggested) Some Material May Not Be Suitable For Children adalah rating yang diberikan pada film yang perlu ditonton dengan bimbingan atau pengawasan dari orang tua. Biasanya terdapat penggunaan kata-kata kasar di dalamnya, violence dan nudity tapi tidak ada unsur obat-obatan terlarang.
-    PG-13 (Parent Strongly Cautioned) Some Material May Be Inappropriate For Children Under 13 diperuntukkan bagi film yang memiliki unsur-unsur yang tidak cocok bagi anak di bawah tiga belas tahun. Beberapa unsur violence, penggunaan kata-kata kasar dan nudity memang terasa lebih ‘berani’ jika dibandingkan dengan rating PG tapi tidak terlalu berlebihan.
-    R (Restricted) Under 17 Requires Accompanying Parent Or Adult Guardian adalah jenis rating untuk film yang mengandung unsur violence, penggunaan kata-kata kasar dan nudity yang lebih berani dari pada rating PG-13. Juga penggunaan obat-obatan terlarang yang sangat perlu bimbingan orang tua.
-    NC-17 (No One 17 And Under Admitted) digunakan untuk film yang sama sekali tidak diperuntukkan bagi anak-anak berumur di bawah tujuh belas tahun karena mengandung unsur violence, nudity, penggunaan obat-obatan dan tema atau juga penyimpangan perilaku yang terlalu dewasa dan kompleks.
MPAA sudah berkembang selama bertahun-tahun dan dasar penilaian mereka pun sudah banyak mengalami pembaharuan yang disesuaikan dengan zaman dan kepentingan para penggunanya. Dan selama ini kinerja mereka sangat membantu dan dipatuhi oleh hampir semua sineas dan pekerja seni Hollywood. Uniknya, setiap film yang diproduksi menyerahkan karya mereka kepada MPAA untuk mendapat cap rating secara suka rela, seolah mereka tahu benar bahwa hasil rating lembaga ini sudah menjadi pedoman bagi para penonton dan dapat sangat mempengaruhi daya tarik film tersebut.
Indonesia memiliki MPAA-nya sendiri yang kita kenal dengan nama LSF (Lembaga Sensor Film). Lembaga inilah yang memberikan predikat D (Dewasa), R (Remaja), BO (Bimbingan Orang Tua) atau SU (Semua Umur) pada film-film bioskop atau tayangan televisi.
Tapi, menurut kalian, apakah peranan MPAA atau LSF atau lembaga semacam ini benar-benar dibutuhkan dan berguna?
Jujur saja, agak sulit menemukan jawaban untuk pertanyaan itu bagi penduduk Indonesia. Saya tidak bermaksud mendeskriminasi atau apa, tapi pada kenyataannya penduduk Indonesia memang ‘lebih bandel’ atau mungkin ‘lebih tidak mau tahu’ (saya tidak bisa memutuskan mana ungkapan yang lebih pas dari dua pilihan tersebut, jadi saya sertakan keduanya). Ini terbukti dengan keberadaan symbol rating pada acara televisi atau film bioskop yang hampir-hampir tidak digubris.
Mungkin memang susah untuk menggubris symbol tersebut karena anak-anak zaman sekarang sudah sangat tergantung dan terbiasa dengan acara televisi sehingga para orang tua tidak bisa melakukan hal lain selain membiarkan mereka menonton selama berjam-jam dan bahkan hingga larut malam agar mereka bisa ‘tenang’.
Dalam beberapa waktu belakangan ini tayangan di televisi telah mengalami penyensoran yang cukup signifikan. Misalnya untuk adegan merokok, menodongkan senjata dan bahkan (maaf) belahan dada yang terlalu terbuka sudah diblur. Ini memang menunjukkan peranan LSF yang sudah mulai terasa. Tapi tidak semua kalangan menyukai langkah ini karena kadang pemotongan adegan yang tidak rapi dapat membuat alur cerita menjadi kacau.
Tapi bukan hanya itu. Para pembuat film dan para koleganya pun belum banyak yang tergerak untuk membuat jenis film lain yang lebih layak ditonton bagi kalangan anak-anak. Mungkin karena pasar tersebut memang tidak terlalu menjanjikan sehingga penonton Indonesia harus puas dengan film-film drama romantis atau horror comedy dewasa yang membuat dunia perfilman Indonesia menjadi tidak variatif. Belum lagi segi lain yang, mau tidak mau, harus mendapatkan perhatian paling besar, yaitu segi keuntungan.
Pihak distributor, yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling dekat dengan pangsa pasarnya pun tidak mau repot-repot memberikan tanda, melarang anak-anak untuk menonton film yang bukan untuk usia mereka atau pun sekadar memberitahu para orang tua yang mengajak anak-anaknya menonton film yang ‘salah’. Beberapa kali saya mengalami sendiri bagaimana rasanya menonton film horror atau film yang penuh tindakan kekerasan bersama sepasang orang tua yang membawa serta buah hatinya yang masih balita. Yakinlah, pemandangan tersebut cukup miris untuk dilihat.
Amerika pun memiliki kendala yang kurang lebih sama dengan penduduk Indonesia, walaupun mungkin beberapa kalangan orang tua masih mau memperhatikan rating tersebut dan mengawasi bahan tontonan yang dikonsumsi anak-anak mereka. Lembaga ini pun memiliki kelompok yang menentang keberadaannya. Ada saja beberapa kalangan sineas yang tidak suka jika hasil karya dan kerja keras mereka ‘dilabelkan’ oleh MPAA sehingga memutuskan untuk memasarkan film tersebut secara indie. Mungkin ini dikarenakan tidak jarang pihak MPAA pun menyarankan untuk memotong atau membuat ulang adegan-adegan yang dianggap sangat tidak pantas dan tidak bisa digunakan dalam sebuah film. Nah, para sineas yang cukup idealis menganggap bahwa permintaan ini akan menghilangkan ‘rasa’ dalam film tersebut sehingga membiarkan film tersebut menyandang rating NR (Not Rated) atau UR (Unrated). Dengan menyandang rating ini, sebagian besar penonton, terutama_lagi-lagi_para orang tua, malah telah terdoktrin terlebih dahulu dengan menganggap bahwa film dengan symbol seperti ini tidak diperuntukkan bagi anak-anak di bawah umur, walaupun sebenarnya belum tentu demikian.
Nah, bagaimana menurut kalian sendiri? Apakah rating film memang dibutuhkan, atau tidak?
310113 ~Black Rabbit~