Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 30 -
- Part 30 -
… Episode sebelumnya …
Jenny sedang berperan sebagai dokter cinta bagi Lars. Untuk mengobati sakit hati bosnya itu, Jenny berusaha dengan berbagai cara untuk membuat Lars tertawa dan melupakan sakit hatinya. Dia mengajak Lars ke mall, bermain permainan anak kecil, ke klub dan mendengarkan curhat Lars. Tapi tanpa disadari oleh Jenny dan tanpa dikehendaki oleh Lars sendiri, Lars sedikit demi sedikit menyadari perasaan yang sebenarnya dia rasakan terhadap Jenny …
Sekarang giliran Kevin yang sedang menemani Lars menjadi dokter cintanya. Mereka sedang berada di salah satu restoran, baru saja melahap tiga puluh tusuk sate ayam sambil mengobrol seru mengenai pertandingan bola kemarin malam. Lalu topik pertandingan bola berubah menjadi topik lain.
" Lo nggak cerita kalo lo udah putus sama Jenny. " Kata Lars.
" Nggak ada yang perlu diceritain menurut gua. Berita buruk nggak perlu dibagi-bagi. " Jawab Kevin enteng. Tapi anehnya jawaban enteng ini malah membuat Lars jengkel.
" Emang kenapa? Lo bikin salah sama dia? "
" Nggak. "
" Lo selingkuh? "
" Nggak. "
" Terus kenapa kalian putus? " Tanya Lars bandel.
" Dia yang putusin gua. "
" Kan lo udah janji nggak bakal bikin dia sedih! Lo janji sama gua! " Sekarang nada suara Lars sudah meninggi.
" Gua nggak pernah nyakitin dia. Dia suka sama orang lain, bukan gara-gara gua bikin salah sama dia. " Jawab Kevin sambil menambahkan dengan sedih di dalam hati: 'Dan orang lain itu lo, Lars'.
" Yakin lo nggak bikin dia sedih? "
Kevin mengangguk mantap, Lars mereda emosinya.
" Kenapa lo khawatir banget sama Jenny? " Sekarang Kevin yang bertanya kepada Lars dengan serius.
" Karena dia asisten gua. "
" Cuma gara-gara itu? "
" Iya. Emang apa lagi? "
" Bukan gara-gara lo suka sama Jenny? "
Lars terdiam menerima pertanyaan ini. Sebenarnya ini pertanyaan yang sering dia tanyakan kepada dirinya sendiri, tapi entah kenapa Lars tidak pernah mendapat jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini.
" Nggak lah… " Kata Lars akhirnya, tapi dia langsung diam lagi seperti salah menjawab. " Gua juga nggak ngerti. " Jawab Lars akhirnya. Terdengar seperti jawaban yang lebih tepat dari pada sebelumnya.
" Gua selalu anggap dia temen gua yang paling deket, sahabat gua, malah kadang adik gua. Tapi belakangan ini gua jadi ngerasa sepi kalo nggak ada dia. Gua jadi butuh dia—bukan berarti gua mau ngambil Jenny dari lo. "
Lars buru-buru mengoreksi karena melihat wajah Kevin yang mengeras marah. Tapi Kevin menggeleng.
" Gua nggak apa-apa, lanjutin aja. " Kata Kevin.
" Well, yang jelas gua jadi pengen dapetin Jenny. Pengen ngabisin waktu sama dia terus. "
" Kalo gitu dapetin dia, Lars. " Kata Kevin sedikit tiba-tiba, membuat Lars kaget.
" Tapi, dia kan pacar lo. "
" Mantan pacar gua. " Koreksi Kevin. " Gua mau lo dapetin apa yang nggak bisa gua dapetin. Kalo lo yang bisa ngedapetin itu, gua rasa gua nggak bakal nyesel. Asalkan itu lo, bukan cowok lain. "
Tanpa disadarinya, Lars nyegir lebar sekali. Perasaannya seringan bulu saat mendengar kalau Kevin mendukungnya, seperti mendapat bantuan kekuatan dari belakang.
Sementara itu di rumah Jenny…
" Bukannya lo berangkatnya tiga hari lagi? Kok maju jadi besok, sih? "
Ini pertanyaan dari Louise yang dikatakan dari sela-sela kegiatan packing barang-barang Jenny dirumahnya.
" Bokap gua udah ngebet banget pengen pulang, lagian kita harus siap-siap buat pameran lukisan bokap gua dua minggu lagi. " Jawab Jenny masih sambil melipat baju-bajunya.
Louise hanya diam, merasakan hatinya yang merebak sedih saat ingat kalau dia akan kehilangan salah satu sahabat terbaiknya. Jenny menoleh menatap Louise yang tidak membalas ucapannya seperti biasa, lalu menghampiri Louise dan memeluknya kerana sekarang Louise sudah menangis.
" Kok lo nangis sih? "
" Gua pasti bakal kangen sama lo, Jen. "
" Gua juga, tapi gua kan udah janji bakal rajin contact lo. Ya? "
" Tapi, gua juga ngerasa salah sama lo. " Kata Louise lagi. Jenny malah merasa aneh.
" Maksud lo? "
" Iya, gua ngerasa salah. Gara-gara gua, lo harus pura-pura pacaran sama Kevin, hubungan lo jadi nggak enak sama Lars, semua salah gua. "
" Nggak! Lo nggak ada salah apa-apa. Justru gua yang harusnya berterima kasih sama lo, kalo lo nggak ngelakuin itu, mungkin sampe sekarang gua nggak bisa ngerti perasaan gua sendiri. "
Louise tersenyum dan Jenny juga ikut dan mereka berpelukan lagi. Setelah itu mereka kembali melanjutkan acara mengepak yang sempat terhenti tadi.
" Lo udah pamit sama Lars? " Louise memasukkan bedak milik Jenny yang terakhir di koper make up mini, lalu menutupnya. Sementara itu Jenny menggeleng lemah.
" Kok belum sih? "
" Gua nggak tau gimana ngomongnya. "
" Ck! " Louise menggeleng gemas lalu meraih ponsel Jenny dan menyodorkannya tepat di depan hidung Jenny. Jenny mengambilnya dengan wajah bingung.
" Telepon dia sekarang! "
" Tapi Lou, gua—"
" Telepon! "
Louise mengeluarkan tampang marahnya yang paling menyeramkan sehingga Jenny menurut tanpa banyak bicara lagi. Nada sambung terdengar sekali, dua kali, tiga kali, lalu diangkat.
" Hallo Lars? "
" Jen, kenapa lo telepon sekarang? Gua lagi rapat nih! "
" Sorry… Gua hanya mau ngomong sebentar. "
" Tunggu, saya tidak sependapat dengan anda. "
" Lars? "
" Oke, satu menit. "
" Gua cuma mau bilang, gua mau pindah ke Jerman ikut bokap gua, berangkatnya besok pagi jam 8. "
Tidak ada tanggapan yang terdengar, hanya ada suara berdebat diujung sana.
" Lars? Lo denger nggak? "
Tut… Telephone tertutup dan Jenny memandangi ponselnya dengan bingung.
" Kenapa? Gimana? " Tanya Louise penasaran.
" Teleponnya diputus. Kayaknya Lars lagi sibuk banget. "
" Tapi lo udah ngomong, kan? "
Jenny mengangguk lalu menggeleng. " Kalo pun tau, dia nggak bakal ngapa-ngapain, kok. "
" Tapi—lo yakin mau dibiarin kayak gini aja? "
" Mungkin emang harus kayak gini kali, Lou. "
Louise meraih Jenny dan memeluknya lagi, sementara Jenny meneteskan air mata tanpa yakin apa yang ditangisinya. Kelegaan atau kesedihan?
Rapat sampai larut malam benar-benar menyita tenaga dan pikiran Lars sampai habis. Dan ini membuat Lars melupakan percakapannya dengan Jenny kemarin sore di telepon. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan Jenny. Kalau tidak salah Jenny mengatakan sesuatu mengenai pesawat. Ya ampun! Umpat Lars dalam hati. Dia baru ingat kalau Jenny akan pergi ke Jerman pagi ini. Buru-buru dia bangun, mencuci muka dan pergi dengan mengenakan baju yang dipakainya saat pulang kantor kemarin malam. Dia tidak peduli jam tangannya menunjukkan tepat pukul delapan pagi, dia akan tetap pergi walaupun terlambat.
Lima belas menit kemudian, setelah melewati perang dengan kemacetan di pagi hari, Lars sampai di bandara. Keadaannya tidak terlalu ramai sehingga Lars dengan mudah menemui Louise dan ibu Jenny yang ditemani Filemon. Louise kaget melihat Lars yang kusut itu, sementara ibu Jenny berhasil mengatakan sesuatu di sela-sela isakannya.
" K-kau terlambat d-datang untuk m-mencegah putriku pergi… "
Lars mengatur jantungnya yang baru saja dipacu untuk berlari lalu berkata tersengal-sengal: " Jadi dia udah pergi? "
" Ternyata lo nggak sadar juga… " Louise menggeleng dalam dan menatap tajam. Lars malah bertanya lagi:
" Sadar apa? "
" Sadar kalo Jenny sebenernya cinta sama lo! "
Lars terdiam, sepertinya dia baru saja terkena pukulan keras dan tidak sadarkan diri.
" Mendingan lo baca ini, biar lo bisa makin sadar. "
Louise menyodorkan sebuah amplop putih bertuliskan 'Untuk Lars' di depannya. Itu tulisan tangan Jenny. Lars menerimanya dan membiarkan Louise, ibu Jenny dan Filemon melangkah pergi. Dia pergi ke arah balkon dimana semua orang bisa melihat kapal terbang yang tinggal landas atau pun yang mendarat. Disana dia membuka surat dari Jenny dan membacanya.
Dear Lars…
Sorry kalo gua norak banget pake nulis surat segala ke lo, tapi gua nggak tau lagi gimana bisa ngejelasin semuanya ke lo sebelum gua pergi.
Lo masih inget waktu gua bilang sama lo kalo gua udah putus sama Kevin karena nggak cocok? Gua boong. Sebenernya gua sama Kevin nggak ada hubungan apa-apa. Gua baru kenal sama Kevin sekitar tiga bulan yang lalu, lewat biro jodoh. Gua minta dia buat jadi pacar bohongan gua buat ngeyakinin lo kalo gua nggak boong soal pacar gua. Gua nggak tau kalo ternyata lo sama Kevin sobatan, gua minta maaf.
Dan soal tipe cowok yang gua suka waktu itu? Cowok itu lo. Yang cuek, yang misterius, dewasa dan sebagainya. Well… intinya, gua suka sama lo, semenjak lo nabrak gua di supermarket waktu itu. Gua sendiri baru nyadar kalo ternyata selama ini perasaan gua nggak berubah. Walaupun lo playboy, gua cinta sama lo. Tapi gua tau kalo perasaan gua nggak mungkin dapet balesan dari lo. Banyak cewek yang ngantri buat jadi cewek lo, gua nggak ada apa-apanya dibandingin mereka. Jadi gua cukup seneng jadi asisten lo, nikmatin lo pake cara gua sendiri.
Gua udah banyak banget salah sama lo, Lars. Gua banyak boong sama lo, soal Kevin, soal Cherry, soal diri gua sendiri, soal perasaan gua. Gua bener-bener minta maaf.
Dan soal pekerjaan gua dibengkel semua udah gua beresin, jadi kalo lo dapet asisten yang baru, dia nggak bakal susah ngelanjutin kerjaan gua. Gua janji bakal mempertanggung jawabkan semuanya ke lo kalo kita ketemu lagi nanti. Itu juga kalo kita ketemu.
Well, sekali lagi gua hanya mau lo tau: gua suka sama lo dan selamanya bakal suka. Sorry gua harus pergi pake cara kayak gini, tapi gua lega udah nggak mesti nutup-nutupin masalah apa pun sama lo.
Thank's for being just you, Lars.
Bye.
Jen
Lars diam dan merenungi semua kata-kata yang tertera di atas kertas itu. Dia ingat Jenny: perhatiannya, kebohongannya, kepolosannya, sikapnya selama ini, semuanya seperti menjadi sesuatu yang menjadi lengkap. Dan kelengkapan itu menyadari dan membuka mata Lars yang selama ini tertutup. Dia mengingat lagi sosok Jenny: wajahnya yang polos dan manis, rambut panjangnya yang coklat, kulit putihnya; kapan Lars pernah lupa kalau semua itu membuatnya rindu? Lars baru sadar kalau selama ini Jenny-lah yang paling mengerti dirinya. Menjawab teleponnya di malam hari sewaktu dia kesal, menemaninya pergi ke gym setiap pagi, mengurusnya saat babak belur atau sakit, tidak mengganggunya saat sedang mandi dan menghiburnya saat dia patah hati. Saat semua orang memilih untuk membiarkan Lars sendiri dan menenangkan diri, Jenny justru menemaninya dan membuatnya tertawa lagi, walaupun melalui hal-hal sederhana dan tidak berarti. Ya ampun, ternyata Jenny lebih dari sekedar asisten bagi Lars!
Tapi sudah terlambat untuk menyadari semuanya. Kini Jenny sudah memutuskan untuk tidak menerima apa-apa dan pergi. Seolah meninggalkan semua masa lalunya dan pergi untuk mencari kehidupan lain. Lars tertunduk sedih dan menyesali semua keterlambatannya, sementara Jenny berada diatas sana, memandang rumah dan semua yang berpijak ke dalam perut bumi dengan ukuran sangat kecil, terlindung di balik logam yang menyelimuti badan pesawat terbang dan tersenyum lega karena telah menuntaskan segala sesuatu yang memang harus dituntaskan.