TIPS NULIS #8: BERMAIN ALUR


Ini salah satu aspek yang sangat saya suka dalam menulis: bermain alur!

Alur adalah jalannya cerita yang kita susun pada naskah yang membawa tokoh kita menelusuri konfilk hingga klimaks, anti klimaks dan ending. Alur adalah bagian penting dalam sebuah cerita, karena melalui alur inilah kita bisa menentukan apakah cerita yang kita tulis seru atau tidak. Dan bagaimana caranya menyusun alur yang seru?

Pada umumnya terdapat tiga macam alur yang sering digunakan, yaitu alur maju, alur mundur atau gabungan keduanya. Ayo kita coba bahas satu per satu.

Alur maju adalah alur yang paling banyak digunakan oleh penulis. Biasanya cerita dengan alur maju disajikan secara kronologis, mulai dari perkenalan tokoh, konflik lalu menuju klimaks, anti klimaks dan ending. Cara seperti ini adalah metode paling sederhana dan paling aman bagi setiap penulis karena dengan alur yang begitu teratur semua detail permasalahan para tokoh akan dapat diselesaikan dengan baik.

Tapi kita tetap harus berhati-hati agar alur maju ini tidak terkesan monoton sehingga membuat pembaca dan kita sendiri yang menulisnya menjadi bosan. Untuk mengatasinya kita bisa memberikan shocking scene pada saat yang tepat. Contoh penggunaan alur maju yang menarik adalah pada sebagian besar novel serial Harry Potter karya J.K. Rowling yang fenomenal.

Selanjutnya ada alur mundur. Alur yang satu ini memang agak sulit ditemukan karena biasanya alur mundur hanya dapat ditemui pada bab pembukanya saja lalu alur akan kembali ke kronologis yang sama seperti alur maju. Bedanya, pada titik tertentu alur cerita akan kembali pada titik awal yang disajikan pada bab pembuka tadi lalu baru diselesaikan pada ending.

Menggunakan metode alur mundur seperti ini akan sangat membantu kita untuk menciptakan rasa penasaran bagi para pembaca. Jika porsi pembuka yang membuat penasaran ini disajikan dengan tepat, para pembaca akan tertarik membaca lebih jauh dan menyelesaikannya sampai ending. Jadi jika ingin memilih menggunakan metode alur mundur ini carilah titik cerita yang pas sebagai bab awalnya. Biasanya banyak penulis yang menggunakan adegan klimaks atau anti klimaks, dan ini bisa banget ditiru. Salah satu novel yang menggunakan alur mundur dengan sangat baik adalah Twilight karya Stephanie Meyer dan Da Vinci Code milik Dan Brown.

Yang terakhir adalah gabungan dari alur maju dan alur mundur. Tidak banyak penulis yang menggunakan alur gabungan ini, walaupun bukan berarti tidak ada yang menggunakannya sama sekali. Alur ini akan cukup membingungkan jika tidak digunakan dengan cerdik baik bagi penulisnya sendiri atau juga bagi para pembacanya. Tapi jika bisa digunakan dengan baik pastinya akan menjadi karya yang sangat spektakuler.

Satu hal yang harus bisa disiasati dengan baik saat menggunakan alur gabungan ini adalah pada saat pergantian alurnya. Agar tidak membingungkan, pergantian alur harus dilakukan dengan mulus dan tertata dengan baik sehingga tema yang ingin kita usung dapat disampaikan dengan baik. Tapi jangan juga memaksakan diri menggunakan alur gabungan yang terlalu kompleks sehingga terlalu memusingkan, yah.

Jadi, metode penggunaan alur yang mana yang mau kalian pilih? Tentu saja setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang jelas, alur mana pun yang kalian pilih harus dapat digunakan dengan baik dan efisien karena penggunaan alur yang tepat sangat berpengaruh bagi emosi para pembaca dan dinamika cerita. Pelajari semua alur, coba menggunakannya satu per satu dan taklukkan kesulitannya. Niscaya kalian tidak akan bingung memutuskan mau menggunakan alur yang mana sebelum menulis.

Seperti biasa, kalau ingin bertanya lebih jauh atau request tema untuk tips nulis selanjutnya bisa menghubungi saya melalui media social mana pun.

Jadi, selamat mencoba dan teruslah menulis! (^_^)

260512 ~Black Rabbit~

TIPS NULIS #7: POINT OF VIEW


Wah, tema tips nulis kali ini agak bule, judulnya aja pake bahasa Inggris. Hehehehe… (^_^)

Yuk kita bahas, apa itu Point Of View?

Point Of View yang saya maksud adalah sudut pandang yang dipakai penulis untuk bercerita pada naskahnya. Sejauh ini saya mengenal dua jenis sudut pandang yang sering digunakan, yaitu secara Objectif dan Subjectif.

Sudut pandang secara Objectif adalah metode menulis yang mengibaratkan penulis sebagai pencerita. Biasanya penulis akan mengibaratkan tokohnya sebagai orang ketiga dan menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal ( misalnya menggunakan ‘dia’ atau ‘-nya’ ). Sedangkan sudut pandang secara Subjectif adalah metode menulis yang mengibaratkan penulis sebagai si tokoh itu sendiri. Biasanya penulis akan menggunakan kata ganti orang pertama tunggal dalam bercerita ( misalnya menggunakan ‘aku’ ).

Penggunaan kedua sudut pandang ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya, penggunaan sudut pandang secara Objectif bisa memudahkan kita mengembangkan setiap karakter tokoh yang ada, tidak hanya tokoh utamanya saja. Cara seperti ini tentu memberi keluasaan bagi kita untuk mengembangkan tema yang ada atau bahkan meng-eksplore tema tersebut dari sudut pandang tokoh yang berbeda-beda pula.

Tapi jangan lupa untuk tetap mengembangkan tema dengan porsi yang tepat, ya. Jangan sampai mengembangkan tema dengan semua tokoh yang ada sehingga membuat tema melebar terlalu luas. Kita harus tahu benar sampai mana tema tersebut ingin kita gali. Lebih baik hentikan penggalian tema pada titik tertentu, terutama saat sedang menyusun naskah serial. Biarkan sisanya menjadi misteri agar para pembaca bisa merasa greget dan ingin tahu lebih jauh lagi. Percaya deh, walaupun mereka menggerutu karena menerima ending yang penuh misteri seperti itu, tapi cerita itu akan sangat membekas di pikiran mereka.

Sedangkan menulis dengan menggunakan sudut pandang Subjectif akan dengan mudah membuat para pembaca terhanyut pada kisah yang kita sajikan. Ini dikarenakan sudut pandang Subjectif yang kita gunakan membuat kita dapat meng-eksplore perasaan paling dalam sang tokoh utama. Dengan metode ini, tokoh utama yang kita bentuk adalah kaca mata yang kita ciptakan bagi para pembaca. Semua konflik, klimaks dan bahkan anti klimaks-nya disusun berdasarkan satu sudut pandang saja. Hal ini tentu saja merupakan senjata yang ampuh jika kita memang bertujuan mengajak para pembaca terlibat langsung dengan emosi sang tokoh utama. Contohnya seperti kisah Isabella Swan karya Stephanie Meyer dalam novel terkenalnya: The Twilight Saga.

Tapi metode ini bisa sangat menjebak jika kita tidak bisa menggunakannya dengan baik. Sudut pandang satu tokoh yang itu-itu saja dan meng-eksplore perasaan sang tokoh utama hingga terlalu jauh akan bisa membuat para pembaca bosan. Karena itu kita harus tahu benar porsi yang tepat untuk menceritakan setiap kisah. Saya pribadi selalu berusaha menyingkap detail perasaan sang tokoh utama secara perlahan, didukung dengan dialog yang pas dan ditambah shocking scene pada waktu yang tepat untuk menyiasatinya.

Sebagai penulis yang baik kita harus bisa menguasai kedua sudut pandang ini dengan baik karena keduanya sangat berguna untuk mengembangkan kemampuan menulis kita. Orang lain tidak bisa memutuskan seorang penulis harus menggunakan sudut pandang yang mana, karena setiap penulis mempunyai ciri khas masing-masing. Karena itu cobalah menggunakan kedua sudut pandang ini lalu temukan kelebihan dan kekurangannya sesuai dengan gaya penulisanmu.

Oh iya, walaupun kedua sudut pandang ini memiliki kelebihan dan kekurangannya tapi bukan berarti tidak bisa digunakan dalam waktu bersamaan, loh! Memang, semua berhubungan erat dengan kreatifitas masing-masing penulis. Jika mampu, kita bisa saja menggunakan kedua sudut pandang ini dalam satu naskah. Misalnya pada bab satu kita menceritakan kisah dari sudut pandang Subjectif, lalu pada bab selanjutnya kita menggunakan sudut pandang Objectif tokoh yang lain. Bisa juga menggunakan metode sudut pandang Subjectif pada beberapa tokoh dalam satu naskah, bukan hanya tokoh utama saja. Metode inilah yang saya gunakan pada novel pertama saya: The Chronicle Of Enigma: The Two Rings.

Tapi, sekali lagi saya ingatkan, kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pahami dulu kedua metode ini baru putuskan akan memakai metode yang mana. Semua tergantung pada kreatifitas si penulis, jadi berkreasilah!

Seperti biasa, kalau mau tanya-tanya lebih lanjut atau yang mau request tema selanjutnya bisa contact saya di semua alamat social media saya. Oke! (^_^)

190512 ~Black Rabbit~

TIPS NULIS #6: PERCANTIK DIKSI


Hai, ketemu lagi di tips nulis. Sekarang kita ngobrol tentang cara mempercantik diksi, yuk!

Diksi adalah pemilihan kata yang kita pakai dalam menulis. Setiap penulis harus bisa menggunakan kata-kata yang tepat dalam tulisannya, begitu juga tata bahasa, penggunaan tanda baca dan juga pemahaman mengenai efisiensi kalimat. Saya hanya akan membahas tips-tipsnya dari segi umum saja, yah.

Untuk menulis sebuah naskah, kita memang harus memperhatikan pilihan kata yang kita gunakan. Walaupun tidak diharamkan menggunakan kata-kata gaul, tapi memang lebih disarankan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa lagi jika kita berniat menawarkan naskah kepada pihak lain, misalnya redaksi majalah atau penerbit. Sebenarnya alasannya simple: karena tidak semua orang bisa mengerti kata-kata gaul itu.
Begitu juga dengan penggunaan bahasa daerah. Tapi kata-kata gaul dan bahasa daerah boleh digunakan sebagai pelengkap dalam naskah, misalnya untuk membantu membangun suatu karakter atau dipakai sebagai istilah keren. Itu pun dibutuhkan kelengkapan seperti foot note atau catatan kaki sebagai penjelasannya.

Pemilihan diksi juga berpengaruh terhadap sasaran pembaca yang ditargetkan. Maksudnya, jika target pembaca naskah kita adalah para pembaca muda, maka kata-kata gaul bisa saja digunakan tanpa perlu ditambahkan penjelasan apa-apa. Karena itu perhatikan juga target pasar sasaran kita, yah.

Penggunaan diksi juga sangat penting jika kita menulis puisi. Menurut saya, menulis puisi adalah hal yang paling sulit karena saya sendiri tidak bisa menggunakan diksi yang ‘sangat sastra’. Maksud saya, menggunakan bahasa yang penuh kiasan dan kadang kala ( menurut saya, loh… ) sulit dimengerti. Tapi seiring perkembangan zaman dan moderenisasi, puisi sudah berkembang sehingga tidak perlu lagi menggunakan bahasa sastra. Dengan kata-kata sederhana, kita sudah bisa menulis sebuah puisi. Yang perlu kita perhatikan hanyalah membentuk ciri khas kita sendiri. Tapi kalau memang kekayaan kosa kata kalian begitu lengkap dengan bahasa sastra ini, silahkan saja digunakan, tapi kalau tidak, jangan dipaksakan. Gunakan saja bahasa Indonesia yang sudah pasti bisa dimengerti oleh kita sebagai penulis dan orang lain sebagai pembaca.

Selain permainan diksi, tanda baca juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Ini adalah keterampilan paling dasar bagi seorang penulis. Kita harus sudah mengerti kapan saat yang tepat menggunakan tanda titik, koma, tanda tanya dan berbagai tanda baca lainnya. Ini sangat mempengaruhi dinamika tulisan kita dan menentukan pemahaman pembaca atas apa yang kita tulis.

Efisiensi kalimat juga penting, loh! Ini menyangkut skill kita dalam memilih kata-kata yang akan kita gunakan, jangan sampai menggunakan terlalu banyak kalimat yang itu-itu saja untuk menjelaskan satu hal. Ini bisa membuat para pembaca menjadi bosan. Juga hindari menggunakan kata-kata yang menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas, misalnya menggunakan kata kerja ‘naik ke atas’. Kata ‘naik’ sendiri memang memiliki arti ‘ke atas’ jadi tidak perlu ditambahkan, kecuali kata ‘ke atas’ digunakan untuk menjelaskan keterangan tempat secara lebih spesifik, misalnya ‘naik ke atas kereta’.

Selain itu, hindari juga penggunaan kata yang dipanjang-panjangkan, misalnya: ‘rasanya begituuuu….’ Penggunaan kata seperti ini sering kali membuat pembaca menjadi kesal karena membaca kata yang sama terlalu lama. Lagi pula kata itu tidak efektif penggunaannya. Jika mau memberikan kesan tertentu, lebih baik tambahkan saja keterangannya di akhir kalimat, misalnya: ‘”rasanya begitu.” Kata Ratih dengan bosan dan nada bicara yang malas.’

Membaca buku-buku berkualitas tetap saja menjadi guru paling mujarab untuk kita pelajari. Tapi, sekali lagi dan begitu sering saya ingatkan, pilihlah buku yang benar-benar berkualitas. Saya sendiri pernah mendapatkan buku yang memiliki kualitas pengeditan yang sangat mengecewakan. Bukan hanya terdapat begitu banyak kesalahan penulisan alias typo, tapi juga alinea yang tidak jelas, foot note yang diletakkan begitu saja sampai alur cerita yang berantakan, seolah buku itu dicetak tanpa melalui proses editing yang semestinya, hanya dicetak apa adanya.

Itu sangat menyebalkan! Padahal saya menemukan beberapa tulisan yang berpotensi bagus dan sungguh menarik untuk dibaca, tapi karena proses editing yang kacau membuat saya malas menlanjutkan membaca. Sayang sekali, kan? Karena itu, pilihlah bacaan yang benar-benar berkualitas yah, karena bacaan kita sangat mempengaruhi gaya penulisan kita masing-masing. Belajarlah dari yang terbaik agar bisa menghasilkan karya terbaik juga.

Ada banyak hal lain yang perlu diperhatikan untuk mempercantik diksi, tapi untuk membahasnya lebih dalam dibutuhkan kemampuan seorang editor yang lebih berpengalaman. Saya di sini hanya mencoba mengingatkan beberapa point yang umumnya sering terlewatkan saja. Karenanya jika terdapat kekurangan dari penjelasan saya kali ini, saya mohon maaf. Silahkan hubungi saya supaya saya bisa memperbaiki atau melengkapi kekurangannya. Jadi, semoga bermanfaat dan selamat menulis! (^_^)

120512 ~Black Rabbit~

TIPS NULIS #5: PENOKOHAN


Tips nulis kali ini kita membicarakan tentang satu aspek yang paling saya suka, yaitu: penokohan.

Membentuk tokoh-tokoh dalam sebuah cerita memang benar-benar menyenangkan bagi saya, terutama membentuk tokoh utama. Soalnya, kita bisa menggunakan tokoh mana pun dan bagaimanapun yang kita suka! Lagi pula, tokoh utama adalah pusat dari cerita yang kita susun. Dialah yang pertama kali dilihat dan pastinya yang paling diingat para pembaca. Sebagian besar tokoh utama bahkan bisa lebih terkenal dari pada judul buku itu sendiri. Saya pernah mengatakan kalau tokoh utama dalam cerita itu sama seperti seorang vokalis band, jadi sangat penting untuk membentuk karakternya dengan sempurna.

Tapi bagaimana cara membentuk tokoh utama dengan baik sehingga bisa begitu melekat bagi para pembaca?

Kalian tentu pernah membaca komik Jepang, kan? Dan pernahkah kalian melihat di salah satu pojok halamannya terdapat profil para tokoh komik tersebut? Biasanya, isi profil itu bukan hanya berisi gambar tokoh, nama, umur dan jenis kelamin tapi juga dilengkapi golongan darah bahkan sifat dan favorit mereka. Benar-benar seperti biodata yang sering ditulis anak SD, ya. Kedengarannya memang kocak dan sepele, tapi tahukah kalian kalau sebenarnya itu adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk membentuk karakter dengan sempurna? Benar, saya serius, loh!

Dengan mengetahui detail tokoh yang kita gunakan, kita bisa lebih memahami karakternya seolah tokoh itu benar-benar nyata. Tokoh yang kuat dapat memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang bagaimana dia akan bertindak saat kita memberikan sebuah konflik. Cara ini dapat ‘menghidupkan’ cerita yang kita bangun.

Cara itu tidak hanya bisa kita gunakan pada tokoh utama saja, tapi juga bisa digunakan pada pemeran pembantu, tokoh antagonis atau tokoh mana saja. Intinya, dengan meng-eksplore setiap tokoh maka kita akan dapat menciptakan suasana yang pas dan memberikan konflik yang mendalam. Oh iya, cara meng-eksplore karakter dengan detail seperti ini juga dapat membantu kita dalam menyusun dialog yang tepat, karena dialog dan karakter sangat berhubungan erat dan harus saling mendukung.

Tapi, walaupun kita bebas menciptakan tokoh bagaimana pun yang kita mau, bukan berarti kita melupakan segi manusiawi tiap tokohnya, loh. Bagaimana pun juga, bahkan seorang super hero sekali pun mempunyai kelemahan. Jika kita menciptakan tokoh yang terlalu baik sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan atau malah terlalu jahat sehingga tidak mungkin dikalahkan, bukankah konflik yang kita hadirkan akan sulit diselesaikan dan membuat pembaca bosan? Kita harus bisa membuat para pembaca terhanyut pada kisah yang kita tuliskan dan tidak rela meninggalkan tokoh utama kita sebelum sampai pada halaman terakhir.

Selain itu, nama setiap tokoh yang kita gunakan juga sangat menentukan, dan lagi-lagi adalah sebuah kesenangan tersendiri mencari nama yang tepat untuk setiap karakter, sama seperti mencari nama untuk calon bayi di dalam kandungan. Setiap nama memiliki arti tersendiri dan sering kali mempengaruhi karakter dari tokoh yang menggunakannya.

J.K Rowling yang terkenal dengan serial Harry Potter-nya, bahkan melakukan riset untuk menamai setiap tokoh dalam ceritanya dan setiap nama memiliki arti yang sesuai dengan karakter masing-masing. Cara ini DAN kehati-hatian ini terbukti sangat berpengaruh. Para tokoh yang diciptakan Rowling mampu memainkan peran mereka masing-masing dengan sangat baik, penuh karakteristik dan bahkan memiliki penggemarnya masing-masing.

Benar, memang sebegitu besarnya sebuah nama dalam mempengaruhi cerita yang kita sajikan. Karenanya, pilihlah nama yang sesuai untuk setiap tokoh kita. Tidak perlu menggunakan nama yang terlalu unik sehingga susah dibaca, tapi gunakan nama yang gampang diingat dan mudah diucapkan lalu bentuklah karakteristik yang kuat dan sulit dilupakan, itu kuncinya.

Wah, menceritakan tema penokohan memang tidak ada habisnya! Tapi cukup sampai di sini saja yah. Lain kali kita bahas lagi lebih mendalam.

Tetap semangat dan selamat menulis… (^_^)

050512 ~Black Rabbit~

TIPS NULIS #4: MATANGKAN MATERI


Di tips nulis kali ini kita ngobrol tentang tips dan trik mematangkan materi cerita, yuk!

Banyak sekali teman yang mengeluh kalau mereka sering kali enggan melanjutkan cerita yang sedang mereka tulis di tengah jalan. Padahal, awalnya mereka begitu bersemangat untuk mulai menulis karena merasa mendapatkan ide yang benar-benar bagus. Tapi kenapa ide mentok bisa tiba-tiba menyerang dan membuat mereka berhenti hingga akhirnya sama sekali tidak menyelesaikan naskah itu?

Menurut saya, selain dikarenakan ‘writers block’ atau ide mentok yang bisa menyerang siapa saja, ini juga dikarenakan materi naskah yang sebenarnya belum matang.

Setiap penulis pastilah pernah merasakan saat-saat di mana ide mengalir dengan derasnya melalui otak seolah tidak ada habisnya. Tapi, tidak semua ide bisa dikembangkan menjadi materi cerita yang bagus. Menurut seorang sahabat saya, ide itu seperti bunga es yang akan cepat mencair jika tidak disimpan dengan baik. Karena itu cobalah tampung ide-ide menarik yang ditemukan itu ke dalam sebuah buku catatan. Saya pribadi mempunyai sebuah ‘buku ide’, tempat saya biasa menuliskan berbagai ide mentah yang tiba-tiba muncul di kepala.

Biasanya, jika terdapat sebuah ide yang begitu menarik bagi seorang penulis, maka ide itu akan terus terngiang-ngiang di kepala. Pada saat inilah coba untuk mengembangkan ide ini lebih jauh lagi. Jika tidak sempat menuliskannya di sebuah ‘buku ide’, maka kembangkan saja ide itu di otakmu. Untuk mematangkan sebuah ide, idealnya harus ditunjang dengan aspek-aspek lain sehingga menghasilkan materi yang menarik dan dapat digunakan untuk membangun sebuah cerita. Gunakan rumus menulis yang sudah kita bicarakan minggu lalu ( 5W-1H ). Intinya gali terus semua aspek ide cerita itu sehingga membentuk sebuah materi yang matang.

Mengembangkan ide tidak perlu dengan cara menuliskan ceritanya dari awal sampai akhir secara sistematis, tapi sebagai tahap awal tuliskan saja apa yang terlintas di kepala. Apakah ide ini akan benar-benar dipakai atau tidak pada akhirnya, itu urusan nanti. Yang penting ide itu sudah dituliskan dengan selamat di atas kertas dan bisa kita eksplore lagi di kemudian hari.

Kenapa harus memikirkan ending cerita lebih dulu, padahal ide ceritanya belum sampai pada tahap ending? Sebenarnya ini bukan metode yang mutlak harus dilakukan. Bagaimanapun juga, saat menulis akan ada begitu banyak ide yang mengalir dan bisa mempengaruhi keutuhan cerita atau bahkan mengubah ending. Tapi jika ide-ide yang datang tiba-tiba itu terus ditambahkan, maka ide cerita bisa melebar ke mana-mana. Ini tidak bagus. Ide cerita yang terlalu luas akan mengurangi kekuatan cerita itu sendiri.

Nah, inilah gunanya ending cerita yang telah kita susun pada awal tadi. Kerangka cerita itu membantu kita untuk tetap berada di jalan cerita yang sudah ditentukan saat mematangkannya. Jika di tengah jalan kita menemukan alternatif ending yang lebih menarik dan lebih bagus, silahkan saja mengubah endingnya, tidak masalah.

Lalu, apakah kalian pernah kebingungan menghadapi timbunan ide di ‘buku ide’-mu? Bagaimana menyiasatinya?

Kita bisa memilih ide-ide mana yang bisa kita pakai untuk menunjang tema yang telah kita tetapkan dan membantu mematangkan materi kita. Jika terdapat ide lain yang tidak kalah menarik tapi tidak bisa dipakai, gunakan ide itu untuk tema tulisan berikutnya saja. Dan jika terdapat ide-ide yang sama sekali tidak bisa dipakai, mungkin karena ide tersebut tidak cukup bagus atau sama sekali belum matang, jangan ragu untuk membuang ide itu jauh-jauh. Jangan memaksakan diri dengan tetap memasukkan ide itu ke dalam cerita yang sedang kita garap karena bisa beresiko merusak cerita. Tenang saja, ide bisa ditemukan di mana saja dan kapan saja. Jika kita kehilangan satu ide, akan ada sepuluh ide lain yang muncul di kepala bahkan mungkin dengan kualitas yang lebih baik lagi.

Setelah materi yang matang itu kita tuangkan ke dalam tulisan, pekerjaan kita belum selesai. Tulisan yang dihasilkan baiknya ‘diendap’ dulu selama beberapa waktu. Biasanya saya ‘mengendap’ tulisan selama minimal dua minggu. Saya akan mengosongkan pikiran saya dari materi itu lalu kembali membaca naskah itu dalam keadaan otak yang fresh. Ini saya sebut sebagai ‘proses editing pribadi’. Pada saat ini saya mencoba memposisikan diri sebagai pembaca, bukan penulis. Gunanya adalah untuk menelaah apakah tulisan yang kita kerjakan sudah bagus dan materi yang ingin kita berikan sudah tersampaikan dengan baik atau belum. Di kesempatan ini kita juga bisa meng-edit bagian naskah yang ternyata melenceng dari tema awal atau juga yang tidak sesuai dengan tema sama sekali.

Tapi ingatlah untuk meng-edit naskah seperlunya saja, jangan terlalu banyak mengubah naskah yang malah akan membawa naskah keluar dari tema. Coba baca lagi kerangka tulisan yang kita buat sebelum mulai menulis sehingga tema yang kita pilih benar-benar sudah berhasil dituangkan dan tidak melebar lagi. Sekali lagi saya ingatkan, ide-ide yang tidak bisa digunakan pada naskah ini bisa dipakai pada kesempatan lain, jadi jangan memaksa, yah.

Dan saya selalu mengatakan bahwa menulis itu butuh proses dan proses itulah yang menentukan kualitasnya. Jadi tidak perlu terburu-buru ingin menyelesaikan naskah sehingga melupakan inti tema yang ingin disampaikan. Nikmati saja setiap prosesnya dan menulislah dengan hati senang. Pastikan saja semua materi sudah matang dan siap dituangkan, tidak perlu terburu-buru.

Bagaimana, tips kali ini cukup mudah, kan? Seperti biasa, untuk kalian yang mau request tema untuk tips nulis berikutnya bisa menghubungi saya di media social apa saja.

Semoga bermanfaat dan selamat menulis… (^_^)

200412 ~Black Rabbit~