Ny. Lars – Part 31 – LAST PART


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 31 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny memutuskan untuk pergi menemani ayahnya pulang ke Jerman, meninggalkan Kevin dan Lars. Dia memutuskan untuk tidak mendapatkan keduanya dari pada kembali membuat salah satunya menderita. Sementara itu Lars menyadari semua perasaan dan situasi itu dengan sangat terlambat …

 
amela Anderson dengan memakai salah satu pakaian bermerek yang menampilkan payudaranya yang 'super' itu, menempel di papan iklan yang besar. Beberapa meter di depannya terdapat seorang wanita mengenakan pakaian musim semi berwarna hijau muda, duduk di bangku taman dengan menggenggam sebuah buku dan sepotong sandwich. Ini adalah waktu makan siang dan wanita itu adalah Jenny yang sedang melakukan rutinitas siangnya.
Tiga bulan sudah berlalu dan berbagai kejadian sudah dilewati. Pameran lukisan ayah Jenny sukses besar, hampir setengah lukisannya terjual dengan harga tinggi dalam sekejap mata dan sisanya berada di salah satu galeri terbesar di Jerman. Sekarang Jenny bekerja di galeri itu, mengurusi lukisan ayahnya dan lukisan-lukisan lain, sementara ayahnya terus melukis di rumah sekaligus studio mereka.
Tapi ada yang tidak berubah dalam hidup Jenny, salah satunya adalah kenangannya akan Lars dan niatnya untuk menjadi satu-satunya nyonya Lars. Mungkin waktu tiga bulan belum cukup lama untuk mengubur cita-cita itu. Jenny menghabiskan sandwichnya dan meneguk kopinya sampai habis, lalu dibukanya lembar buku selanjutnya.
" Gutten tag, Frau Jenny. ( Selamat Siang, Ibu Jenny. ) "
Jenny kesal mendengar suara yang mengganggunya. Biasanya, orang iseng yang suka mengganggunya saat sedang membaca buku di jam istirahat siangnya hanyalah seorang tukang koran yang menawarinya koran, majalah atau apa saja yang bisa ditawarkan. Jenny memasang wajah sekesal mungkin dan siap mengatakan 'tidak'.
" Sepertinya ada orang yang bisa hidup tenang walaupun terbelit hutang. "
Ternyata yang didapatinya bukanlah tukang koran yang menyebalkan, tapi dia menemukan seorang laki-laki berdiri di depannya mengenakan mantel coklat, rambut sedikit gondrong dan kaca mata tipis bergagang hitam, membuat wajahnya terlihat lebih dewasa. Itu sosok yang dulu sangat dikenalnya dan yang dulu sangat dirindukannya.
" Lars?! "
" Hei. " Senyum itu lagi. Rasanya sudah begitu lama Jenny tidak melihat senyum itu.
" Kenapa lo ada disini? Ngapain lo ada disini? Dari mana lo tau gua ada disini? "
" Jawab yang mana dulu, nih? "
" Dari mana lo tau gua ada disini? " Ulang Jenny.
" Dari bokap lo. Tadi gua ke rumah lo dan bokap lo bilang, lo pasti ada disini. "
" Dari mana lo tau alamat gua? "
" Louise. "
Jenny teringat sosok sahabatnya yang satu itu lalu tersenyum. Dari dulu dia memang selalu menjadi penyebar berita yang efektif.
" Trus, ngapain lo disini? "
" Mau nagih utang. "
" Utang apa? "
" Katanya ada yang mau mempertanggung jawabkan semuanya kalo ketemu gua. "
Jenny teringat lagi dengan surat yang ditujukan kepada Lars sebelum dia pergi dan dia teringat kalau dia memang menjanjikan sesuatu.
" Cuma itu? Lo nggak mungkin datang jauh-jauh kesini hanya buat ngomong itu ke gua. " Tanya Jenny.
" Nggak sih. "
" Trus apa? "
" Gua sekaligus mau ngasih jawaban buat pertanyaan lo selama ini. "
" Buat apa? "
Jenny ingin meyakinkan pendengarannya sehingga dia bertanya lagi kepada Lars, tapi terlambat. Tanpa meminta izin terlebih dahulu Lars meraih tubuh Jenny dan memeluknya. Jenny terkaget-kaget sehingga tak bisa mengatakan apa-apa. Apa lagi saat Lars meraih wajahnya dan berkata pelan:
" Gua mau nyium lo. "
Tanpa menunggu jawaban dari Jenny, Lars meraih bibir Jenny dan menciumnya. Jantung Jenny berdebar kencang dan di dalam dadanya ada sesuatu yang menggelitik. Butterfly, dia merasakannya lagi.
" Dua tahun lebih gua memendam perasaan buat ngelakuin itu sama lo. " Kata Lars setelah ciuman itu selesai dengan sedikit disesali Jenny. " Sekarang gua minta lo ikut gua pulang. " Kata Lars lagi.
" Ikut pulang? Kemana? "
" Ikut gua pulang, kerja lagi sama gua. Kali ini lo bukan lagi asisten gua, lo jadi pendamping gua. " Jenny lebih kaget lagi. " Gua baru sadar kalo gua juga ternyata sayang sama lo, gua cinta sama lo, gua pengen milikin lo. Mangkanya, lo harus ikut gua pulang, kita tebus dua tahun lebih yang kita habisin tanpa sadar apa-apa. "
Tidak salah lagi, ini adalah sebuah lamaran! Tidak seperti Kevin yang pernah melamarnya dengan sebuah cincin berlian, Lars tidak membawa apa-apa. Tapi anehnya, apa yang dilakukan Lars ini jauh lebih manis dan mengesankan dibandingkan lamaran siapa pun juga. Dan Jenny memeluk Lars dengan erat sebagai jawabannya.
14 Februari
Disebuah taman terdapat beberapa meja bundar yang dikelilingi beberapa kursi berlapis kain putih. Di salah satu sudut terdapat sebuah panggung kecil yang setiap tiangnya dililit bunga mawar merah muda.
Terdapat banyak tamu disana, sedang berdiri di depan kursi masing-masing dan memandang ke atas panggung menyaksikan Lars dan Jenny. Lars yang mengenakan jas hitam dan kemeja putih, terlihat sedang memasangkan sebuah cincin bertahtakan berlian kecil ditengahnya ke jari manis di tangan kiri Jenny. Jenny sendiri mengenakan long dress panjang bertali di bagian punggung. Gilirannya menyematkan cincin kedua yang sama dengan cincin pertama tadi ke jari manis tangan kiri Lars.
Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna pink lembut berlaku sebagai pembawa acaranya. Setelah prosesi itu, dengan lantang dia berkata:
" Dengan senang hati saya mengumumkan bahwa Lars dan Jenny pada hari ini sudah resmi bertunangan! "
Louise, Norman, Kevin, ayah Jenny, ibu Jenny dan Filemon, juga semua tamu lainnya bertepuk tangan dengan meriah. Dan Lars mencium Jenny diatas panggung.
" And now, let's get party begin, tapi sebelumnya ada pesan khusus dari Lars untuk Jenny, katanya: 'Jen, tolong jangan sentuh sampangenya'. "
Dan semua orang tertawa termasuk Jenny dan Lars yang berada di atas panggung.

 
~ TAMAT ~

Ny. Lars – Part 30 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 30 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny sedang berperan sebagai dokter cinta bagi Lars. Untuk mengobati sakit hati bosnya itu, Jenny berusaha dengan berbagai cara untuk membuat Lars tertawa dan melupakan sakit hatinya. Dia mengajak Lars ke mall, bermain permainan anak kecil, ke klub dan mendengarkan curhat Lars. Tapi tanpa disadari oleh Jenny dan tanpa dikehendaki oleh Lars sendiri, Lars sedikit demi sedikit menyadari perasaan yang sebenarnya dia rasakan terhadap Jenny …

 
Sekarang giliran Kevin yang sedang menemani Lars menjadi dokter cintanya. Mereka sedang berada di salah satu restoran, baru saja melahap tiga puluh tusuk sate ayam sambil mengobrol seru mengenai pertandingan bola kemarin malam. Lalu topik pertandingan bola berubah menjadi topik lain.
" Lo nggak cerita kalo lo udah putus sama Jenny. " Kata Lars.
" Nggak ada yang perlu diceritain menurut gua. Berita buruk nggak perlu dibagi-bagi. " Jawab Kevin enteng. Tapi anehnya jawaban enteng ini malah membuat Lars jengkel.
" Emang kenapa? Lo bikin salah sama dia? "
" Nggak. "
" Lo selingkuh? "
" Nggak. "
" Terus kenapa kalian putus? " Tanya Lars bandel.
" Dia yang putusin gua. "
" Kan lo udah janji nggak bakal bikin dia sedih! Lo janji sama gua! " Sekarang nada suara Lars sudah meninggi.
" Gua nggak pernah nyakitin dia. Dia suka sama orang lain, bukan gara-gara gua bikin salah sama dia. " Jawab Kevin sambil menambahkan dengan sedih di dalam hati: 'Dan orang lain itu lo, Lars'.
" Yakin lo nggak bikin dia sedih? "
Kevin mengangguk mantap, Lars mereda emosinya.
" Kenapa lo khawatir banget sama Jenny? " Sekarang Kevin yang bertanya kepada Lars dengan serius.
" Karena dia asisten gua. "
" Cuma gara-gara itu? "
" Iya. Emang apa lagi? "
" Bukan gara-gara lo suka sama Jenny? "
Lars terdiam menerima pertanyaan ini. Sebenarnya ini pertanyaan yang sering dia tanyakan kepada dirinya sendiri, tapi entah kenapa Lars tidak pernah mendapat jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini.
" Nggak lah… " Kata Lars akhirnya, tapi dia langsung diam lagi seperti salah menjawab. " Gua juga nggak ngerti. " Jawab Lars akhirnya. Terdengar seperti jawaban yang lebih tepat dari pada sebelumnya.
" Gua selalu anggap dia temen gua yang paling deket, sahabat gua, malah kadang adik gua. Tapi belakangan ini gua jadi ngerasa sepi kalo nggak ada dia. Gua jadi butuh dia—bukan berarti gua mau ngambil Jenny dari lo. "
Lars buru-buru mengoreksi karena melihat wajah Kevin yang mengeras marah. Tapi Kevin menggeleng.
" Gua nggak apa-apa, lanjutin aja. " Kata Kevin.
" Well, yang jelas gua jadi pengen dapetin Jenny. Pengen ngabisin waktu sama dia terus. "
" Kalo gitu dapetin dia, Lars. " Kata Kevin sedikit tiba-tiba, membuat Lars kaget.
" Tapi, dia kan pacar lo. "
" Mantan pacar gua. " Koreksi Kevin. " Gua mau lo dapetin apa yang nggak bisa gua dapetin. Kalo lo yang bisa ngedapetin itu, gua rasa gua nggak bakal nyesel. Asalkan itu lo, bukan cowok lain. "
Tanpa disadarinya, Lars nyegir lebar sekali. Perasaannya seringan bulu saat mendengar kalau Kevin mendukungnya, seperti mendapat bantuan kekuatan dari belakang.

 
Sementara itu di rumah Jenny…
" Bukannya lo berangkatnya tiga hari lagi? Kok maju jadi besok, sih? "
Ini pertanyaan dari Louise yang dikatakan dari sela-sela kegiatan packing barang-barang Jenny dirumahnya.
" Bokap gua udah ngebet banget pengen pulang, lagian kita harus siap-siap buat pameran lukisan bokap gua dua minggu lagi. " Jawab Jenny masih sambil melipat baju-bajunya.
Louise hanya diam, merasakan hatinya yang merebak sedih saat ingat kalau dia akan kehilangan salah satu sahabat terbaiknya. Jenny menoleh menatap Louise yang tidak membalas ucapannya seperti biasa, lalu menghampiri Louise dan memeluknya kerana sekarang Louise sudah menangis.
" Kok lo nangis sih? "
" Gua pasti bakal kangen sama lo, Jen. "
" Gua juga, tapi gua kan udah janji bakal rajin contact lo. Ya? "
" Tapi, gua juga ngerasa salah sama lo. " Kata Louise lagi. Jenny malah merasa aneh.
" Maksud lo? "
" Iya, gua ngerasa salah. Gara-gara gua, lo harus pura-pura pacaran sama Kevin, hubungan lo jadi nggak enak sama Lars, semua salah gua. "
" Nggak! Lo nggak ada salah apa-apa. Justru gua yang harusnya berterima kasih sama lo, kalo lo nggak ngelakuin itu, mungkin sampe sekarang gua nggak bisa ngerti perasaan gua sendiri. "
Louise tersenyum dan Jenny juga ikut dan mereka berpelukan lagi. Setelah itu mereka kembali melanjutkan acara mengepak yang sempat terhenti tadi.
" Lo udah pamit sama Lars? " Louise memasukkan bedak milik Jenny yang terakhir di koper make up mini, lalu menutupnya. Sementara itu Jenny menggeleng lemah.
" Kok belum sih? "
" Gua nggak tau gimana ngomongnya. "
" Ck! " Louise menggeleng gemas lalu meraih ponsel Jenny dan menyodorkannya tepat di depan hidung Jenny. Jenny mengambilnya dengan wajah bingung.
" Telepon dia sekarang! "
" Tapi Lou, gua—"
" Telepon! "
Louise mengeluarkan tampang marahnya yang paling menyeramkan sehingga Jenny menurut tanpa banyak bicara lagi. Nada sambung terdengar sekali, dua kali, tiga kali, lalu diangkat.
" Hallo Lars? "
" Jen, kenapa lo telepon sekarang? Gua lagi rapat nih! "
" Sorry… Gua hanya mau ngomong sebentar. "
" Tunggu, saya tidak sependapat dengan anda. "
" Lars? "
" Oke, satu menit. "
" Gua cuma mau bilang, gua mau pindah ke Jerman ikut bokap gua, berangkatnya besok pagi jam 8. "
Tidak ada tanggapan yang terdengar, hanya ada suara berdebat diujung sana.
" Lars? Lo denger nggak? "
Tut… Telephone tertutup dan Jenny memandangi ponselnya dengan bingung.
" Kenapa? Gimana? " Tanya Louise penasaran.
" Teleponnya diputus. Kayaknya Lars lagi sibuk banget. "
" Tapi lo udah ngomong, kan? "
Jenny mengangguk lalu menggeleng. " Kalo pun tau, dia nggak bakal ngapa-ngapain, kok. "
" Tapi—lo yakin mau dibiarin kayak gini aja? "
" Mungkin emang harus kayak gini kali, Lou. "
Louise meraih Jenny dan memeluknya lagi, sementara Jenny meneteskan air mata tanpa yakin apa yang ditangisinya. Kelegaan atau kesedihan?
Rapat sampai larut malam benar-benar menyita tenaga dan pikiran Lars sampai habis. Dan ini membuat Lars melupakan percakapannya dengan Jenny kemarin sore di telepon. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang dikatakan Jenny. Kalau tidak salah Jenny mengatakan sesuatu mengenai pesawat. Ya ampun! Umpat Lars dalam hati. Dia baru ingat kalau Jenny akan pergi ke Jerman pagi ini. Buru-buru dia bangun, mencuci muka dan pergi dengan mengenakan baju yang dipakainya saat pulang kantor kemarin malam. Dia tidak peduli jam tangannya menunjukkan tepat pukul delapan pagi, dia akan tetap pergi walaupun terlambat.
Lima belas menit kemudian, setelah melewati perang dengan kemacetan di pagi hari, Lars sampai di bandara. Keadaannya tidak terlalu ramai sehingga Lars dengan mudah menemui Louise dan ibu Jenny yang ditemani Filemon. Louise kaget melihat Lars yang kusut itu, sementara ibu Jenny berhasil mengatakan sesuatu di sela-sela isakannya.
" K-kau terlambat d-datang untuk m-mencegah putriku pergi… "
Lars mengatur jantungnya yang baru saja dipacu untuk berlari lalu berkata tersengal-sengal: " Jadi dia udah pergi? "
" Ternyata lo nggak sadar juga… " Louise menggeleng dalam dan menatap tajam. Lars malah bertanya lagi:
" Sadar apa? "
" Sadar kalo Jenny sebenernya cinta sama lo! "
Lars terdiam, sepertinya dia baru saja terkena pukulan keras dan tidak sadarkan diri.
" Mendingan lo baca ini, biar lo bisa makin sadar. "
Louise menyodorkan sebuah amplop putih bertuliskan 'Untuk Lars' di depannya. Itu tulisan tangan Jenny. Lars menerimanya dan membiarkan Louise, ibu Jenny dan Filemon melangkah pergi. Dia pergi ke arah balkon dimana semua orang bisa melihat kapal terbang yang tinggal landas atau pun yang mendarat. Disana dia membuka surat dari Jenny dan membacanya.

 

 

 

 
Dear Lars…
Sorry kalo gua norak banget pake nulis surat segala ke lo, tapi gua nggak tau lagi gimana bisa ngejelasin semuanya ke lo sebelum gua pergi.
Lo masih inget waktu gua bilang sama lo kalo gua udah putus sama Kevin karena nggak cocok? Gua boong. Sebenernya gua sama Kevin nggak ada hubungan apa-apa. Gua baru kenal sama Kevin sekitar tiga bulan yang lalu, lewat biro jodoh. Gua minta dia buat jadi pacar bohongan gua buat ngeyakinin lo kalo gua nggak boong soal pacar gua. Gua nggak tau kalo ternyata lo sama Kevin sobatan, gua minta maaf.
Dan soal tipe cowok yang gua suka waktu itu? Cowok itu lo. Yang cuek, yang misterius, dewasa dan sebagainya. Well… intinya, gua suka sama lo, semenjak lo nabrak gua di supermarket waktu itu. Gua sendiri baru nyadar kalo ternyata selama ini perasaan gua nggak berubah. Walaupun lo playboy, gua cinta sama lo. Tapi gua tau kalo perasaan gua nggak mungkin dapet balesan dari lo. Banyak cewek yang ngantri buat jadi cewek lo, gua nggak ada apa-apanya dibandingin mereka. Jadi gua cukup seneng jadi asisten lo, nikmatin lo pake cara gua sendiri.
Gua udah banyak banget salah sama lo, Lars. Gua banyak boong sama lo, soal Kevin, soal Cherry, soal diri gua sendiri, soal perasaan gua. Gua bener-bener minta maaf.
Dan soal pekerjaan gua dibengkel semua udah gua beresin, jadi kalo lo dapet asisten yang baru, dia nggak bakal susah ngelanjutin kerjaan gua. Gua janji bakal mempertanggung jawabkan semuanya ke lo kalo kita ketemu lagi nanti. Itu juga kalo kita ketemu.
Well, sekali lagi gua hanya mau lo tau: gua suka sama lo dan selamanya bakal suka. Sorry gua harus pergi pake cara kayak gini, tapi gua lega udah nggak mesti nutup-nutupin masalah apa pun sama lo.
Thank's for being just you, Lars.
Bye.
Jen

 
Lars diam dan merenungi semua kata-kata yang tertera di atas kertas itu. Dia ingat Jenny: perhatiannya, kebohongannya, kepolosannya, sikapnya selama ini, semuanya seperti menjadi sesuatu yang menjadi lengkap. Dan kelengkapan itu menyadari dan membuka mata Lars yang selama ini tertutup. Dia mengingat lagi sosok Jenny: wajahnya yang polos dan manis, rambut panjangnya yang coklat, kulit putihnya; kapan Lars pernah lupa kalau semua itu membuatnya rindu? Lars baru sadar kalau selama ini Jenny-lah yang paling mengerti dirinya. Menjawab teleponnya di malam hari sewaktu dia kesal, menemaninya pergi ke gym setiap pagi, mengurusnya saat babak belur atau sakit, tidak mengganggunya saat sedang mandi dan menghiburnya saat dia patah hati. Saat semua orang memilih untuk membiarkan Lars sendiri dan menenangkan diri, Jenny justru menemaninya dan membuatnya tertawa lagi, walaupun melalui hal-hal sederhana dan tidak berarti. Ya ampun, ternyata Jenny lebih dari sekedar asisten bagi Lars!
Tapi sudah terlambat untuk menyadari semuanya. Kini Jenny sudah memutuskan untuk tidak menerima apa-apa dan pergi. Seolah meninggalkan semua masa lalunya dan pergi untuk mencari kehidupan lain. Lars tertunduk sedih dan menyesali semua keterlambatannya, sementara Jenny berada diatas sana, memandang rumah dan semua yang berpijak ke dalam perut bumi dengan ukuran sangat kecil, terlindung di balik logam yang menyelimuti badan pesawat terbang dan tersenyum lega karena telah menuntaskan segala sesuatu yang memang harus dituntaskan.

 
...Bersambung...

Ny. Lars – Part 29 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 29 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny sudah memutuskan jalan mana yang akan di pilihnya. Dengan berat hati dia harus mengakui kesalahan dan keegoisannya kepada Kevin. Walaupun keputusannya itu membuat Kevin sakit hati, tapi Jenny yakin kalau itu adalah keputusan yang baik bagi mereka semua. Sekarang hanya tertinggal urusannya dengan Lars yang perlu diselesaikan …

 
Rangkaian tujuh hari dalam seminggu sudah dilalui Jenny dengan Lars disampingnya. Dia sedang berperan sebagai dokter cinta yang sedang mengobati pasien yang menderita sakit hati kronis. Jenny yakin hatinya tidak akan tenang melihat Lars yang menderita seperti itu, karena itu dia memutuskan untuk mengobati luka hati Lars sebelum hari keberangkatannya tiba.
" Dua lukisan terakhir bisa gua selesaiin tiga minggi lagi, tapi lo siap-siap aja dari sekarang. "
Ini obrolan terakhir antara Jenny dan ayahnya, sekitar dua minggu yang lalu. Berarti kurang lebih seminggu lagi waktu yang tersisa bagi Jenny untuk menemani Lars dan menjadi dokter cinta baginya.
Di pagi yang cerah kali ini, Lars dan Jenny duduk diatas alat masing-masing di gym yang dulu sering mereka datangi.
" Udah lama, ya kita nggak ke sini. "
Dengan tampang secerah mungkin Jenny menoleh ke arah Lars yang disambut dengan 'tatapan sedikit senyum' yang akhir-akhir ini memang selalu ditunjukkan Lars.
" Abis ini kita mau kemana? " Tanya Jenny lagi.
" Terserah lo. " Jawab Lars masih dengan dingin.
" Hm… ok, kita ke mall. "
" Ke Mall? Mau ngapain? "
" Main game. "
" Hah? "
Jadi begitulah. Beberapa jam kemudian Jenny dan Lars sudah berada di mall, tepatnya disalah satu game center. Mereka berdua hampir seperti anak kampung yang baru pertama kali turun gunung, masuk mall dan bermain dengan game-game hebat berteknologi canggih. Mereka membeli begitu banyak koin dan menghabiskannya hampir di setiap mesin permainan yang ada. Bola basket, balap mobil, Formula Satu, menangkap boneka sampai menari. Untung saja Lars menolak saat Jenny mengajaknya bermain di kolam bola, lagipula permainan itu memiliki batasan umur yang jauh dari umur mereka.
Tapi, bagaimanapun yang paling melegakan adalah saat Lars bisa tertawa lepas. Jenny benar-benar merasa lega melihat wajah ganteng yang sedang tertawa itu karena selama beberapa minggu ini raut wajah itu sangat langka terpasang di wajah Lars.
" Pukul yang kuat! Ha…ha…ha… "
Jenny sedang memukul sebuah tombol merah besar di salah satu permainan dengan sekuat tenaga. Sementara Lars yang sudah mendapat giliran pertama menyemangatinya dari belakang. Tiga pukulan terakhir dan permainan selesai, Jenny terengah-engah mengatur napas.
" Thank's to you, Jen. " Kata Lars tiba-tiba dengan tampang serius.
" Buat apa? "
" Ngajakin gua main game. Akhirnya gua bisa ketawa lagi. "
Jenny berhasil mengatur napasnya yang ngos-ngosan tadi, lalu tersenyum dan memukul lengan Lars. " Nggak pa-pa, itu gunanya gua buat lo. Lagian lo kan playboy, masa nyerah hanya gara-gara diputusin cewek, sih? "
Lars tersenyum lagi. " Gua lapar, kita makan, yuk. " Jenny mengangguk dan mereka berdua melenggang pergi.
Malam sudah dijelang, saat ini Lars dan Jenny sudah berada di sebuah club. Well, jika selama ini syarafmu sudah begitu tegang, pergi ke club dan merasakan hingar bingarnya bisa menenangkanmu. Semboyan ini tidak pernah berubah dari dulu.
" Gua udah lama nggak ke klub, kangen juga. " Lars berkata sambil berjalan berdampingan dengan Jenny masuk ke dalam klub.
" Iya, jadian sama Cherry emang bikin lo hilang dari pergaulan. "
Jenny menimpali sedangkan Lars hanya tersenyum. Tiba-tiba dia teringat sesuatu lalu buru-buru mengatakan: " Lo nggak boleh minum sampange. "
" Emangnya kenapa? " Tanya Jenny sebal.
" Gua masih inget terakhir kali lo minum sampange, lo mabuk berat dan demam dua minggu. "
" Tapi, kan… "
" Lo minum sesuatu yang lebih aman dari pada sampange. "
Akhirnya Lars memesan segelas minuman bersoda untuk Jenny dan segelas bir untuk dirinya. Sebenarnya Jenny ingin melawan diskriminasi yang baru saja di terimanya itu, tapi mengingat Lars yang sudah kembali kepada sifatnya yang suka mengatur orang lain itu, Jenny memilih untuk menikmati diskriminasi itu.
Lars diam cukup lama. Dia tunduk menekuri gelas wiskinya tanpa menoleh atau terganggu sedikit pun dengan orang yang mondar mandir dibelakangnya atau suara musik yang membahana. Saat Jenny mau menegurnya, Lars berkata lebih dulu.
" Kalo dipikir-pikir, selama ini gua bego banget, ya? " Lars menatap Jenny yang dibalas Jenny dengan tatapan yang seolah bertanya: 'kenapa?'.
" Gua nggak sengaja ketemu Cherry di klub, jalan sebentar sama dia, tapi gua langsung jatuh cinta. Kurang dari tiga bulan gua kenal sama dia, tapi gua udah mau jadiin dia istri gua? " Lanjut Lars.
Jenny meneguk minumannya, lalu berkata: " Itu namanya bukan bego. Lo kan nggak pernah tau kapan bakal jatuh cinta sama seseorang. "
" But that's weird! Bayangin Jen, kurang dari tiga bulan! Kenapa gua nggak jatuh cinta sama lo aja yang udah gua kenal lebih dari dua tahun? "
" Mana gua tau. "
Lars akhirnya memalingkan wajahnya dari gelas bir yang belum disentuhnya itu dan memandang Jenny yang juga sedang memandangnya. Lars tiba-tiba melihat wajah polos yang sama yang dulu dilihatnya saat pertama kali bertemu dengan Jenny. Tiba-tiba timbul rasa ingin memiliki. Sosok Kevin melintas dikepalanya dan Lars langsung mengalihkan pikirannya. Dia meminum birnya hingga tinggal setengah gelas dengan cepat.
" Gimana hubungan lo sama Kevin? " Tanya Lars tanpa memandang Jenny.
" Gua belum cerita sama lo, ya? Gua udah putus sama Kevin, kira-kira dua minggu yang lalu. "
Lars nyaris menumpahkan minumannya saat mendengar jawaban Jenny, tapi untung saja dengan cepat dia bisa mengendalikan diri.
" Kenapa? "
" Nggak cocok aja. Dia orangnya terlalu blak-blakan, periang, gua nggak suka tipe kayak gitu. "
" Jadi lo suka tipe yang kayak apa? " Tanya Lars lagi akhirnya.
Jenny tahu Lars hanya bertanya dengan iseng, tapi Jenny menjawabnya dengan serius sambil membayangkan wajah Lars.
" Gua suka cowok yang sedikit pendiam, kesannya misterius dan dewasa. Gua suka cowok yang cool, yang nggak banyak omong tapi tau apa yang harus dia lakuin. Dan orang yang ngehargain wanita lebih dari apapun. "
Lars merasakan perasaan yang aneh. Dia merasa seolah ada seorang wanita yang sedang menyatakan cinta kepadanya, dan wanita itu sedang berada di depannya sekarang. Wanita itu Jenny. Tapi Lars terlalu yakin kalau Jenny tidak akan pernah melakukan itu. Walaupun dia merasa kalau tipe laki-laki yang dikatakan Jenny tadi persis seperti sifatnya, tapi dia yakin Jenny sedang tidak membicarakannya. Jenny sangat tidak suka dengan laki-laki playboy. Lars playboy, jadi Jenny tidak akan pernah suka dengannya.
" Udah ampir jam dua belas, kita pulang, yuk! "
Lars tersadar dari lamunannya. Dia mengangguk lalu mengikuti Jenny keluar klub dan pulang.

 
...Bersambung...

Ny. Lars – Part 28 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 28 -

 
… Episode sebelumnya …
Situasi berubah dengan sangat cepat. Cherry memutuskan hubungannya dengan Lars, membuat Lars menjadi sangat patah hati. Jenny berusaha menemani Lars dan membuatnya tenang, tapi di tengah suasana hati yang labil dan dibawah pengaruh alcohol, Lars malah mengatakan bahwa sebenarnya dia juga menyukai Jenny…

 
Pagi berikutnya, Jenny pulang kerumah ibunya dengan pakaian yang sama, tanpa make up, dan tampang kusut. Di tengah jalan saat hendak masuk ke kamarnya, Jenny bertemu dengan Kevin di ruang duduk yang sedang menemani ibunya bermain catur.
" Jenny… kemana kau semalaman? Apa baik seorang anak gadis tidak pulang semalaman? " Tanya ibunya.
" Nginep di rumah temen. "
" Teman? "
Jenny sedang tidak siap menerima pertanyaan-pertanyaan manyebalkan dari ibunya ini, jadi dia hanya menjawab seadanya. Untung saja terdapat Kevin 'sang penyelamat' di sana. Dia menyentuh lengan ibu Jenny lalu berkata:
" Oh iya, kemarin Jenny memang mengatakan padaku kalau dia akan menginap di rumah Louise. Iya kan, Jen? "
Tanpa mengerti apa yang Kevin maksud, Jenny hanya mengangguk pelan.
" Maaf, aku lupa memberitahumu. " Lanjut Kevin kepada ibu Jenny.
" Oh, baiklah… Lebih baik aku bersiap-siap untuk sarapan… Kau mau ikut dengan kami, Jen? " Jenny mengangguk lagi.
Jadi begitulah. Entah jurus apa yang dilancarkan Kevin, tapi ibu Jenny sudah begitu percaya kepadanya, padahal Jenny tidak pernah memberitahukan apa-apa kepada Kevin tentang semalam. Jenny berjalan menghampiri Kevin, lalu duduk di bangku tempat ibunya duduk tadi.
" Thank's. " Kata Jenny pelan.
" Nggak masalah, sayang… Mau main? " Jawab Kevin dengan bangga, lalu menunjuk papan catur didepannya. Jenny menggeleng kali ini.
" Catur bikin gua migrain. "
Lalu keduanya diam.
" Tumben lo dateng pagi-pagi? " Kata Jenny lagi.
" Sebenernya gua mau ngomong sama lo. "
" Wah, kebetulan. Gua juga mau ngomong sama lo. Lo duluan aja. "
Wajah Kevin mendadak menjadi berseri-seri, matanya berbinar, bibirnya membentuk senyuman bahagia. " Gua udah ngomongin ini sama nyokap lo, and—" Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana hitamnya. Kotak kecil, berwarna merah beludru, berbentuk hati. Kevin membukanya dan terdapat sebuah cincin di sana, satu berlian di tengah-tengah dan emas putih mengelilinginya. " Would you be my vionce? "
Jenny makin diam dan makin merasa bersalah. Semalam dia sudah berpikir panjang lebar dan memutuskan apa yang akan dilakukannya. Tapi mendapat ajakan pertunangan dari Kevin ini membuatnya sedikit goyah. Apa dia berani mengatakan keputusannya kepada Kevin? Apa lagi setelah Kevin memintanya menjadi tunangannya? Keputusan yang akan Jenny buat tidak akan membuat Kevin senang, apa Jenny berani mengatakannya? Jenny membulatkan tekadnya lagi.
" Lo nggak mau tau sebenernya kemarin malam gua kemana? "
Wajah gembira Kevin langsung hilang, digantikan dengan ekspresi tegang yang menakutkan. Dia diam, meletakkan cincin tadi diatas meja lalu mendengarkan Jenny.
" Semalam gua dirumah Lars. " Wajah Kevin memucat tapi Jenny tetap melanjutkan. " Sebenernya gua mau ngomongin masalah kita. Mendingan hubungan kita selesai sampe disini aja. "
" Lho, kenapa nih? Gua salah apa sama lo? Gua salah ngomong? Atau gua nyakitin perasaan lo? Gua kurang ajar sama lo? " Kevin menjadi panik. Dia mengguncang pundak Jenny dan berkata-kata tanpa tanda baca, titik ataupun koma. " Selama ini gua pikir gua udah berhasil bikin lo jatuh cinta sama gua. Gua pikir kita udah mulai serius! Gua—"
" Lo nggak salah apa-apa, Kev. Gua yang salah, semua salah gua. Seharusnya dari awal gua nggak usah ikutan biro jodoh itu dan ketemu sama lo, minta lo pura-pura jadi cowok gua, minta lo jadi tempat pelarian gua-- "
" Siapa yang jadi pelarian? Gua bener-bener cinta sama lo! Gua suka sama lo! Gua serius! " Suara Kevin sudah mulai meninggi dan napasnya juga sudah mulai memburu.
" Gua tau lo bener-bener sayang sama gua, tapi gua nggak bisa menghilangkan Lars dari pikiran gua! Gua manfaatin lo buat ngelupain Lars, tapi gua nggak berhasil dan itu salah gua! Gua minta maaf, gua nggak bisa ngebohongin diri gua sendiri lagi. "
" Lo jangan kayak Cherry, Jen! Lo bukan Cherry! "
" Gua emang Cherry! Gua malah jauh lebih jahat dari pada Cherry! Mangkanya gua nggak mau ngebikin lo tambah sakit hati! Gua sayang sama lo, Kev, tapi hanya sebagai kakak—"
" Tapi gua nggak mau kita jadi sodara! "
" Ada apa ribut-ribut begini? "
Terdapat satu suara yang asing diantara kedua suara tadi, dan itu membuat Jenny dan Kevin langsung diam. Keduanya menoleh ke asal suara dan menemukan seseorang. Laki-laki berumur sekitar hampir lima puluh tahun, mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu yang menutupi perut besarnya, dan matanya ditutupi kacamata bergagang emas. Pria itu adalah Filemon, ayah tiri Jenny, suami kedua ibunya.
Dari arah berlawanan terdengar suara teriakan ibu Jenny dan derap lari menuju tempat dimana Filemon berdiri.
" Honey… Kenapa tidak menelepon kalau kau pulang hari ini… ? "
" Aku ingin memberimu kejutan, Honey… "
Mereka berpelukan lalu berciuman cukup lama dan cukup membuat Jenny jengah melihatnya. Selesai berciuman, Filemon memandang Kevin dan Jenny bergantian lalu bertanya sekali lagi.
" Apa yang terjadi disini? "
" Kebetulan semua udah ngumpul, Jenny mau ngomong sesuatu. " Jenny yang sudah bertekad bulat kini memberanikan diri untuk mengatakan keputusannya. Semua mata menatapnya sekarang.
" Jenny… mau ikut sama ayah ke Jerman. "
Semuanya terdiam, lalu…
" Jenny, apa yang kamu bicarakan? " Ibunya berteriak histeris, Kevin menatapnya dengan wajah yang jauh lebih kaget dan Filemon menatapnya tanpa bergeming.
" Mom, Jenny disini cuma buat nemenin mom, sekarang Fil—papa, udah pulang, jadi tugas Jenny udah selesai. "
" Tadi bagaimana dengan Kevin? Dia tunanganmu! Kalian—"
" Mom, Kevin bukan tunangan Jenny. Dari awal kita nggak ada hubungan apa-apa, kita hanya pura-pura pacaran. "
Ibu Jenny semakin membelalakkan matanya. Dia menatap Kevin meminta penjelasan, tapi Kevin hanya diam. Menjawab pun hanya akan menambah kacau suasana.
" Apa-apaan kalian ini?! Jenny, apa yang kamu harapkan dari ayahmu itu? Dia hanya mementingkan lukisannya! Dia tidak akan bisa membiayaimu! Dia itu— "
" Mom, Jenny udah gede! Jenny tau mana yang bener dan mana yang salah dan Jenny bisa ngebiayain hidup Jenny sendiri! Sampe kapan mom mau ngejelek-jelekin ayah di depan Jenny, anak kandung kalian sendiri?! "
" Jenny, kamu—"
Tiba-tiba Filemon menengahi pertengkaran antara ibu dan anak itu dan ibu Jenny langsung bungkam.
" Aku tau kau anak yang sama keras kepalanya dengan ibumu ini. Aku berterima kasih karena kau sudah mau menemani Lili selama aku pergi. Tentu saja aku akan sangat senang jika kau mau menemani kami lebih lama lagi, tapi semua keputusan ada di tanganmu. Kalau kau ingin menemani ayahmu di Jerman, kurasa kita tidak bisa mencengahnya. Benarkan Lili? " Filemon menatap istrinya yang tidak bisa berkata apa-apa.
" Tapi jangan lupa, " lanjut Filemon. " Kau harus menyelesaikan semua masalahmu yang belum selesai. " Filemon mengangguk kepada Kevin dan Jenny juga mengangguk mengerti.
" Jenny tau, dan Jenny harap mom bisa ngerti. " Tanggap Jenny memandang ibunya.
Mata ibunya berkaca-kaca. " Apa kau tidak menyayangiku, Jenny… "
" Bukan begitu, mom. Jenny sayang mom, cuma kadang mom suka lupa kalo Jenny udah bukan gadis kecil lagi. Jenny udah bisa memutuskan hidup Jenny sendiri. " Sekarang air mata ibunya sudah menetes. Jenny mendekati ibunya. " Mom… "
" Kau harus sering menghubungiku, hanya kamu anakku satu-satunya, jangan lupa… " Dan ibunya memeluk Jenny sambil bercucuran air mata. Jenny juga menangis, tidak pernah dia merasa sedekat ini dengan ibunya sendiri, ternyata dia memang masih punya ibu.
Setelah acara tangis-tangisan itu selesai dan Filemon serta ibunya mengundurkan diri untuk beristirahat sambil sarapan, tinggal Jenny dan Kevin yang tinggal diruangan itu. Masalah mereka belum selesai.
" Kevin, gua—"
" Ternyata gua tetep nggak bisa menang dari Lars, ya? " Kata Kevin memotong omongan Jenny, wajahnya masih penuh dengan kekecewaan tapi tidak dengan panik seperti tadi. Jenny menggeleng.
" Semua orang punya kelebihan masing-masing. Lo nggak pernah kalah dari Lars, dari siapa pun. Gua yang kalah dari lo. Lo udah nawarin cinta yang tulus buat gua, tapi gua nggak bisa terima itu. Bukan gua yang cocok buat lo, pasti ada seorang cewek diluar sana yang sebenernya jodoh lo, yang bisa bikin lo bahagia. Yang jelas cewek itu bukan gua, dan gua nggak mau bikin lo menderita gara-gara gua yang egois. "
Kevin tersenyum pahit. " Sebesar itu rasa cinta lo sama Lars? "
Jenny mengangguk dan ikut tersenyum pahit. " Gua sendiri juga nggak nyadar. "
Mereka berdua diam. Kevin merasa kalau harapannya tidak ada lagi. Cita-citanya tidak akan pernah tercapai. Padahal dia sudah tahu akan berakhir seperti ini dari awal perkenalannya dengan Jenny, tapi entah kenapa dia seolah ingin membuktikan kekhawatirannya itu dengan mengalaminya langsung. Tapi saat semuanya memang benar terjadi, ternyata rasanya lebih pahit dari yang dia kira.
" Lo bener-bener mau pergi ke Jerman? " Tanya Kevin lagi akhirnya.
" Iya. "
" Lars gimana? "
" Bisa diurus. "

 
Jenny sekarang berada di kamarnya setelah meninggalkan Kevin yang katanya akan pulang. Dia meraih ponselnya dan menghubungi ponsel ayahnya.
" Ayah, soal tawaran ayah ke Jerman itu… Iya… Jenny mau ikut. Kapan kita berangkat? Ok, siang ini Jenny udah ada dirumah Jenny. He-eh. See you soon. "
Telepon ditutup. Hatinya sudah sangat lega karena telah melakukan apa yang harus dilakukannya dengan benar. Hanya tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakannya, dan setelah itu semuanya selesai, mudah-mudahan dengan akhirnya yang membahagiakan bagi semuanya.

 
...Bersambung...

Ny. Lars – Part 27 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 27 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny dan Kevin sudah membagi tugas untuk menyelamatkan Lars dan patah hati yang sangat menyakitkan. Sekarang seharusnya Jenny sedang berusaha meyakinkan Cherry untuk mengatakan hal yang sebenarnya kepada Lars. Tapi keadaan malah berbalik. Cherry malah membuat Jenny goyah dengan mengatakan apa yang selama ini selalu Jenny tutup-tutupi. Dan semua itu membuat Jenny kembali terombang-ambing …

 
Sore itu, Lars sedang berada di dalam kantornya bersama Kevin, sahabatnya. Mereka berdua sedang membicarakan sesuatu tapi sepertinya tidak terlalu berjalan lancar dan damai. Lars menjawab pertanyaan Kevin dengan nada sedikit membentak.
" Lo maunya apa sih? Dari tadi nyuruh gua putusin Cherry? "
" Gua udah bilang, Cherry bukan cewek yang baik buat lo. "
" Mau baik kayak gimana lagi? Cherry yang paling baik yang pernah gua kenal! "
" Your wrong! Dia nggak sebaik yang lo pikir. "
" You make me angry, man. Tugas lo bikin Jenny bahagia, jadi urusan gua nggak perlu lo campurin. "
Lars tampak jauh lebih kesal dan marah, membuat Kevin menjadi lebih berhati-hati berbicara dengannya.
Tapi belum sempat Kevin berbicara lagi, tiba-tiba pintu kantor Lars terbuka tanpa diketuk lebih dahulu. Cherry masuk, mengenakan celana jeans selutut dan t-shirt ketat berwarna hijau muda. Seperti biasa, penampilannya selalu memukau.
" Lars, ada yang mau gua omongin sama lo. '
Lars hanya diam memandang Cherry yang datang begitu cepat, juga mengagumi kecantikan Cherry sekaligus. Sementara itu Cherry melihat tajam ke arah Kevin.
" We need to talk. Privatly! "
Kevin mengerti situasinya dan langsung mengundurkan diri dari ruangan itu setelah berkata: " Gua ada di luar kalo lo butuh gua. " kepada Lars.
Pintu sudah ditutup dan Lars yang sudah sadar dari reaksi keterpesonaannya, mendekati Cherry dan mulai memeluk dan menciumnya.
" Sweet, kenapa nggak telepon dulu kalo mau dateng? "
Cherry mundur untuk menghindari pelukan dan ciuman dari Lars, lalu berkata masih dengan lembut.
" Lars… "
" Hm? "
" Gua mau kita putus. "

 
Enam puluh menit kemudian (benar-benar enam puluh menit kemudian, tidak kurang tidak lebih, karena Kevin benar-benar menghitung setiap menitnya), Cherry akhirnya keluar dari kantor Lars dengan mata yang sembab. Dia tidak menoleh sedikit pun ke arah Kevin untuk menjelaskan sesuatu, dan itu membuat Kevin tidak tahan. Dia menarik tangan Cherry dan bertanya tanpa basa-basi.
" Lo ngomong apa sama Lars? "
" Gua ngomong semuanya sama Lars, sekarang kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. "
Cherry melepas pegangan tangan Kevin dan langsung pergi. Kevin terdiam. Dia tahu apa yang diinginkannya sudah terpenuhi, tapi kini kekhawatirannya yang lain akan terbukti.
Kevin masuk ke dalam kantor dan menemukan Lars duduk di sofa dengan tampang kusut. Wajahnya tegang dan kedua tangannya memegangi kepalanya yang terasa berat. Kevin tidak pernah melihat Lars sesedih ini semenjak kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan delapan tahun yang lalu. Kevin mendekati Lars pelan-pelan lalu menepuk bahunya dengan lembut dan berkata:
" Hei Lars, I'm… "
Lars memotong pembicaraan Kevin. Dia menatap Kevin dengan wajah 'sakit hati'nya lalu mengangkat telapak tangan kanannya dan berkata, dengan nada serius yang berat.
" Kev, I need to be alone. "
Kevin langsung diam lalu menghela napas dan berjalan keluar kantor tanpa berkata apa-apa lagi. Dia tahu benar rasa sakit seperti itu.
Tiga jam berikutnya, hari sudah gelap saat Lars berjalan terseok-seok keluar dari kantornya menuju mobil Mercedes yang terparkir di depan bengkel. Kepalanya masih berdenyut kencang dan otaknya sedang berpikir ekstra keras, sedang memproses semua penjelasan Cherry tadi dan memilah-milah mana yang benar dan mana yang bohong. Sinar mata Cherry yang Lars perhatikan saat menjelaskan kepadanya tadi mengatakan kalau Cherry tidak berbohong, ini malah membuat Lars semakin nelangsa.
Lars mengendarai mobilnya dengan sedikit ugal-ugalan. Lalu dia memarkirkan mobilnya didepan salah satu klub. Dia masuk, langsung menghampiri bartender dan memesan beberapa gelas minuman beralkohol. Lars menghabiskan minumannya dalam waktu singkat lalu memesan lagi. Begitu terus hingga gelas ketujuh. Tiba-tiba dia tersadar kalau lingkungan klub itu membuat sakit kepalanya bertambah parah. Jadi dia tinggalkan beberapa lembar uang dan keluar dari bar itu dalam keadaan setengah mabuk.
Mobil Mercedes milik Lars kini melaju ke arah apartemennya. Dan setelah sampai, Lars langsung menjatuhkan dirinya diatas sofa ruang duduk. Suasananya sunyi, tak ada suara hingar bingar musik seperti di klub tadi. Ini membuatnya sedikit nyaman, walaupun sakit kepalanya terasa lebih menyakitkan.
Kevin mengambil sebotol sampange dari dalam lemari dan membukanya, tidak perduli niatnya dulu yang ingin memendam sampange itu sampai beberapa tahun lagi. Lars meneguknya, nyaris lebih cepat dari pada tegukannya di klub tadi.
Tiba-tiba ponsel Lars berbunyi nyaring, dan Lars yang sudah mabuk itu menjawab panggilan telepon itu tanpa melihat nomor siapa yang tercantum di layar ponselnya.
" Ha…lo… "
" Lars? Gua udah denger soal lo sama Chery tadi sore. Gua—"
" Oh, hai Jenny! My sweet heart… Kemana aja lo… ? "
" Lars? Lo mabuk, ya? "
" Nggak sayang… Nggak mungkin gua mabuk… "
" Lo dimana Lars? "
" Ya dirumah lah… Mau dimana lagi… ? Di hotel… ? Sama Cherry… ? Ha…ha…ha… "
" Gua kesana sekarang juga. "
Klik! Telepon diputus, dan Lars tertawa tanpa sadar apa yang ditertawakannya. Dan setelah beberapa menit tertawa tidak jelas, Lars terdiam dan menutup matanya. Dia tertidur, diatas sofa ruang duduk, masih menggenggam segelas sampange.
Jenny masuk ke apatemen Lars sekitar dua puluh menit kemudian. Dia menemukan Lars tertidur di sofa dengan keadaan kacau. Rambut berantakan, kemeja yang kusut, dasi yang tergantung dileher tapi tidak terikat rapi, dan botol sampange yang terbuka dan mengeluarkan bau yang menyengat. Jenny bergidik ngeri melihat botol sampange itu. Dia masih ingat insiden sampange dan tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Jenny mendekati Lars dan meraih botol sampange itu dan meletakkannya jauh-jauh. Lalu Jenny berusaha membangunkan Lars dengan menepuk pipi Lars. Lars terbangun, tapi pengaruh alkoholnya belum juga hilang.
" Jenny… akhirnya lo dateng juga… "
" Lars, lo mabuk. "
" Gua nggak mabuk. Lo tau apa yang Cherry bilang sama gua tadi sore? Lo tau, Jen? Dia bilang dia lesbian, Jen… Dia lesbian… " Lars berkata-kata sambil memegang kedua pundak Jenny dan menatapnya dengan pandangan sayu, khas seorang pemabuk yang sedang stress.
" Dia bilang, dia nggak cinta sama gua… dia bilang, gua hanya pelarian, Jen… Lo denger? Pelarian! Dia bukan calon istri gua! Gua ditipu! "
Lars semakin menjadi-jadi marahnya. Dia mengguncang-guncangkan tubuh Jenny sambil terus mengomel. Jenny merasa pusing, juga takut melihat Lars yang benar-benar frustasi.
" Lars! Gua tau lo sakit hati, tapi lo nggak boleh jadi kayak gini! "
Kini giliran Jenny yang memegang pundak Lars dan berkata sambil mengguncang-guncangkan tubuh Lars. Posisinya sudah berbalik, tapi Lars tidak kelihatan pusing karena diguncang-guncang, dia malah menyeringai bodoh.
" Mana Lars yang playboy? Mana Lars yang cuek? " Percuma. Apa pun yang dilakukan Jenny, Lars masih saja menyeringai bodoh dan memamerkan gigi putihnya. Malah Jenny yang tambah sedih. Akhirnya Jenny memutuskan untuk membujuk Lars tidur dikamarnya. Sekuat tenaga Jenny menarik tubuh Lars dan menyeretnya ke dalam kamar.
Lars berhasil ditarik ke tempat tidur dan duduk diatas kasur. Jenny terengah-engah lalu menarik sepatu Lars keluar dari kakinya. Lars masih mabuk, tapi membantu Jenny melepas sepatunya sendiri dan melemparnya ke sudut kamar. Kini Jenny mulai menarik dasi yang dipakai tidak rapi tadi dan melepaskan dua kancing teratas kemeja Lars, supaya Lars bisa merasa sedikit lebih nyaman. Tapi Lars malah berpikir lain. Dia memeluk Jenny dan berkata dengan bau sampange keluar dari mulutnya.
" Jenny… Jen… Lo emang paling tau soal gua… Lo yang paling gua sayang… "
Jenny diam. Dia kaget karena Lars tiba-tiba memeluknya dan lupa kalau Lars sedang mabuk.
" Gua mau lo jen… Dari dulu gua mau lo… tapi lo pacaran sama Kevin… "
Jenny masih diam. Perkataan Lars ini membuatnya jauh lebih kaget lagi. Banyak yang mengatakan kalau perkataan orang mabuk adalah perkataan yang sebenarnya yang biasanya disembunyikan orang itu selama dia sadar. Tapi, apa kata-kata Lars itu adalah kebenaran?
Lars sedang mabuk, mangkanya Lars bisa melakukan hal seperti ini, Jenny menyakinkan hatinya. Tapi saat secara tiba-tiba Lars mencium Jenny, dia tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Lalu Lars mendorong Jenny ke atas tempat tidur dan mulai mencium leher Jenny, bahkan mulai melepas kancing kemeja Jenny.
Sebenarnya Jenny panik. Tapi kepanikan yang didasari karena tahu yang melakukan semua itu adalah Lars, orang yang selama ini di cintainya, yang menjadi bunga mimpi Jenny selama beberapa tahun ini, membuat Jenny tidak berbuat apa-apa. Dia malah merasa jantungnya berdetak kencang dan adrenalinnya sedikit demi sedikit memuncak. Dan Jenny merasakan rasa menggelitik itu lagi. Butterfly, dan kali ini jauh lebih dalam dan jauh lebih menggelitik. Singkatnya, Jenny menikmatinya.
Tapi akhirnya Lars diam, menjatuhkan wajahnya diatas leher Jenny dan mengatakan " Jenny. " dengan suara lirih, lalu Lars tertidur. Jenny tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jika dia bergerak, Lars akan terbangun dari tidurnya yang kelihatan nyenyak itu, jadi dia memilih diam dan mencoba menetralkan detak jantungnya. Dia kembali ingat kalau Lars sedang patah hati dan mabuk. Diam-diam dia menyesalinya. Kalau saja Lars tidak mabuk… Kalau saja Lars bercumbu dengannya dalam keadaan sadar…
Mendadak Jenny ingat pertemuan pertamanya dengan Lars, ingat saat Lars tidak sengaja menabraknya, saat Lars meneleponnya dan saat Lars mengajaknya bekerja sebagai asistennya. Jenny ingat kalau dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Lars, dan sadar atau tidak, rasa cinta itu tidak berubah. Jenny juga ingat saat dia tidak sengaja mengatakan kalau sebenarnya dia sudah punya pacar dan reaksi Lars yang kelihatan kecewa, saat itu Jenny sangat ingin mengatakan kalau sebenarnya dia berbohong tapi tidak bisa. Dia juga ingat saat dia menjemput Lars di klub dan membopongnya hampir seperti sekarang ini. Bedanya, hari itu diakhiri dengan Lars yang tertidur dengan wajah babak belur dan Jenny yang menangis; tapi hari ini Lars tertidur dengan wajah tanpa goresan sedikitpun (mungkin hanya hatinya yang tergores), dan berada di pelukan Jenny. Jenny memeluk Lars, benar-benar merasa hangat dan terdapat perasaan memiliki yang kuat.
Lalu Jenny teringat saat dia bertemu dengan Kevin, berpura-pura pacaran, lalu sakit hati melihat Lars jatuh cinta dengan Cherry, dan saat Kevin menenangkannya dan menawarkan cintanya sebagai pengganti sosok Lars. Saat itulah Jenny mulai menyadari kalau dia tak jauh berbeda dengan Cherry. Dia menyakiti Kevin dengan menjadikannya sebagai pelarian. Memang awalnya Kevin yang mati-matian mengatakan akan bisa mencuri hati Jenny, tapi kalau saja Jenny bisa bersikap lebih tegas, tidak egois dengan hanya memikirkan sakit hatinya sendiri, Jenny bisa saja tetap menolak Kevin. Tapi Jenny tidak melakukannya, Jenny terlalu egois dan tidak ingin kehilangan orang yang memang ingin mencintainya tapi sebenarnya Jenny sendiri tidak bisa menanggapi perasaan laki-laki itu. Iya, Kevin bukan orang yang diinginkannya. Jenny baru sadar bahwa setiap kali Kevin menciumnya, di dalam hati Jenny membayangkan sosok Lars yang sedang menciumnya. Kevin bukan Lars, Jenny sudah menipunya.
Jadi disinilah Jenny sekarang, berada di atas tempat tidur Lars dengan Lars berada dipelukannya. Nyaris melakukan adegan percintaan, tapi gagal karena Lars hanya sedang mabuk berat. Dan saat itulah, saat paling menyedihkan dimana Jenny telah menyadari semua kesalahannya dan bertekad untuk mengakhiri semua kebohongan ini. Menyadari cintanya kepada Lars sekaligus menyadari kesalahannya kepada Kevin. Dan paduan keduanya membuat Jenny merasa sangat kejam, menjadi seorang penjahat paling kejam yang menyandera Lars sekaligus menggantung Kevin. Jenny sudah memutuskan, dia harus menyelesaikan semuanya tanpa melakukan kesalahan lagi.

 
...Bersambung...