Ny. Lars – Part 28 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 28 -

 
… Episode sebelumnya …
Situasi berubah dengan sangat cepat. Cherry memutuskan hubungannya dengan Lars, membuat Lars menjadi sangat patah hati. Jenny berusaha menemani Lars dan membuatnya tenang, tapi di tengah suasana hati yang labil dan dibawah pengaruh alcohol, Lars malah mengatakan bahwa sebenarnya dia juga menyukai Jenny…

 
Pagi berikutnya, Jenny pulang kerumah ibunya dengan pakaian yang sama, tanpa make up, dan tampang kusut. Di tengah jalan saat hendak masuk ke kamarnya, Jenny bertemu dengan Kevin di ruang duduk yang sedang menemani ibunya bermain catur.
" Jenny… kemana kau semalaman? Apa baik seorang anak gadis tidak pulang semalaman? " Tanya ibunya.
" Nginep di rumah temen. "
" Teman? "
Jenny sedang tidak siap menerima pertanyaan-pertanyaan manyebalkan dari ibunya ini, jadi dia hanya menjawab seadanya. Untung saja terdapat Kevin 'sang penyelamat' di sana. Dia menyentuh lengan ibu Jenny lalu berkata:
" Oh iya, kemarin Jenny memang mengatakan padaku kalau dia akan menginap di rumah Louise. Iya kan, Jen? "
Tanpa mengerti apa yang Kevin maksud, Jenny hanya mengangguk pelan.
" Maaf, aku lupa memberitahumu. " Lanjut Kevin kepada ibu Jenny.
" Oh, baiklah… Lebih baik aku bersiap-siap untuk sarapan… Kau mau ikut dengan kami, Jen? " Jenny mengangguk lagi.
Jadi begitulah. Entah jurus apa yang dilancarkan Kevin, tapi ibu Jenny sudah begitu percaya kepadanya, padahal Jenny tidak pernah memberitahukan apa-apa kepada Kevin tentang semalam. Jenny berjalan menghampiri Kevin, lalu duduk di bangku tempat ibunya duduk tadi.
" Thank's. " Kata Jenny pelan.
" Nggak masalah, sayang… Mau main? " Jawab Kevin dengan bangga, lalu menunjuk papan catur didepannya. Jenny menggeleng kali ini.
" Catur bikin gua migrain. "
Lalu keduanya diam.
" Tumben lo dateng pagi-pagi? " Kata Jenny lagi.
" Sebenernya gua mau ngomong sama lo. "
" Wah, kebetulan. Gua juga mau ngomong sama lo. Lo duluan aja. "
Wajah Kevin mendadak menjadi berseri-seri, matanya berbinar, bibirnya membentuk senyuman bahagia. " Gua udah ngomongin ini sama nyokap lo, and—" Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana hitamnya. Kotak kecil, berwarna merah beludru, berbentuk hati. Kevin membukanya dan terdapat sebuah cincin di sana, satu berlian di tengah-tengah dan emas putih mengelilinginya. " Would you be my vionce? "
Jenny makin diam dan makin merasa bersalah. Semalam dia sudah berpikir panjang lebar dan memutuskan apa yang akan dilakukannya. Tapi mendapat ajakan pertunangan dari Kevin ini membuatnya sedikit goyah. Apa dia berani mengatakan keputusannya kepada Kevin? Apa lagi setelah Kevin memintanya menjadi tunangannya? Keputusan yang akan Jenny buat tidak akan membuat Kevin senang, apa Jenny berani mengatakannya? Jenny membulatkan tekadnya lagi.
" Lo nggak mau tau sebenernya kemarin malam gua kemana? "
Wajah gembira Kevin langsung hilang, digantikan dengan ekspresi tegang yang menakutkan. Dia diam, meletakkan cincin tadi diatas meja lalu mendengarkan Jenny.
" Semalam gua dirumah Lars. " Wajah Kevin memucat tapi Jenny tetap melanjutkan. " Sebenernya gua mau ngomongin masalah kita. Mendingan hubungan kita selesai sampe disini aja. "
" Lho, kenapa nih? Gua salah apa sama lo? Gua salah ngomong? Atau gua nyakitin perasaan lo? Gua kurang ajar sama lo? " Kevin menjadi panik. Dia mengguncang pundak Jenny dan berkata-kata tanpa tanda baca, titik ataupun koma. " Selama ini gua pikir gua udah berhasil bikin lo jatuh cinta sama gua. Gua pikir kita udah mulai serius! Gua—"
" Lo nggak salah apa-apa, Kev. Gua yang salah, semua salah gua. Seharusnya dari awal gua nggak usah ikutan biro jodoh itu dan ketemu sama lo, minta lo pura-pura jadi cowok gua, minta lo jadi tempat pelarian gua-- "
" Siapa yang jadi pelarian? Gua bener-bener cinta sama lo! Gua suka sama lo! Gua serius! " Suara Kevin sudah mulai meninggi dan napasnya juga sudah mulai memburu.
" Gua tau lo bener-bener sayang sama gua, tapi gua nggak bisa menghilangkan Lars dari pikiran gua! Gua manfaatin lo buat ngelupain Lars, tapi gua nggak berhasil dan itu salah gua! Gua minta maaf, gua nggak bisa ngebohongin diri gua sendiri lagi. "
" Lo jangan kayak Cherry, Jen! Lo bukan Cherry! "
" Gua emang Cherry! Gua malah jauh lebih jahat dari pada Cherry! Mangkanya gua nggak mau ngebikin lo tambah sakit hati! Gua sayang sama lo, Kev, tapi hanya sebagai kakak—"
" Tapi gua nggak mau kita jadi sodara! "
" Ada apa ribut-ribut begini? "
Terdapat satu suara yang asing diantara kedua suara tadi, dan itu membuat Jenny dan Kevin langsung diam. Keduanya menoleh ke asal suara dan menemukan seseorang. Laki-laki berumur sekitar hampir lima puluh tahun, mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu yang menutupi perut besarnya, dan matanya ditutupi kacamata bergagang emas. Pria itu adalah Filemon, ayah tiri Jenny, suami kedua ibunya.
Dari arah berlawanan terdengar suara teriakan ibu Jenny dan derap lari menuju tempat dimana Filemon berdiri.
" Honey… Kenapa tidak menelepon kalau kau pulang hari ini… ? "
" Aku ingin memberimu kejutan, Honey… "
Mereka berpelukan lalu berciuman cukup lama dan cukup membuat Jenny jengah melihatnya. Selesai berciuman, Filemon memandang Kevin dan Jenny bergantian lalu bertanya sekali lagi.
" Apa yang terjadi disini? "
" Kebetulan semua udah ngumpul, Jenny mau ngomong sesuatu. " Jenny yang sudah bertekad bulat kini memberanikan diri untuk mengatakan keputusannya. Semua mata menatapnya sekarang.
" Jenny… mau ikut sama ayah ke Jerman. "
Semuanya terdiam, lalu…
" Jenny, apa yang kamu bicarakan? " Ibunya berteriak histeris, Kevin menatapnya dengan wajah yang jauh lebih kaget dan Filemon menatapnya tanpa bergeming.
" Mom, Jenny disini cuma buat nemenin mom, sekarang Fil—papa, udah pulang, jadi tugas Jenny udah selesai. "
" Tadi bagaimana dengan Kevin? Dia tunanganmu! Kalian—"
" Mom, Kevin bukan tunangan Jenny. Dari awal kita nggak ada hubungan apa-apa, kita hanya pura-pura pacaran. "
Ibu Jenny semakin membelalakkan matanya. Dia menatap Kevin meminta penjelasan, tapi Kevin hanya diam. Menjawab pun hanya akan menambah kacau suasana.
" Apa-apaan kalian ini?! Jenny, apa yang kamu harapkan dari ayahmu itu? Dia hanya mementingkan lukisannya! Dia tidak akan bisa membiayaimu! Dia itu— "
" Mom, Jenny udah gede! Jenny tau mana yang bener dan mana yang salah dan Jenny bisa ngebiayain hidup Jenny sendiri! Sampe kapan mom mau ngejelek-jelekin ayah di depan Jenny, anak kandung kalian sendiri?! "
" Jenny, kamu—"
Tiba-tiba Filemon menengahi pertengkaran antara ibu dan anak itu dan ibu Jenny langsung bungkam.
" Aku tau kau anak yang sama keras kepalanya dengan ibumu ini. Aku berterima kasih karena kau sudah mau menemani Lili selama aku pergi. Tentu saja aku akan sangat senang jika kau mau menemani kami lebih lama lagi, tapi semua keputusan ada di tanganmu. Kalau kau ingin menemani ayahmu di Jerman, kurasa kita tidak bisa mencengahnya. Benarkan Lili? " Filemon menatap istrinya yang tidak bisa berkata apa-apa.
" Tapi jangan lupa, " lanjut Filemon. " Kau harus menyelesaikan semua masalahmu yang belum selesai. " Filemon mengangguk kepada Kevin dan Jenny juga mengangguk mengerti.
" Jenny tau, dan Jenny harap mom bisa ngerti. " Tanggap Jenny memandang ibunya.
Mata ibunya berkaca-kaca. " Apa kau tidak menyayangiku, Jenny… "
" Bukan begitu, mom. Jenny sayang mom, cuma kadang mom suka lupa kalo Jenny udah bukan gadis kecil lagi. Jenny udah bisa memutuskan hidup Jenny sendiri. " Sekarang air mata ibunya sudah menetes. Jenny mendekati ibunya. " Mom… "
" Kau harus sering menghubungiku, hanya kamu anakku satu-satunya, jangan lupa… " Dan ibunya memeluk Jenny sambil bercucuran air mata. Jenny juga menangis, tidak pernah dia merasa sedekat ini dengan ibunya sendiri, ternyata dia memang masih punya ibu.
Setelah acara tangis-tangisan itu selesai dan Filemon serta ibunya mengundurkan diri untuk beristirahat sambil sarapan, tinggal Jenny dan Kevin yang tinggal diruangan itu. Masalah mereka belum selesai.
" Kevin, gua—"
" Ternyata gua tetep nggak bisa menang dari Lars, ya? " Kata Kevin memotong omongan Jenny, wajahnya masih penuh dengan kekecewaan tapi tidak dengan panik seperti tadi. Jenny menggeleng.
" Semua orang punya kelebihan masing-masing. Lo nggak pernah kalah dari Lars, dari siapa pun. Gua yang kalah dari lo. Lo udah nawarin cinta yang tulus buat gua, tapi gua nggak bisa terima itu. Bukan gua yang cocok buat lo, pasti ada seorang cewek diluar sana yang sebenernya jodoh lo, yang bisa bikin lo bahagia. Yang jelas cewek itu bukan gua, dan gua nggak mau bikin lo menderita gara-gara gua yang egois. "
Kevin tersenyum pahit. " Sebesar itu rasa cinta lo sama Lars? "
Jenny mengangguk dan ikut tersenyum pahit. " Gua sendiri juga nggak nyadar. "
Mereka berdua diam. Kevin merasa kalau harapannya tidak ada lagi. Cita-citanya tidak akan pernah tercapai. Padahal dia sudah tahu akan berakhir seperti ini dari awal perkenalannya dengan Jenny, tapi entah kenapa dia seolah ingin membuktikan kekhawatirannya itu dengan mengalaminya langsung. Tapi saat semuanya memang benar terjadi, ternyata rasanya lebih pahit dari yang dia kira.
" Lo bener-bener mau pergi ke Jerman? " Tanya Kevin lagi akhirnya.
" Iya. "
" Lars gimana? "
" Bisa diurus. "

 
Jenny sekarang berada di kamarnya setelah meninggalkan Kevin yang katanya akan pulang. Dia meraih ponselnya dan menghubungi ponsel ayahnya.
" Ayah, soal tawaran ayah ke Jerman itu… Iya… Jenny mau ikut. Kapan kita berangkat? Ok, siang ini Jenny udah ada dirumah Jenny. He-eh. See you soon. "
Telepon ditutup. Hatinya sudah sangat lega karena telah melakukan apa yang harus dilakukannya dengan benar. Hanya tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakannya, dan setelah itu semuanya selesai, mudah-mudahan dengan akhirnya yang membahagiakan bagi semuanya.

 
...Bersambung...