Ny. Lars – Part 29 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 29 -

 
… Episode sebelumnya …
Jenny sudah memutuskan jalan mana yang akan di pilihnya. Dengan berat hati dia harus mengakui kesalahan dan keegoisannya kepada Kevin. Walaupun keputusannya itu membuat Kevin sakit hati, tapi Jenny yakin kalau itu adalah keputusan yang baik bagi mereka semua. Sekarang hanya tertinggal urusannya dengan Lars yang perlu diselesaikan …

 
Rangkaian tujuh hari dalam seminggu sudah dilalui Jenny dengan Lars disampingnya. Dia sedang berperan sebagai dokter cinta yang sedang mengobati pasien yang menderita sakit hati kronis. Jenny yakin hatinya tidak akan tenang melihat Lars yang menderita seperti itu, karena itu dia memutuskan untuk mengobati luka hati Lars sebelum hari keberangkatannya tiba.
" Dua lukisan terakhir bisa gua selesaiin tiga minggi lagi, tapi lo siap-siap aja dari sekarang. "
Ini obrolan terakhir antara Jenny dan ayahnya, sekitar dua minggu yang lalu. Berarti kurang lebih seminggu lagi waktu yang tersisa bagi Jenny untuk menemani Lars dan menjadi dokter cinta baginya.
Di pagi yang cerah kali ini, Lars dan Jenny duduk diatas alat masing-masing di gym yang dulu sering mereka datangi.
" Udah lama, ya kita nggak ke sini. "
Dengan tampang secerah mungkin Jenny menoleh ke arah Lars yang disambut dengan 'tatapan sedikit senyum' yang akhir-akhir ini memang selalu ditunjukkan Lars.
" Abis ini kita mau kemana? " Tanya Jenny lagi.
" Terserah lo. " Jawab Lars masih dengan dingin.
" Hm… ok, kita ke mall. "
" Ke Mall? Mau ngapain? "
" Main game. "
" Hah? "
Jadi begitulah. Beberapa jam kemudian Jenny dan Lars sudah berada di mall, tepatnya disalah satu game center. Mereka berdua hampir seperti anak kampung yang baru pertama kali turun gunung, masuk mall dan bermain dengan game-game hebat berteknologi canggih. Mereka membeli begitu banyak koin dan menghabiskannya hampir di setiap mesin permainan yang ada. Bola basket, balap mobil, Formula Satu, menangkap boneka sampai menari. Untung saja Lars menolak saat Jenny mengajaknya bermain di kolam bola, lagipula permainan itu memiliki batasan umur yang jauh dari umur mereka.
Tapi, bagaimanapun yang paling melegakan adalah saat Lars bisa tertawa lepas. Jenny benar-benar merasa lega melihat wajah ganteng yang sedang tertawa itu karena selama beberapa minggu ini raut wajah itu sangat langka terpasang di wajah Lars.
" Pukul yang kuat! Ha…ha…ha… "
Jenny sedang memukul sebuah tombol merah besar di salah satu permainan dengan sekuat tenaga. Sementara Lars yang sudah mendapat giliran pertama menyemangatinya dari belakang. Tiga pukulan terakhir dan permainan selesai, Jenny terengah-engah mengatur napas.
" Thank's to you, Jen. " Kata Lars tiba-tiba dengan tampang serius.
" Buat apa? "
" Ngajakin gua main game. Akhirnya gua bisa ketawa lagi. "
Jenny berhasil mengatur napasnya yang ngos-ngosan tadi, lalu tersenyum dan memukul lengan Lars. " Nggak pa-pa, itu gunanya gua buat lo. Lagian lo kan playboy, masa nyerah hanya gara-gara diputusin cewek, sih? "
Lars tersenyum lagi. " Gua lapar, kita makan, yuk. " Jenny mengangguk dan mereka berdua melenggang pergi.
Malam sudah dijelang, saat ini Lars dan Jenny sudah berada di sebuah club. Well, jika selama ini syarafmu sudah begitu tegang, pergi ke club dan merasakan hingar bingarnya bisa menenangkanmu. Semboyan ini tidak pernah berubah dari dulu.
" Gua udah lama nggak ke klub, kangen juga. " Lars berkata sambil berjalan berdampingan dengan Jenny masuk ke dalam klub.
" Iya, jadian sama Cherry emang bikin lo hilang dari pergaulan. "
Jenny menimpali sedangkan Lars hanya tersenyum. Tiba-tiba dia teringat sesuatu lalu buru-buru mengatakan: " Lo nggak boleh minum sampange. "
" Emangnya kenapa? " Tanya Jenny sebal.
" Gua masih inget terakhir kali lo minum sampange, lo mabuk berat dan demam dua minggu. "
" Tapi, kan… "
" Lo minum sesuatu yang lebih aman dari pada sampange. "
Akhirnya Lars memesan segelas minuman bersoda untuk Jenny dan segelas bir untuk dirinya. Sebenarnya Jenny ingin melawan diskriminasi yang baru saja di terimanya itu, tapi mengingat Lars yang sudah kembali kepada sifatnya yang suka mengatur orang lain itu, Jenny memilih untuk menikmati diskriminasi itu.
Lars diam cukup lama. Dia tunduk menekuri gelas wiskinya tanpa menoleh atau terganggu sedikit pun dengan orang yang mondar mandir dibelakangnya atau suara musik yang membahana. Saat Jenny mau menegurnya, Lars berkata lebih dulu.
" Kalo dipikir-pikir, selama ini gua bego banget, ya? " Lars menatap Jenny yang dibalas Jenny dengan tatapan yang seolah bertanya: 'kenapa?'.
" Gua nggak sengaja ketemu Cherry di klub, jalan sebentar sama dia, tapi gua langsung jatuh cinta. Kurang dari tiga bulan gua kenal sama dia, tapi gua udah mau jadiin dia istri gua? " Lanjut Lars.
Jenny meneguk minumannya, lalu berkata: " Itu namanya bukan bego. Lo kan nggak pernah tau kapan bakal jatuh cinta sama seseorang. "
" But that's weird! Bayangin Jen, kurang dari tiga bulan! Kenapa gua nggak jatuh cinta sama lo aja yang udah gua kenal lebih dari dua tahun? "
" Mana gua tau. "
Lars akhirnya memalingkan wajahnya dari gelas bir yang belum disentuhnya itu dan memandang Jenny yang juga sedang memandangnya. Lars tiba-tiba melihat wajah polos yang sama yang dulu dilihatnya saat pertama kali bertemu dengan Jenny. Tiba-tiba timbul rasa ingin memiliki. Sosok Kevin melintas dikepalanya dan Lars langsung mengalihkan pikirannya. Dia meminum birnya hingga tinggal setengah gelas dengan cepat.
" Gimana hubungan lo sama Kevin? " Tanya Lars tanpa memandang Jenny.
" Gua belum cerita sama lo, ya? Gua udah putus sama Kevin, kira-kira dua minggu yang lalu. "
Lars nyaris menumpahkan minumannya saat mendengar jawaban Jenny, tapi untung saja dengan cepat dia bisa mengendalikan diri.
" Kenapa? "
" Nggak cocok aja. Dia orangnya terlalu blak-blakan, periang, gua nggak suka tipe kayak gitu. "
" Jadi lo suka tipe yang kayak apa? " Tanya Lars lagi akhirnya.
Jenny tahu Lars hanya bertanya dengan iseng, tapi Jenny menjawabnya dengan serius sambil membayangkan wajah Lars.
" Gua suka cowok yang sedikit pendiam, kesannya misterius dan dewasa. Gua suka cowok yang cool, yang nggak banyak omong tapi tau apa yang harus dia lakuin. Dan orang yang ngehargain wanita lebih dari apapun. "
Lars merasakan perasaan yang aneh. Dia merasa seolah ada seorang wanita yang sedang menyatakan cinta kepadanya, dan wanita itu sedang berada di depannya sekarang. Wanita itu Jenny. Tapi Lars terlalu yakin kalau Jenny tidak akan pernah melakukan itu. Walaupun dia merasa kalau tipe laki-laki yang dikatakan Jenny tadi persis seperti sifatnya, tapi dia yakin Jenny sedang tidak membicarakannya. Jenny sangat tidak suka dengan laki-laki playboy. Lars playboy, jadi Jenny tidak akan pernah suka dengannya.
" Udah ampir jam dua belas, kita pulang, yuk! "
Lars tersadar dari lamunannya. Dia mengangguk lalu mengikuti Jenny keluar klub dan pulang.

 
...Bersambung...