Ny. Lars – Part 22 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 22 -

 
… Episode sebelumnya …
Kevin berusaha mengorek tentang sejauh mana hubungan yang sudah dijalani Lars dan Cherry dengan cara mewawancarai Lars secara langsung. Lars memang tidak menjawab pertanyaan sekaligus kekhawatiran Kevin secara langsung, Tapi Lars berkali-kali meyakinka kavin bahwa hubungannya dengan Cherry baik-baik saja. Lars bahkan mengaku benar-benar jauh cinta dengan Cherry. Tapi bukannya lega, Kevin malah semakin khawatir …

 
Siang itu, Jenny yang sudah merasa jauh lebih baik tapi masih belum mendapat izin_baik dari Lars maupun dari Kevin_untuk bekerja lagi, sedang berada di sebuah restoran dengan Lars dan juga Kevin untuk makan siang. Sebenarnya Lars yang mengundangnya, tapi Kevin bersikeras menemaninya karena takut Jenny pingsan lagi kapan saja. Jenny kesal sekali saat tahu kalau ternyata Lars tidak keberatan kalau dia harus mengajak Kevin juga, Lars malah kelihatan sangat senang.
" Jadi mulai besok, lo masuk kerja lagi, Jen? " Lars bertanya sambil menggulung spagetinya dengan garpu. Jenny menggangguk.
" Lo yakin udah sembuh? " Kini giliran Kevin yang bertanya setelah menelan potongan daging di mulutnya.
" Gua kan udah istirahat hampir dua minggu, masa belum sembuh-sembuh juga? " Lars dan Kevin sama-sama diam. " Lagian, sebenernya gua udah sembuh dari beberapa hari yang lalu, hanya nyokap gua sama lo aja-" Jenny menunjuk Kevin dengan sendok. " –yang terlalu khawatir. "
" Gua nggak mau kena sasaran nyokap lo kalo lo tiba-tiba pingsan di jalan. " Kevin membalas menunjuk Jenny dengan garpunya.
" Gua nggak selemah itu. " Jenny manyun.
" Kalian beruda makin akrab aja, ya? " Omongan Lars yang melenceng dari topik pembicaraan ini ternyata ampuh untuk menyudahi pertengkaran kecil tadi, membuat keduanya terdiam dan melanjutkan acara makan masing-masing. Lars hanya tersenyum.
" Cherry apa kabarnya, Lars? " Tanya Jenny mencairkan suasana setelah terdiam tadi.
" Baik. "
" Kenapa dia nggak ikut makan sama kita sekalian? " Tanya Jenny lagi.
" Dia lagi sibuk banget. Siang ini dia ada rapat dikantornya. "
" Rapat? Jam makan siang gini? Emangnya dia kerja dimana sih? "
" Periklanan. "
" Perkembangannya kayak gimana? " Kevin tiba-tiba ikut bertanya.
" Perkembangan apa? " Tanya Jenny bingung.
" Baik-baik aja. Lo sendiri? " Jawab Lars tanpa memperdulikan pertanyaan Jenny.
" Baik juga. Nggak ada perkembangan apa-apa? "
" Gua udah seminggu nggak ketemuan, jadi belum ada perkembangan apa-apa. " Lars tersenyum sedangkan Kevin hanya mangut-mangut. Dan apa yang dilakukan Jenny? Dia hanya menatap Kevin lalu menatap Lars dan kembali menatap Kevin tanpa mengerti apa-apa. Dan karena kesal tidak dilibatkan dalam percakapan itu, dia berkata kesal:
" Kalian berdua lagi ngomongin apa, sih? Gua nggak ngerti sama sekali, deh. "
" Ini urusan cowok sayang… " Kevin menjawab sambil mencubit pipi kanan Jenny.
" Aw! Urusan cowok apaan sih? "
" Ra-ha-sia. Nggak hanya cewek aja yang bisa ngomongin sesuatu yang hanya mereka sendiri yang ngerti. " Kata Lars penuh misteri.
" Hah? "
Tak ada satu orangpun diantara Kevin ataupun Lars yang mau menjelaskan lebih rinci apa yang mereka bicarakan, membuat Jenny semakin sebal saja saat dia menghabiskan makanannya. Bahkan sampai Lars yang berperan sebagai tuan rumah pergi ke kasir untuk membayar, sedangkan Kevin dan Jenny berjalan ke tempat parkir dimana Lars menyimpan mobil Mercedes-nya, masih saja tidak ada yang bersedia memberikan penjelasan kepada Jenny. Jenny memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
Jenny mengamati sekeliling tempat parkir yang berada di pinggir jalan. Kedua sisi jalan itu ramai dipadati pengunjung mal yang berdiri di samping restoran, tidak perduli dengan panasnya sinar matahari yang tidak segan-segan menyengat kulit siapa saja yang berdiri dibawahnya. Diantara orang-orang yang hilir mudik itu, Jenny menemukan satu sosok yang sepertinya dia kenal, wanita berambut hitam panjang sedang menggandeng seorang wanita lain yang jangkung dengan kemeja dan celana tentara, terlihat sangat tomboi. Mereka kelihatan sangat akrab berjalan beriringan sambil bergandengan tangan seperti sepasang kekasih. Dan wanita berambut panjang itu Jenny yakini sebagai Cherry.
" Kev, itu Cherry, kan? " Jenny memanggil Kevin sambil tetap memandangi wanita yang dikiranya Cherry itu. Wanita itu masih memunggungi Jenny dan berjalan menjauh. Kevin melihat ke arah yang ditunjuk Jenny dan terkejut, tapi buru-buru bersikap tidak ada apa-apa.
" Kata Lars, Cherry rapat di kantornya, kok dia ada disini? " Tanya Jenny tidak yakin dengan siapa.
" Bukan, itu bukan Cherry. " Kata Kevin.
" Bener, itu Cherry! Liat, rambutnya hitam panjang! "
" Emang cuma Cherry yang punya rambut panjang warna hitam? Udah jangan mikir yang macem-macem. " Kevin menggiring Jenny ke mobil Lars yang sudah keluar dari restoran dan melepaskan kunci mobilnya melalui remote control dari pintu restoran. Sebelum masuk ke dalam mobil, Kevin sempat menoleh ke tempat dimana Jenny melihat wanita-yang-dikira-Cherry tadi. Wanita itu berbalik sehingga Kevin bisa melihat wajah wanita itu. Kevin tertegun.
Setelah Kevin, Jenny dan Lars berada di dalam mobil dan meninggalkan restoran, Jenny mengadukan hasil penemuannya tadi kepada Lars.
" Lars, tadi gua ngeliat Cherry loh! "
" Oh iya? " Tanggap Lars datar.
" Iya, tadi dia sama cewek jangkung! "
" Nggak mungkin lah, dia kan lagi rapat dikantornya. " Lagi-lagi Lars menjawab dengan santai.
Sikap Lars itu membuat Jenny terdiam. Jenny melihat kearah Kevin dan Kevin balas memandangnya seolah mengatakan; ' See? I told you! '
" Well, mungkin gua salah liat kali… " Kata Jenny lagi.
Lars langsung mengangguk setuju, Kevin hanya diam dan Jenny sendiri kini sibuk mengingat-ingat apa selama ini dia mengalami gejala-gejala kerusakan mata? Atau demam tinggi yang dideritanya kemarin telah mengganggu syaraf matanya?
Jenny baru saja sampai didepan pintu kamarnya setelah Lars dan Kevin mengantarnya pulang dari makan siang tadi (Kevin menitipkan salam untuk ibu Jenny, sementara Lars diam saja) saat ibunya datang menghampirinya sambil membawa corong telepon tanpa kabel. Wajahnya kelihatan cemberut.
" Ada telepon untukmu. " Kata ibunya menyodorkan telepon itu sambil masih mengerucutkan bibirnya.
" Dari siapa? " Tanya Jenny penasaran.
" Orang Jerman itu. "
' Ayah! ' Jenny menjerit dalam hati dan langsung menyambar telepon itu. Wajah ibunya semakin cemberut.
Jenny menjawab telepon itu dengan cepat, berkata 'Iya' dan 'Oke' berulang-ulang lalu berkata dengan manis: " Yah, ich liebe dich. ". Setelah mendengar jawaban dari ayahnya di ujung sana (" Ich liebe dich auch. "), Jenny menggembalikan telepon ke tangan ibunya yang masih saja cemberut.
" Dia mengatakan apa? " Tanya ibunya ingin tahu. Jenny menghela napas panjang. Dia tahu kalau ibunya akan bertanya seperti itu. " Apa dia takut kamu tinggal denganku? Takut kalau aku mempengaruhimu yang tidak-tidak? "
" Mom-- "
" Atau dia takut aku menyiksamu? Ayahmu selalu saja begitu, dia selalu menjelek-jelekkan aku. "
" Mom, ayah—"
" Memangnya dia sudah baik? Dia menganggap dirinya seorang malaikat, selalu saja benar. Dia—"
" Mom!! " Ibunya langsung terdiam. " Mom tau kan kalo Jenny nggak suka Mom kayak gitu! Ayah cuma mau ketemu Jenny! "
" Iya, tapi dia—"
" Jenny mau istirahat… "
Akhirnya ibu Jenny terdiam melihat anak kesayangannya masuk ke kamar dan membiarkannya berdiri sendirian diluar.

 

 
...Bersambung...