The Two Rings ( #1 Chapter: Caraveena )




THE TWO RINGS
1st Chapter : Caraveena

Caraveena itu adalah aku, gadis berusia dua puluh tahun, memiliki rambut panjang yang ikal seperti ombak, mata coklat yang cemerlang, raut wajah yang orang bilang seperti pahatan Tuhan yang paling sempurna. Itu artinya mereka bilang aku cantik. Yah, itu karena aku adalah salah satu putri dari pasangan Malaveena dan Antonius Veena, sepasang penyihir legendaris yang bukan hanya dikenal karena peran besar mereka di Pemerintahan. Mereka orang besar_kedua orang tuaku itu_ sangat disegani, dikagumi dan dihormati di negeri Merlin ini. Tapi mereka tidak bisa melawan takdir yang membiarkan mereka mendapatkan anak gadis seperti aku, karena aku tidak seperti kakak laki-lakiku atau adik perempuanku, tidak juga seperti semua penyihir di kota ini. Aku bukan penyihir, tapi aku seorang peramal.
Bukan berarti di negeri Merlin yang indah ini tidak ada peramal. Ada beberapa orang yang memang diberi kemampuan meramal, tapi tidak ada seorang peramal seperti aku. Kalau peramal biasa akan memfokuskan diri mereka dengan meneliti bola kristal, kartu tarot, garis tangan, zodiak atau semua jenis meramal lainnya, tapi untukku ada satu hal yang lebih menarik perhatianku, yaitu dunia kematian. Kedengarannya mengerikan, aku tahu. Tapi apa kau tidak tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia? Tidak ada satu penyihir, satu peramal atau satu orang pun di dunia ini yang bisa menjawabnya, dan itu malah membuatku semakin penasaran dan lebih tertarik untuk mencari tahu hal itu lebih lanjut.
Nah, itulah yang menjadikanku orang aneh, padahal aku tidak merasa aneh, aku hanya ingin tahu dan melakukan begitu banyak hal yang tidak biasa dilakukan orang lain untuk menemukan jawabannya. Mungkin itu yang membuatku kelihatan seperti orang aneh. Ayah dan ibuku sudah tidak mampu lagi melakukan apa pun untuk menyadarkanku. Kakakku_Carloveena_dan adikku_Ninavenna_juga sudah sangat lelah mengata-ngataiku aneh dan meledekku habis-habisan tapi aku sudah tidak perduli dengan pendapat mereka. Yang aku pedulikan hanyalah penelitianku.
Karena itu, tidak ada yang bisa mencegahku untuk mengurung diri di dalam kamarku selama berjam-jam, berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan untuk melakukan penelitianku. Aku sudah membuat kamarku seperti sebuah laboratorium. Ada begitu banyak buku-buku tebal berserakan di salah satu sudut, begitu banyak tabung-tabung eksperimen, alat-alat kedokteran dan beberapa kandang kecil di atas meja panjang yang terletak di sudut kamar yang lain. Ada juga alat-alat meramalku, buku-bukuku, lemari pakaianku dan tempat tidurku di sudut yang lain lagi. Dan semua itu adalah nyawaku, hartaku yang paling berharga. Aku mungkin tidak akan bisa tidur atau bahkan tidak bisa hidup tanpa semua benda-benda ini di dalam kamarku.
Seperti sekarang misalnya, aku sedang berada di dalam kamarku, duduk memandangi sebuah buku yang sangat tebal yang terbuka di atas meja dan seekor kelinci dengan nasib mengenaskan tergeletak di samping kananku. Kelinci itu terpaksa aku belah dadanya untuk melihat bagaimana jantung yang katanya adalah sumber kehidupan semua makhluk di dunia ini bekerja. Keadaan kelinci itu membuatku mengerutkan kening dan bertanya aneh di dalam hati: kenapa kelinci itu langsung mati begitu aku baru saja membelah dadanya? Padahal menurut buku tebal yang aku baca ini, kelinci itu belum boleh mati supaya aku bisa melihat keadaan jantungnya yang sedang berdetak. Ini aneh, aku pasti sudah melakukan kesalahan, aku harus mengecek lagi buku tebal di hadapanku ini.
Tok-tok-tok.
Tahu tidak apa hal yang paling menyebalkan di dunia selain melihat kelinci yang kau belah dadanya mati sebelum waktunya? Jawabannya sudah aku dengar untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu menit ini: suara ketukan di pintu kamarku. Apa mereka tidak bisa mengerti kalau aku sangat tidak suka diganggu jika sedang berada di dalam kamarku sendiri? Apa lagi saat aku sedang berusaha mengartikan tulisan di buku tebal ini yang perlu konsentrasi yang sangat tinggi?
Tok-tok-tok.
Itu dia ketukan ketiga. Ya ampun, orang-orang di rumah ini begitu menyebalkan. Aku terpaksa beranjak naik dari kursiku dan membawa kakiku ke pintu kamar lalu berteriak kesal karena ketukan keempat sudah terdengar lagi di pintu.
" Iya-iya! Bisa sabar sedikit tidak!? "
Aku memutar kunci pintuku, membukanya dan menemukan Nina disana, berdiri dengan memegang sebuah nampan besar yang dipenuhi mangkuk-mangkuk makanan di atasnya. Untung saja aku baru membuka pintu sedikit jadi aku bisa tetap membiarkan pintu itu membuka sebesar itu saja dan menjawab sekenanya sehingga Nina tidak perlu masuk ke dalam kamarku.
" Aku sama sekali tidak lapar, terima kasih. "
" Jangan bodoh, kau belum makan apa pun hari ini. " Jawab Nina sambil meletakkan kaki kirinya di depan pintu supaya menghalangiku menutup pintu kamarku dengan terburu-buru. Aku memandanginya dengan kesal dan menjawab lagi: " Aku benar-benar sudah kenyang. " Lalu aku buru-buru menutup pintu sebelum Nina bisa menjawab apa-apa, tapi tiba-tiba sesuatu yang kuat mendorong pintu hingga menjeblak terbuka dan membuatku jatuh terpelanting dengan pantat yang lebih dulu menyentuh lantai. Aku kembali menegakkan kepala dan menemukan Nina yang masih berdiri di depan pintu, tapi kali ini dengan tangan kiri yang memegangi nampan makanan dan tangan kanan yang mengacungkan tongkat sihir ke arah pintu yang kini sudah tidak ada di tempatnya lagi, melainkan sudah menjeblak terbuka. Dia baru saja mendobrak pintu kamarku dengan sihir, sialan.
" Sudah kubilang kau jangan bodoh, kakakku sayang. Kau sudah berhari-hari di dalam kamar tanpa keluar. " Adikku yang kurang ajar ini menjawab lagi sambil melangkah masuk dengan santai lalu menggoyangkan tongkat sihirnya sekali lagi sehingga pintu kamarku tertutup lagi dibelakangnya.
" Memangnya apa perdulimu? " Tanggapku masih dengan sangat kesal sambil beranjak naik dari posisi jatuhku yang menyakitkan.
" Bukan aku yang perduli, tapi ibu. Dia tidak mau kau mati kelaparan di dalam ka—tempat apa sih ini? " Nina mengakhiri kata-katanya dengan bertanya aneh sambil berkeliling memandangi kamarku.
" Kamarku, seperti yang kau mau bilang tadi. " Jawabku yang makin kesal.
" Tempat ini seperti... gudang. "
" Laboratorim, mungkin lebih tepat. "
" Apa ini? " Nina sudah meletakkan nampan makanannya di atas meja kosong dan mulai melihat meja panjangku di seberang ruangan. Dia memandang gelas ukurku dengan aneh dan hampir saja ingin menyentuhnya.
" Jangan sentuh apa pun! " Aku buru-buru berteriak dan Nina menarik tangannya dengan kaget lalu meletakkan kedua tangannya ke atas bahu seperti seorang penjahat yang sedang menyerah di depan seorang polisi. Tapi lalu matanya kembali meneliti semua benda-bendaku di atas meja dan saat melihat kelinci percobaanku yang mati di dekat buku tebalku, dia menggelengkan kepala dengan dramatis dan mendecak menyebalkan.
" Ck-ck-ck, kalau kau ini bukan penyihir dan peramal, sebenarnya kau ini siapa? "
" Kalau urusanmu sudah selesai lebih baik kau pergi, jangan menggangguku. " Aku menanggapinya dengan jauh lebih kesal lagi. Orang seperti Nina, yang berpikiran begitu dangkal, sama seperti kebanyakan orang di luar sana, tidak akan memahami apa yang aku pikirkan. Ingin mengerti pun tidak, karena mereka hanya bisa menerima segala hal yang diberitahukan orang lain tanpa ingin tahu kenapa semua hal harus seperti itu. Tidak ada gunanya berdebat dengan orang-orang seperti itu, hanya akan membuang waktuku dengan sia-sia.
" Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu, kakakku sayang. " Sekarang Nina sudah memutuskan untuk menyelesaikan acara melihat-lihatnya. Dia menggoyangkan tongkat sihirnya sekali lagi dan sebuah kursi melesat kearahnya dengan anggun. Nina meraih kursi itu dan duduk di atasnya, lalu memandangiku dengan serius. Jadi sekarang aku juga bisa duduk santai di atas tempat tidurku sambil membawa sebuah roti isi yang dibawa Nina tadi dan menguyahnya. Ternyata aku lapar juga. " Hanya saja ada satu hal yang harus aku sampaikan kepadamu. Ini menyangkut ayah. "
" Memangnya ada apa dengan ayah? " Tanyaku di sela-sela acara menguyahku.
" Soal acara besok malam—"
" Ck! Sudah ku bilang, aku tidak tertarik. " Langsung saja aku potong perkataan Nina. Aku tahu ini masalah acara Pemerintahan yang akan diadakan besok malam. Ibu sudah memberitahukanku sejak seminggu yang lalu dan sejak awal aku sudah mengatakan dengan tegas kalau aku tidak tertarik ikut acara itu. Aku tidak begitu suka keramaian.
" Cara, kau tahu betapa pentingnya acara ini bagi ayah, dia akhirnya mendapatkan posisinya sebagai menteri, hal yang diinginkannya seumur hidup! Kau harus datang di acara pelantikannya besok malam. "
Nina mati-matian membujukku, aku tahu dia rela melakukan itu demi ayah. Sebenarnya aku tahu seberapa penting acara ini bagi ayah, aku mengerti sekali. Masalahnya, ini menyangkut acara besar dimana aku dan seluruh keluargaku akan menjadi pusat perhatian tamu-tamu lain. Itu sedikit mengganggu. Bagiku yang sudah terbiasa dipandang aneh oleh orang-orang di sekelilingku, berada sejauh mungkin dari keramaian adalah satu-satunya cara untuk menghindari pandangan yang menyebalkan itu. Tapi ini memang acara penting untuk ayahku, aku tahu dia begitu ingin seluruh keluarganya hadir dan merasakan kebahagiaan yang dirasakannya juga. Tapi...
" Cara, tolong dong... "
" Kau harus memanggilku ' kakak ', bodoh. "
" Iya, kakakku sayang... kau harus mau datang. Ini demi ayah, bukan orang lain. "
Aku terdiam selama beberapa saat lagi, tidak jelas juga sedang memikirkan apa. Sebenarnya aku tidak ingin datang ke acara itu karena aku tidak ingin ayah dan ibuku malu karena anak mereka yang satu ini selalu menjadi bahan pembicaraan dan tertawaan bagi orang lain. Mereka hanya akan dipermalukan olehku, lebih baik mereka membawa Carlo atau Nina saja yang jauh lebih membanggakan dari pada aku. Tapi... kalau mereka memang mau aku ikut dan mempermalukan mereka, kalau mereka tetap mau aku hadir di acara itu dan mengacaukan suasana, kenapa tidak? Bukan aku yang menginginkannya, tapi mereka yang memintaku jadi aku tidak bisa disalahkan kalau ternyata nantinya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Lagipula, sebenarnya aku memang menyayangi ayahku dan tidak ingin membuat beliau sedih. Jadi akhirnya aku menghela napas panjang lalu menjawab:
" Baiklah, aku mau—"
" Bagus. " Nina memotong perkataanku, padahal aku belum selesai. Dia berdiri sambil bertepuk tangan lalu berkata lagi: " Kalau begitu, besok malam kau harus tampil cantik. Jangan biarkan rambutmu bau asap seperti biasa. " Nina menggoyangkan tongkat sihirnya sekali lagi dan pintu menjeblak terbuka lalu mengatakan sesuatu lagi sebelum melenggang pergi.
" Oh, kalau kau ingin membelah dada binatang, lebih baik kau coba memakai katak, jangan kelinci. Aku dengar dada katak lebih mudah dibelah dari pada kelinci. " Lalu dia menutup pintu kamarku dengan lambaian tongkatnya lagi.
" Dasar sok pamer. " Umpatku kesal sambil memandang pintu kamarku yang baru saja mengayun tertutup.
# # #
" Ayolah nona, saya mohon. Anda harus segera mengenakan gaun anda, kalau tidak anda akan terlambat datang diacara pelantikan ayah anda. "
Miranda atau yang sering aku panggil Mira adalah pelayanku yang sudah menjadi sahabat bagiku karena dia sebaya denganku. Dia sudah bersamaku sejak aku dan dia sama-sama masih kecil, jadi kami bukan saja memiliki hubungan sebagai majikan dan pelayan tapi juga sebagai teman masa kecil dan sahabat. Dia satu-satunya yang paling bisa mengerti aku, mungkin karena dia takut dipecat, tapi aku merasa paling nyaman kalau berada di dekatnya. Soalnya dia tidak pernah meledekku, menghinaku atau menganggap aku orang aneh.
Saat ini dia sedang berjuang sekuat tenaga untuk membujukku agar mau mengenakan gaun yang sudah dipilihkannya untukku sementara aku sendiri masih begitu sibuk duduk diatas meja panjangku dan memandangi buku tebal dan katak yang sudah berhasil aku belah dadanya dan dia masih hidup.
" Nona, aku mohon—"
" Aku tahu, Mira. Beri aku waktu beberapa menit lagi. "
Mira harus puas dengan jawabanku yang satu itu karena aku tidak bisa dibantah lagi. Sejauh ini aku sudah berhasil melakukan eksperimenku kali ini. Jantung katak ini masih berdetak, dan sekarang aku hanya ingin tahu bagaimana caranya jantung ini bisa aku hentikan selama beberapa waktu. Kalau itu bisa aku lakukan dengan tidak benar-benar membunuh katak itu sehingga jantung katak itu akan kembali berdetak setelah beberapa waktu, mungkin aku bisa memasuki jiwa katak ini dan merasakan apa yang dialaminya saat berada di beberapa waktu tanpa kehidupan itu. Jadi dengan hati-hati aku meraba sisi jantung katak itu dengan jari tanganku, tapi tidak sengaja aku meraba terlalu keras. Jantung katak itu berdetak kaget dalam sekali gerakan tapi lalu berhenti berdetak sama sekali. Aku mendecak kesal lalu menggerbak meja dengan kedua tanganku. Katak itu mati, aku gagal lagi.
Mira melonjak kaget mendengar aku menggebrak meja dengan sangat kencang, karena saat itu dia sedang duduk termenung di atas tempat tidurku, melamunkan sesuatu, entah apa, yang membuat senyumnya mengembang. Saat sadar aku sudah tidak membaca atau melakukan apa-apa lagi, Mira langsung menghampiriku dan menyodorkan gaun yang akan aku kenakan dengan terburu-buru, takut aku berubah pikiran lagi dan mulai melakukan percobaan lain. Sebenarnya Mira tidak perlu terburu-buru begitu, eksperimenku yang satu ini lagi-lagi gagal, aku belum tahu harus melakukan apa lagi.
" Kau tadi memikirkan Rama lagi, kan? " Tanyaku kepada Mira dengan nada penuh menggoda karena ingin mengalihkan rasa kesalku karena gagal lagi. Rama adalah kekasih Mira. Aku yakin Mira tadi memikirkan pacarnya itu, kalau tidak bagaimana mungkin senyum aneh bisa mengembang di bibirnya tadi? Mira terkejut mendengar pertanyaanku lalu menjawab sambil tetap sibuk membantuku berganti pakaian.
" Tidak nona. "
" Jangan bohong, wajahmu memerah. " Jawabku dan wajah Mira berubah jauh lebih merah lagi. " Wah-wah... orang yang jatuh cinta... aku bingung sekali kenapa semua orang bisa merasakannya. " Lanjutku dengan maksud menggoda Mira lagi. Aku ingin tahu wajahnya bisa semerah apa.
" Apa nona tidak pernah jatuh cinta? " Mira malah menanggapiku dengan bertanya, pertanyaannya seperti itu lagi. Aku hanya menjawab dengan cuek.
" Belum. Dan kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak mau merasakannya. "
" Memangnya kenapa? " Mira bertanya lagi dengan lebih penasaran sambil mengancingkan gaunku di punggung.
" Karena aku tidak mau menjadi orang gila. " Jawabku dengan cepat. " Kalau aku jatuh cinta, maka aku akan sering duduk termenung dan tiba-tiba tersenyum seperti orang gila, seperti kau tadi. " Mira tersenyum mendengar jawabanku.
" Lagipula, aku juga akan menderita nantinya. " Lanjutku, kali ini lebih pelan.
" Menderita kenapa? " Tanya Mira lagi yang sekarang sedang menyisir rambut ikalku.
" Banyak sekali orang yang merasakan jatuh cinta tapi malah menderita pada akhirnya. Aku tidak mau menderita, jadi lebih baik aku tidak pernah jatuh cinta. "
Mira malah menanggapi perkataanku dengan menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum, tapi lalu berkata lagi: " Tidak semua orang yang mengalami jatuh cinta itu akan menderita, nona. Anda harus merasakannya sendiri supaya bisa mengerti bagaimana rasa jatuh cinta yang sebenarnya. "
Wajah Mira kelihatan begitu bahagia, matanya berbinar-binar dan senyumnya lagi-lagi terkembang saat menjawab kata-kataku tadi. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini, dia seperti bercahaya.
" Sudahlah. Toh aku tidak akan bisa merasakannya karena aku terlalu sibuk mengurusi eksperimenku. Tidak perlu dibahas lagi, kau sendiri yang bilang kalau aku akan terlambat kalau tidak buru-buru. "
Setelah aku ingatkan seperti itu Mira akhirnya seperti tersadar dari lamunannya dan mulai terburu-buru lagi menemaniku berdandan.
Acara pelantikan ayahku berjalan cukup meriah. Aku datang terlambat sehingga melewatkan acara puncak saat ayahku mengucapkan sumpah tugasnya, tapi tampaknya ayahku memaafkanku dan memelukku dengan gembira saat melihatku ditengah perayaan yang diadakan setelah acara puncak itu. Ayahku tampak begitu ceria dengan segelas sampange di tangan kanannya, memeluk semua rekan yang menyelamatinya. Ibuku berada di samping ayahku sepanjang malam, mengucapkan terima kasih berulang-ulang dan tak berhenti tersenyum. Carlo dan Nina juga sama sibuknya dengan ayah dan ibuku, mereka terus saja menyambut uluran tangan tanda selamat yang disampaikan hampir setiap tamu yang mereka temui. Dan sementara itu, dimana aku? Aku berada dipojok ruangan, mencoba menyendiri dan menemukan sedikit ketenangan di sana. Walaupun tetap tidak bisa menghindari ucapan selamat yang diucapkan para tamu yang kebetulan melihatku di pojok ruangan, paling tidak aku bisa sedikit bersembunyi dari pandangan orang-orang disini. Aku tahu, setelah mereka memberikan selamat kepadaku, mereka akan berkumpul membentuk lingkaran dan mulai membicarakan semua sifat anehku.
Sudahlah, aku tidak perduli. Aku sudah cukup lelah menghindari orang lain, jadi aku hanya bisa bersandar di dinding ruangan dan meneguk cocktail yang aku ambil dari sebuah nampan yang melayang untuk menawarkan minuman kepada para tamu melewatiku. Cokctail ini asam juga, tapi paling tidak berhasil membuatku sedikit tenang. Aku pejamkan mataku dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
" Akhirnya Antonius berhasil mendapatkan posisi ini, dia pasti puas sekali. Posisi ini sudah sangat lama dia inginkan. "
Ya ampun, tidak bisakah aku mendapatkan sedikit ketenangan disini? Baru saja aku kira bisa bernapas lega, tapi ternyata aku dipaksa mendengar orang lain yang lagi-lagi membicarakan keluargaku. Kali ini ayahku yang menjadi sasarannya, ternyata bukan hanya aku yang menjadi bahan gosip. Yang aku dengar barusan adalah suara seorang laki-laki yang sudah berumur, lalu seorang wanita membalasnya.
" Benar, kau lihatkan bagaimana bahagianya raut wajah Antonius? Dan kau juga lihat wajah istrinya? Senyumnya tidak bisa berhenti. "
Lalu seorang wanita lain yang memiliki suara lebih serak menanggapi. " Benar, mereka kelihatan bahagia. Tapi coba lihat gaun berwarna biru yang digunakan Mala itu? Baju itu benar-benar norak dan membuatnya kelihatan terlalu kurus. "
Tadinya aku ingin pergi mencari sudut ruangan lain yang lebih tenang, tapi saat aku mendengar mereka menyinggung mengenai ibuku, aku langsung mengurungkan niatku untuk pergi. Aku tidak tahu orang lain bisa membicarakan ibuku seperti itu, selama ini aku kira mereka begitu mengagumi ibuku yang selalu tampil cantik, bukan menghujat ibuku dari belakang. Ini menarik.
" Dan pakaian yang dipakai Antonius juga membuatnya kelihatan jauh lebih tua. " Wanita yang pertama menanggapi lagi, diikuti dengan gumam setuju wanita yang bersuara serak. Aneh sekali, menurutku ayahku kelihatan ganteng memakai pakaian yang dikenakannya sekarang.
" Dan kalian lihat putra-putri mereka juga datang dan kelihatan bahagia, kan? " Suara laki-laki yang pertama terdengar lagi. Ini dia, mereka pasti akan mulai membicarakanku.
" Anak gadisnya yang aneh itu, siapa namanya? Oh iya, Cara. Ternyata dia datang juga, aku kira dia tidak akan datang ke acara ini. "
Lihat kan, aku bilang juga apa? Aku adalah topik pembicaraan mereka yang paling menarik, tidak bisa dipungkiri lagi.
" Dua anaknya yang lain juga datang, kan? Carlo dan Nina, mereka kelihatan ganteng dan cantik. " Wanita dengan suara serak menanggapi lagi yang langsung ditanggapi dengan seru oleh wanita yang pertama lagi.
" Ngomong-ngomong mengenai kedua anak itu, apakah kau tahu kalau Carlo ternyata menjalin hubungan dengan seorang wanita yang bekerja di pub pinggir kota? "
Hah, yang benar?!
" Aku juga dengar tentang itu. " Wanita bersuara serak menanggapi lagi. " Dan kau dengar kabar mengenai Nina? Dia berhubungan dengan dosennya sendiri yang berumur jauh lebih tua darinya! "
Wah, ini menjadi sangat menarik. Aku tidak tahu ada gosip mengenai Carlo dan Nina yang satu ini. Carlo berpacaran dengan gadis pub dan Nina berpacaran dengan dosen tua, bagaimana kalau gosip ini ternyata benar dan didengar oleh ayah dan ibuku? Ternyata gosip-gosip seperti ini bisa berkembang sampai sejauh ini, aku tidak menyangka bisa seperti ini.
" Bagaimana rasanya mendengar orang lain membicarakanmu, nak? "
Aku kaget sekali mendengar suara seorang laki-laki di sampingku. Aku buru-buru menengok ke asal suara dan menemukan seorang laki-laki tua, mengenakan jas hitam dan kemeja putih bersandar di sampingku. Bibirnya di hiasi senyum dan rambut hitamnya yang di selingi uban berwarna putih di tata rapi dengan belah tengah. Aku sempat mengira kalau laki-laki tua ini adalah dosen Nina yang dibicarakan wanita-wanita tadi, tapi tentu saja itu tidak mungkin, jadi buru-buru aku singkirkan pikiran konyol itu dan membalas sapaannya.
" Aku sudah terbiasa dengan itu. "
" Ah—sepertinya namaku juga disebut-sebut di sana. "
Laki-laki tua itu menyelesaikan kata-katanya lalu diam untuk mendengarkan. Aku juga ikut terdiam untuk ikut mendengarkan dengan penasaran.
" – Cara, gadis itu masih terus mengurung diri sama seperti si tua Klain. Mereka berdua sama-sama aneh dan sama-sama mengatakan mengenai kematian. Begitu menyeramkan... " Wanita bersuara serak itu menyelesaikan perkataannya dengan dramatis. Sedangkan aku, setelah selesai mendengar lalu menatap laki-laki tua di sebelahku yang tadi menyapaku duluan.
" Jadi, anda yang bernama Prof. Klain? "
" Mereka memanggilku begitu. " Jawab Prof. Klain sambil tersenyum dan mengangkat gelas cocktailnya.
Aku pernah mendengar berbagai cerita mengenai laki-laki yang satu ini. Dia adalah penyihir aneh yang menjadi bahan gosip para penyihir lain, sama seperti aku. Tapi bedanya aku seorang peramal, bukan penyihir. Dan sama seperti aku juga, Prof. Klain sangat tertarik dengan dunia kematian. Dia sudah melakukan berbagai eksperimen aneh dan sudah mencapai suatu kesimpulan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Orang-orang menganggapnya sudah gila saat dia mengatakan pendapatnya itu kepada masyarakat, tapi bagiku Prof. Klain adalah idolaku. Eksperimennya luar biasa, teori-teori yang ditemukannya sangat diluar dugaan dan mengakjubkan dan dialah yang membuatku ingin mengetahui hal-hal aneh yang terjadi di sekitar kematian. Wah, Prof. Klain yang begitu aku idolakan ada di sampingku!
" Dan kau adalah Caraveena, benar? Anak gadis keluarga Veena yang terkenal itu? " Prof. Klain bertanya kepadaku setelah sekian lama aku terdiam karena kaget, lalu aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya itu.
" Kau anak gadis yang menarik, kau tahu? Dan keingin tahuan kita yang sama mengenai dunia kematian membuatku ingin sekali bertemu denganmu. Kau ingin berbagi pengetahuan denganku? " Prof. Klain berkata lagi dan aku mendengarnya dengan penuh takjub dan tidak percaya. Dan saat Prof. Klain sudah selesai berbicara sehingga sekarang adalah giliranku menjawab, aku malah menjawab dengan terbata-bata.
" Ten-tentu! Tentu saja aku mau! " Aku mulai bisa berbicara lancar lagi. " Aku begitu kagum dengan hasil teori anda tentang kematian yang bukan akhir dari kehidupan itu! Aku sangat setuju malah! "
" Benarkah? "
" Iya, benar! Aku sangat senang kalau bisa membagi apa yang sudah aku dapat dari penelitian-penelitianku sendiri kepada anda. Aku—"
" Cara, kemana saja kau? " Tepat pada saat itu Carlo datang menghampiriku dan memotong pembicaraanku. Wajahnya kelihatan kesal dan sedikit berkeringat.
" Aku mencarimu kemana-mana, bodoh! Ayah dan ibu mencarimu, mereka ingin kita berkumpul bersama mereka. " Carlo berkata dengan kesal kepadaku tanpa perduli dengan Prof. Klain yang berdiri di sampingku.
" Tapi aku—"
" Tidak ada waktu, ayo cepat! "
Sepertinya Carlo begitu terburu-buru, dia bahkan tidak mau mendengar jawabanku dan langsung pergi begitu saja. Aku menatap Prof. Klain lagi lalu berkata dengan penuh penyesalan.
" Aku harus pergi. "
" Kelihatannya memang begitu. Kalau kau memang tertarik berbagi cerita denganku, kau tahu kemana bisa mencariku. " Prof. Klain menjawab dengan penuh kesabaran lalu berpamitan sambil mengangkat gelas cocktailnya tinggi-tinggi dan melangkah pergi. Aku terdiam di sana untuk beberapa saat, tidak yakin harus bersikap bagaimana karena semua kejadian yang baru saja terjadi begitu cepat berlalu, seperti mimpi. Tapi lalu aku melihat Carlo melambaikan tangannya dengan kesal di ujung ruangan, jadi aku berjalan menghampirinya.
# # #