The Two Rings ( #1 Chapter: Caraveena )




THE TWO RINGS
1st Chapter : Caraveena

Caraveena itu adalah aku, gadis berusia dua puluh tahun, memiliki rambut panjang yang ikal seperti ombak, mata coklat yang cemerlang, raut wajah yang orang bilang seperti pahatan Tuhan yang paling sempurna. Itu artinya mereka bilang aku cantik. Yah, itu karena aku adalah salah satu putri dari pasangan Malaveena dan Antonius Veena, sepasang penyihir legendaris yang bukan hanya dikenal karena peran besar mereka di Pemerintahan. Mereka orang besar_kedua orang tuaku itu_ sangat disegani, dikagumi dan dihormati di negeri Merlin ini. Tapi mereka tidak bisa melawan takdir yang membiarkan mereka mendapatkan anak gadis seperti aku, karena aku tidak seperti kakak laki-lakiku atau adik perempuanku, tidak juga seperti semua penyihir di kota ini. Aku bukan penyihir, tapi aku seorang peramal.
Bukan berarti di negeri Merlin yang indah ini tidak ada peramal. Ada beberapa orang yang memang diberi kemampuan meramal, tapi tidak ada seorang peramal seperti aku. Kalau peramal biasa akan memfokuskan diri mereka dengan meneliti bola kristal, kartu tarot, garis tangan, zodiak atau semua jenis meramal lainnya, tapi untukku ada satu hal yang lebih menarik perhatianku, yaitu dunia kematian. Kedengarannya mengerikan, aku tahu. Tapi apa kau tidak tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia? Tidak ada satu penyihir, satu peramal atau satu orang pun di dunia ini yang bisa menjawabnya, dan itu malah membuatku semakin penasaran dan lebih tertarik untuk mencari tahu hal itu lebih lanjut.
Nah, itulah yang menjadikanku orang aneh, padahal aku tidak merasa aneh, aku hanya ingin tahu dan melakukan begitu banyak hal yang tidak biasa dilakukan orang lain untuk menemukan jawabannya. Mungkin itu yang membuatku kelihatan seperti orang aneh. Ayah dan ibuku sudah tidak mampu lagi melakukan apa pun untuk menyadarkanku. Kakakku_Carloveena_dan adikku_Ninavenna_juga sudah sangat lelah mengata-ngataiku aneh dan meledekku habis-habisan tapi aku sudah tidak perduli dengan pendapat mereka. Yang aku pedulikan hanyalah penelitianku.
Karena itu, tidak ada yang bisa mencegahku untuk mengurung diri di dalam kamarku selama berjam-jam, berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan untuk melakukan penelitianku. Aku sudah membuat kamarku seperti sebuah laboratorium. Ada begitu banyak buku-buku tebal berserakan di salah satu sudut, begitu banyak tabung-tabung eksperimen, alat-alat kedokteran dan beberapa kandang kecil di atas meja panjang yang terletak di sudut kamar yang lain. Ada juga alat-alat meramalku, buku-bukuku, lemari pakaianku dan tempat tidurku di sudut yang lain lagi. Dan semua itu adalah nyawaku, hartaku yang paling berharga. Aku mungkin tidak akan bisa tidur atau bahkan tidak bisa hidup tanpa semua benda-benda ini di dalam kamarku.
Seperti sekarang misalnya, aku sedang berada di dalam kamarku, duduk memandangi sebuah buku yang sangat tebal yang terbuka di atas meja dan seekor kelinci dengan nasib mengenaskan tergeletak di samping kananku. Kelinci itu terpaksa aku belah dadanya untuk melihat bagaimana jantung yang katanya adalah sumber kehidupan semua makhluk di dunia ini bekerja. Keadaan kelinci itu membuatku mengerutkan kening dan bertanya aneh di dalam hati: kenapa kelinci itu langsung mati begitu aku baru saja membelah dadanya? Padahal menurut buku tebal yang aku baca ini, kelinci itu belum boleh mati supaya aku bisa melihat keadaan jantungnya yang sedang berdetak. Ini aneh, aku pasti sudah melakukan kesalahan, aku harus mengecek lagi buku tebal di hadapanku ini.
Tok-tok-tok.
Tahu tidak apa hal yang paling menyebalkan di dunia selain melihat kelinci yang kau belah dadanya mati sebelum waktunya? Jawabannya sudah aku dengar untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu menit ini: suara ketukan di pintu kamarku. Apa mereka tidak bisa mengerti kalau aku sangat tidak suka diganggu jika sedang berada di dalam kamarku sendiri? Apa lagi saat aku sedang berusaha mengartikan tulisan di buku tebal ini yang perlu konsentrasi yang sangat tinggi?
Tok-tok-tok.
Itu dia ketukan ketiga. Ya ampun, orang-orang di rumah ini begitu menyebalkan. Aku terpaksa beranjak naik dari kursiku dan membawa kakiku ke pintu kamar lalu berteriak kesal karena ketukan keempat sudah terdengar lagi di pintu.
" Iya-iya! Bisa sabar sedikit tidak!? "
Aku memutar kunci pintuku, membukanya dan menemukan Nina disana, berdiri dengan memegang sebuah nampan besar yang dipenuhi mangkuk-mangkuk makanan di atasnya. Untung saja aku baru membuka pintu sedikit jadi aku bisa tetap membiarkan pintu itu membuka sebesar itu saja dan menjawab sekenanya sehingga Nina tidak perlu masuk ke dalam kamarku.
" Aku sama sekali tidak lapar, terima kasih. "
" Jangan bodoh, kau belum makan apa pun hari ini. " Jawab Nina sambil meletakkan kaki kirinya di depan pintu supaya menghalangiku menutup pintu kamarku dengan terburu-buru. Aku memandanginya dengan kesal dan menjawab lagi: " Aku benar-benar sudah kenyang. " Lalu aku buru-buru menutup pintu sebelum Nina bisa menjawab apa-apa, tapi tiba-tiba sesuatu yang kuat mendorong pintu hingga menjeblak terbuka dan membuatku jatuh terpelanting dengan pantat yang lebih dulu menyentuh lantai. Aku kembali menegakkan kepala dan menemukan Nina yang masih berdiri di depan pintu, tapi kali ini dengan tangan kiri yang memegangi nampan makanan dan tangan kanan yang mengacungkan tongkat sihir ke arah pintu yang kini sudah tidak ada di tempatnya lagi, melainkan sudah menjeblak terbuka. Dia baru saja mendobrak pintu kamarku dengan sihir, sialan.
" Sudah kubilang kau jangan bodoh, kakakku sayang. Kau sudah berhari-hari di dalam kamar tanpa keluar. " Adikku yang kurang ajar ini menjawab lagi sambil melangkah masuk dengan santai lalu menggoyangkan tongkat sihirnya sekali lagi sehingga pintu kamarku tertutup lagi dibelakangnya.
" Memangnya apa perdulimu? " Tanggapku masih dengan sangat kesal sambil beranjak naik dari posisi jatuhku yang menyakitkan.
" Bukan aku yang perduli, tapi ibu. Dia tidak mau kau mati kelaparan di dalam ka—tempat apa sih ini? " Nina mengakhiri kata-katanya dengan bertanya aneh sambil berkeliling memandangi kamarku.
" Kamarku, seperti yang kau mau bilang tadi. " Jawabku yang makin kesal.
" Tempat ini seperti... gudang. "
" Laboratorim, mungkin lebih tepat. "
" Apa ini? " Nina sudah meletakkan nampan makanannya di atas meja kosong dan mulai melihat meja panjangku di seberang ruangan. Dia memandang gelas ukurku dengan aneh dan hampir saja ingin menyentuhnya.
" Jangan sentuh apa pun! " Aku buru-buru berteriak dan Nina menarik tangannya dengan kaget lalu meletakkan kedua tangannya ke atas bahu seperti seorang penjahat yang sedang menyerah di depan seorang polisi. Tapi lalu matanya kembali meneliti semua benda-bendaku di atas meja dan saat melihat kelinci percobaanku yang mati di dekat buku tebalku, dia menggelengkan kepala dengan dramatis dan mendecak menyebalkan.
" Ck-ck-ck, kalau kau ini bukan penyihir dan peramal, sebenarnya kau ini siapa? "
" Kalau urusanmu sudah selesai lebih baik kau pergi, jangan menggangguku. " Aku menanggapinya dengan jauh lebih kesal lagi. Orang seperti Nina, yang berpikiran begitu dangkal, sama seperti kebanyakan orang di luar sana, tidak akan memahami apa yang aku pikirkan. Ingin mengerti pun tidak, karena mereka hanya bisa menerima segala hal yang diberitahukan orang lain tanpa ingin tahu kenapa semua hal harus seperti itu. Tidak ada gunanya berdebat dengan orang-orang seperti itu, hanya akan membuang waktuku dengan sia-sia.
" Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu, kakakku sayang. " Sekarang Nina sudah memutuskan untuk menyelesaikan acara melihat-lihatnya. Dia menggoyangkan tongkat sihirnya sekali lagi dan sebuah kursi melesat kearahnya dengan anggun. Nina meraih kursi itu dan duduk di atasnya, lalu memandangiku dengan serius. Jadi sekarang aku juga bisa duduk santai di atas tempat tidurku sambil membawa sebuah roti isi yang dibawa Nina tadi dan menguyahnya. Ternyata aku lapar juga. " Hanya saja ada satu hal yang harus aku sampaikan kepadamu. Ini menyangkut ayah. "
" Memangnya ada apa dengan ayah? " Tanyaku di sela-sela acara menguyahku.
" Soal acara besok malam—"
" Ck! Sudah ku bilang, aku tidak tertarik. " Langsung saja aku potong perkataan Nina. Aku tahu ini masalah acara Pemerintahan yang akan diadakan besok malam. Ibu sudah memberitahukanku sejak seminggu yang lalu dan sejak awal aku sudah mengatakan dengan tegas kalau aku tidak tertarik ikut acara itu. Aku tidak begitu suka keramaian.
" Cara, kau tahu betapa pentingnya acara ini bagi ayah, dia akhirnya mendapatkan posisinya sebagai menteri, hal yang diinginkannya seumur hidup! Kau harus datang di acara pelantikannya besok malam. "
Nina mati-matian membujukku, aku tahu dia rela melakukan itu demi ayah. Sebenarnya aku tahu seberapa penting acara ini bagi ayah, aku mengerti sekali. Masalahnya, ini menyangkut acara besar dimana aku dan seluruh keluargaku akan menjadi pusat perhatian tamu-tamu lain. Itu sedikit mengganggu. Bagiku yang sudah terbiasa dipandang aneh oleh orang-orang di sekelilingku, berada sejauh mungkin dari keramaian adalah satu-satunya cara untuk menghindari pandangan yang menyebalkan itu. Tapi ini memang acara penting untuk ayahku, aku tahu dia begitu ingin seluruh keluarganya hadir dan merasakan kebahagiaan yang dirasakannya juga. Tapi...
" Cara, tolong dong... "
" Kau harus memanggilku ' kakak ', bodoh. "
" Iya, kakakku sayang... kau harus mau datang. Ini demi ayah, bukan orang lain. "
Aku terdiam selama beberapa saat lagi, tidak jelas juga sedang memikirkan apa. Sebenarnya aku tidak ingin datang ke acara itu karena aku tidak ingin ayah dan ibuku malu karena anak mereka yang satu ini selalu menjadi bahan pembicaraan dan tertawaan bagi orang lain. Mereka hanya akan dipermalukan olehku, lebih baik mereka membawa Carlo atau Nina saja yang jauh lebih membanggakan dari pada aku. Tapi... kalau mereka memang mau aku ikut dan mempermalukan mereka, kalau mereka tetap mau aku hadir di acara itu dan mengacaukan suasana, kenapa tidak? Bukan aku yang menginginkannya, tapi mereka yang memintaku jadi aku tidak bisa disalahkan kalau ternyata nantinya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Lagipula, sebenarnya aku memang menyayangi ayahku dan tidak ingin membuat beliau sedih. Jadi akhirnya aku menghela napas panjang lalu menjawab:
" Baiklah, aku mau—"
" Bagus. " Nina memotong perkataanku, padahal aku belum selesai. Dia berdiri sambil bertepuk tangan lalu berkata lagi: " Kalau begitu, besok malam kau harus tampil cantik. Jangan biarkan rambutmu bau asap seperti biasa. " Nina menggoyangkan tongkat sihirnya sekali lagi dan pintu menjeblak terbuka lalu mengatakan sesuatu lagi sebelum melenggang pergi.
" Oh, kalau kau ingin membelah dada binatang, lebih baik kau coba memakai katak, jangan kelinci. Aku dengar dada katak lebih mudah dibelah dari pada kelinci. " Lalu dia menutup pintu kamarku dengan lambaian tongkatnya lagi.
" Dasar sok pamer. " Umpatku kesal sambil memandang pintu kamarku yang baru saja mengayun tertutup.
# # #
" Ayolah nona, saya mohon. Anda harus segera mengenakan gaun anda, kalau tidak anda akan terlambat datang diacara pelantikan ayah anda. "
Miranda atau yang sering aku panggil Mira adalah pelayanku yang sudah menjadi sahabat bagiku karena dia sebaya denganku. Dia sudah bersamaku sejak aku dan dia sama-sama masih kecil, jadi kami bukan saja memiliki hubungan sebagai majikan dan pelayan tapi juga sebagai teman masa kecil dan sahabat. Dia satu-satunya yang paling bisa mengerti aku, mungkin karena dia takut dipecat, tapi aku merasa paling nyaman kalau berada di dekatnya. Soalnya dia tidak pernah meledekku, menghinaku atau menganggap aku orang aneh.
Saat ini dia sedang berjuang sekuat tenaga untuk membujukku agar mau mengenakan gaun yang sudah dipilihkannya untukku sementara aku sendiri masih begitu sibuk duduk diatas meja panjangku dan memandangi buku tebal dan katak yang sudah berhasil aku belah dadanya dan dia masih hidup.
" Nona, aku mohon—"
" Aku tahu, Mira. Beri aku waktu beberapa menit lagi. "
Mira harus puas dengan jawabanku yang satu itu karena aku tidak bisa dibantah lagi. Sejauh ini aku sudah berhasil melakukan eksperimenku kali ini. Jantung katak ini masih berdetak, dan sekarang aku hanya ingin tahu bagaimana caranya jantung ini bisa aku hentikan selama beberapa waktu. Kalau itu bisa aku lakukan dengan tidak benar-benar membunuh katak itu sehingga jantung katak itu akan kembali berdetak setelah beberapa waktu, mungkin aku bisa memasuki jiwa katak ini dan merasakan apa yang dialaminya saat berada di beberapa waktu tanpa kehidupan itu. Jadi dengan hati-hati aku meraba sisi jantung katak itu dengan jari tanganku, tapi tidak sengaja aku meraba terlalu keras. Jantung katak itu berdetak kaget dalam sekali gerakan tapi lalu berhenti berdetak sama sekali. Aku mendecak kesal lalu menggerbak meja dengan kedua tanganku. Katak itu mati, aku gagal lagi.
Mira melonjak kaget mendengar aku menggebrak meja dengan sangat kencang, karena saat itu dia sedang duduk termenung di atas tempat tidurku, melamunkan sesuatu, entah apa, yang membuat senyumnya mengembang. Saat sadar aku sudah tidak membaca atau melakukan apa-apa lagi, Mira langsung menghampiriku dan menyodorkan gaun yang akan aku kenakan dengan terburu-buru, takut aku berubah pikiran lagi dan mulai melakukan percobaan lain. Sebenarnya Mira tidak perlu terburu-buru begitu, eksperimenku yang satu ini lagi-lagi gagal, aku belum tahu harus melakukan apa lagi.
" Kau tadi memikirkan Rama lagi, kan? " Tanyaku kepada Mira dengan nada penuh menggoda karena ingin mengalihkan rasa kesalku karena gagal lagi. Rama adalah kekasih Mira. Aku yakin Mira tadi memikirkan pacarnya itu, kalau tidak bagaimana mungkin senyum aneh bisa mengembang di bibirnya tadi? Mira terkejut mendengar pertanyaanku lalu menjawab sambil tetap sibuk membantuku berganti pakaian.
" Tidak nona. "
" Jangan bohong, wajahmu memerah. " Jawabku dan wajah Mira berubah jauh lebih merah lagi. " Wah-wah... orang yang jatuh cinta... aku bingung sekali kenapa semua orang bisa merasakannya. " Lanjutku dengan maksud menggoda Mira lagi. Aku ingin tahu wajahnya bisa semerah apa.
" Apa nona tidak pernah jatuh cinta? " Mira malah menanggapiku dengan bertanya, pertanyaannya seperti itu lagi. Aku hanya menjawab dengan cuek.
" Belum. Dan kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak mau merasakannya. "
" Memangnya kenapa? " Mira bertanya lagi dengan lebih penasaran sambil mengancingkan gaunku di punggung.
" Karena aku tidak mau menjadi orang gila. " Jawabku dengan cepat. " Kalau aku jatuh cinta, maka aku akan sering duduk termenung dan tiba-tiba tersenyum seperti orang gila, seperti kau tadi. " Mira tersenyum mendengar jawabanku.
" Lagipula, aku juga akan menderita nantinya. " Lanjutku, kali ini lebih pelan.
" Menderita kenapa? " Tanya Mira lagi yang sekarang sedang menyisir rambut ikalku.
" Banyak sekali orang yang merasakan jatuh cinta tapi malah menderita pada akhirnya. Aku tidak mau menderita, jadi lebih baik aku tidak pernah jatuh cinta. "
Mira malah menanggapi perkataanku dengan menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum, tapi lalu berkata lagi: " Tidak semua orang yang mengalami jatuh cinta itu akan menderita, nona. Anda harus merasakannya sendiri supaya bisa mengerti bagaimana rasa jatuh cinta yang sebenarnya. "
Wajah Mira kelihatan begitu bahagia, matanya berbinar-binar dan senyumnya lagi-lagi terkembang saat menjawab kata-kataku tadi. Aku tidak pernah melihatnya seperti ini, dia seperti bercahaya.
" Sudahlah. Toh aku tidak akan bisa merasakannya karena aku terlalu sibuk mengurusi eksperimenku. Tidak perlu dibahas lagi, kau sendiri yang bilang kalau aku akan terlambat kalau tidak buru-buru. "
Setelah aku ingatkan seperti itu Mira akhirnya seperti tersadar dari lamunannya dan mulai terburu-buru lagi menemaniku berdandan.
Acara pelantikan ayahku berjalan cukup meriah. Aku datang terlambat sehingga melewatkan acara puncak saat ayahku mengucapkan sumpah tugasnya, tapi tampaknya ayahku memaafkanku dan memelukku dengan gembira saat melihatku ditengah perayaan yang diadakan setelah acara puncak itu. Ayahku tampak begitu ceria dengan segelas sampange di tangan kanannya, memeluk semua rekan yang menyelamatinya. Ibuku berada di samping ayahku sepanjang malam, mengucapkan terima kasih berulang-ulang dan tak berhenti tersenyum. Carlo dan Nina juga sama sibuknya dengan ayah dan ibuku, mereka terus saja menyambut uluran tangan tanda selamat yang disampaikan hampir setiap tamu yang mereka temui. Dan sementara itu, dimana aku? Aku berada dipojok ruangan, mencoba menyendiri dan menemukan sedikit ketenangan di sana. Walaupun tetap tidak bisa menghindari ucapan selamat yang diucapkan para tamu yang kebetulan melihatku di pojok ruangan, paling tidak aku bisa sedikit bersembunyi dari pandangan orang-orang disini. Aku tahu, setelah mereka memberikan selamat kepadaku, mereka akan berkumpul membentuk lingkaran dan mulai membicarakan semua sifat anehku.
Sudahlah, aku tidak perduli. Aku sudah cukup lelah menghindari orang lain, jadi aku hanya bisa bersandar di dinding ruangan dan meneguk cocktail yang aku ambil dari sebuah nampan yang melayang untuk menawarkan minuman kepada para tamu melewatiku. Cokctail ini asam juga, tapi paling tidak berhasil membuatku sedikit tenang. Aku pejamkan mataku dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
" Akhirnya Antonius berhasil mendapatkan posisi ini, dia pasti puas sekali. Posisi ini sudah sangat lama dia inginkan. "
Ya ampun, tidak bisakah aku mendapatkan sedikit ketenangan disini? Baru saja aku kira bisa bernapas lega, tapi ternyata aku dipaksa mendengar orang lain yang lagi-lagi membicarakan keluargaku. Kali ini ayahku yang menjadi sasarannya, ternyata bukan hanya aku yang menjadi bahan gosip. Yang aku dengar barusan adalah suara seorang laki-laki yang sudah berumur, lalu seorang wanita membalasnya.
" Benar, kau lihatkan bagaimana bahagianya raut wajah Antonius? Dan kau juga lihat wajah istrinya? Senyumnya tidak bisa berhenti. "
Lalu seorang wanita lain yang memiliki suara lebih serak menanggapi. " Benar, mereka kelihatan bahagia. Tapi coba lihat gaun berwarna biru yang digunakan Mala itu? Baju itu benar-benar norak dan membuatnya kelihatan terlalu kurus. "
Tadinya aku ingin pergi mencari sudut ruangan lain yang lebih tenang, tapi saat aku mendengar mereka menyinggung mengenai ibuku, aku langsung mengurungkan niatku untuk pergi. Aku tidak tahu orang lain bisa membicarakan ibuku seperti itu, selama ini aku kira mereka begitu mengagumi ibuku yang selalu tampil cantik, bukan menghujat ibuku dari belakang. Ini menarik.
" Dan pakaian yang dipakai Antonius juga membuatnya kelihatan jauh lebih tua. " Wanita yang pertama menanggapi lagi, diikuti dengan gumam setuju wanita yang bersuara serak. Aneh sekali, menurutku ayahku kelihatan ganteng memakai pakaian yang dikenakannya sekarang.
" Dan kalian lihat putra-putri mereka juga datang dan kelihatan bahagia, kan? " Suara laki-laki yang pertama terdengar lagi. Ini dia, mereka pasti akan mulai membicarakanku.
" Anak gadisnya yang aneh itu, siapa namanya? Oh iya, Cara. Ternyata dia datang juga, aku kira dia tidak akan datang ke acara ini. "
Lihat kan, aku bilang juga apa? Aku adalah topik pembicaraan mereka yang paling menarik, tidak bisa dipungkiri lagi.
" Dua anaknya yang lain juga datang, kan? Carlo dan Nina, mereka kelihatan ganteng dan cantik. " Wanita dengan suara serak menanggapi lagi yang langsung ditanggapi dengan seru oleh wanita yang pertama lagi.
" Ngomong-ngomong mengenai kedua anak itu, apakah kau tahu kalau Carlo ternyata menjalin hubungan dengan seorang wanita yang bekerja di pub pinggir kota? "
Hah, yang benar?!
" Aku juga dengar tentang itu. " Wanita bersuara serak menanggapi lagi. " Dan kau dengar kabar mengenai Nina? Dia berhubungan dengan dosennya sendiri yang berumur jauh lebih tua darinya! "
Wah, ini menjadi sangat menarik. Aku tidak tahu ada gosip mengenai Carlo dan Nina yang satu ini. Carlo berpacaran dengan gadis pub dan Nina berpacaran dengan dosen tua, bagaimana kalau gosip ini ternyata benar dan didengar oleh ayah dan ibuku? Ternyata gosip-gosip seperti ini bisa berkembang sampai sejauh ini, aku tidak menyangka bisa seperti ini.
" Bagaimana rasanya mendengar orang lain membicarakanmu, nak? "
Aku kaget sekali mendengar suara seorang laki-laki di sampingku. Aku buru-buru menengok ke asal suara dan menemukan seorang laki-laki tua, mengenakan jas hitam dan kemeja putih bersandar di sampingku. Bibirnya di hiasi senyum dan rambut hitamnya yang di selingi uban berwarna putih di tata rapi dengan belah tengah. Aku sempat mengira kalau laki-laki tua ini adalah dosen Nina yang dibicarakan wanita-wanita tadi, tapi tentu saja itu tidak mungkin, jadi buru-buru aku singkirkan pikiran konyol itu dan membalas sapaannya.
" Aku sudah terbiasa dengan itu. "
" Ah—sepertinya namaku juga disebut-sebut di sana. "
Laki-laki tua itu menyelesaikan kata-katanya lalu diam untuk mendengarkan. Aku juga ikut terdiam untuk ikut mendengarkan dengan penasaran.
" – Cara, gadis itu masih terus mengurung diri sama seperti si tua Klain. Mereka berdua sama-sama aneh dan sama-sama mengatakan mengenai kematian. Begitu menyeramkan... " Wanita bersuara serak itu menyelesaikan perkataannya dengan dramatis. Sedangkan aku, setelah selesai mendengar lalu menatap laki-laki tua di sebelahku yang tadi menyapaku duluan.
" Jadi, anda yang bernama Prof. Klain? "
" Mereka memanggilku begitu. " Jawab Prof. Klain sambil tersenyum dan mengangkat gelas cocktailnya.
Aku pernah mendengar berbagai cerita mengenai laki-laki yang satu ini. Dia adalah penyihir aneh yang menjadi bahan gosip para penyihir lain, sama seperti aku. Tapi bedanya aku seorang peramal, bukan penyihir. Dan sama seperti aku juga, Prof. Klain sangat tertarik dengan dunia kematian. Dia sudah melakukan berbagai eksperimen aneh dan sudah mencapai suatu kesimpulan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Orang-orang menganggapnya sudah gila saat dia mengatakan pendapatnya itu kepada masyarakat, tapi bagiku Prof. Klain adalah idolaku. Eksperimennya luar biasa, teori-teori yang ditemukannya sangat diluar dugaan dan mengakjubkan dan dialah yang membuatku ingin mengetahui hal-hal aneh yang terjadi di sekitar kematian. Wah, Prof. Klain yang begitu aku idolakan ada di sampingku!
" Dan kau adalah Caraveena, benar? Anak gadis keluarga Veena yang terkenal itu? " Prof. Klain bertanya kepadaku setelah sekian lama aku terdiam karena kaget, lalu aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya itu.
" Kau anak gadis yang menarik, kau tahu? Dan keingin tahuan kita yang sama mengenai dunia kematian membuatku ingin sekali bertemu denganmu. Kau ingin berbagi pengetahuan denganku? " Prof. Klain berkata lagi dan aku mendengarnya dengan penuh takjub dan tidak percaya. Dan saat Prof. Klain sudah selesai berbicara sehingga sekarang adalah giliranku menjawab, aku malah menjawab dengan terbata-bata.
" Ten-tentu! Tentu saja aku mau! " Aku mulai bisa berbicara lancar lagi. " Aku begitu kagum dengan hasil teori anda tentang kematian yang bukan akhir dari kehidupan itu! Aku sangat setuju malah! "
" Benarkah? "
" Iya, benar! Aku sangat senang kalau bisa membagi apa yang sudah aku dapat dari penelitian-penelitianku sendiri kepada anda. Aku—"
" Cara, kemana saja kau? " Tepat pada saat itu Carlo datang menghampiriku dan memotong pembicaraanku. Wajahnya kelihatan kesal dan sedikit berkeringat.
" Aku mencarimu kemana-mana, bodoh! Ayah dan ibu mencarimu, mereka ingin kita berkumpul bersama mereka. " Carlo berkata dengan kesal kepadaku tanpa perduli dengan Prof. Klain yang berdiri di sampingku.
" Tapi aku—"
" Tidak ada waktu, ayo cepat! "
Sepertinya Carlo begitu terburu-buru, dia bahkan tidak mau mendengar jawabanku dan langsung pergi begitu saja. Aku menatap Prof. Klain lagi lalu berkata dengan penuh penyesalan.
" Aku harus pergi. "
" Kelihatannya memang begitu. Kalau kau memang tertarik berbagi cerita denganku, kau tahu kemana bisa mencariku. " Prof. Klain menjawab dengan penuh kesabaran lalu berpamitan sambil mengangkat gelas cocktailnya tinggi-tinggi dan melangkah pergi. Aku terdiam di sana untuk beberapa saat, tidak yakin harus bersikap bagaimana karena semua kejadian yang baru saja terjadi begitu cepat berlalu, seperti mimpi. Tapi lalu aku melihat Carlo melambaikan tangannya dengan kesal di ujung ruangan, jadi aku berjalan menghampirinya.
# # #

Ny. Lars – part 20 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 20 -

 
… Episode sebelumnya …
Kevin merasa harus melakukan sesuatu terhadap Cherry, wanita yang sebenarnya sangat dikenalnya, karena wanita itu sekarang mendekati lars, sahabatnya. Dia meminta Cherry untuk meninggalkan Lars, sebelum Lars sakit hati. Sementara itu hubungannya dan Jenny semakin hangat saja. Jenny bahkan mempersilahkan Kevin untuk melakukan penjajakan lebih jauh lagi untuk tidak lagi menjadi 'pacar sementara' lagi …

 
Cherry sedang berjalan terburu-buru ke dalam salah satu apartemen elite. Dengan rok lipit berwarna hitam dan tank top ketat, dia melenggang masuk ke kotak lift dan berhenti di lantai delapan. Cherry mengetuk pintu bertuliskan '631' dan seorang wanita muda membukanya. Cherry menghambur masuk, sementara wanita itu berkata dengan panik.
" Sorry gua telepon lo mulu, tapi gua nggak tau lagi mesti gimana. Gua udah berusaha nyuruh dia berenti, tapi dia nggak mau. "
Cherry menatap Juwita_wanita muda yang membukakan pintu untuknya tadi_dan bertanya dengan terburu-buru pula. " Dia ada dimana? "
" Kamar mandi. " Juwita langsung menarik tangan Cherry sesaat sebelum Cherry menyerbu masuk kamar mandi. " Gua percayain dia sama lo, pelan-pelan ngomong sama dia. Gua tinggal, ya? " Cherry mengangguk dan Juwita pergi dengan wajah lega. Dia tahu benar kalau Juwita sudah berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan Tommy, tidak heran kalau tampangnya kusut seperti itu. Jadi, setelah yakin Juwita sudah pergi jauh, Cherry melepas sandal berwarna pink yang dikenakannya, manarik napas panjang, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Dia menemukan seseorang di dalam bath tube, masih mengenakan pakaian lengkap_celana baggy berwarna coklat dan t-shirt yang sedikit ketat. Wajahnya kusut, rambut pendeknya berantakan, masih mengenakan sepatu dan tangan kirinya menggenggam sebotol bir. Sepertinya dia belum beranjak dari tempat itu cukup lama.
Cherry meletakkan tasnya diatas wastafel dan mendekat. " Tom… " Kata Cherry hati-hati.
Tommy menoleh dan membuka matanya pelan-pelan, berusaha tersenyum dan menatap Cherry dengan menggerakkan tangan kanannya, tapi yang terlihat hanya upayanya untuk menggeser tangannya dari pinggir bath tube.
" Hallo, Cherry sayang… " Tommy berhasil mengacungkan botol birnya dan memamerkan giginya. " Mau minum? "
Cherry merampas botol bir itu dan meletakkannya di atas wastafel lagi. " Udah gua bilang, lo jangan minum lagi. Gua nggak suka lo minum. "
" Apa urusan lo? "
" Tommy… Kenapa lo ada disini? " Cherry bertanya dengan gemetar.
" Bukan urusan lo! "
" Gua udah tau semuanya dari Juwi. "
" Ah! Dia terlalu banyak ikut campur! "
" Dia adik lo, jelas dia khawatir sama lo! Lagian ngapain sih lo ada disini? Lo nggak perlu nyari gua. Orang tua lo kan nggak mau lo balik lagi ke sini, mereka lebih suka lo di Amerika! "
Tampang Tommy berubah, menyiratkan kebencian. " Iya! Mereka mengucilkan gua, mereka ngebuang gua hanya gara-gara gua nggak sama kayak orang lain. "
" Mereka nggak ngebuang lo, mereka peduli sama lo. "
" Bullshit! They don't care about me! Termasuk lo! Lo yang gua kira bener-bener sayang sama gua, yang peduli sama gua, ternyata lo boong dan ninggalin gua. Lo ngebuang gua! "
Sekarang air mata Cherry sudah mengalir. " Gua nggak ngebuang lo… Gua hanya nggak mau kita kayak gini mulu. Lama-lama kita bakal dibuang beneran sama orang-orang, sama keluarga kita. Gua juga nggak normal, bukan hanya lo, tapi gua mau berubah. "
" Lo nggak bakal bisa berubah, kita nggak bakal bisa berubah. Gua tau lo pacaran sama cowok lain buat ngelupain gua, kan? Tapi lo nggak bakalan bisa, gua yakin. "
" Nggak, Tom. Gua pasti bisa, gua udah nemuin orang yang cocok, gua pasti bisa jadi normal lagi. "
" Don't fool you're self! Gua ngerti lo lebih dari pada orang lain. Gua yakin lo nggak bakalan bisa berubah, gua tau lo masih sayang sama gua. "
" Nggak-nggak-gua nggak sayang sama lo. Gua nggak punya perasaan apa-apa sama lo. " Cherry menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kasar, mencoba meyakinkan Tommy dan meyakinkan dirinya sendiri. Tommy masih meneruskan perkataannya.
" Lo puas udah ninggalin gua? Lo puas udah ngebuat gua jadi gila kayak gini? "
" Gua nggak bermaksud bikin lo jadi kayak gini… Gua hanya nggak mau kita diomongin yang jelek-jelek sama orang… "
" Gua nggak peduli omongan orang! " Tommy mulai beranjak naik karena marah. Dia tidak perduli walaupun celananya basah kuyub. " Gua hanya peduli sama lo. " Lanjutnya sambil menatap mata Cherry dalam-dalam.
Mereka diam sejenak, saling memandang. Mata Tommy menunjukkan pandangan yang penuh cinta dan kehangatan yang tidak pernah dilihat Cherry dari mata orang lain, diam-diam itu membuatnya luluh. Tiba-tiba Tommy mendorongnya ke dinding dan mencengkeram pundaknya erat-erat.
" Cherry, please… Balik lagi sama gua. Gua sayang banget sama lo, gua butuh lo. Kita balik lagi ke Amerika, kita bahagia di sana, nggak ada orang-orang yang menentang kita disana. "
Cherry masih menangis, kali ini lebih pedih dari pada sebelumnya. Semua mulai tampak tidak bisa ditahannya lagi. Tommy masih berbicara.
" Kalo perlu, kita pergi kemana aja, ke tempet sepi, yang nggak ada orang lain, supaya kita bisa berdua terus. Just both of us, no one else! "
Masih dalam keadaan menangis, Cherry berkata dengan terbata-bata di selinggi isakannya. " Kenapa… Kenapa lo tau kalo gua pura-pura suka sama orang lain? Kenapa lo tau kalo gua belum bisa ngelupain lo? Kenapa lo bisa tau… " Tommy sekarang memegang kedua pipi Cherry dan menjawab sambil menatap mata Cherry.
" Karena gua yang paling tau tentang lo, yang mau ngedenger keluh kesah lo. Lo masih ingetkan kalo gua bukan hanya pacar lo? Gua juga sahabat lo, temen curhat lo, gua ada buat lo, dan lo ada buat gua. Gua yang bakal bikin lo tenang, bikin lo jatuh cinta, bukan orang lain. "
Akhirnya Cherry tersenyum, merasa senang dan sangat yakin kalau memang Tommy-lah orang yang dicarinya selama ini. Dia merasa sangat beruntung menemukan Tommy yang sangat mencintai dan dicintainya, merasa menemukan orang yang tepat. Seperti puzzle, saat ini Cherry sudah menemukan sebuah puzzle terakhir yang melengkapi kekosongan puzzle hatinya.
" I Love you, Cher… "
Dan kata-kata ini yang telah berhasil menghancurkan semua benteng yang telah dibangunnya untuk melupakan Tommy di dalam hati. Tommy menciumnya setelah berkata seperti itu, dan saat ciuman itu berlangsung, tidak salah lagi kalau Cherry merasakan getaran. Getaran yang sama yang selalu dirasakannya jika Tommy menciumnya, yang sangat menggetarkan hatinya dan seperti menggelitiknya, yang hanya bisa dia rasakan melalui sentuhan bibir Tommy, bukan dari orang lain, dan sudah pasti, bukan dari Lars. Cherry sama sekali tidak menyesal dengan keputusannya kali ini: Tommy hadir kembali dihidupnya.

 
...Bersambung...

Ny. Lars – part 19 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 19 -

 
… Episode sebelumnya …
Akibat minum terlalu banyak, dan mengalami stress yang cukup berat Jenny jatuh sakit dan harus di rawat di rumah ibunya. Tapi walaupun sakit, Louise tetap tidak mau melewatkan kesempatan untuk mewawancarai Jenny tentang ciumannya dengan Kevin. Sementara itu, Lars yang datang untuk menjenguk Jenny malah bertengkar dengan ibunya …

 
Kevin sedang duduk dikusen jendela kamarnya, menggenggam ponsel dengan tangan kirinya lalu ditempelkan ditelinganya. Dia sedang menghubungi seseorang.
" Hallo, Cherry? Ini Kevin. "
Cherry yang dihubungi Kevin sedang berjalan keluar dari fitness center. Dia baru saja melakukan rutinitas fitnessnya dan sedang dalam perjalanan pulang. " …. Kevin? Siapa, ya? " Tanyanya sangsi.
" Lo nggak usah pura-pura nggak tau soal gua. "
Cherry diam. Sepertinya sandiwaranya selama ini yang berpura-pura tidak mengenal seorang laki-laki bernama Kevin Nathanael tidak bisa dilanjutkan lagi. Sebenarnya mereka memang sudah saling kenal. Tepatnya setahun yang lalu saat mereka masih sama-sama di Amerika.
" Lo mau apa? " Tanya Cherry yang suaranya sudah berubah dingin.
" Ngapain lo disini? " Kevin malah balik bertanya.
" Kenapa? Ini tanah air gua, rumah gua. Terserah gua mau ngapain, kok lo yang sewot? " Cherry sudah sampai di dalam mobil dan membanting pintu mobil sedannya dengan keras.
" Terus, ngapain lo sama Lars? "
" Emangnya kenapa, sih? Gua pacaran sama Lars, kok lo yang sewot? Emangnya lo jealous? Hubungan kita udah lama selesai, lo inget kan kalo lo yang mutusin gua? "
" Ini nggak ada hubungannya sama jealous! " Suara Kevin tambah keras. " Lo lupa, ya apa alasan gua mutusin lo? Lo tuh—"
" Stop! Kita udah sepakat kalo kita nggak bakal ungkit masalah itu lagi, kan? Kita nggak saling kenal! Iya kan? "
" Iya, tapi ini menyangkut Lars! Gua nggak mau lo manfaatin Lars buat kepentingan lo sendiri! Gua nggak mau Lars ngerasain sakit hati yang sama seperti yang gua rasain dulu! "
" Gua nggak mainin Lars, Kev! Gua udah berubah! Gua butuh Lars, supaya gua bisa berubah! " Sekarang suara Cherry terdengar bergetar, dia mulai meneteskan air mata.
" Nggak bisa! Kalo lo mau berubah, cari aja orang lain, jangan Lars, dia itu sahabat gua! "
" Tapi cuma Lars yang bisa, gua udah coba sama orang lain, tapi nggak bisa! "
" Pokoknya gua nggak mau tau, lo nggak boleh jadiin Lars pelampiasan lo, gua nggak mau! Lo mau gua sebarin ke semua orang kalo anak perempuan pengusaha ternama di Indonesia yang cantik itu ternyata—"
" Kevin, please… Udah Kev, jangan bikin gua menderita… "
" Lo yang bikin gua menderita duluan, jadi gua mau lo jangan bawa-bawa sahabat gua ke penderitaan lo itu. Ngerti? "
Kevin menutup teleponnya dengan kasar. Sekarang dia sangat menyesal karena telah mengenal Cherry lebih dulu dan lebih tahu tentang siapa sebenarnya Cherry. Dia berharap tidak pernah mengenal seorang wanita bernama Cherry yang sudah membuat jalan hidupnya berubah sangat drastis.
Sementara itu di dalam mobil Cherry sedang menangis tersedu-sedu di balik kemudi. Dia merasa sangat menyesal karena pernah mengenal seorang laki-laki bernama Kevin yang ternyata telah menjadi batu sandungan untuk hidupnya yang ingin dia perbaiki ini.
" Gua mau berubah… gua mau berubah, Kev… " Katanya tersedu-sedu di sela isakannya.
Entah
karena emosi atau apa, tapi setelah bertengkar dengan ibunya, demam yang diderita Jenny semakin parah. Sekarang dia sedang berbaring di tempat tidur lagi, mengenakan piyama bergambar domba hitam dan meringkuk dibalik selimut. Dia sedang diam sambil memejamkan mata saat pintu kamarnya diketuk. Dan saat pintu terbuka, terdapat ibunya yang sedang membawa salah satu hamsternya dan menggandeng Kevin disebelahnya.
" Jenny sayang… Coba liat siapa yang datang menjengukmu? "
Jenny menutup matanya dengan sebelah tangan dan berkata: " Mom, katanya nggak boleh nyuruh orang asing masuk ke dalam? " Tanya Jenny yang heran benar mendapati ternyata ibunya telah berani membawa orang asing masuk ke kamarnya, bukan hanya ke 'dalam rumah' saja.
" Kamu ini bicara apa? Orang asing yang mana? Kevin kan tunanganmu, bukan orang asing... "
" Tunangan siapa? "
" Sudahlah... " Ibu Jenny melambaikan tangannya. " Lebih baik aku tinggalkan kalian berdua… Baik-baik, ya… "
Ibunya berbalik dan meninggalkan kamar sementara Kevin hanya tersenyum dan melangkah mendekati Jenny. Setelah acara 'ciuman yang menggelitik' malam itu dan pertengkaran dengan ibunya mengenai Kevin kemarin, Jenny memang belum bertemu bahkan berbicara apa-apa lagi dengan Kevin, dan sekarang kenyataan itu membuatnya kikuk. Kevin sudah berada di depannya sekarang, duduk di pinggir ranjang dan memandangnya.
" You're fine? " Tanyanya.
" Well… kalo kepala gua yang sakitnya kayak ditusuk-tusuk dibilang nggak apa-apa, ya… gua nggak apa-apa. "
" Sorry… " Jawab Kevin geli. Kevin mendekati Jenny dan meraba keningnya yang panas. " Badan lo masih panas banget. " Wajah Kevin yang sangat dekat itu membuat Jenny tambah kikuk. Sebenarnya dia tidak siap untuk bertemu dengan Kevin, apa lagi membicarakan masalah ciuman itu. Jenny sangat berharap kalau Kevin tidak ingin bertemu dengannya hanya untuk membicarakan masalah yang satu itu. Tidak sekarang, disaat pikirannya masih labil dan kepalanya masih sangat pusing.
" Gua mau ngomong sama lo. " Kevin berkata lagi, dan kali ini Jenny panik lagi. Dia betul-betul yakin kalau Kevin akan membicarakan masalah itu.
" Kalo lo mau ngomongin masalah ciuman yang waktu itu, no comment. " Kata Jenny, buru-buru memotong pembicaraan Kevin. Kevin terdiam, mendengarkan-sebelas-kata-yang-diucapkan-Jenny-dalam-waktu-dua-detik itu dengan kagum. Lalu dia meluruskan badan menjauhi Jenny dan berkata:
" Kenapa lo pikir gua bakal ngomongin masalah itu? "
" Lo bener-bener nggak mau ngomongin masalah itu? "
" Tadinya sih nggak, tapi gara-gara lo ingetin gua, jadi boleh juga. " Jenny memukul jidatnya cukup keras. Tolol benar Jenny mengungkit masalah itu, coba tadi dia pura-pura tidak ingat saja.
" Jadi lo mau ngomongin masalah apa? "
" Gua hanya mau mastiin, gimana perasaan lo sekarang sama gua. "
Jenny diam lagi. Dia tidak menyangka kalau pertanyaan Kevin akan seperti ini. Ini lebih rumit dari pada masalah ciuman itu. Tapi, iya juga, sekarang bagaimana perasaan Jenny terhadap Kevin? Setelah Jenny bisa mencurahkan sebagian isi hatinya kepada Kevin, setelah Kevin menciumnya, setelah Kevin memeluknya, apa sekarang posisi Kevin tetap sebagai 'pacar sementara' Jenny saja?
" Well—"
" Gua mau jawaban jujur. " Sambar Kevin, bahkan sebelum Jenny sempat menyelesaikan kata-katamya. Jenny menatap mata Kevin dan Kevin membalas tatapan matanya. Jenny menyerah, dia memang tidak bisa menyangkal apa-apa lagi.
" Sebenernya, gua nggak pernah bisa sedeket ini sama orang yang baru gua kenal. Biasanya gua bakal jutek banget sama orang asing, apa lagi kalo orang asing itu nyebelin kayak lo. " Kevin tersenyum.
" Tapi… " Kata Kevin membantu Jenny meneruskan perkataannya.
" Tapi… sama lo ternyata nggak kayak gitu. Belum sebulan kenal sama lo, gua udah bisa curhat sama lo, kayak kemarin malem. Dan artinya itu hal besar buat gua. Lo bukan lagi orang asing buat gua. "
Kevin tersenyum puas sekali, lebih puas dari yang diinginkannya. " Dan status 'pacar sementara itu' ? " Tanya Kevin penuh harap.
" Bukan berarti lo yang nggak gua anggap orang asing bisa tiba-tiba berubah jadi 'pacar beneran' buat gua! Butuh waktu buat kearah itu. "
" Tapi, itu artinya gua masih tetep ada kesempatan, kan? "
" Well… ya… "
" Yes! Gua seneng banget ngedengernya! " Kevin kegirangan bukan main. Dia meraih tangan Jenny dan menggenggamnya, dan Jenny juga tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang spontan itu. Sangkin senangnya, lama kelamaan remasan tangan Kevin semakin kuat, membuat Jenny kesakitan dan harus menjerit supaya Kevin tersadar dan melepaskan genggamannya itu. Dan masih dengan tampang sumringah, Kevin bertanya lagi.
" Jen, soal cimuan kemaren… What do you think? "
" Hah? Katanya lo nggak mau ngomongin itu? "
" Tadinya sih nggak, tapi gara-gara lo ingetin tadi—" Jenny memutar matanya lagi. " Gimana? " Tuntut Kevin.
" Manis. "
" Apa? "
" Ciuman lo manis. " Lagi-lagi Kevin tersenyum, kali ini senyumnya tidak bisa dihilangkan dalam sekejap. " Ngomong-ngomong, " Kata Jenny lagi untuk mengalihkan perhatian. " Gua denger tadi nyokap gua nyebut-nyebut soal tunangan. "
" Iya, nggak tau dia dapet berita dari mana. " Jawab Kevin masih sumringah dan geli.
" Nyokap gua emang aneh. "
" Gua nggak keberatan kok disebut kayak gitu. "
" Tapi kan—"
Kevin langsung mencium Jenny. Tidak ada aba-aba, tidak ada permisi, pokoknya langsung mencium Jenny. Tentu saja Jenny kaget, tapi saat dia hendak melepaskan diri, Kevin malah menahan tangannya dan menciumnya lebih dalam, membuat Jenny terperangkap disana. Tidak ada yang bisa dilakukan Jenny selain menerima ciuman itu. Ngomong-ngomong, ciuman itu manis juga. Jenny bahkan merasakan butterfly lagi.
Ciuman itu terhenti saat pintu kamar Jenny tiba-tiba dibuka tanpa diketuk lebih dahulu. Ibu Jenny berdiri dibaliknya, sekarang sedang tercengang melihat anak gadisnya dicium seorang laki-laki. Kata-katanya tergantung di udara dan tidak bisa diselesaikannya (" Jenny sayang, aku rasa… "). Kevin tidak langsung menghentikan ciumannya saat itu juga, masih ada jeda beberapa detik saat akhirnya Kevin tersadar dan melepaskan Jenny. Ibunya malah terlihat senang dan tersenyum malu.
" Maaf, aku mengganggu. Aku hanya ingin mengundang Kevin makan malam minggu depan, bagaimana? "
" Sepertinya menarik. " Jawab Kevin singkat.
" Baiklah, kalau begitu sampai bertemu minggu depan jam tujuh malam. Silahkan dilanjutkan. "
Ibunya pergi setelah mengedipkan sebelah matanya kepada Jenny dan Kevin. Jenny menggerutu melihat sikap ibunya yang aneh itu, dan Kevin juga tersenyum geli melihatnya.
" Kayaknya dia bener-bener percaya kalo kita tunangan. " Kata Kevin.
" Iya, dan lo harus buru-buru ngelurusinnya. "

 
...Bersambung...

Questions Book ( page 43 )


Bingung…
Apa yang harus aku lakukan?
Jalan mana yang harus aku pilih?
Semua tampak begitu berliku
Garis finishnya terlalu berkabut untuk dapat diprediksi
Dan aku terlalu takut untuk menentukan
Seolah penyesalan adalah sebuah aib yang harus aku jauhi di masa depan
Sebegitu penakutnyakah aku?
Sebegitu inginnya aku memutuskan hal paling benar untuk hidupku
Tapi apa yang benar untukku?
Yang mana?
Ya ampun, tolong…
Aku bingung…

 
140609 ~ Black Rabbit ~

Ny. Lars – Part 18 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 18 -

 
… Episode sebelumnya …
Cherry memutuskan untuk mancoba menjalin hubungan dengan Lars, dia bahkan mau double date dengan Jenny, asisten yang juga adalah sahabat Lars. Tapi ketika merasa begitu yakin dengan keputusannya, dia kembali diingatkan kepada Tommy, orang yang seharusnya sudah dia lupakan …

 
Jenny berbaring di tempat tidurnya dengan mata yang perih dan selimut yang melilit seluruh tubuhnya, kecuali kepala. Setelah kejadian traumatis kemarin malam, Jenny langsung terserang demam yang cukup tinggi. Mungkin ini akibat terlalu stress. Sebuah buku mengatakan bahwa orang yang stress lebih mudah terserang penyakit karena daya tahan tubuhnya melemah. Mangkanya sekarang dia tidak bisa pergi kemana-mana dan terkurung di kamarnya dengan badan yang hanya boleh dibawa pergi sejauh kamar mandi.
Sekarang Jenny sedang berbaring dengan Louise yang sedang berusaha menahan tawa sekuat mungkin duduk di depannya.
" Ngapain lo senyum-senyum? Mendingan lo bantuin gua ngabisin makanan ini. " Jenny berkata ketus sambil memandang meja sarapan di pangkuannya. Di atas meja itu sudah ada beberapa potong sandwich, telur setengah matang, segelas besar susu, jus jeruk yang gelasnya tidak kalah besar dengan gelas susu, semangkuk sup ayam dan segelas air putih. Ibunya memerintahkan para pelayannya menyiapkan segudang sarapan ini hanya untuk Jenny habiskan pagi ini saja.
" Nyokap lo perhatian sama lo, dia mau lo cepet sembuh. " Louise menjawab masih dengan senyum yang tertahan.
" Iya, tapi dia kira gua beruang, bisa makan sebanyak ini? Perut gua malah bisa meledak kalo mesti makan semuanya. "
" Iya deh, gua bantuin… " Louise baru mau mengambil sepotong sandwich, tapi buru-buru Jenny hentikan. " Gua suka yang itu, lo makan yang ini aja. " Kata Jenny dengan menyerahkan semangkuk sup ayam ke tangan Louise. Louise menggeleng tapi menerimanya juga dan menyuap sup itu kedalam mulutnya.
" But, Jen. Gua nggak salah denger kan tadi? " Tanya Louise lagi.
" Salah denger apa? "
" Lo ciuman sama Kevin? "
Jenny menghentikan aktifitas mengunyah sandwichnya, lalu wajahnya perlahan memerah. " Udah, nggak usah dibahas. "
" Oke-oke… " Tanggap Louise sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, menandakan kalau dia tidak akan berdebat lagi. " Gua cuma mau tanya satu hal aja. "
" Apaan? " Tanya Jenny sewot.
" Gimana rasanya ciuman sama Kevin? "
Lagi-lagi Jenny terdiam dan wajahnya memerah. " Kan gua udah bilang, nggak usah dibahas! "
" Come on, Jen! Cuma nanya gitu doang… Hm? Gimana? " Louise masih terkekeh manatap Jenny dengan pandangan jahil sekaligus ingin tahu. Dia memandang Jenny sambil menaikkan alisnya naik turun.
" Gimana? " Tuntut Louise.
" Gua nggak tau. Rasanya kayak digelitik. " Jawab Jenny dengan menyerah.
" Digelitik? Maksud lo kayak ada kupu-kupu yang lagi terbang di dada lo? " Jenny mengangguk sambil mengunyah sandwichnya lagi. " Itu namanya butterfly. "
" Butterfly? " Jenny berhenti mengunyah.
" Iya. Perasaan menggelitik di dada waktu lo ngerasa bener-bener nikmatin suasana itu. It's gonna be unforgetable feelings, perasaan itu bakal selalu lo inget. "
" Nikmatin suasana? " Jenny mengingat lagi suasana malam itu. Dia merasa hangat saat dipeluk Kevin dan ciuman yang dirasakannya benar-benar lembut, dan… astaga! Jenny merasakan perasaan itu lagi!
" Lo ngerasa harus narik napas dalem-dalem supaya bisa tenang… " Louise melanjutkan, sedangkan Jenny menarik napas dan perasaan itu sedikit mereda. " And, sebenernya, Jen… Cowok yang bisa ngasih perasaan itulah yang kita cari selama ini. "
" Maksud lo? "
" Iya, cowok yang kayak gitu. Lo nggak mau kan dapetin cowok yang nggak bisa ngebangkitin perasaan lo. You enjoy that feeling, right? Perasaan ngegelitik itu menyenangkan, dan lama-lama bisa bikin lo horny. "
" Maksud lo butterfly itu tahap awal ' penggairahan', semacam foreplay? "
" Bisa dibilang gitu. Lo nggak mau kan dapet cowok yang nggak bisa bikin lo bergairah. "
Jenny terdiam lagi. Dia meraih gelas jus jeruk dan meneguknya, badannya menggigil lagi. Benarkah Kevin yang bisa membuatnya bergairah? Kenapa bukan Lars? Dia ingin Lars yang bisa membangkitkan perasaan itu dalam dirinya, bukan Kevin. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, membuatnya semakin pusing, tapi dia tidak perduli.
" Nggak, Lou. Waktu itu gua lagi labil. Gua baru kecewa sama Lars, gua baru ngeliat pake mata kepala gua sendiri, Lars mesra-mesraan sama Cherry. Gua emang udah bisa curhat sama Kevin, tapi bukan berarti gua udah bisa suka sama dia. Nggak. Gua emang ngerasain butterfly, tapi Kevin nggak bisa bikin gua bergairah. Nggak mungkin gua bergairah sama Kevin, " Jenny menjawab dengan kalut, mengatakan semua itu lebih untuk dirinya sendiri dari pada untuk Louise. Sekarang Louise yang menggeleng-gelengkan kepala.
" Gua nggak bermaksud bikin lo bingung, gua cuma ngasih pendapat. Tapi lo harus inget kalo sekarang Lars udah punya cewek. Dan dia playboy. "
" Iya, gua tau! " Jawab Jenny yang kali ini menjawab dengan kesal karena diingatkan lagi soal ke-playboy-an Lars.
Tak lama pintu kamar Jenny diketuk, muncul seorang pelayan dan berkata: " Maaf nona, tuan Lars datang menemui anda. "
" Lars? " Louise dan Jenny menjawab hampir secara bersamaan.
" Benar. Mau saya santar ke kamar anda? '
" Nggak usah, gua aja yang turun, tolong beresin ini. " Jenny menyerahkan meja sarapannya kepada pelayan itu, lalu mengambil mantel. Badannya yang menggigil tidak dia hiraukan lagi.
" Jen, lo kan masih demam, kenapa nggak Lars aja yang ke kamar lo? " Tanya Louise yang jelas-jelas melihat Jenny yang gemetar sambil mengenakan mantelnya. Jenny buru-buru menggeleng.
" Nggak, gua nggak mau Lars ngeliat gua hanya bisa tidur di kasur—"
" AAHHH!!! "
Belum selesai Jenny mengatakan alasannya kepada Louise, terdengar jeritan dari luar. Itu suara ibu Jenny. Buru-buru Jenny dan Louise berlari ke asal suara.
Di ruang tamu, terlihat pemandangan yang sangat mencengangkan. Terdapat ibu Jenny yang sedang duduk di atas sofa besar. Disekelilingnya berserakan binatang mungil dan beberapa potong wortel, batang seledri, apel dan makanan kering. Di kiri dan kanan ibu Jenny terdapat dua pelayan, satu memegang sapu dan sekop mini dan satu lagi memegang beberapa tumpuk lap. Besar kemungkinan mereka sedang mengawasi binatang-binatang itu kalau mereka pipis atau pup. Ibu Jenny terlihat panik, wajahnya pucat pasi dan mulutnya tidak berhenti mengatakan " Jangan injak Lusi, jangan injak Lusi. " berulang-ulang. Beberapa meter didepannya, tepat didepan pintu yang terbuka, terdapat Lars yang kaget tidak bergerak dengan kaki kiri yang berada beberapa senti di atas lantai, tidak menginjak.
Jenny muncul di daun pintu di samping Lars yang terbuka dan berkata: " What happen? " sambil geragapan.
Ibunya masih sangat panik dan matanya mulai basah karena air mata. Dia menjawab terbata-bata. " Dia…Dia…mau…menginjak Lusi-ku… " Sambil menunjuk Lars.
Jenny memandang ke bawah kaki kiri Lars yang tidak menginjak tanah dan mendapati Lusi_salah satu hamster terkecil koleksi ibunya_meringkuk dan gemetaran di bawah sana. Lalu Jenny memandang wajah Lars.
" Apa? Siapa Lusi? " Tanya Lars aneh.
" Salah satu binatang yang hampir lo injek, Lars. "
Lars melihat ke bawah kakinya, lalu lebih kaget lagi dan mundur beberapa langkah.
" Tolong ambil dia. " Perintah Jenny. Seorang pelayan yang membawa tumpukan lap tadi buru-buru mengambil binatang malang itu dan menyerahkannya kepada ibu Jenny. Ibu Jenny menerimanya, lalu memeluk hamster itu dan lalu menangis tersedu-sedu. " Huhuhu… sudah tidak apa-apa sayang, kamu baik-baik saja manis… "
" Ngapain tikus-tikus ini disini? " Akhirnya Lars bisa berkata-kata lagi, walaupun dengan wajah yang masih menyimpan kekagetan.
Jenny menjawab lemas. " Itu hamster, Lars, bukan tikus. Nyokap gua lagi ngajak mereka main. "
" Main? Terus siapa wanita yang pake syal bulu itu? "
" That's my mom. "
Lars nampak semakin kaget. Jenny tidak heran. Dengan melihat penampilan ibunya yang selalu memadukan syal bulu dengan semua pakaian yang dikenakannya, tidak heran kalau semua orang aneh melihatnya. Sementara itu Louise yang melihat ibu Jenny yang masih saja menangis, memutuskan untuk mencoba menenangkannya.
" Sudah tante, Lusi baik-baik saja. "
Jenny manatap Louise dan ibunya bergantian dengan putus asa. Badannya menggigil lagi. Diraihnya tangan Lars dan berkata: " Mendingan kita ngobrol di dalem aja. "
" Tidak baik mengajak orang asing ke dalam, Jenny… " Jenny berhenti, berbalik lalu menatap mata ibunya yang diolesi eyeliner waterproof itu.
" Tapi dia temenku! " Teriak Jenny. Tapi ibunya masih cemberut, menandakan tidak. " Dia bosku! "
" Justru karena itu… " Ibunya malah balas memelototi Jenny, membuat Jenny kesal bukan main. Apalagi saat Lars yang kelihatannya tidak enak karena menyaksikan pertengkaran antara ibu dan anak yang diakibatkan dirinya, berkata:
" Jen, gua cuma dateng buat ngejenguk lo doang, kok, kata Kevin lo sakit. Mangkanya jangan minum lagi. Ini gua bawain apel, di makan ya. Gua pulang dulu ya, take care. Bye. " Lars mencium pipi Jenny lalu berbalik dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada ibu Jenny. Jenny menatap ibunya lagi dengan kesal.
" Why you do this to me? "
" Dia bahkan tidak berpamitan denganku… " Ibunya malah mencibir.
" Dia bosku, mom! "
" Tapi dia sangat tidak sopan... "
" Dia hanya nggak suka binatang yang mirip tikus! "
" Ini hamster, lebih bersih dan lebih lucu dari pada tikus… " Jenny masih memandangi ibunya, berusaha sekuat tenaga agar tidak melempar ibunya yang tersayang itu dengan apel yang sedang dipegangnya, atau dengan topeng anggar diatas perapian.
" Dengar Jenny… kau adalah gadis keturunan Tionghua… sudah sepantasnya mendapatkan laki-laki keturunan Tionghua juga. "
Jenny mengatupkan rahangnya lebih rapat lagi, dan dengan geram berkata: " Jadi itu yang bikin mom judes sama Lars? Hanya gara-gara dia bukan keturunan Tionghua? Orang keturunan Tionghua atau keturunan apa juga, belum tentu baik! Lars keturunan Jerman, dan dia baik! Kevin bukan keturunan Tionghua, kenapa mom baik sama dia? "
" Kamu salah... Salah satu kakek Kevin keturunan Tionghua, jadi dia masih memiliki darah Tionghua, walaupun ayahnya keturunan Belanda… "
Benarkah Kevin keturunan Tionghua? Kenapa tidak ada orang yang memberitahunya? Jenny memandang Louise yang biasanya lebih tahu dari dirinya meminta penjelasan, Louise mengangguk.
" Kamu harus mendengarkanku, sayang… aku sudah berpengalaman menikah dengan orang Jerman_ayahmu itu_tapi kau lihat apa yang aku dapatkan? Tidak ada… Dia tidak bisa membahagiakanku, dan tidak bisa diandalkan…Dia hanya mementingkan lukisan-lukisannya. " Ibunya mencibir lagi.
" Jangan ngomongin ayah. "
" Kenapa? Itu semua adalah kebenaran… Dia bahkan tidak bisa mengajari anak gadisnya cara berbicara yang sopan… "
" Mom jangan hanya nyalahin ayah karena kalian nggak bisa bahagia! Dan cara ngomong gua nggak ada hubungannya sama siapa pun juga! " Jenny berjalan ke kamarnya, meninggalkan ibunya dan Louise dengan geram yang tidak tertahan lagi. Di tengah jalan air matanya sudah menetes. Dia sudah muak mendengar perkataan ibunya yang selalu menjelek-jelekkan ayahnya. Ini adalah salah satu alasan kenapa Jenny memilih tinggal sendiri. Dia tidak mau mendengar ayah ataupun ibunya saling menjelek-jelekkan mantan pasangan masing-masing didepannya. Dia tidak tahan. Apa lagi kalau mengingat bahwa keduanya adalah ayah dan ibu kandungnya, bukan orang lain.
...Bersambung...

Ny. Lars – Part 17 -


Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 17 -

 
… Episode sebelumnya …
Entah kenapa Jenny bersedia bercerita kepada Kevin tentang perasaannya yang sebenarnya terhadap Lars, dan walaupun itu tetap tidak merubah pendirian Kevin untuk menunjukkan kepada Jenny bahwa Lars tidak pantas untuknya, paling tidak Kevin bisa mengerti dan memaklumi. Dan mereka pun berciuman …

 
Lars duduk dibelakang kemudi sambil menggenggam tangan Cherry yang duduk di sebelahnya. Setelah acara double date yang ditutup dengan Jenny yang mabuk dan diantar Kevin, Lars memutuskan untuk mengantar Cherry pulang juga. Kini dia sudah ada di bawah apartemen Cherry.
" Lo nggak usah nganterin gua sampe ke atas. Udah malem, gua juga udah capek. "
Lars menggenggam jari-jari tangan Cherry dengan lebih erat, lalu menatapnya dengan penuh cinta. " Bener? " Tanyanya, Cherry mengangguk.
Lars memandangnya lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. " Cherry, gua bener-bener sayang sama lo. " Cherry diam.
" Honestly, gua nggak pernah seserius ini sama cewek. Selama ini cewek yang ngedeketin gua hanya mau duit gua aja. Tapi lo nggak, Cherry. You'r different. There's something inside of you, yang nggak dimilikin cewek lain. " Cherry masih diam. Untuk sesaat dia tidak bisa mengatakan atau bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi perkataan Lars ini. Akhirnya dia tersenyum dan mengangguk pelan. Lars ikut tersenyum. Dia meraih wajah Cherry dan mengelusnya beberapa saat. Pandangan mata mereka saling bertemu, lalu seolah Lars meminta izin melalui pandangan matanya itu, Lars mencium Cherry. Ciuman paling tulus dari hati yang paling dalam yang tidak pernah dia lakukan terhadap wanita lain. Awalnya Cherry sempat tersentak kaget juga, dia tidak menyangka kalau Lars akan menciumnya seperti ini, dan dia merasakan sensasi yang lain dalam dirinya. Anehnya, sensasi itu bukan sesuatu yang menggelitiknya seperti sensasi yang telah diberikan pacar-pacarnya sebelumnya. Tidak ada getaran, tapi Cherry mengacuhkannya dan tetap menerima ciuman Lars itu.
Cherry keluar dari mobil Mercedes Lars, sempat melambaikan tangan beberapa saat, lalu melenggang masuk.
Ponsel Cherry langsung berdering sesaat setelah dia masuk ke dalam kamarnya. Diraihnya ponsel itu dan dijawabnya.
" Hallo? "
" Hallo, Cher. "
" Oh, Juwi, kenapa? " Itu telepon dari Juwita, adik salah satu temannya.
" Gua mau minta tolong sama lo, bisa nggak? "
" Minta tolong apaan? " Tanya Cherry yang sekarang sedang melepaskan sandal berhak lima senti yang dipakainya.
" Tommy ada di sini, Cher. Dia balik ke sini buat nemuin lo, tapi dia ngeliat lo sama orang lain dan dia kecewa banget. Dia mabuk, Cher. Gua udah berusaha nenangin dia, tapi dia nggak mau dengerin omongan gua. Gawat kalo dia kayak gini mulu. Lo mau kan dateng kesini, dan ngomong sama dia? " Jawab Juwita yang nada suaranya tidak lagi setenang tadi, malah terdengar sangat gemetar dan menahan tangis.
Cheery sebenarnya kaget dan khawatir mendengar kabar Tommy yang buruk itu, tapi dia sudah terlanjur berjanji untuk tidak akan mencampuri masalah apapun yang menyangkut Tommy. Dia adalah bagian dari masa lalu yang sungguh-sungguh ingin dilupakannya.
" Juwi, sorry banget… gua nggak bisa. Gua nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia. "
" Tapi, Cher… dia down banget! Hanya lo satu-satunya orang yang deket sama dia, dia pasti mau dengerin omongan lo. "
" Tapi—Gua nggak bisa, Ju! "
" Cher, please… gua minta tolong kali ini aja… "
Cherry merasa pertahanan diri yang telah dibangunnya selama ini sedang terancam. Dia mulai runtuh mendengar Tommy yang mulai memberantaki dirinya lagi dan mendengar Juwita yang meminta pertolongan darinya dengan sangat memelas itu. Tapi dia tidak bisa masuk ke dalam jurang yang sama dua kali. Dia sudah bisa lepas dari Tommy, dia tidak akan mau kembali lagi. Tidak dengan cara apa pun juga.
" Juwi, gua bener-bener minta maaf, gua nggak bisa. "
Cherry buru-buru menutup telepon itu, sebelum keteguhan hatinya tergoyahkan lagi karena mendengar permintaan Juwita yang memelas itu. Ponselnya berdering lagi dengan nomor yang sama, Juwita lagi yang menelepon. Cherry memutuskan untuk mematikan ponselnya tanpa menjawab telepon dari Juwita itu. Dia terduduk di ujung tempat tidur lalu menangis tersedu-sedu di sana.

 
...Bersambung...