Black Rabbit
" NY. LARS "
- Part 3 -
- Part 3 -
… Episode sebelumnya …
Walaupun Lars dan Jenny adalah bos dan anak buah, tapi di luar urusan pekerjaan mereka seperti sahabat. Tapi berapa lama Jenny bisa memendam perasaannya? Apalagi saat mengetahui jika Lars ternyata termasuk salah satu pria playboy yang memuja wanita? …
Lars benar-benar menceritakan apa yang dialaminya kemarin malam kepada Jenny. Bagaimana dia bertemu wanita itu, berkenalan dan merasa cocok. Untung saja Lars tidak menceritakan peristiwa diatas ranjang dengan wanita itu secara detail. Mendengar acara pendekatan dan perkenalan mereka saja sudah membuat hati Jenny ketar-ketir, apalagi kalau dia mendengar cerita intim itu, mungkin Jenny akan langsung pingsan seketika, atau berteriak karena panik dan jadi gila. Tapi untunglah itu tidak terjadi. Lars cukup bijak dengan hanya menceritakan garis besar kronologi kejadian dengan tidak menyinggung kejadian di atas ranjang sehingga Jenny bisa dengan bijak juga menanggapi ceritanya.
" Damn! Ternyata tuh cewek matre juga! An***ng! " Kata Lars menutup penjelasannya sambil menyentakkan tuas alat berat yang ditariknya sedari tadi. Jenny sudah tidak asing dengan kata-kata kasar yang sering dilontarkan Lars, Lars memang sering kali tidak bisa mengontrol emosinya kalau menyangkut kekecewaan atau merasa tertipu. Tapi Jenny menganggapnya sebagai kemakluman seorang sahabat. Kaum laki-laki kan biasanya agak segan berbicara kasar di depan wanita, hanya dengan sahabat-sahabatnya saja kaum laki-laki bisa berkata paling kasar sekalipun. Tapi di depan Jenny Lars sering berkata kasar, dan itu berarti Lars menganggapnya sahabat. Lars memang pernah berkata kalau dia menganggap Jenny sebagai sahabat paling karibnya saat ini. Dan Jenny tersanjung sekaligus senang, jujur saja.
" Bukan matre kali... Mungkin dia bener-bener mikirin mobil lo. Lagian mana mungkin dia ngelewatin cowok ganteng yang pake mobil Mercy kayak lo. Buta kali tuh cewek! " Tanggap Jenny sambil terus berlari di track mengenakan celana training putih bergaris hitam dengan baju olah raga berwarna biru yang memperlihatkan perutnya yang kecil dan kencang.
" Nggak tau lah! Yang jelas, gua paling benci sama cewek matre! Masa nggak ada cewek yang bener-bener suka sama gua dengan setulus hati di dunia ini? Kayak lo, gitu. Lo nggak mentingin mobil gua kan? "
Jenny berhenti beberapa saat, melirik ke arah Lars yang masih asik menarik tuas alat beratnya, lalu berlari lagi. Sebenarnya Jenny hanya ingin memperjelas apa yang didengarnya tadi. Apa tadi Lars memujinya? Mengatakan kalau dia bukan seperti cewek-cewek lain? Buru-buru ditenangkan hatinya yang mulai berdebar-debar, lalu menjawab dengan sedatar mungkin agar Lars tidak melihat hatinya yang gembira itu.
" Buat apa gua mentingin mobil lo? Nggak ada yang lebih penting dari itu? "
Lars tersenyum penuh kemenangan dan berhenti menarik alat tuasnya. Dia menyeringai lalu meraih handuk yang dililit disekeliling lehernya, mengelap keringatnya lalu berkata: " See? Udah gua bilang, lo tuh cewek baik-baik. "
Kalau mau jujur, Jenny merasa benar-benar tersanjung dengan segala pujian yang dikatakan Lars sedari tadi. Kalau saja Lars adalah pacarnya, maka saat ini Jenny pasti sudah menarik Lars kepelukannya dan menciumnya. Lalu Jenny akan mengatakan kalau dia sangat mencintai Lars sepenuh hatinya. Tapi kenyataannya, Lars hanyalah bosnya yang sangat baik sedangkan Jenny hanya asisen kepercayaannya. Jadi Jenny hanya bisa merasakan wajahnya yang panas dan saat ini pasti sudah berwarna merah semerah tomat matang yang hampir busuk.
Tapi tiba-tiba Lars menanyakan sesuatu yang membuat wajah merahnya berubah menjadi pucat dengan sangat cepat. Dalam sekejap kegembiraan yang dirasakannya berubah menjadi kepanikan mencari dalih yang tepat untuk menutup kebohongannya.
" Gimana hubungan lo sama cowok lo? Kalian masih bareng kan? Kok gua nggak pernah ngeliat lo jalan sama dia? Dia nggak pernah sekali pun ngejemput lo? " Hanya serangkaian pertanyaan ini yang ditanyakan Lars, tapi mampu dengan sangat ampuh membuat Jenny panik, boleh ditambah dengan embel-embel 'setengah mati' sebagai pelengkap kalau mau.
Sebenarnya Jenny tidak suka berbohong, apalagi berbohong kepada Lars. Kalau dia tidak benar-benar dalam keadaan terpaksa, Jenny tidak pernah berpikir akan berbohong kepada Lars. Tapi kebohongan yang satu ini, mau tidak mau harus diteruskan. Satu-satunya kebohongan yang harus ditutupi dengan kebohongan lain karena sampai sekarang Jenny tidak bisa menemukan jalan keluar yang tepat untuk bisa menuntaskannya. Untuk pertanyaan diatas, Jenny hanya bisa menjawab panjang. " Ba...ik. "
" Nggak pernah ngejemput lo? " Lars sengaja mengulang pertanyaan terakhirnya ini. Jenny hanya menggeleng. " Nggak, dia nggak bisa. Sibuk. "
" Tapi dia nggak marah kan kalo lo suka jalan sama gua? "
Jenny buru-buru menggeleng. " Nggak kok, dia nggak bakal marah. " Untunglah setelah tersenyum menanggapi gelengan paniknya Jenny, Lars melirik jam tangannya lalu beranjak. Bagi Jenny, ini mengakhiri serangan panik mendadaknya dan memberikan sedikit kesempatan kepadanya untuk bisa bernapas lega.
" Ok deh Jen, gua harus pergi. Hari ini gua bakal sibuk dikantor, jadi gua nggak bisa ke bengkel. Gua serahin bengkel sama lo. Ok?! "
" Ok deh... Bengkel lo bakal gua rantai supaya nggak lari. " Lars tersenyum lagi mendengar jawaban asal Jenny itu, lalu pergi dengan langkah tegapnya yang biasa, meninggalkan Jenny yang masih tetap memandangi punggung Lars menghilang dibalik pintu gym. Dan tebak apa hal pertama yang dilakukan Jenny setelah yakin Lars sudah menghilang dari jarak pendengarannya? Dia langsung mencari ponselnya. Nama Louise yang dicarinya di daftar nomer telepon ponselnya.
" Lou, gua bener-bener harus nyari cowok yang mau jadi pacar gua. "
" Hah? Maksud lo apa? "
" Lars tadi udah nanya soal cowok gua lagi. "
" Mangkanya, dari awal gua bilang juga apa? Lo tuh nggak perlu boong segala. Kalo lo nggak boong, mungkin sekarang lo udah bisa ngedapetin Lars. Dia kan suka sama lo Jen... "
" Suka apa? Dia kan suka sama gua hanya sebagai asisennya, Lou! "
" So what? Yang penting kan dia suka sama lo. Siapa tau suka nya itu bisa berubah jadi cinta. Berarti lo bisa jadi 'Nyonya Lars'! Ya kan? "
Jenny menelan ludahnya dengan susah payah saat mendengar sebutan 'Nyonya Lars' yang diucapkan Louise. Bukan karena takut atau apa, hanya saja sebutan itu adalah cita-citanya selama dua tahun terakhir ini sekaligus hal yang paling tidak meyakinkan yang pernah dia pikir akan benar-benar terjadi.
Louise melanjutkan perkataannya setelah dia tidak mendengar Jenny berkata apa-apa karena menelan ludah saja dia sudah sangat susah. " Jen, lo tenang aja deh, gua ada ide bagus nih. Lo mau cari cowok yang rela jadi pacar lo, kan? You'll ge it, girl. "
" Caranya? "
" Biro jodoh. Lo tinggal kasih nama, ciri-ciri, nomor telepon and it's a rap! Lo tinggal nunggu cowok-cowok ngantri buat jadi pacar lo. "
Jenny terkejut mendengar ide konyol Louise itu. Biro jodoh? Yang benar saja! Jenny benar-benar tidak menyangka masih saja ada orang yang mau ikut biro jodoh seperti itu. Itu kan sangat tidak zaman modern! Sekarang kan sudah abad 21, chatting sudah meraja lela tapi masih ada yang namanya biro jodoh di dunia ini? Dan Louise manyarankan Jenny untuk ikut? Itu Louise yang mengatakannya! Pasti salah. Jenny pasti salah dengar.
" Lou, tadi lo ngomong apa? Biro jodoh bukan? "
" Iya honey, biro jodoh. Disana cari pacar sama kayak nyari supir. Banyak yang mau. Gampangnya kayak main game di handphone. "
" Yang gua tau, cowok yang ikut biro jodoh hanya cowok tua yang nggak pernah laku sampai umurnya diatas 35 tahun, belum lagi tampangnya yang umumnya tua banget. Kesimpulannya, gua nggak mau. "
" Jenny sayang... Lo percaya nggak sih sama gua? Lo tau gua nggak pernah ngecewain lo kan? "
" Dalam hal apa? " Tanya Jenny minta penjelasan. Soalnya, selama ini Louise memang tidak pernah mengecewakannya dalam beberapa hal_terutama dalam hal perapihan alis mata Jenny_ tapi dalam beberapa hal lain, Jenny tidak bisa merasa seyakin ini. Louise mendecak pelan dengan gemas.
" Udah deh, Jen. Lo serahin aja semua ditangan gua. Pasti beres. Ok?! "
" Tapi Lou—"
Klik! Telepon terputus. Jenny menatap ponselnya dengan bingung, lalu mencoba menghubungi Louise lagi. Tapi malah voice mail yang menerimanya kali ini yang berarti ponsel Louise tidak aktif. Kacau! Kutuk Jenny dalam hati.