Ada sebuah jeritan terdengar dari dalam hatiku. Jeritan seseorang, bukan aku, tapi anehnya terdengar begitu dekat dalam diriku. Seolah sebagian dari diriku sendiri yang menjerit, bukan orang lain. Itu jeritan kesakitan, tapi bukan karena luka bakar, luka iris atau luka lainnya, melainkan luka yang lain, yang lebih menyakitkan, yang lebih menakutkan. Aku hanya bisa menebak bahwa itu adalah luka hati… Kenapa semua hal harus begitu sulit untuknya? Mengapa ada begitu banyak rintangan yang harus dihadapinya tanpa bisa ditinggalkan begitu saja? Tidak bisakah dia lari dari semuanya dan memutuskan untuk melewati rintangan yang lain saja asal jangan rintangan yang satu ini? Aku tahu dan merasakan bahwa hatinya sudah hancur berkeping-keping tanpa perlu dihancurkan dengan masalah yang satu ini. Dan bisakah semuanya berjalan lancar untuknya, kali ini saja? Dia telah memutuskan begitu banyak hal yang besar dalam dirinya. Semua menguras tenaganya, menguras setiap rasa di dalam hatinya, membuatnya merasa tidak lagi memiliki sisa rasa yang bisa diperasnya untuk merasa sedikit bahagia. Dia hanya ingin berbahagia, sama seperti orang lain, sama seperti kita. Tapi kebahagiaan itu begitu sulit untuk diraih baginya. Seperti bintang, yang letaknya terlalu jauh untuk bisa di capai. Dan kali ini dia harus menggantung kebahagiaan orang yang paling dekat dengannya demi mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Kenapa begitu? Kenapa harus ada seseorang yang menderita lebih dulu agar dia bisa merasakan kebahagiaan? Kenapa? Kenapa? KENAPA?!?!? Dan kenapa dia harus mempertaruhkan kebahagiaannya dengan kebahagiaan ayahnya sendiri? Itu adalah hal yang paling berat yang harus di laluinya, aku yakin itu. Mencoba merasakan perjuangannya saja sudah membuatku merasa tersayat-sayat, seolah ada seseorang yang memaksaku untuk bunuh diri, atau membunuh orang lain agar tetap hidup. Tapi bagaimana jika apa yang dipertaruhkannya adalah sesuatu yang sangat diidamkannya, sesuatu yang tidak bisa disangkalnya akan bisa membuatnya berbahagia, lahir dan batin? Jelas saja, dia tidak bisa memutuskan keduanya, dia harus memilih salah satu, atau dia bisa memilih pilihan ketiga, yaitu membiarkan dirinya sendiri ikut menderita bersama kedua korbannya.
Dan ada sebuah kekecewaan besar yang aku rasakan. Lagi-lagi bukan diriku yang merasakannya, tapi terasa begitu dekat, seolah sebagian lain dari diriku yang merasakan kekecewaan itu. Rasanya sakit sekali, seperti menusuk hatiku, seperti menyayat, seperti membakar. Dan rasanya luka itu tidak akan bisa hilang dan sembuh, akan menjadi cacat seumur hidup, membuatku teringat akan sakitnya, tak akan pernah lupa. Aku merasakan sakit hati itu, perasaan terhina itu, perasaan dikhianati… Memang, rasanya sakit sekali. Seperti ada seseorang yang menusukmu dari belakang, seseorang yang dekat… anakmu sendiri, darah dagingmu… Aku meneteskan air mata kepedihannya, aku merasakan kesesakannya, rasanya begitu menyakitkan, membuatku ingin berteriak, ingin lari, ingin lepas dari semua belenggu itu, berharap semuanya tidak kacau seperti ini. Tapi kenyataan telah menggariskan nasibnya dengan seenaknya, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. Itu membuatnya merasa semakin terkhianati. Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa semuanya bisa berubah menjadi kacau begini? Kenapa? Apa? Bagaimana bisa? KENAPA?!?!? Apa lagi yang mereka inginkan darinya? Dia telah berusaha untuk bersabar sejauh ini, berusaha menerima semua perubahan yang ada padahal dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi. Harga dirinya jatuh dan hancur berkeping-keping saat partner hidup yang dipilihnya telah mencuranginya. Semua kehancuran itu berawal dari sana. Dari satu titik tuba yang menetes dan mencemari semuanya. Setelah itu nama baiknya tercoreng dengan kelakuan darah dagingnya sendiri, dua sekaligus. Mereka menusuk punggungnya dari belakang dan membiarkannya tersungkur jatuh ke lubang malu dan keputusasaan yang dalam tanpa bisa menyelamatkan diri. Dia hanya ingin berbahagia, membangun rumah dengan pondasi yang di bangunnya sendiri dan mempertahankan rumah itu dari segala macam badai dengan usaha kerasnya. Dia hanya ingin berbahagia dengan prinsip-prinsipnya, dengan apa yang diyakini akan dapat membahagiakannya dan keluarganya. Tapi kenapa dia malah dikhianati oleh darah dagingnya sendiri? Seolah mereka telah meracuninya secara perlahan dan membiarkannya sekarat. Dan sekarang apa lagi yang mereka inginkan? Setelah dia menginjak-injak harga dirinya sendiri, setelah dinding yang telah dibangun dengan keringatnya harus dia hancurkannya sendiri, setelah dengan hati yang hancur berkeping-keping yang telah dengan suka rela dia lem kembali untuk menerima semua kenyataan yang ada. Sekarang mereka menginginkannya untuk menjatuhkan dirinya lagi ke jurang yang sama? Betapa kejamnya? Tidakkah mereka tahu seberapa hancur hatinya? Seberapa dalam luka baru yang mereka timbulkan sementara luka lama itu masih tetap membekas dan terus saja berdenyut-denyut menyakitkan sampai sekarang? Kali ini aku yakin, dia tidak lagi memiliki stok kesabaran yang selama ini selalu dia keluarkan jika menghadapi situasi seperti ini. Dia tidak lagi bisa bersabar, tidak lagi bisa menerima semuanya begitu saja. Ini bukan masalah sepele, ini tentang masa depan mereka. Dia harus memegang prinsipnya kali ini, prinsip yang dia anggap paling benar. Prinsip yang paling didasari oleh instingnya sebagai seorang ayah.
Aku berada di antara dua pilihan yang begitu sulit untuk diputuskan. Salah satunya adalah sebelah hatiku dan yang lainnya adalah darahku. Keduanya adalah unsur paling penting dalam hidupku dan keduanya adalah penentu hidup matiku, penentu kebahagiaanku sendiri. Bagaimana aku bisa hidup tanpa sebelah hatiku? Dan bagaimana pula aku bisa hidup tanpa aliran darahku? Dan apa yang harus aku lakukan? Keduanya berhak untuk diperjuangkan, dipertahankan, dibahagiakan; tapi keduanya tidak bisa sejalan. Mereka memilih jalan mereka masing-masing, tapi sayangnya kedua jalan itu sangat berbeda, jauh berbeda. Tidak mungkin menyatukan keduanya pada satu jalur yang sama karena mereka memiliki keyakinan mereka masing-masing yang nyaris tidak bisa digoyahkan, tidak bisa dirayu. Hanya mereka sendiri yang bisa menyatukan jalan mereka. Hanya saling pengertian yang bisa menolong mereka, keinginan untuk melihat masing-masing diantara mereka berbahagia, walaupun dengan cara mereka masing-masing. Mereka harus bisa saling jujur satu sama lain, saling mengerti, saling memaklumi, saling meminta maaf karena jalan yang mereka pilih berbeda. Aku tidak bisa memutuskan harus memihak ke mana. Pilihan itu tidak akan bisa aku lakukan. Semuanya membingungkanku, semuanya membuatku sedih, seolah aku dapat merasakan segalanya, dari kedua sisi. Itu menyakitkan, itu menyesakkan, itu membuatku sendiri ingin bunuh diri. Kalau saja kekacauan ini tidak dibiarkan terjadi begitu saja sejak awal. Kalau saja perbedaan itu sudah diantisipasi sejak pertama kali mecuat ke permukaan, kalau saja keduanya bisa saling memahami dan menerima dengan lebih lapang dada, kalau saja…
Kalau saja aku tidak berada di tengah semua kerumitan ini… Kalau saja…
201209 ~ Black Rabbit ~