You've Got Mail ( 1 )


===============================================================
To        : Yukina Novemberia ( yuki_nov@net.com )
From    : Brahmana Putra ( brahmaramayana@net.com )
Subject : Ini gua!
===============================================================
Hei!
Ini alamat e-mail baru gua. Alamat yang lama ada masalah sama yang namanya bosen, jadi mulai sekarang kita ngobrol lewat sini aja, ok?!
Sekarang kita omongin soal isi e-mail terakhir lo.
Lo mau gua jujur nggak? Lo sendiri yang bilang kalo lo nggak suka diboongin, kan? Jadi gua bakal jujur sama lo. Gua bosen baca keluhan lo mulu. Jangan marah dulu, bukan berarti gua nggak sayang sama lo, tapi apa lo nggak ada kegiatan lain selain duduk di depan computer dan ngetik e-mail yang panjangnya minta ampun ke gua? Mana semua isinya curhatan lo yang intinya sama, lagi: lo bosen sama hidup lo.
Honey, kan udah gua bilang dari dulu kalo lo harus belajar nikmatin hidup lo sendiri! Kalo lo nggak nikmatin hidup lo sendiri, kapan lo bisa bahagia? Semenjak pindah ke sini gua nggak bisa lagi nemenin lo kalo lo lagi sedih kayak gitu. Mangkanya lo harus bisa ngebahagiain diri lo sendiri, kalo nggak siapa lagi yang bisa ngehibur lo? Maksud gua, selain Reihan. Dia kan pacar lo, tanpa diminta dia pasti bakal ngehibur kalo lo lagi sedih. Tapi kan, semua orang butuh sahabat juga. Gua tau, sahabat lo cuma gua. Dan gua juga tau, gua jahat banget udah ninggalin lo sendirian disana, tapi gua nggak punya pilihan lain. Lagian kita masih bisa ngobrol lewat e-mail, kan?
So honey, lagi-lagi gua cuma bisa ngasih nasehat yang sama buat lo. Bahagiain hidup lo sendiri. Jangan tunggu orang lain yang ngebahagiain lo, tapi bikin diri lo sendiri bahagia, soalnya hanya itu satu-satunya cara supaya lo bisa bahagia: mulai dari diri lo sendiri.
Cheer up, girl! Gua tau lo bisa! Semangat, ya! Lo tau lo masih punya gua, sahabat lo.

Brahmanasaktimandraguna.

Ps: Foto terakhir lo bagus banget, udah gua kira kalo lo lebih bagus tanpa kacamata J

Kau dan Aku, Sungguh Aneh


Aku sedang duduk di sofa empukku yang biasa, sedang menunggu detik-detik jam berganti menuju angka yang tepat sehingga aku bisa pulang ke rumah dan beristirahat dari rutinitas kantorku yang melelahkan. Semuanya biasa saja, suasana yang biasa, teman-teman yang biasa, kegiatan bermain game penuh konsentrasi yang biasa pula. Hanya saja kali ini ada yang berbeda dari biasanya, ada kau, yang duduk di sampingku sedemikian dekatnya.
Sofa yang sedang aku duduki adalah sebuah sofa single seat, yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi satu orang saja. Walaupun hanya untuk satu orang, ukurannya yang besar memang sering digunakan untuk dua orang, terutama untuk aku dan teman-temanku yang bertubuh cukup kecil, kau tahu itu. Tapi walaupun begitu aku tidak pernah menyangka kau akan duduk di sampingku, menemaniku duduk sambil tetap menatap ponselku, berusaha berkonsentrasi.
Kau dan aku membuat sofa itu seolah terisi penuh. Tubuhku tidak terlalu kecil sedangkan tubuhmu yang khas laki-laki itu juga tidak bisa dibilang kecil. Ada begitu banyak kursi lain yang masih kosong, siap untuk diduduki dengan suka rela, tapi kau malah memilih untuk duduk di sampingku. Aku tidak heran, aku juga tidak bertanya-tanya atau pun merasa jengkel. Aku tahu kau akan duduk di sampingku.
Kita memang dekat, julukan sahabat akan selalu disandingkan teman-teman jika mereka memanggil kau dan aku. Aku adalah orang yang akan dicari teman-teman jika ingin bertanya tentang keadaanmu, seolah kau dan aku memiliki hubungan telepati yang bisa membuat kita saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Yah, itu tidak sepenuhnya benar. Kau memang dengan senang hati selalu memberitahukan semua rencana kepadaku tanpa aku tanya, walaupun kau sendiri tidak pernah merasa perlu repot-repot menanyakan rencanaku.
Intinya adalah: kau dan aku memang bersahabat. Aku bahkan menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Kau juga menganggap aku sebagai adikmu sendiri, aku rasa begitu, yah… paling tidak selama beberapa waktu belakangan ini aku yakin kau memang menganggapku sebagai seorang adik, atau mungkin sahabat, atau mungkin teman curhat, atau apa pun istilah yang tepat.
Tapi sekarang… aku tidak yakin kau tetap menganggapku seperti itu. Ada yang berubah dari dirimu beberapa hari belakangan ini.
Aku tahu kau masih bersedih karena baru putus cinta, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Tapi selama ini aku tidak pernah melihatmu berubah menjadi seperti ini. Maksudku, kau memang penuh perhatian, walaupun tidak seperhatian itu jika statusmu sedang berpacaran dengan ‘cewek A’. Kau memang selalu baik, walaupun tidak sebaik itu jika statusmu sedang berpacaran dengan ‘cewek B’. Kau juga memang selalu sering bercerita tentang semua rencanamu, walaupun kau tidak selalu sering bercerita seperti itu jika statusmu sedang berpacaran dengan ‘cewek C’.
Pokoknya kau selalu menjadi kau yang biasa, yang seolah menjaga kata ‘sahabat’ ada di antara kita, yang seolah mengingat untuk terus ‘sadar’.
Tapi kali ini berbeda.
Ada pandangan yang jauh lebih penuh arti dari pada sebelumnya. Ada pertanyaan menggantung di ujung lidahmu yang jauh lebih mendesak untuk dicari jawabannya. Ada gerak tubuh yang seolah tidak bisa ditahan untuk meraih lagi. Ada kata-kata yang seolah ingin pecah dari gelembung yang selama ini tersembunyi di sela tenggorokanmu.
Kali ini pandangan itu lebih mengunci. Kali ini pertanyaanmu membuatku bodoh, lupa bagaimana caranya menjawab, lupa bagaimana selama ini bersikap di depanmu, lupa bagaimana merangkai kata-kata dengan tepat. Kali ini tanganmu terulur penuh harap dan begitu tak ingin melepaskan saat sambutanku bertemu denganmu. Kali ini ada ungkapan rasa yang melimpah ruah dan nyaris tak bisa aku bendung dengan selayaknya.
Sungguh aneh.
Bukankah label ‘sahabat’ itu seharusnya telah tertempel kuat di antara kita? Bukankah label ‘kakak-adik’ juga sudah siap kita sematkan setelahnya? Tapi kenapa ada genggaman tangan yang mendesak itu? Kenapa ada pertanyaan yang membuat lidah kelu dan pipi memerah itu?
Ya, pertanyaan itu. Pertanyaan yang seperti pedang batu: dingin, menusuk dan mengejutkan. Selama ini aku kira pertanyaan itu hanya akan aku dengar di dalam mimpiku saja sehingga saat pertanyaan itu benar-benar keluar dari bibirmu, hanya kau yang bisa melihat dengan jelas betapa gagapnya aku.
Dan kau tahu apa yang aku lihat lagi setelahnya? Setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirmu? Ada pertanyaan lain. Ada pernyataan yang jauh lebih banyak lagi. Ada maksud terselubung dari sebuah pertanyaan mengejutkan tadi. Ada sebuah pertanyaan lain yang bahkan belum seberapa mengejutkannya jika dibandingkan dengan pertanyaan pertamamu.
Benar begitu, bukan? Tapi kenapa kau malah tidak melanjutkan apa-apa? Lagi-lagi kau menahan diri. Lagi-lagi label ‘sahabat’ itu kau tempelkan kembali.
Tapi lihat, apa yang kau lakukan lagi setelahnya? Genggaman tangan itu? Pandangan mata itu? Dan akhirnya… kecupan lembut di puncak kepalaku? Bukan hanya satu, tapi dua kali, tiga kali!
Kau membuatku gila, kau tahu?
Tentu saja aku tidak akan melupakan semua itu. Tentu saja itu akan terpatri dengan sangat jelas di kepalaku, seolah terulang terus sepanjang waktu.
Tapi masih ada satu pertanyaan di balik semua itu, pertanyaan yang paling membuat kepalaku hampir pecah. Apakah semua itu berarti sama dalamnya bagimu? Ataukah itu hanyalah pelarianmu dari sakitnya patah hati yang kau rasakan baru-baru ini?
Aku terlalu mengenalmu. Aku terlalu tahu sifat-sifatmu, baik dan burukmu. Dan semua itu membuatku seolah dipermainkan. Aku tidak bisa membiarkan diriku sendiri terhanyut hal yang seharusnya tidak aku tanggapi seserius itu.
Aku harus terus menyadarkan diriku, mengingatkan diriku sendiri untuk terus menginjak tanah dan tidak melayang jauh, karena aku tahu pasti bahwa aku akan jatuh. Cepat ataupun lambat, aku akan jatuh. Kau akan menjatuhkanku, dan aku akan merasakan lagi sakit itu. Seharusnya aku tahu, seharusnya aku ingat.

100811 ~ Black Rabbit ~

Sekelumit Tentang Kemanusiaan


Kemanusiaan….
Kata itu terngiang-ngiang di kepalaku akhir-akhir ini, dan kata itu menjadi sangat aku pertanyakan artinya. Kata itu begitu dekat dengan manusia, seperti sesuatu yang seharusnya ada di dalam diri manusia, berasal dari dalam diri manusia itu sendiri.
Setiap manusia memiliki apa yang dinamakan dengan kemanusiaan itu, seperti sebuah nama, seperti jati diri. Kemanusiaan seperti sebuah kebanggaan yang ada di dalam diri seorang manusia, yang membuat derajat seorang manusia menjadi lebih tinggi dari pada makhluk hidup lain di dunia ini.
Kemanusiaan seperti sebuah hadiah yang sangat berharga yang diberikan khusus kepada manusia dari Yang Maha Kuasa, yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk hidup lain. Tapi… satu pertanyaan berputar berulang-ulang di dalam kepalaku saat ini: apakah kita_manusia_masih memiliki apa yang dinamakan kemanusiaan itu di dalam diri kita?
Terdapat sebuah buku, sebuah novel fiksi percintaan_sesuatu yang tidak terlalu dianggap cukup berarti untuk dibaca oleh segelintir orang. Dalam buku ini diceritakan kisah seorang makhluk dari planet lain yang di‘transfer’ ke dalam tubuh seorang manusia bumi. Dia berbaur dengan sesamanya di bumi, mencoba hidup dengan kebiasaan yang dilakukan manusia, berkeluarga, bersahabat dan mengalami yang namanya jatuh cinta, nyaris seperti manusia pada umumnya. Tapi apa yang membedakan cerita ini dari cerita cinta biasa adalah cerita ini mengetengahkan mengenai makhluk asing yang ternyata berbeda dengan apa yang kita bayangkan sebelumnya.
Hollywood dengan film-film box office-nya telah berhasil dengan sukses menceritakan bagaimana sosok alien yang begitu menakutkan dan sangat jahat di mata manusia. Apa yang dapat mereka lakukan di bumi hanyalah membunuh manusia dan mengambil alih planet kita untuk mereka kuasai. Tapi dalam novel ini alien yang menguasai manusia digambarkan memiliki sifat yang sangat baik. Apa yang mereka lakukan setelah menguasai tubuh seorang manusia adalah menjalankan tugas manusia itu dengan baik, menuruti peraturan, bersahabat dengan alam, tidak berperang atau bermusuhan dengan orang lain. Mereka membuat keadaan bumi menjadi jauh lebih baik lagi.
Sedangkan apa yang dilakukan manusia-manusia yang sebenarnya, yang selamat dari penyerangan para alien itu? Mereka melawan, mereka berperang, mereka mencoba merebut kembali apa yang telah direbut dari mereka. Semua tindakan itu terdengar sangat biasa, terdengar alami, semua orang akan melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana kenyataan itu bisa diterima jika ternyata tindakan mereka malah terlihat sangat tidak manusiawi?
Ada begitu banyak film yang juga menyajikan kenyataan yang sama. Beberapa film buatan Hollywood saat ini tidak hanya menyajikan gambaran manusia dengan kisah kepahlawanan mereka, bagaimana mereka memperjuangkan harga diri mereka atau bagaimana mereka berjuang untuk merebut apa yang sudah direbut makhluk lain dari mereka. Tapi sekarang ada begitu banyak film lain yang mengetengahkan kebalikan kisah-kisah itu.
Bagaimana jika ternyata manusia itu sendiri yang merupakan tokoh jahatnya? Bagaimana jika ternyata alien yang selama ini kita kenal sebagai makhluk jahat, sebagai monster, sebagai musuh, ternyata lebih memiliki hati, memiliki kemanusiaan, memiliki hati nurani dan kebaikan hati yang murni melebihi manusia, melebihi kita semua?
Kemanusiaan manusia justru di pertanyakan saat ini.
Mana kemanusiaan yang kita miliki saat kita menebang hutan yang selama ini telah dengan suka rela dan tanpa pamrih memberi kita pasokan oksigen untuk kita hirup, atau menahan aliran air yang deras saat hujan lebat turun tanpa henti, atau memberikan kita keteduhan saat matahari bersinar dengan teriknya?
Mana kemanusiaan yang kita miliki saat kita mencemari tanah yang kita pijaki dengan sampah-sampah yang kita hasilkan, saat kita dengan begitu serakah menguras semua mineral yang ada dalam perutnya, saat kita dengan seenaknya mencabuti semua tanaman yang telah ditumbuhkannya, yang telah diberinya makan?
Mana kemanusiaan kita saat tanpa peduli kita mencemari pasokan air yang ada di muka bumi ini, saat kita membunuh semua makhluk hidup yang telah dihidupinya dengan penuh sayang, saat kita menguras semua kemampuannya untuk kepentingan kita dengan egois?
Mana kemanusiaan kita saat kita membuang semua polusi yang kita hasilkan ke tengah udara yang tidak melakukan satu kesalahan pun kepada kita, saat kita memaksanya menipis dan menghilangkan satu lapisannya karena kita membuang carbondioksida dengan seenaknya?
Mana kemanusiaan kita saat kita menyalahkan mereka saat mereka akhirnya marah dan membalaskan apa yang telah kita lakukan terhadap mereka?
Hewan dan tumbuhan yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu tentang apa pun juga telah menjadi sasaran empuk ketamakan kita. Pohon rela mati demi kita saat kita menebangnya untuk menghasilkan kertas dan mengahambur-hamburkannya seolah mereka dapat memberikan apa yang kita inginkan lagi dengan kecepatan seperti membalikkan telapak tangan. Semua hewan tak pernah mengeluh saat kita membunuhnya untuk memenuhi keinginan kita merasakan kenikmatan daging mereka, memperpanjang umur kita, memperpanjang penderitaan mereka.
Lihat betapa egoisnya kita, lihat betapa kuatnya mereka bertahan, lihat betapa marahnya mereka saat pada akhirnya mereka tidak lagi bisa menolerir apa yang selama ini telah kita lakukan terhadap mereka.
Dan pernahkah kita berkaca bahwa apa yang telah kita lakukan telah merusak semua keseimbangan yang seharusnya ada di antara kita dan mereka? Kemanusiaan sudah tidak ada lagi dalam diri manusia, digantikan dengan ketamakan, keegoisan, keinginan dan kebutaan. Perang disulut demi mendapatkan wilayah, alam dirusak demi mendapatkan harta dan hewan dibunuh demi mendapatkan kepuasan. Tidakkah manusia sadar bahwa apa yang mereka bawa adalah kehancuran, kerusakan, kebinasaan? Bukan manusia yang menjadi korban saat ini, tapi merekalah yang menjadi penjahatnya, predator dan penghancur paling kuat di seluruh dunia.
Tidakkah manusia sadar bahwa apa yang mereka butuhkan untuk merasa bahagia bukanlah kepuasan yang bersifat bananiah seperti itu? Bagaimana dengan jiwamu? Bagaimana dengan hatimu? Apa kau dapat merasakan bagaimana kepedihan alam saat kau menghancurkannya? Apakah tentram hatimu saat keseimbangan itu dihancurkan? 
Keseimbangan antar makhluk, semua itu mungkin bisa mengatasi segala kerusakan. Jika saja manusia sadar bahwa alam dan hewan dan semua hal yang ada di dunia adalah sahabat yang seharusnya dijaga, yang seharusnya dijadikan teman, bukan musuh yang harus dihancurkan, akankah kedamaian tercapai?

181209 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 59 )


Ternyata kita memang berbeda
Bukan karena jenis kelamin
Tak peduli asal usul keluarga atau pun latar belakang budaya
Aku dan kamu memang tidak sama
Aku baru saja menyadarinya, sesaat jurang kita terasa melebar tanpa batas
Tapi bukankah kita memang berbeda?
Tidak ada satu orang pun yang sama
Bahkan saudara kembar pun tidak pernah sama, tidak peduli se-identik apa mereka
Jadi untuk apa mempersoalkan semua perbedaan itu?
Untuk apa mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas tidak akan kita temukan jawabannya?
Cara pikir kita berbeda
Kau bisa berpikir ke kiri, sedangkan aku ke samping
Kau bisa berpikir ke kanan, sedangkan aku ke belakang
Kau bisa berpikir ke depan, sedangkan aku memutar
Tapi apalah artinya semua itu?
Toh pasangan paling serasi pun tidak akan bisa selamanya hidup rukun
Justru dengan perbedaan kita dapat saling mengerti
Justru dengan perbedaan kita dapat saling menghormati
Sudahlah, mempertanyakan semua itu hanya akan membuat jurang itu kembali menganga lebar
Membuatku melihatmu sebagai seorang musuh, bukan sahabat yang selama ini aku banggakan
Oh tidak, selama ini aku sudah berusaha untuk tidak memikirkan semua itu
Memusuhimu seolah menyesakkan dada
Membelakangimu seolah melukai tangan kananku sendiri
Meragukan kedudukanmu di dalam hatiku seolah membunuh sebagian dari diriku sendiri
Untuk apa aku perlu melakukan semua itu?
Membunuh diriku sendiri?
Membuat tubuhku cacat dengan tanganku sendiri?
Aku tidak mau menjadi orang cacat
Aku tidak mau melubangi hatiku dengan semua perbedaan itu
Jadi sudahlah
Lupakan semua perbedaan itu
Biarkan aku menjalani keyakinanku sendiri
Dan kau mengarungi kapal kehidupan dengan arus yang kau pilih sendiri
Karena semua itu hanya akan membawa kita kepada satu tujuan yang sama
Hanya jalan dan cara kita saja yang berbeda
Dan itu tidak bisa dikompromi
Jadi, ayo kembali seperti sebelumnya lagi
Jadi, ayo ulurkan jembatan yang dapat menyempitkan lebarnya jurang yang tadi aku rasakan
Seperti yang selama ini kita lakukan
Seperti yang selama ini kita nikmati
Selama ini semuanya terasa nikmat, bukan?
Hubungan kita, persahabatan kita, 'kisah cinta' kita yang unik itu
Jadi, untuk apa harus dipertanyakan lagi?

 

110811 ~ Black Rabbit ~

Managemen Ikhlas


Kalau saja tidak ada keinginan untuk mencari suasana yang lebih menarik dari pada ini, kalau saja kebosananku tidak begitu menguasai dan mengikatku dengan begitu kencang, selalu saja memintaku untuk memberontak dan mencari sesuatu yang baru, yang lebih segar, yang tidak membosankan, yang bukan itu-itu saja, yang diluar kebiasaaan. Tentu saja aku tidak akan selalu merasa semenyedihkan ini. Obsesiku kadang terlalu tinggi, sifat perfeksionisku terlalu mengaturku, membuatku menjadi begitu idealis dan kaku, dan keras kepala, dan menyebalkan. Tapi apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengerem diriku sendiri? Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan banjiran pertanyaan dan luapan adrenalin yang mencoba memberontak keluar dari dalam diriku ini? Bagaimana? Malah kadang kala aku sendiri tidak tahu apa yang aku butuhkan, apa yang ingin aku lakukan untuk memuaskan rasa ingin tahuku yang membingungkan ini. Aku bingung dengan diriku sendiri dan ini membuatku merasa seperti orang gila, yang punya kepribadian ganda, triple, bahkan lebih dari itu. Aku takut kalau aku akan menjadi orang gila….
Aku harus belajar untuk bisa menerima segalanya dengan lapang dada. Apa yang aku terima sudah pasti apa yang memang harusnya aku terima, aku harus meyakini hal ini. Tapi… susahnya, selama ini aku berpikir kebalikannya. Jika aku ingin mendapatkan segala sesuatu dengan kualitas paling baik, maka aku harus mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan yang aku punya dengan sebaik-baiknya terlebih dahulu. Karena apa yang diawali dengan baik akan berakhir dengan baik pula.
Tapi kadang pada kenyataannya apa yang kita terima terasa tidak sebanding dengan apa yang telah kita kerahkan dengan sekuat tenaga. Itu membuatku kecewa, sering kali membuatku kecewa. Nah… itulah gunanya aku belajar untuk bisa menerima semuanya dengan lapang dada, benar kan? Kita tidak bisa menerima semua yang kita inginkan, karena belum tentu semua itu memang yang terbaik bagi kita. Yakinlah bahwa Tuhan lebih tahu apa yang paling baik untuk kita, maka dari itu Dia memberikan apa yang terbaik bagi kita, bukan apa yang kita inginkan. Karena itu, belajarlah untuk selalu memberi yang terbaik tanpa pamrih, tanpa perlu berpikir apa yang akan kita terima di masa yang akan datang. Anggap saja investasi, suatu saat kita akan menerima keuntungannya dengan berlipat ganda, tentunya semua akan indah pada waktunya nanti.
Tidak akan mudah untuk melakukannya, aku tahu itu. Tapi berusahalah terus, walaupun sering kali kau merasa lelah dan ingin berhenti. Tidak ada salahnya merasa kesal, kecewa dan marah, itu sangat manusiawi. Tapi_sekali lagi_yakinlah bahwa semuanya akan indah pada waktunya.
Just believe it….
071209 ~ Black Rabbit ~