Sutradara Guilermo del Toro yang
sukses membuat film bertema dark fantasy seperti Hell Boy dan Pan’s Labyrinth,
pada musim panas ini menyajikan film kuda hitam berjudul: Pacific Rim. Film ini
mengambil setting pada tahun 2020 di mana bumi sedang berada di ambang
kehancuran karena serangan begitu banyak Kaiju (dalam bahasa Jepang berarti
monster) yang dikirim oleh makhluk luar angkasa melalui sebuah portal
antar-dimensi yang berada di dasar Laut Pacific. Untuk melawan para monster
tersebut, beberapa Negara membuat monster mereka sendiri, yaitu sebuah gigantic humanoid mecha yang mereka
panggil dengan sebutan Jaeger (baca: Yeager) yang dalam bahasa Jerman berarti
pemburu. Jaeger ini dikendalikan oleh dua orang pilot yang satu sama lain
dihubungkan secara emosional dan memori sehingga dapat menggerakkan Jaeger
raksasa ini bersama-sama.
Awalnya aksi para Jaeger ini
cukup efektif, tapi seiring berjalannya waktu portal antar-dimensi itu tidak
hanya mengirimkan satu Kaiju, tapi juga mengirimkan dua dan tiga Kaiju dalam
waktu bersamaan dengan ukuran yang semakin besar. Hal ini membuat keadaan bumi
semakin terancam sehingga beberapa Negara memutuskan untuk bergabung di dalam
sebuah pangkalan di pesisir Hong Kong sementara sebuah tembok besar dibangun untuk
menghalangi semua Kaiju menyerang kota. Pangkalan tersebut dikepalai oleh
Stacker Pentecost (Idris Elba), seorang mantan pilot Jaeger yang berhasil
mengumpulkan empat buah Jaeger yang berasal dari Rusia, Cina, Australia dan
Amerika.
Sementara itu seorang peneliti
Kaiju bernama Dr. Newton Geiszler (Charlie Day) berhasil melakukan percobaan
berbahaya. Dia mencoba untuk menerapkan teknologi menggabungkan pikiran yang
diterapkan antara kedua pilot dan Jaeger kepada otak sekunder Kaiju yang
ditelitinya terhadap otaknya sendiri. Percobaan tersebut nyaris saja
membunuhnya, tapi juga berhasil membuat sang doctor masuk ke dalam memori otak
Kaiju tersebut dan memberinya informasi yang sangat berharga mengenai asal usul
mereka. Stacker menyadari bahwa cara ini mungkin dapat membantunya untuk
menggunakan bom nuklir yang telah dia siapkan dengan lebih baik, karena itulah
dia meminta Dr. Newton untuk melakukan percobaan itu lagi dengan bantuan
kolega/saingannya: Dr. Hermann Gottlieb (Burn Gorman). Tapi percobaan itu tidak
bisa dilakukan dengan mudah. Dr. Newton harus bisa mendapatkan otak sekunder
Kaiju yang masih ‘fresh’ dan untuk itu dia harus mencari keberadaan Hannibal
Chau (Ron Perlman), seorang penjual organ Kaiju curian di pasar gelap.
Satu kata yang tidak bisa lepas
dari lidah saya saat menonton film ini adalah: nice…….
Benar, loh. Walaupun latar
belakang cerita hanya diceritakan sedikit demi sedikit dan tidak terlalu
detail, tapi alur film yang cepat dan tidak bertele-tele dan setting yang wah
membuat saya tidak bisa berhenti berdecak kagum. Karakter para tokohnya memang
tidak tergali dengan baik, sang sutradara bahkan tidak mau repot-repot ataupun
memboroskan budget dengan menggunakan actor/actress papan atas Hollywood. Dan
walaupun tokoh yang dihadirkan cukup banyak, tapi semuanya seolah berperan
sebagai cameo. Romance yang tercipta pun hanya seperti tempelan saja, bahkan
Charlie Hunnam sendiri mengatakan bahwa film ini adalah ‘a love story without
love story’. Tapi lupakan saja masalah karakter, para pemain dan unsure romance
itu karena visual grafis dan efek pertarungan massive dalam film ini akan bisa
memaafkan semua itu. Saya seolah menonton versi movie dari Ultraman, Godzilla,
Transformer dan Evangelion digabungkan dalam satu film dan itu sangat luar
biasa.
Menurut sang sutradara, Guilermo
del Toro, dia ingin membangkitkan imajinasi masa kecilnya saat menonton
peperangan yang melibatkan monster dan robot kembali dan menyajikan sesuatu
yang jauh lebih menarik bagi generasi muda zaman sekarang. Dan menurut saya,
del Toro telah berhasil mewujudkannya. Dia bahkan berhasil mengubah pandangan
saya mengenai pertarungan antara robot dan monster yang tadinya sangat kaku dan
ketinggalan zaman menjadi sebuah pertarungan luar biasa yang megah dan dahsyat.
Teknologi dan perwujudannya berhasil membawa film dengan genre ini ke level
yang lebih tinggi. Well, Pacific Rim bahkan berhasil membuat para robot alien
di Transformer terlihat seperti mainan robot biasa.
Saya tidak tahan untuk tidak
memberikan empat dari lima bintang untuk film menakjubkan ini. Memang sih, it’s
really a boy film. Tapi film ini menyandang rating PG-13 yang cocok untuk
ditonton oleh semua umur, termasuk anak-anak. Dan untuk kalian para wanita yang
juga sangat suka menonton film, terutama genre science fiction dan fantasy yang
kental, jangan berani-berani melewatkan film yang satu ini. Kalian akan sangat
menyesal, percayalah.