PACIFIC RIM

Sutradara Guilermo del Toro yang sukses membuat film bertema dark fantasy seperti Hell Boy dan Pan’s Labyrinth, pada musim panas ini menyajikan film kuda hitam berjudul: Pacific Rim. Film ini mengambil setting pada tahun 2020 di mana bumi sedang berada di ambang kehancuran karena serangan begitu banyak Kaiju (dalam bahasa Jepang berarti monster) yang dikirim oleh makhluk luar angkasa melalui sebuah portal antar-dimensi yang berada di dasar Laut Pacific. Untuk melawan para monster tersebut, beberapa Negara membuat monster mereka sendiri, yaitu sebuah gigantic humanoid mecha yang mereka panggil dengan sebutan Jaeger (baca: Yeager) yang dalam bahasa Jerman berarti pemburu. Jaeger ini dikendalikan oleh dua orang pilot yang satu sama lain dihubungkan secara emosional dan memori sehingga dapat menggerakkan Jaeger raksasa ini bersama-sama.

Awalnya aksi para Jaeger ini cukup efektif, tapi seiring berjalannya waktu portal antar-dimensi itu tidak hanya mengirimkan satu Kaiju, tapi juga mengirimkan dua dan tiga Kaiju dalam waktu bersamaan dengan ukuran yang semakin besar. Hal ini membuat keadaan bumi semakin terancam sehingga beberapa Negara memutuskan untuk bergabung di dalam sebuah pangkalan di pesisir Hong Kong sementara sebuah tembok besar dibangun untuk menghalangi semua Kaiju menyerang kota. Pangkalan tersebut dikepalai oleh Stacker Pentecost (Idris Elba), seorang mantan pilot Jaeger yang berhasil mengumpulkan empat buah Jaeger yang berasal dari Rusia, Cina, Australia dan Amerika.

Jaeger Rusia bernama Cherno Alpha yang bergerak dengan sedikit kaku namun memiliki kekuatan paling besar di antara Jaeger lainnya, dipiloti oleh Aleksis (Robert Maillet) dan Sasha Kaidanovsky (Heather Doerksen). Sedangkan Jaeger yang berasal dari Cina diberi nama Crimson Typhoon, satu-satunya Jaeger yang memiliki tiga lengan dan ditunggangi oleh tiga saudara kembar bernama Charles Luu, Lance Luu dan Mark Luu. Selanjutnya adalah Jaeger dari Australia yang diberi nama Striker Eureka, dipiloti oleh sepasang ayah dan anak bernama Herc Hansen (Max Martini) dan Chuck Hansen (Robert Kazinsky) yang selalu bertengkar. Sementara itu Jaeger dari Amerika diberi nama Gipsy Danger dan Stacker meminta Raleigh Backet (Charlie Hunnam) menjadi pilotnya. Raleigh sendiri sebelumnya memutuskan untuk pensiun setelah pengalaman terakhirnya menjadi pilot Gipsy Danger bersama sang kakak: Yancy Backet (Diego Klattenhoff) mengakibatkan sang kakak meninggal dunia dan menyisakan trauma mendalam. Tapi Stacker bersikeras, dia bahkan menjemput Raleigh dan membiarkannya memilih co-pilotnya sendiri. Dan Raleigh pun memilih Rinko Kikuchi (Mako Mori) untuk menjadi co-pilotnya yang membuat Stacker menentang habis-habisan, bukan saja karena Rinko adalah anak angkatnya, tapi juga karena gadis berdarah Jepang itu memiliki trauma masa kecil yang dapat membahayakannya. Tapi Rinko sendiri sangat ingin menjadi pilot, lagipula emosi dan pikirannya terbukti dapat terhubung dengan sangat mudah terhadap emosi dan pikiran Raleigh sehingga Stacker akhirnya tidak bisa berbuat banyak.

Sementara itu seorang peneliti Kaiju bernama Dr. Newton Geiszler (Charlie Day) berhasil melakukan percobaan berbahaya. Dia mencoba untuk menerapkan teknologi menggabungkan pikiran yang diterapkan antara kedua pilot dan Jaeger kepada otak sekunder Kaiju yang ditelitinya terhadap otaknya sendiri. Percobaan tersebut nyaris saja membunuhnya, tapi juga berhasil membuat sang doctor masuk ke dalam memori otak Kaiju tersebut dan memberinya informasi yang sangat berharga mengenai asal usul mereka. Stacker menyadari bahwa cara ini mungkin dapat membantunya untuk menggunakan bom nuklir yang telah dia siapkan dengan lebih baik, karena itulah dia meminta Dr. Newton untuk melakukan percobaan itu lagi dengan bantuan kolega/saingannya: Dr. Hermann Gottlieb (Burn Gorman). Tapi percobaan itu tidak bisa dilakukan dengan mudah. Dr. Newton harus bisa mendapatkan otak sekunder Kaiju yang masih ‘fresh’ dan untuk itu dia harus mencari keberadaan Hannibal Chau (Ron Perlman), seorang penjual organ Kaiju curian di pasar gelap.

Satu kata yang tidak bisa lepas dari lidah saya saat menonton film ini adalah: nice…….

Benar, loh. Walaupun latar belakang cerita hanya diceritakan sedikit demi sedikit dan tidak terlalu detail, tapi alur film yang cepat dan tidak bertele-tele dan setting yang wah membuat saya tidak bisa berhenti berdecak kagum. Karakter para tokohnya memang tidak tergali dengan baik, sang sutradara bahkan tidak mau repot-repot ataupun memboroskan budget dengan menggunakan actor/actress papan atas Hollywood. Dan walaupun tokoh yang dihadirkan cukup banyak, tapi semuanya seolah berperan sebagai cameo. Romance yang tercipta pun hanya seperti tempelan saja, bahkan Charlie Hunnam sendiri mengatakan bahwa film ini adalah ‘a love story without love story’. Tapi lupakan saja masalah karakter, para pemain dan unsure romance itu karena visual grafis dan efek pertarungan massive dalam film ini akan bisa memaafkan semua itu. Saya seolah menonton versi movie dari Ultraman, Godzilla, Transformer dan Evangelion digabungkan dalam satu film dan itu sangat luar biasa.

Menurut sang sutradara, Guilermo del Toro, dia ingin membangkitkan imajinasi masa kecilnya saat menonton peperangan yang melibatkan monster dan robot kembali dan menyajikan sesuatu yang jauh lebih menarik bagi generasi muda zaman sekarang. Dan menurut saya, del Toro telah berhasil mewujudkannya. Dia bahkan berhasil mengubah pandangan saya mengenai pertarungan antara robot dan monster yang tadinya sangat kaku dan ketinggalan zaman menjadi sebuah pertarungan luar biasa yang megah dan dahsyat. Teknologi dan perwujudannya berhasil membawa film dengan genre ini ke level yang lebih tinggi. Well, Pacific Rim bahkan berhasil membuat para robot alien di Transformer terlihat seperti mainan robot biasa.


Saya tidak tahan untuk tidak memberikan empat dari lima bintang untuk film menakjubkan ini. Memang sih, it’s really a boy film. Tapi film ini menyandang rating PG-13 yang cocok untuk ditonton oleh semua umur, termasuk anak-anak. Dan untuk kalian para wanita yang juga sangat suka menonton film, terutama genre science fiction dan fantasy yang kental, jangan berani-berani melewatkan film yang satu ini. Kalian akan sangat menyesal, percayalah.