Seorang teman pernah bertanya kepadaku: apakah kau
sudah merasa bahagia?
Saat itu aku hanya tertawa dan memukulkan kepalan
tanganku ke arah lengannya tanpa benar-benar memberikan jawaban. Bukan karena
aku menganggapnya sedang bercanda, tapi karena aku tidak menemukan jawabannya. Paling
tidak, belum.
Itu adalah pertanyaan yang diajukan kepadaku
beberapa waktu yang lalu. Sudah cukup lama. Dan sekarang secara tiba-tiba aku
mengingatnya kembali. Aku tidak yakin apakah aku sudah menemukan jawabannya,
tapi kali ini aku sedang bersama dengan seseorang yang mungkin saja bisa memberikan
jawaban itu untukku.
Seseorang itu adalah kamu, yang sedang terlelap di
sampingku, bernapas dengan teratur dan kelihatan begitu nyenyak. Rambutmu yang
berwarna hitam panjang tergerai begitu saja, jatuh menutupi bantal yang kau gunakan
dan menutupi sebagian dahimu dengan manis. Kedua matamu yang besar tertutup,
menyisakan bulu mata lentik untuk kukagumi. Bibirmu yang tipis melengkungkan
senyum, seolah tidur nyenyakmu telah menghadiahkan sebuah mimpi indah sehingga
senyum itu merekah di bibirmu. Kulit putihmu tertutupi selimut tebal yang
melindungimu dari udara dingin fajar yang baru saja terbit.
Aku memandangimu dalam diam, tidak berani bergerak
agar tidak membangunkanmu. Tapi aku tidak bisa mencegah tanganku untuk
menyentuhmu, mengagumimu sekaligus meyakinkan hatiku bahwa kamu adalah nyata. Aku
hanya ingin menyakini diriku sendiri bahwa kamu adalah tulang rusukku yang
hilang. Kamu adalah mimpi indah yang mewujud menjadi nyata bagiku. Dan pagi ini
aku terbangun dari tidur nyenyakku dan menemukan kamu, bidadariku, berada di
sampingku sebagai istriku.
Aku tidak tahu apakah ini yang disebut kebahagiaan
sejati. Tapi melihat wajahmu yang cantik dan begitu damai saat pertama kali aku
membuka mata setiap pagi adalah salah satu bukti nyata bahwa aku telah
merasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaanku telah mewujud dalam dirimu, hanya kamu.
Itu saja sudah cukup bagiku.