Berkompromi


Waktu seolah berhenti. Dan saat kau selesai mengatakannya, giliran jantungku yang berhenti berdetak.
Sial, aku pasti salah dengar.
Aku baru saja menghabiskan tenagaku beberapa hari belakangan ini, memukuli sandsack di arena latihan. Aku tidak bisa berada di atas ring, tidak ada satu orang teman pun yang mau menemaniku berlatih. Kata mereka emosiku sedang tidak stabil, itu bisa membahayakan keselamatan mereka. Yeah, benar, seolah aku sama sekali tidak menyadarinya saja. Walaupun begitu aku sungguh menikmati keringat yang mengalir deras selama berlatih, tak peduli seberapa sakitnya tanganku yang memukul sandsack tanpa sarung tangan. Tapi latihan itu pastilah telah berpengaruh pada telingaku. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa salah mendengar kata-kata yang kau ucapkan, yang selama ini tidak pernah luput dari pendengaranku sedikit pun?
Tanganmu terlihat mengerikan, itu yang kau ucapkan saat akhirnya kita bisa bicara berdua saja, berhadapan, satu situasi yang tidak akan bisa kita dapatkan jika tidak kita ciptakan sendiri.
Saat itu aku hanya bisa tertawa kecut, menolak ikut meringis karena menyetujui punggung tanganku yang memerah dan berdenyut menyakitkan. Rasa sakit itu hanya mengingatkan kembali kepada alasan kenapa aku melakukannya.
Laki-laki itu memang harus banyak lukanya, itu jawabku sambil tertawa, lebih kepada diriku sendiri.
Dan setelahnya aku mendengar kata-kata itu, kata-kata yang aku kira bukan berasal dari mulutmu.
Aku dilamar.
Dan petir menyambar begitu keras di dalam tempurung kepalaku, membuatku yakin telingaku pastilah benar-benar bermasalah akibat latihan thaiboxing yang terlalu keras tanpa tujuan jelas yang selama ini aku lakukan.
Bagaimana mungkin kau bisa mengatakannya seolah itu adalah berita prakiraan cuaca untuk hari ini?
Ada senyum kecil menghiasi bibirmu setelah itu. Bukan senyum penuh kegembiraan, tapi senyum yang seolah mengatakan bahwa kau sendiri meragu apakah harus merasa senang atau sedih. Dan aku hanya bisa berdecak lemah, berharap kau tidak terlalu jelas mendengarnya sekaligus berharap kau benar-benar mendengar itu.
Aku kecewa.
Rasanya seperti dikhianati oleh seseorang yang telah aku beri kedudukan yang jauh lebih special dari pada yang aku inginkan di dalam hatiku. Aku sudah pernah merasakannya, memang begitu sakit, tapi kali ini rasa sakitnya berkali-kali lipat. Seolah sebuah pisau telah menancap di luka yang sama untuk kedua kalinya. Di luka yang aku kira telah berhasil disembuhkan oleh keberadaanmu.
Kapan? Tanyaku, tak bisa lagi mengerti untuk apa menanyakan hal itu.
Lima bulan lagi.
Ada sebuah petir lain yang menyambar di dalam tempurung kepalaku. Astaga, apakah aku harus memecahkan sendiri tempurung kepalaku ini agar efek itu berhenti mengulang?
Aku menutup kedua mataku dengan frustasi. Jantungku mulai berdetak lagi setelah sempat berhenti beberapa waktu yang lalu. Tapi kini gerakannya terlampau cepat, membuatku sesak napas. Aku tidak punya cukup waktu untuk mengobservasi jantungku dan yakin jantung itu tidak gagal melakukan fungsinya. Dia sedang berada di hadapanku, di suatu kesempatan langka di mana kami bisa berbicara berdua saja.
Tapi bagaimana aku harus menanggapinya? Sekarang lidahku yang berubah kelu.
Kamu sudah yakin?
Ini pastilah pertanyaan yang tidak pernah disangkanya akan aku tanyakan. Setelah mendengar aku yang bertanya dengan suara tersumbat yang aneh itu, dia terdiam. Sekarang lidahnya yang berubah kelu, dan diam-diam aku tertawa senang.
Sudah seharusnya dia merasa tidak yakin. Apa lagi dengan kehadiranku selama ini. Seharusnya sudah sejak lama dia menerima uluran tanganku, tawaran yang sudah aku berikan selama beberapa waktu, tak peduli sosok lain yang berdiri melindunginya di belakang. Karena—demi Tuhan, aku jauh lebih baik dari pada orang itu!
Ada begitu banyak mata yang menunggu mataku menemukan mereka. Ada begitu banyak hati ataupun tubuh yang akan diberikan dengan suka rela bagiku jika saja aku ingin memintanya. Your Mr. Right, begitu mereka menjulukiku. Dan kau pun setuju dengan julukan itu. Benar, aku mendengar kau mengucapkannya, aku tidak akan bisa melupakan moment itu.
Tapi bagaimana kau bisa tidak bertindak seperti wanita-wanita lain itu? Kenapa kau malah memilih untuk mendekat secara perlahan tapi lalu menjauh begitu aku ingin menyambutmu? Mengapa kau bertingkah seperti seekor merpati yang begitu sulit ditangkap tapi begitu ingin aku tangkap. Aku kira ada yang salah darimu, yang melepaskanku begitu saja untuk gadis lain sementara matamu berkata lain. Dan aku kira ada yang salah dalam diriku, yang begitu menginginkan milik orang lain dan menganggap orang lain itu hanyalah remah roti. Aku akan membiarkan merpati sepertimu menangkap remah roti itu karena aku tahu kau akan selalu kembali kepadaku, pemilik remah roti yang sebenarnya.
Tapi ternyata aku salah, kau dilamar orang lain.
Bagaimana mungkin kau bisa menikah dengan orang lain setelah aku begitu menginginkanmu? Aku tahu semua itu adalah takdir, yang menempatkan diriku pada posisi ini dan bertemu denganmu yang membuatku merasa berada pada waktu dan tempat yang salah.
Jika saja aku bisa bertemu denganmu lebih dulu, pada situasi di mana tidak ada dinding tebal berlabel ‘kekasih’ yang berada di sisimu, menghalangi kita berdua. Aku yakin kau tidak akan mengangguk untuk menjawab pertanyaan terakhirku tadi setelah terdiam cukup lama. Pandangan matamu mengatakan bahwa kau tidak pernah menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu dari mulutku. Tapi kau pikir tanggapan macam apa yang bisa aku berikan selain itu?
Dan apa maksud jari kelingking yang kau julurkan itu? Janji, kau tidak akan berubah, itu katamu? Bagaimana mungkin aku tidak akan berubah? Bagaimana mungkin aku akan diam saja dan membiarkan orang lain mengambil kebahagiaanku untuk kedua kalinya? Apa kau sudah gila?
Tapi senyummu penuh penyesalan dan permintaan maaf sekaligus. Aku melihat pergulatan batin yang kau alami juga dari sorot matamu itu. Dan jam tangan yang masih melingkar di lenganmu itu? Bukankah itu adalah jam tangan pemberianku yang tidak pernah menghilang dari tempat di mana aku memberikannya kepadamu beberapa waktu yang lalu? Keberadaannya yang masih belum tergantikan membuat aku yakin bahwa kau memikirkan hal yang sama denganku. Aku tidak tahu sebanyak apa, aku tidak yakin apakah pergumulan batinmu melebihi pergumulan batinku sendiri. Tapi, itu sudah cukup.
Ada sebuah sorot penderitaan yang sama pada matamu, dan aku tahu ada setitik harapan di sana. Harapan di mana akulah yang mengalungkan liontin tanda pengikat di lehermu, bukan orang lain.
Itu cukup adil.
Aku tidak tahu bagaimana akhirnya nanti, tapi aku yakin suatu saat nanti akan ada masa ketika kita tidak perlu berpura-pura lagi. Kan dan aku, kita akan saling terbuka.
Jadi, aku akan menyerah untuk saat ini, untuk mempertahankan situasi ambigu kita dan menikmati sorot mata penuh harapan dan kebimbangan yang akan terpancar setiap kali aku mengulang pertanyaan itu:
Apakah kau yakin?

060612 ~Black Rabbit~