THE HOBBIT: AN UNEXPECTED JOURNEY


Saya adalah pecinta karya J.R.R. Tolkien yang satu ini. Saya sudah membaca novel ini sejak SMA, kira-kira lebih dari dua belas tahun yang lalu dan sampai sekarang saya sangat mengidolakan sang penulis dan novel ini. Bahkan saya lebih menyukai kisah Bilbo Baggins jika dibandingkan dengan kisah Frodo Baggins di trilogy Lord Of The Ring (LOTR). Karena itulah sewaktu saya mendapat kabar bahwa The Hobbit akan difilmkan ke layar lebar, saya sangat senang dan langsung tidak sabar menunggu film ini diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Tentu, karena LOTR sudah sangat terkenal di seluruh dunia dan mendapatkan begitu banyak penghargaan pula, kisah The Hobbit yang merupakan prekuel trilogy ini sudah pasti sangat ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya. Tidak heran jika Peter Jackson yang sudah menyutradarai begitu banyak film-film berkualitas, seperti King Kong, District 9, The Adventures Of Tintin dan juga termasuk ketiga film LOTR sebelumnya, berani menyutradarinya.
Film ini menceritakan mengenai kisah seorang Hobbit bernama Bilbo Baggins (Martin Freeman), paman dari Frodo Baggins, yang diundang melakukan petualangan oleh seorang penyihir bernama Gandalf (Ian Mckellen). Penyihir ini dengan sengaja memberi tanda pada pintu rumah Bilbo Baggins sehingga para Dwarves datang ke rumahnya. Ketiga belas Dwarves ini bernama Dwalin, Balin, Fili, Kili, Dori, Nori, Ori, Óin, Glóin, Bifur, Bofur, Bombur dan Thorin. Mereka dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) yang merupakan keturunan langsung dari raja Erebor, berencana melakukan perjalanan untuk merebut kembali harta benda mereka dari seekor naga bernama Smaug yang telah merebut semua itu dan memaksa mereka pergi dari tanah kelahiran mereka sendiri. Tapi untuk melakukan perjalanan itu mereka harus mencari anggota keempat belas, yang bisa membantu mereka masuk ke dalam Lonely Mountain secara diam-diam. Maka dipilihlah Bilbo Baggins, walaupun dengan cara yang tidak cukup menyenangkan untuk sang Hobbit.
Akhirnya petualangan mereka pun dimulai, yang ternyata tidak berjalan dengan cukup mulus. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan para Troll yang hampir saja berhasil menjadikan mereka menu makan malam. Lalu mereka juga harus menghadapi pasukan Orc yang dipimpin oleh seorang Orc bernama Azog yang menunggangi Warg berwarna putih. Orc tersebut berniat untuk membalaskan dendamnya kepada Thorin yang telah memenggal tangan kirinya. Belum lagi mereka terjebak di gua bawah tanah para Goblin yang juga ingin menjadikan mereka santapan yang lezat. Sepanjang perjalanan itu mereka semua diuji niat, keberanian dan kekuatan masing-masing. Termasuk Bilbo Baggins yang belum pernah pergi meninggalkan liangnya sama sekali. Tapi Bilbo sama sekali tidak menyadari bahwa petualangannya kali ini bukan saja mengubah masa depannya, tapi juga mengubah masa depan keluarganya.
Seperti yang saya bicarakan sebelumnya, kisah The Hobbit adalah salah satu kisah adaptasi novel yang paling saya tunggu-tunggu untuk muncul di bioskop. Karena itu besar harapan saya bahwa film ini akan menjadi sebuah karya yang tidak kalah fenomenalnya jika dibandingkan dengan LOTR. Tapi jujur saja, saat saya mendapat kabar bahwa film ini akan dibagi menjadi tiga seri, saya langsung merasa sedikit kaget dan khawatir. Pasalnya novel The Hobbit sendiri tidaklah terlalu tebal (hanya 348 halaman saja untuk versi bahasa Indonesia nya) dengan kisah yang padat dan alur yang mengalir cukup cepat. Saya jadi bertanya-tanya: apa yang bisa disajikan menjadi tiga bagian untuk film yang berdasarkan pada buku yang tidak terlalu tebal seperti itu? Saya rasa jika dibagi menjadi dua bagian saja, itu sudah cukup.
Ternyata kisah ini disajikan dengan begitu hati-hati. Bukan hanya latar belakang Thorin diceritakan dengan sangat detail, bahkan kisah Bilbo baggins yang sedang menulis buku The Hobbit itu sendiri diceritakan dengan cukup panjang, termasuk menghadirkan tokoh Frodo yang sebenarnya tidak muncul sama sekali di novelnya. Pertemuan para Dwarves dan Elves juga pertemuan Gandalf dan Saruman pun diceritakan dengan terlalu mendetail sehingga terkesan membosankan. Mungkin detail yang satu ini dimunculkan untuk memberikan efek berkesinambungan antara kisah The Hobbit dan LOTR. Kisah peperangan yang dihadirkan juga tidak terlalu banyak, hanya disajikan di awal cerita saja. Sedangkan sisanya adalah adegan kejar-kejaran keempat belas petualang guna melarikan diri dari musuh-musuh mereka.
Tapi dibalik semua itu, perwujudan kota-kota Middle-Earth memang sangat menawan dan memanjakan mata, apa lagi dengan format 3-D yang tersedia. Keindahan ini membuat semua penonton pasti berdecak kagum dan melupakan kebosanan mereka sejenak. Apa lagi jika melihat penampilan Gollum yang sangat menawan. Sekali lagi, Andy Serkis sangat berhasil memerankan sosok Gollum yang menyeramkan tapi juga menyedihkan dan mengundang banyak simpati penonton.
Permainan teka-teki antara Bilbo dan Gollum tentunya adalah salah satu scene yang sangat memorable, termasuk saat ketiga belas Dwarves menyanyikan lagu ‘Misty Mountain’ mereka yang sangat indah itu.
Secara keseluruhan, kisah The Hobbit: An Unexpected Journey ini cukup fenomenal dan merupakan awal petualangan yang cukup menarik untuk ditonton. Paling tidak, para penonton diberi satu lagi film seri yang patut ditunggu kehadirannya di bioskop setelah seri Harry Potter dan Twilight tamat pada tahun ini. Dan semoga saja kedua seri berikutnya pun tidak akan mengecewakan.

171212 ~ Black Rabbit ~