‘Val’phobia ( part 6 )


…Cerita Sebelumnya…
Kejadian tak terduga lain terjadi lagi. Kali ini aku benar-benar bertemu dengan Val! Kali ini benar-benar Val yang aku temui, Val yang aku kira sudah di telan bumi entah kemana. Ternyata dia masih mengenaliku…

 
Setelah pertemuan tidak sengajaku dengan Val itu, malamnya Val langsung menghubungiku. Awalnya pembicaraan kami masih seputar pembicaraan biasa, basa basi teman lama yang sudah tidak bertemu cukup lama, kaku dan berhati-hati. Bahkan acara SMS pertama kami hanya berjalan sebentar. Tapi jujur saja, perbincangan lewat SMS yang 'hanya sebentar' itu sangat membekas di hatiku. Malamnya aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jantungku masih berdebar-debar tidak karuan dan di sela-sela tidurku yang tidak nyenyak itu aku bermimpi bertemu dengan Val di pinggir jalan dengan mobil yang aku lihat beberapa hari yang lalu.
Keesokan harinya, ternyata Val menghubungiku lagi. Kali ini dia tidak menunggu malam, tapi pagi-pagi sekali dia mengirimi pesan selamat pagi yang sangat manis melalui SMS. Aku senang bukan main. Apa lagi saat membaca kata-kata manisnya yang tidak pernah aku terima sebelumnya, bahkan dari Daniel sekalipun. Malamnya, Val meneleponku dan kami mengobrol dengan cukup seru. Hanya dalam hitungan menit obrolan kami yang awalnya masih seputar obrolan standart mulai beranjak menjadi obrolan seputar pekerjaan atau hobi yang dulu sama-sama kami sukai. Anehnya, selama itu Val tidak pernah mengungkit masalah SMS terakhir yang menyakitkan waktu itu. Mungkin dia sedang mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya atau mungkin sebenarnya Val memang tidak mau membicarakan masalah SMS itu sama sekali.
Beberapa malam berikutnya ketika aku sedang sibuk membaca sebuah buku bagus yang baru saja aku beli dengan sangat serius, aku mengangkat telepon saat handphoneku berdering dengan nyaring. Jujur saja, saat mendengar deringan telepon itu orang yang terpikirkan olehku pertama kalinya adalah Val, karena beberapa hari belakangan ini dia memang selalu menghubungiku pada jam-jam seperti ini. Jadi tanpa perlu repot-repot melihat ID yang tertera di handphone, aku menjawab dengan senang dan ceria, berharap mendengar suara merdu Val di ujung sana yang dengan sangat manis menanyakan kabarku malam ini.
Tapi ternyata yang mengubungiku bukanlah Val.
" Hallo, sayang… " Aku langsung terdiam selama beberapa detik karena kaget dan bertanya-tanya di dalam hati suara siapakah gerangan yang ada di ujung telepon itu. " Kamu lagi ngapain? " Dan saat mendengar kata-kata berikutnya, aku langsung menghela napas panjang dan menjawab kalau aku sedang membaca buku. Itu adalah suara Daniel, ternyata Daniel yang menghubungiku. Diam-diam aku lega karena tidak menyebut nama Val saat menjawab telepon tadi.
" Aku benar-benar kangen denganmu, sudah hampir dua minggu kita tidak bertemu! " Aku mendengar riuh suasana jalan raya sebagai latar belakang suara, Daniel pasti sedang berada di jalan pulang.
" Aku juga kangen sekali. Kamu sedang menyetir? " Jawabku dan Daniel membenarkan pertanyaanku. " Eh, seharusnya kamu tidak boleh menelepon saat sedang mengemudi, berbahaya! " Aku memperingatkan dengan tegas, ngeri memikirkan kejadian buruk apa yang bisa menimpa Daniel jika dia menelepon saat sedang berkendara.
" Aku tidak perduli, aku sangat kangen denganmu dan sangat ingin mendengar suaramu, tidak bisa menunggu lagi sampai di rumah. " Daniel menjawab dengan nada manjanya, dan biasanya kalau Daniel sudah bersikap seperti ini maka aku tidak akan bisa menolaknya. Tapi kali ini, entah kenapa, aku merasa sedikit kesal mendengar sikapnya yang seperti anak kecil itu.
" Dan, aku serius! Jangan menelepon saat sedang menyetir. Konsentrasi saja dengan mobilmu dan hubungi aku lagi setelah kau sampai di rumah, ya? " Bisa aku bayangkan, Daniel pastilah cemberut mendengar perkataanku, tapi aku tidak perduli. Yang aku inginkan sekarang hanyalah mendengar Daniel menuruti perkataanku dan menutup teleponnya saat ini juga. Aku tidak mau Val tidak jadi menghubungiku karena teleponku sedang sibuk menerima telepon lain.
" Iya-iya. Ya sudah, aku hubungi lagi kalau aku sudah sampai. "
Dan akhirnya acara menelepon antara aku dan Daniel selesai sampai di sana.
Tapi setelah malam semakin larut dan aku mulai mengantuk, tidak ada satu pun telepon masuk lagi ke handphoneku. Val tidak meneleponku. Daniel juga tidak meneleponku. Padahal aku tahu dia pasti sudah sampai di rumahnya kurang lebih tiga puluh menit setelah dia meleponku tadi, tapi Daniel tetap tidak meneleponku. Dia hanya mengirimkan SMS yang mengatakan kalau dia sudah sampai ke rumah dengan selamat dan mengucapkan selamat malam.
Akhirnya, malam itu aku tidur dengan keadaan cemberut.
Tapi besok paginya Val menghubungiku lagi, dia meminta maaf karena tidak bisa menghubungiku kemarin malam karena dia harus lembur di kantor. Dan setelah menerima telepon dari Val itu, semangatku langsung naik lagi. Kami mengobrol banyak hal, membahas lagi pertemuan pertama kami dulu dan tertawa membicarakan segala kelakuan bodoh yang kami lakukan dulu. Lalu sesuatu tercetus dari mulut Val: dia mengajakku bertemu.
Selama ini kami hanya menghabiskan waktu mengobrol lewat SMS dan telepon, tapi kami tidak pernah bertemu lagi secara langsung setelah pertemuan tidak sengaja kami waktu itu. Ajakan Val itu membuatku berdebar-debar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan aku lakukan kalau bertemu lagi dengan Val. Bagaimana aku akan bertindak dan apa yang akan aku katakan. Tapi membayangkan dapat melihat wajah Val lagi, melihat senyumnya lagi dan memandangi wajah tampannya lagi membuat rasa takutku menguap. Benar, aku memang ingin bertemu dengannya lagi. Akhirnya, aku menyetujui ajakannya dan kami berjanji akan bertemu minggu depan. Val mengatakan kalau dia ingin mengajakku ke suatu tempat favoritnya, dan aku setuju.

 
… Bersambung …