‘Val’phobia ( part 4 )


…Cerita Sebelumnya…
Daniel melamarku! Setelah berpacaran sekian lama akhirnya aku dan Dan akan menikah juga! Dia mengajakku makan malam berdua di sebuah restoran mahal dan melamarku disana. Tentu saja aku senang sekali. Benar kan, aku memang sudah seharusnya mengubur dalam-dalam sosok seorang Val…

 
Daniel benar-benar serius dengan niatnya untuk bertunangan denganku. Dua hari berikutnya setelah lamaran tidak resminya di restoran itu, Daniel datang ke rumah orang tuaku dan meminta izin mereka. Tentu saja ayah dan ibuku menyetujuinya, mereka sudah lama menunggu berita kelanjutan hubunganku dengan Daniel, dan sekarang akhirnya mereka mendapatkannya juga. Maklumlah, aku adalah anak sulung mereka. Setelah mereka dengan susah payah membesarkan anak-anak mereka dan saat ini sudah mulai merasakan masa tua mereka, jelas saja mereka ingin melihat anak mereka satu per satu melepas masa lajang mereka, menikah dan memberikan cucu kepada mereka. Untunglah aku masih sempat mewujudkan cita-cita mereka itu.
Setelah berbincang selama beberapa waktu, akhirnya diputuskan bahwa aku dan Daniel akan bertunangan dua bulan lagi dan setahun kemudian kami akan menikah. Memang semuanya terkesan terlalu cepat, tapi aku dan Daniel tidak bisa lagi membendung keinginan kedua orang tua kami yang ingin cepat melihat kami menikah, jadi sebagai anak yang berbakti, kami harus menuruti mereka.
Acara pertunangan kami tidak akan dirayakan terlalu meriah. Kami hanya akan mengadakan acara sederhana yang dihadiri keluarga besar dan teman-teman dekat kami saja. Tapi walaupun begitu aku tetap saja sibuk mempersiapkan acaranya. Seperti sekarang misalnya, aku sedang berada di salah satu butik langganan ibuku untuk mengepas gaun yang akan aku kenakan.
" Ya ampun …! Akhirnya Flor tunangan juga! Sama siapa? "
" Daniel. " Jawab ibuku.
" Oh iya! Daniel yang cuco itu! "
Aku tersenyum di dalam kamar pas saat mendengar Mas Sammy_pemilik butik yang dikenal ibuku ini_berbicara dengan gaya genitnya. Aku keluar dari kamar pas dengan mengunakan sebuah kebaya berwarna putih yang penuh dengan payet dan rok panjang berwarna coklat mengkilat. Ini adalah gaun terindah yang pernah aku pakai sejauh ini.
" Oh-My-God! Cuantik buanget! Cocok sama gaun itu. " Mas Sammy langsung bertepuk tangan saat melihatku keluar dari kamar pas, begitu pula dengan ibuku yang melongo melihatku. Sepertinya ibuku baru sadar kalau putrinya ini memang cantik.
" Mas Sammy, sepertinya roknya terlalu panjang, deh. Bisa dipendekkan saja? Saya tidak mau keliatan 'tenggelam'. "
" Oh… tidak masalah. Tunggu dulu sebentar disini, saya ambil kursi dan jarum dulu, ya. " Mas Sammy keluar dari ruangan dan meninggalkan aku dan ibuku berdua. Ibuku menghampiriku, mengelus kepalaku sambil tersenyum. Matanya kelihatan berkaca-kaca dan sesaat aku sangat yakin kalau ibuku akan menangis.
" Kamu beruntung bisa mendapatkan Daniel, Flor. Dia laki-laki yang sangat baik, kamu pasti bisa berbahagia dengannya. Jangan kecewakan Daniel, ya sayang? "
Aku mengangguk.
Ayah dan ibuku memang sangat mempercayai Daniel. Soalnya selama empat tahun ini Daniel sudah membuktikan kebaikan dan keseriusannya kepada orang tuaku, dia bahkan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku dan juga seluruh keluargaku. Jadi, jika aku membuat Daniel sakit hati, maka itu berarti aku juga akan membuat seluruh anggota keluargaku kecewa.
Akhirnya tak lama kemudian Mas Sammy masuk lagi dengan membawa sebuah kursi kayu pendek dan setumpuk jarum pentul. Aku diminta naik ke atas kursi kecil itu dan dibawahnya Mas Sammy mulai mengelim ujung gaun untuk diperpendek. Kurang lebih satu jam kemudian acara mengelim itu selesai juga. Kini aku sudah ada di depan butik, menunggu ibuku yang masih saja mengobrol dengan Mas Sammy.
Aku clingak-clinguk melihat sekeliling jalan di siang hari yang panas ini. Jalanan masih dipadati dengan kendaraan bermotor, lampu lalu lintas masih menyala merah-kuning-hijau secara bergantian dan banyak orang yang masih saja mau berlalu lalang dihari sepanas ini.
Tiba-tiba pandangan mataku berhenti pada satu sosok laki-laki yang mengenakan kaos polo berwarna putih polos dan celana tiga per empat berwarna coklat. Laki-laki itu berbicara melalui ponselnya dan berjalan memasuki sebuah mobil. Aku kenal sosok itu, itu sosok khas seorang Valentino Pratama!
Aku mendadak panik dan otakku terus berpikir kalang kabut. Apa yang harus aku lakukan? Benarkah itu Val, atau hanya seorang laki-laki yang mirip dengan Val? Tapi kenapa Val ada disini? Bukankah terakhir kali aku berhubungan dengan Val, dia bilang akan ditugaskan di luar pulau?
Laki-laki tadi sampai di depan mobilnya, masuk dan langsung meluncur pergi, sedangkan aku masih terdiam tak bisa berbuat atau berkata apa-apa sampai ibuku keluar dari butik dan menyadarkanku. Aku mengikuti ibuku ke tempat parkir dan masuk ke dalam mobil lalu pulang tanpa banyak berkata-kata lagi.
Sampai dirumah, aku langsung duduk merenung di depan meja kerjaku. Pikiranku masih berkutat pada penemuanku tadi siang. Benarkah laki-laki tadi adalah Val? Mendadak aku menatap ponselku yang seolah-olah mengundangku untuk menggunakannya. Menggunakannya untuk apa? Untuk menelepon Val? Untuk apa? Jelas-jelas Val tidak ada disini, dia ada di salah satu pulau lain di Indonesia ini. Entah dimana, yang jelas tidak ada di pulau ini. Tapi ponsel itu terus saja menggodaku dan akhirnya aku pun meraih ponselku itu. Aku menatapnya lama… sekali. Sepertinya ponsel itu memiliki sesuatu yang berbeda dari biasanya, padahal ini adalah ponsel yang sama yang sudah aku pakai selama beberapa tahun ini, sebenarnya tidak ada yang berubah dari ponsel itu.
Aku masih menatap ponselku. Apa aku benar-benar harus melakukan ini? Aku masih ingat betul nomor telepon itu: kosong-delapan… Sepertinya ini tidak akan terlalu sulit untuk dilakukan, aku hanya akan menanyakan kabarnya dan sedikit mengorek tentang keberadaannya. Lima… Atau aku akan berpura-pura ingin mengundangnya ke pesta pertunanganku nanti. Enam-Dua…
Sudah tersambung. Deringan pertama, kedua…
" Hallo? "
Oh Tuhanku, dia mengangkatnya! Buru-buru kumatikan teleponku dan merasakan jantungku yang berdebar kencang sekarang. Itu tadi suara Val! Tapi nyaliku tidak cukup besar untuk mengobrol dengannya lagi. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, mencoba menenangkan jantungku sambil membodohi diriku sendiri.
Tapi tiba-tiba ponselku berdering nyaring dan langsung membuatku panik lagi karena layar ponselku menunjukkan nomor asing dengan kode area kota ini. Siapa yang menghubungiku? Apa Val? Tapi Val kan ada di luar kota, tidak mungkin dia meneleponku dengan kode area kota ini. Bisa jadi itu adalah telepon dari Daniel yang menelepon untuk mengatakan kalau dia merindukanku. Pasti begitu. Buru-buru aku tenangkan hati dan jantungku, aku tidak mau membuat Daniel bingung kalau perkataanku tidak karuan nantinya.
" Hallo. " Sahutku.
" Hallo, ini siapa, ya? Tadi ada yang menghubungiku dengan nomor ini."
Rasanya aku mau mati saja, itu suara Val! Ternyata Val yang meneleponku dan aku langsung diam seribu bahasa. Aku tidak bisa menjawab, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa! Dan alhasil aku langsung memutuskan telepon itu setelah sebelumnya mengatakan kalau ternyata aku salah sambung dengan sangat cepat.
Ya ampun, aku bodoh sekali! Kenapa aku harus menghubungi Val tadi? Dia tidak mengenaliku lagi padahal aku menghubunginya menggunakan nomor ponsel yang sama seperti saat kami sering SMS-an dulu. Tapi sekarang dia tidak tahu kalau ini adalah nomorku, berarti dia telah menghapus nomorku dari ponselnya. Jadi bagaimana ini?
Aku menghembuskan napas dengan pelan dan dalam, mencoba mengatur lagi debaran jantungku. Handphoneku tidak berbunyi lagi, Val tidak menghubungiku lagi. Aku telah melakukan sesuatu yang salah, seharusnya aku tidak melakukan itu. Aku memejamkan mataku untuk beberapa saat, debaran jantungku semakin tenang.
Sudahlah! Aku tidak akan pernah meneleponnya lagi. Tidak akan pernah lagi! Biar saja Val ada di sini, biar saja Val sudah menghapus nomorku dari ponselnya, biar saja Val sudah melupakanku. Itu semua bukan urusanku.

 
… Bersambung …