‘Val’phobia ( part 7 )


…Cerita Sebelumnya…
Pertemuan kembali dengan Val mulai mempengaruhi hubunganku dengan Dan. Tanpa disadari aku semakin menunggu-nunggu kedatangannya. Padahal aku tidak bermaksud untuk melupakan Dan, bagaimana pun aku dan Dan akan menikah nantinya, tapi…

 
Malamnya saat makan malam yang aku lewatkan bersama ibu dan adik bungsuku yang masih duduk di bangku SMA bernama Fani, tiba-tiba saja ibuku bertanya dengan nada serius sambil tetap menyantap makan malamnya.
" Flor, apa kamu dan Daniel bertengkar? " Ibuku bertanya setelah meneguk minumannya.
" Kakak dan Kak Daniel bertengkar? " Fani kaget mendengar pertanyaan ibuku, sedangkan aku hampir saja tersedak ayam yang sedang aku kunyah karena juga merasa kaget sehingga aku buru-buru meraih gelas minumanku dan meneguk air dengan cepat.
" Bertengkar? Kenapa ibu bertanya seperti itu? " Tanyaku setelah selesai minum.
" Tante Ima yang menanyakannya kepada ibu. Calon mertuamu itu khawatir melihat calon suamimu itu uring-uringan terus beberapa hari belakangan ini. Tante Ima takut, jangan-jangan kalian berdua bertengkar. " Ibuku menjawab dengan sabar.
Aku menjadi semakin bingung. " Bagaimana kami bisa bertengkar kalau kami bahkan tidak boleh bertemu? " Aku menjawab lagi.
" Baguslah kalau kalian tidak bertengkar, ibu lega mendengarnya. "
" Mungkin Daniel sedang banyak masalah di tempat kerjanya. " Aku menjawab lagi, mencoba menebak-nebak.
" Wah… hati-hati, loh kak. Katanya orang yang ingin menikah itu sering di mendapatkan cobaan berat, sampai-sampai mereka terancam tidak jadi menikah. " Fani berkata lagi sambil memandangiku dengan raut wajah jahil dan sok tahunya yang menyebalkan.
" Heh! Anak kecil, jangan ikut campur! " Aku menjawab dengan sewot.
" Eh, ini benar, loh! Kakak teman sekelasku mengalaminya. Padahal dia dan calon suaminya akan menikah sebulan lagi, tapi calon suaminya bertemu dengan mantan pacarnya dan berselingkuh! " Fani masih saja menjawab dengan bersemangat, sedangkan aku mulai kesal mendengarnya.
" Sudahlah Fani, jangan menakut-nakuti kakakmu. " Ibu mencoba melerai pertengkaran mulut kami. Tapi aku semakin sewot mendengarnya.
" Menakut-nakuti? Aku tidak merasa takut, kok. " Jawabku, ketus.
" Lagipula aku tidak menakut-nakuti, itu kenyataan! " Fani malah melanjutkan dengan semakin menggebu-gebu, bertekad menyelesaikan kisahnya sebelum ibuku menyuruhnya untuk berhenti. " Akhirnya kakak teman sekelasku itu secara tidak sengaja memergoki calon suaminya sedang berselingkuh sehingga pernikahan mereka batal. "
" Sudah Fani. Lebih baik kamu bantu ibu mencuci piring-piring ini. " Ibuku mengakhiri kisah yang diceritakan Fani tepat pada waktunya, tepat saat aku merasakan bulu kudukku merinding mendengar akhir yang tragis itu. Untungnya Fani tidak bisa membantah perintah ibuku dan pergi ke belakang dengan membawa piring-piring untuk di cuci, sehingga dia tidak perlu melihat raut wajah ketakutanku.
" Sudah Flor, jangan dengarkan perkataan Fani tadi. Mungkin Daniel memang sedang punya masalah di kantor. Menjelang pernikahan memang selalu saja ada masalah yang harus dihadapi para calonnya. " Ibu mencoba menenangkanku.
" Tapi aku dan Daniel kan baru akan bertunangan. " Jawabku, nyaris otomatis.
" Ibu tahu. " Ibuku menjawab masih dengan sabar. " Yang ingin ibu coba katakan adalah semua pasangan pasti pernah bertengkar, mengalami masa-masa sulit dan mengancam hubungan mereka. Tapi itu semua adalah hal yang wajar. Kalian kan sudah cukup lama menjalin hubungan, ibu yakin kalian sudah mengalami masa pertengkaran seperti itu. "
Aku mengangguk, dan ibuku tersenyum. Tentu saja kami pernah bertengkar. Sebagai pasangan normal kami juga pernah mengalami perbedaan pendapat dan keadaan dimana kami berdua tidak bisa saling mengalah. Tapi selama ini kami bisa mengatasinya dengan baik. Paling tidak, seberapa pun beratnya masalah yang sedang kami hadapi, kami berdua berhasil melewatinya dengan kepala dingin dan tidak pernah tercetus sedikitpun keinginan untuk berpisah. Aku bangga dengan kenyataan ini. Semua itu menandakan bahwa Daniel sangat menyayangiku dan tidak akan rela melepaskanku untuk orang lain atau bahkan tidak pernah berpikir untuk berpisah denganku hanya karena masalah sepele seperti siapa yang tidak bisa mengalah dan siapa yang bisa.
" Asalkan kalian saling percaya, saling mencintai dengan tulus dan mengesampingkan ego kalian masing-masing, ibu yakin semua masalah akan bisa kalian hadapi dengan baik. " Lanjut ibuku lagi.
" Tapi aku dan Daniel memang tidak bertengkar, bu. " Aku masih menjawab dengan bandel.
" Ibu percaya dengan kalian. Yang penting kalian tidak bertengkar, itu saja sudah cukup membuat ibu dan Tante Ima tenang. Bagaimanapun juga kalian berdua sebentar lagi akan bertunangan dan menikah, tidak baik kalau kalian bertengkar. "
Aku mengangguk.
" Sudah, lebih baik kamu telepon Daniel, dia pasti sangat kangen denganmu. Walaupun kalian sedang di pingit, tapi bukan berarti kalian tidak boleh berbincang di telepon, kok. " Sekarang raut wajah ibuku yang penuh khawatir tadi telah hilang, berganti dengan senyum hangat yang biasanya selalu membuatku merasa nyaman dan tenang. Diam-diam aku lega melihatnya. Bagaimana pun aku tidak ingin membuat ibuku stress hanya gara-gara memikirkan aku.
" Kalau begitu, aku telepon Daniel dulu, ya. " Aku pamit dan beranjak ke kamarku.
Setelah sampai di kamar, sesuai dengan permintaan ibuku, aku langsung menghubungi Daniel. Dia mengangkat teleponku pada deringan ke tiga dengan nada suara senang yang tidak bisa disembunyikan.
" Hallo? " Daniel menjawab dengan singkat.
" Hallo, Dan. Apa aku mengganggumu? "
" Tentu saja tidak, sejak kapan telepon darimu menggangguku? Justru aku sangat senang mendengar suaramu. Aku benar-benar kangen. Lama-lama pingitan ini membuatku kesal juga. " Jelas sekali terdengar kalau Daniel memang sedang menunggu telepon dariku.
Selama acara pingitan ini aku memang tidak pernah menelepon Daniel lebih dulu, bukan hanya gara-gara aku sedang sibuk mengurusi acara pertunanganku, juga bukan karena aku sedang sibuk dengan Val, tapi juga karena diam-diam aku setuju dengan acara pingitan ini. Tidak bertemu dengan Daniel sebelum hari pertunanganku akan membuat pertemuan kami nantinya menjadi moment yang sangat dinantikan. Lagi pula, aku senang membuat Daniel sangat merindukanku seperti saat ini.
Mau tidak mau aku tertawa mendengar Daniel yang begitu kesal dengan permintaan pingit yang diajukan kedua orang tua kami. " Aku juga kangen denganmu, tapi kamu tidak boleh uring-uringan seperti itu terus. Tante Ima khawatir denganmu, dia mengira kita sedang bertengkar. "
" Bertengkar? Bertengkar karena apa? " Daniel terdengar biasa saja. Maksudku, memang terakhir kali kami berbicara lewat telepon aku membentaknya dan membuatnya kesal sehingga sewaktu ibuku bertanya tadi aku kira Daniel memang sedang marah denganku karena masalah itu. Tapi mendengar sikapnya yang tidak berubah membuat semua pikiran negatifku itu hilang. Daniel jelas sama sekali tidak marah dan ini membuatku kembali santai.
" Aku juga tidak mengerti. Mungkin karena sikap uring-uringanmu itu. Ibuku juga sama khawatirnya. Ibuku bahkan menceramahiku dan mengatakan kalau kita harus saling mempercayai dan mengesampingkan ego kita masing-masing. Pokoknya ceramah-ceramah semacam itu. Dan semua itu malah membuatku bingung. Mereka pikir kamu marah denganku " Aku berusaha menjelaskan.
Sekarang Daniel tergelak mendengar penjelasanku. " Benarkah mereka berkata seperti itu? Tidak mungkin aku bisa marah dengan calon istriku tersayang? Aku tidak pernah bisa marah denganmu. "
" Jangan berlebihan. " Jawabku, tidak percaya.
" Aku tidak berlebihan. "
" Bagaimana kalau aku benar-benar berbohong? " Tanyaku lagi.
" Kalau kamu mengakuinya dan mengatakan alasannya dengan jujur, aku tidak akan bisa marah, sayang. "
" Kalau aku marah tanpa alasan? " Aku masih bertanya dengan bandel.
" Aku tidak akan marah. " Jawab Daniel dengan mantab.
" Kalau aku menyinggung perasaanmu? "
" Tidak akan marah. "
" Kalau aku ternyata berselingkuh? "
Daniel diam sebentar sedangkan jantungku tanpa sadar berdebar sangat kencang menunggu jawaban Daniel kali ini. Diam-diam aku mengingat sosok Val di kepalaku, mengingat SMS dan telepon antara aku dan Val beberapa hari belakangan dan mengingat kembali bagaimana dengan kesalnya aku saat meminta Daniel tidak meneleponku karena aku menunggu telepon dari Val.
" Itu akan sangat menyakitkan. Tapi… aku tetap tidak bisa marah denganmu. "
" Kenapa? " Tanyaku, masih saja tidak puas.
Daniel menjawab lagi dengan mantap. " Kenapa? Karena aku mencintaimu, Flor. Mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Mencintaimu lebih dari pada yang kamu perkirakan. "
Aku merasakan tanganku yang mendadak gemetar saat memegang handphoneku dan tiba-tiba dadaku rasanya tergelitik, seperti ada sebuah kupu-kupu sedang mengepakkan sayapnya dengan riang gembira di perutku. Kata-kata Daniel itu sangat menyentuh hatiku, sangat tidak aku duga dan membuatku semakin merasa bersalah. Jelas alasan ini adalah alasan paling tepat yang mampu membuatku membisu dan tidak bisa berdebat lagi. Tapi kata-kata itu sekaligus menyadarkanku bahwa ada sesuatu yang telah salah aku lakukan.
Selang beberapa menit kemudian perbincangan kami selesai. Aku duduk di samping tempat tidurku dan merenung.
… Bertunangan dan menikah …
Itu dia. Mendengar kata-kata itu membuat aku terdiam. Seperti ada sesuatu yang membuatku teringat akan sesuatu yang sebelumnya sempat aku lupakan. Benar, aku dan Daniel akan bertunangan dan tahun depan kami akan menikah. Aku melupakan kenyataan itu selama beberapa hari belakangan ini. Mungkin karena aku dan Daniel tidak bertemu selama beberapa waktu, dan aku disibukkan dengan kedatangan Val. Atau mungkin secara tidak sengaja aku membiarkan diriku sendiri melupakan kenyataan ini. Selalu saja seperti itu. Setiap kali bersama dengan Val, rasanya aku bisa melupakan semua hal. Rasanya tidak ada hal lain yang menguasai pikiranku selain Val.
Aku juga belum memberitahukan rencana pertunanganku kepada Val. Pertunangan, pernikahan yang akan berlangsung satu tahun kemudian... ya ampun, kenapa saat ini semua rencana itu terdengar sangat tidak benar? Padahal aku sendiri yang telah memutuskan untuk menerima lamaran Daniel tanpa bujukan atau paksaan dari siapa pun, lalu mengapa sekarang aku merasa keberatan? Lagipula, kenapa aku tidak bisa memberitahu Val tentang pertunanganku? Aku kan sudah tidak punya perasaan apa-apa terhadap Val, dan dia juga pasti tidak menganggapku sebagai siapa-siapa. Dia hanya menganggapku sebagai seorang teman lama yang baru saja bertemu lagi dengannya setelah dua tahun tidak bertemu. Jadi kenapa aku tidak bisa mengundangnya dan malah jadi ragu?
Lagi pula, tidak ingatkah aku kepada peristiwa menyakitkan yang membuatku sangat sakit hati dan sedih saat Val memutuskan hubungan pertemanan kami hanya karena aku tidak mau menerima permintaannya untuk berselingkuh?
Yakinkah aku kalau Val sudah berubah? Memang kami sudah tidak bertemu selama beberapa waktu, tapi apakah itu bisa menjamin kalau Val tidak akan mengulangi kejadian yang sama seperti waktu itu? Kalau dulu Val bisa menghinaku, bukankah sekarang dia juga bisa melakukannya lagi? Lagi pula, aku bahkan tidak tahu apakah Val sudah tidak berhubungan dengan wanita cantik di foto itu. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkan diriku terjerumus lagi ke dalam genggaman Val? Kenapa aku bisa membiarkan diriku percaya dengan perkataan Val lagi? Dengan kata-kata manisnya, dengan rayuan gombalnya yang bahkan belum bisa aku yakini kebenarannya?
Bukankah sudah ada Daniel di sampingku, orang yang selama ini telah membuktikan cinta dan kesetiaannya. Aku sudah berhubungan dengan Daniel selama lebih dari empat tahun, dan selama itu Daniel tidak pernah menyakiti perasaanku. Dia bahkan tidak pernah membentak atau bahkan memarahi semua kesalahanku. Dengan kesabarannya dan perasaan cintanya yang besar, Daniel selalu mendampingiku dalam suka dan duka. Daniel bahkan telah membuktikan keseriusannya dengan memintaku menjadi istrinya, memintaku langsung kepada kedua orang tuaku.
Jadi, bagaimana bisa aku melupakan semua itu?
Aku bodoh, aku tahu. Mungkin aku memang sempat lupa diri selama beberapa hari belakangan ini, dan semua itu hampir saja membuatku melakukan sebuah kesalahan besar yang pastinya akan aku sesali suatu saat nanti. Tidak, aku tidak ingin menghancurkan masa depanku sendiri. Tidak, dengan kenyataan bahwa masa depan yang indah itu sudah ada di depan mataku saat ini.

 
… Bersambung …