Ny. Lars - Part 8 -


… Episode sebelumnya …
Dengan sangat terpaksa Jenny menuruti kemauan Louise untuk menemui beberapa orang yang menghubungi Louise karena biro jodoh itu, dan akhirnya bertemu dengan Kevin yang walaupun berkepala botak tapi ternyata adalah satu-satunya orang yang layak untuk menjadi pacar bohongannya …

 
Nampaknya begitu banyak perubahan yang terjadi dengan semua orang di sekitar Jenny yang membuatnya bingung. Misalnya Lars yang sudah sembuh dari luka-lukanya hanya dalam waktu lima hari; Louise yang selalu membicarakan Kevin-Kevin dan hanya Kevin dalam beberapa hari ini; juga Kevin yang mulai masuk ke dalam kehidupannya dan mulai merepotkannya karena selalu saja meneleponnya hampir setiap hari. Dalam kasus Lars yang sembuh dalam waktu yang sangat cepat, menurut Jenny itu bukan masalah yang perlu dipertanyakan karena Lars memang dirawat oleh salah satu perawat terbaik di dunia, yaitu Jenny; tapi untuk kasus Louise dan Kevin? Jenny tidak pernah habis pikir bagaimana mereka bisa bersikap seperti alien. Padahal kan Kevin tahu benar kalau Jenny hanya ingin mereka berpura-pura selama beberapa waktu, tidak untuk selamanya, jadi rasanya akan sangat sia-sia berusaha sekeras itu. Dan untuk Louise, dia kan tahu juga kalau Jenny dan Kevin hanya berpura-pura pacaran, jadi rasanya tidak perlu dia bersusah payah mengingatkan Jenny kalau Kevin adalah laki-laki baik, ganteng, kaya dan lain-lain. Toh Jenny juga tidak perduli. Dia kan sudah memutuskan tidak akan jatuh cinta lagi selain dengan Lars.
Kembali kepada keadaan Lars yang sekarang sudah sembuh total, sesuai dengan permintaannya sebelum sembuh, dia dan Jenny sekarang sedang berada di mobil. Mereka akan menuju butik tempat Lars akan memilih pakaian yang akan dia kenakan saat berkencan dengan Cherry nanti, kalau suatu saat mereka akan berkencan. Seharusnya Jenny merasa senang karena sebelum Cherry sempat berkencan dengan Lars, dia yang lebih dulu melakukannya dengan Lars, bahkan ini bukan untuk yang pertama kalinya mereka pergi berdua selain dalam urusan bisnis. Tapi Jenny tidak bisa bergembira sebagaimana mestinya karena dia masih mengingat kejadian sebelum dia di jemput tadi.
Kevin tadi menelepon Jenny saat dia sedang mengenakan pelembabnya di depan meja rias. Dengan malas karena sudah melihat nama Kevin di LCD ponselnya, Jenny menekan tombol 'Ok' yang menghubungkannya dengan Kevin.
" Hai Jen, lagi ngapain? "
" Dandan. "
" Dandan? Lo mau pergi, ya? "
" Iya. Ntar lagi juga dijemput. "
" Berarti gua telat dong, padahal gua juga mau ngajak lo jalan. Lo perginya sama siapa? "
Jenny mulai kesal dengan sikap Kevin yang bertanya terus seolah-olah dia berhak mengetahui semua kegiatan Jenny dengan detail. Dia kan bukan siapa-siapa bagi Jenny. Well, selain sebagai pacar bohongannya.
" Sama temen. " Jawab Jenny singkat dan kesal.
" Cewek ato cowok? "
" Ngapain lo nanya itu? "
" Emang gua nggak boleh tau? "
" Bukan urusan lo, kan? "
" Gua kan pacar lo, Jen. "
" Bukan! "
Kevin terdiam, dan Jenny juga diam. Jenny tidak bermaksud menjawab dengan sekeras itu, dia tidak sengaja, walaupun apa yang dikatakannya memang benar. Untunglah saat diam-diaman itu terjadi, terdengar deru mobil dari depan. Lars sudah menjemputnya dan Jenny langsung berpamitan dan menutup telepon dari Kevin itu.
Jadi disinilah Jenny, di dalam mobil Mercedes milik Lars yang katanya mewah itu, duduk dengan sabuk pengaman mengikat badan dan bibirnya yang sedikit cemberut karena memikirkan Kevin yang menyebalkan dan berhasil menghancurkan moodnya yang tadinya sedang bagus-bagusnya.
" Lo kenapa sih, manyun gitu? " Tanya Lars di sela-sela kegiatan menyetirnya sambil melirik ke arah Jenny yang memang manyun.
" Nggak pa-pa, kok. Tadi ada yang bikin gua sebel aja. "
" Apaan? Cowok lo, ya? "
Jenny agak terdiam karena tanpa disengaja tebakan Lars itu memang tepat, walaupun tidak sepenuhnya tepat juga_Kevin kan bukan pacarnya. Tapi Jenny menggangguk juga akhirnya, dengan sangat menyesal.
" Waktu pacaran, berantem itu masalah biasa. Kata orang tua, itu namanya bumbu pacaran. " Lars menanggapi sambil tersenyum dengan sok arif. Jenny malah mencibir, dengan sewot dia malah meninju lengan Lars sambil mengejek kalau Lars malah terdengar seperti orang tua kalau berkata seperti itu, lalu mereka tertawa bersama. Lagi-lagi hubungan antara bos dan asistennya ini bergerak ke arah keakraban yang membuat sirik.
Lupakan soal keakraban tadi karena sekarang keakraban itu berubah menjadi peluh keringat yang menetes karena kelelahan. Sebenarnya tidak ada peluh yang benar-benar menetes saat ini karena untunglah butik ini dipenuhi dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Tapi keadaannya bisa saja separah itu, karena pencarian kostum yang cocok untuk kencan yang nyaris tidak akan terwujud antara Lars dan Cherry ternyata tidak mudah. Mencari pakaian yang cocok untuk laki-laki memang susah-susah gampang. Pakaian laki-laki tidak punya model yang terlalu banyak sehingga sangat susah mencari pakaian yang berbeda dari yang lainnya. Apalagi untuk Lars yang merupakan salah satu jenis laki-laki yang cukup fasionable. Mangkanya, waktu yang dibutuhkan juga tidak singkat. Hampir mirip sepasang kekasih yang sedang mencari gaun yang cocok untuk dikenakannya di pesta dansa pasangan atau semacamnya, Jenny dan Lars juga sedang berkutik dengan situasi semacam itu. Tapi jika seharusnya sang laki-laki yang duduk membaca majalah sambil menunggu pasangan wanitanya keluar mengenakan salah satu gaun lalu menanyakan pendapatnya; untuk Jenny dan Lars ini berlaku sebaliknya. Jenny sedang duduk di sofa empuk berwarna putih, menggenggam majalah sambil menunggu Lars keluar dari ruang ganti dengan mengenakan pakaian dari butik. Lars akan menanyakan pendapat Jenny, dan kalau Jenny hanya menunjukkan tampang aneh sedikit saja maka tanpa bertanya dua kali Lars akan langsung masuk ke dalam ruang ganti lagi dan mencoba pakaian lain. Ini yang membuat acara mencari pakaian yang pas ini menjadi sangat lama dan sangat melelahkan.
Lars keluar entah untuk yang keberapa kalinya, kali ini dengan mengenakan kemeja berbahan katun berwarna hijau lumut dengan celana panjang jeans dengan motif sobek-sobek yang sedang sangat trend saat itu. Lars menaikkan alisnya yang sebelah kiri dengan tampang bertanya, dan Jenny yang tadinya lemas dan capai langsung sedikit bersemangat melihat Lars keluar mengenakan celana jeans itu. Kemejanya mungkin kelihatan sangat kampungan, tapi celana jeans itu sangat cocok dengan Lars. Jenny langsung menanggapi.
" Jeansnya cocok banget buat lo. Lo keliatan lebih seksi. "
Lars malah semakin menaikkan sebelah alisnya dengan sanksi. Mendengar kata seksi yang terlontar dari mulut Jenny membuatnya sedikit terkejut. Dan sedikit bangga, tentu saja.
" Kemejanya? " Tanya Lars lagi, dan Jenny langsung mengernyit.
Lars masuk lagi dengan pakaian yang dikiranya akan cocok dipadukan dengan jeansnya yang baru ini, tapi tiba-tiba ponsel Jenny berdering. Lars tidak jadi masuk, tapi malah memperhatikan Jenny yang sedang menjawab ponselnya.
" Hallo? " Sahut Jenny.
" Hai Jen, lo masih jalan sama temen lo? " Ini suara Kevin, dan Jenny langsung menghela napas dengan berat mendengar suaranya. Lagi-lagi suara yang tidak diharapkan, umpat Jenny dalam hati.
" Kenapa? " Tanya Jenny datar.
" Nggak sih, gua kira lo udah pulang. Tadinya gua udah pengen ketemu lo. Gua udah ada di depan rumah lo, nih. "
" Hah, di depan rumah gua?! " Sekarang Lars benar-benar tidak ingin kembali ke dalam ruang ganti dan mencari baju lagi. Dia lebih tertarik mengetahui kenapa Jenny tiba-tiba kelihatan panik. " Dari siapa, Jen? " Tanyanya.
" Eh… Cowok gua. " Jawab Jenny dengan sangat menyesal, sebenarnya dia tidak ingin mengatakan kalau telepon yang dia terima memang dari 'pacarnya', tapi tidak ada jawaban yang lebih bagus dari pada ini.
" Kenapa, lo mau pulang, ya? Mau gua anter? " Lars menawarkan. Jenny malah panik, buru-buru digelengkan kepalanya.
" Nggak perlu, gua bisa pulang sendiri. "
" Siapa tuh, Jen? Temen lo, ya? Lo mau pulang? Mau gua jemput nggak? Lo dimana? " Kevin bertanya dan sekaligus menawarkan bantuan yang malah membuat Jenny tambah panik. Kalau Kevin menjemputnya sekarang, maka dia akan bertemu dengan Lars, padahal ini bukan waktu yang tepat untuk mempertemukan keduanya.
" Nggak usah, gua bisa pulang sendiri. Lo tunggu aja disitu, gua pulang sekarang. " Tanpa mendengar jawaban Kevin lagi, Jenny menutup ponselnya dan kembali menatap Lars. " Gua harus pulang sekarang. "
" Nggak mau gua anter? "
" Nggak usah, gua bisa pulang sendiri. " Jenny menjawab dengan sedikit kesal, menyadari benar kalau dia mesti mengatakan jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama yang di tanyakan dengan dua orang yang berbeda.
" Ya udah, kalo gitu gua anter lo naik taksi. " Lars beralih memandang pramuniaga butik itu dan berkata: " Saya ambil jeans ini dan kaos pertama yang saya coba tadi. " Pramuniaga yang berwajah sendu itu tersenyum dan beranjak untuk menyiapkan pakaian yang diminta Lars tadi, sedangkan Jenny kembali duduk di sofa dan tidak habis pikir bagaimana Lars bisa memutuskan untuk mengambil baju pertama yang dicobanya tadi setelah sekian banyak baju lain yang di cobanya setelah itu. Benar-benar melelahkan.
Setelah menelepon Jenny tadi, Kevin langsung menelepon Louise untuk menanyakan sesuatu. Sesuatu itu adalah sikap Jenny yang sangat aneh tadi. Tadi Jenny bersikap sangat skeptis. Bukan berarti selama kenal dengan Jenny sikapnya lebih baik dari pada ini, tapi tadi sikapnya lebih tertutup seolah-olah dia tidak ingin Kevin tahu siapa yang pergi dengannya tadi. Selama kenal dengan Jenny dan bersedia menjadi pacar sementaranya, Jenny memang cenderung bersikap menghindar setiap kali Kevin mencoba mengorek pribadinya lebih dalam. Kevin mencoba mengerti selama ini tapi lama-lama dia sebal juga, mangkanya dia sekarang menelepon Louise, orang yang dianggapnya paling tahu tentang Jenny dan akan memberitahu apa yang ingin dia tahu. Kevin memang merasa kalau Louise lebih bersikap manis dengannya dari pada Jenny.
" Tadinya gua mau ngajak dia nonton, tapi kayaknya dia nggak mau. Dia bilang mau pergi sama temennya. BT juga gua. " Kata Kevin kepada Louise dari telepon. Louise yang berada disana mendesah lelah.
" Dia emang gitu, Kev. Lo baru kenal sebentar sama Jenny, nggak heran lo bingung sama sikapnya, tapi dia orangnya baik kok, asik. Lo yang sabar aja ngadepin Jenny, ya. "
" Emang dia pergi sama siapa sih? Kok kayaknya nggak mau gua tau? "
" Nggak tau, ya. " Louise menjawab dengan berbohong. Dia tidak bisa mengatakan kepada Kevin kalau Jenny pergi dengan Lars. Dia bahkan tidak bisa mengatakan apa pun tentang Lars kepada Kevin karena Jenny sudah berhasil mengancamnya. Pokoknya Kevin tidak akan tahu apa pun tentang Lars kecuali Jenny memutuskan sudah waktunya dia tahu. Itu pun harus dari mulut Jenny sendiri.
" Sebenernya, siapa sih yang harus Jenny bohongin sampe dia harus nyari pacar sementara segala? " Kevin bertanya dengan putus asa
" Gua nggak bisa ngasih tau soal itu sama lo, Kev. Tapi gua yakin kalo lo bisa lebih baik dari pada orang yang harus Jenny boongin itu. Jujur aja, gua nggak yakin sama orang itu, dia nggak bisa bikin Jenny bahagia, tapi lo pasti bisa bikin Jenny bahagia. Gua yakin, dan lo juga harus bisa. Ok, Kev? "
" Wah, ternyata lo punya cita-cita yang besar sama gua. "
" Iya, gua harap lo bisa jadi yang terbaik buat Jenny, soalnya gua yakin lo juga suka kan sama Jenny. "
" Iya, sih. Sikapnya memang agak skeptis sama gua, tapi nggak tau kenapa gua malah tertarik sama dia. "
" Well, I'm telling you, Kev. Lo harus dapetin hati Jenny. "
Dorongan hati yang ingin lebih tahu tentang Jenny yang terkesan misterius itu yang membuatnya ingin sekali bertemu dengan Jenny lagi. Mangkanya dia datang ke rumah Jenny dengan berbekal alamat yang didapatnya dari Louise. Dan saat tidak menemukan Jenny di rumahnya, dia memutuskan menelepon Jenny sehingga akhirnya dia berdiri di depan rumah Jenny menunggu yang punya rumah kembali entah dari mana.
Tidak terlalu lama waktu yang dihabiskan Kevin untuk menunggu Jenny pulang kerumahnya, karena setelah lima belas menit yang lalu Jenny mengatakan akan pulang, disinilah gadis manis itu sekarang berada: di teras, sedang membuka pagar rumahnya sendiri. Wajahnya tidak terlalu bersahabat, sehingga Kevin memutuskan untuk diam saja.
" Ngapain lo kesini? " Tanya Jenny setelah mereka berada di ruang tamunya.
" Gua hanya pengen ketemu sama lo. " Jenny memutar bola matanya. " Emang gua nggak boleh ketemu lo? Lo nggak mau ketemu gua? " Jenny bersikap skeptis lagi dan Kevin mulai sebal.
" Emangnya lo pergi sama siapa sih tadi? Kok kayaknya gua nggak boleh tau banget? " Nada suara Kevin berubah menjadi sedikit sebal dan marah, membuat Jenny sedikit kaget.
" Buat apa lo tau? "
" Gua patut tau, Jen! Gua emang cuma pacar sementara lo, tapi gua tetep dan punya hak buat tau siapa lo, dan apa tujuan lo nyari pacar sementara? Nggak mungkin hanya buat iseng, kan? "
" Gua bukan orang iseng. "
" Kalo gitu kasih tau sama gua. "
" Nggak ada gunanya—"
" Kalo gitu gua nggak bisa bantu lo apa-apa. " Sambar Kevin yang membuat Jenny semakin kesal.
" Bos gua. Gua mau ngeyakinin bos gua kalo gua emang udah punya pacar. " Jawab Jenny dengan kesal.
" Buat apa lo ngeyakinin bos lo kalo lo udah punya pacar? Nggak ada hubungannya, kan? "
" Kan gua bilang, itu bukan urusan lo! Yang penting lo bisa jadi pacar sementara gua yang baik, selesai perkara! " Kali ini Kevin yang terdiam. Sikap skeptis Jenny berubah menjadi kemarahan. Jenny hendak meninggalkan Kevin masuk ke dalam dapurnya untuk mengambilkan sedikit air minum, tapi tiba-tiba Jenny ingat kalau dia harus mengatakan sesuatu yang cukup penting kepada Kevin juga. " Oh, gua baru inget, kayaknya lo nggak perlu repot-repot ngedeketin gua, ato nelpon gua mulu. Lo bakal jadi pacar sementara gua buat waktu singkat, jadi kita nggak perlu terlalu akrab. "
" Ok. " Sikap Kevin yang sedari tadi kelihatan sangat sabar, kini berubah menjadi sedikit skeptis juga. Mungkin sikap Jenny yang tidak bersahabat itu membuatnya kesal, sehingga dengan senang hati dia akan meladeni sikap Jenny itu. " Kalo gitu dalam waktu singkat itu, gua bakal ambil hati lo. Gua tipe orang yang nggak gampang nyerah dan bakal ngelakuin apa aja buat ngedapetin apa yang gua mau. Gua bakal bikin lo jadi bersimpati sama gua, ato malah jadi suka sama gua. "
" Nggak perlu seyakin itu, nggak bakalan kejadian kok. "
" Oh, ya? Kita liat aja nanti. "
" Ok, kita liat aja. "

 
...Bersambung...