Sekelumit Tentang Kemanusiaan


Kemanusiaan….
Kata itu terngiang-ngiang di kepalaku akhir-akhir ini, dan kata itu menjadi sangat aku pertanyakan artinya. Kata itu begitu dekat dengan manusia, seperti sesuatu yang seharusnya ada di dalam diri manusia, berasal dari dalam diri manusia itu sendiri.
Setiap manusia memiliki apa yang dinamakan dengan kemanusiaan itu, seperti sebuah nama, seperti jati diri. Kemanusiaan seperti sebuah kebanggaan yang ada di dalam diri seorang manusia, yang membuat derajat seorang manusia menjadi lebih tinggi dari pada makhluk hidup lain di dunia ini.
Kemanusiaan seperti sebuah hadiah yang sangat berharga yang diberikan khusus kepada manusia dari Yang Maha Kuasa, yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk hidup lain. Tapi… satu pertanyaan berputar berulang-ulang di dalam kepalaku saat ini: apakah kita_manusia_masih memiliki apa yang dinamakan kemanusiaan itu di dalam diri kita?
Terdapat sebuah buku, sebuah novel fiksi percintaan_sesuatu yang tidak terlalu dianggap cukup berarti untuk dibaca oleh segelintir orang. Dalam buku ini diceritakan kisah seorang makhluk dari planet lain yang di‘transfer’ ke dalam tubuh seorang manusia bumi. Dia berbaur dengan sesamanya di bumi, mencoba hidup dengan kebiasaan yang dilakukan manusia, berkeluarga, bersahabat dan mengalami yang namanya jatuh cinta, nyaris seperti manusia pada umumnya. Tapi apa yang membedakan cerita ini dari cerita cinta biasa adalah cerita ini mengetengahkan mengenai makhluk asing yang ternyata berbeda dengan apa yang kita bayangkan sebelumnya.
Hollywood dengan film-film box office-nya telah berhasil dengan sukses menceritakan bagaimana sosok alien yang begitu menakutkan dan sangat jahat di mata manusia. Apa yang dapat mereka lakukan di bumi hanyalah membunuh manusia dan mengambil alih planet kita untuk mereka kuasai. Tapi dalam novel ini alien yang menguasai manusia digambarkan memiliki sifat yang sangat baik. Apa yang mereka lakukan setelah menguasai tubuh seorang manusia adalah menjalankan tugas manusia itu dengan baik, menuruti peraturan, bersahabat dengan alam, tidak berperang atau bermusuhan dengan orang lain. Mereka membuat keadaan bumi menjadi jauh lebih baik lagi.
Sedangkan apa yang dilakukan manusia-manusia yang sebenarnya, yang selamat dari penyerangan para alien itu? Mereka melawan, mereka berperang, mereka mencoba merebut kembali apa yang telah direbut dari mereka. Semua tindakan itu terdengar sangat biasa, terdengar alami, semua orang akan melakukan hal yang sama. Tapi bagaimana kenyataan itu bisa diterima jika ternyata tindakan mereka malah terlihat sangat tidak manusiawi?
Ada begitu banyak film yang juga menyajikan kenyataan yang sama. Beberapa film buatan Hollywood saat ini tidak hanya menyajikan gambaran manusia dengan kisah kepahlawanan mereka, bagaimana mereka memperjuangkan harga diri mereka atau bagaimana mereka berjuang untuk merebut apa yang sudah direbut makhluk lain dari mereka. Tapi sekarang ada begitu banyak film lain yang mengetengahkan kebalikan kisah-kisah itu.
Bagaimana jika ternyata manusia itu sendiri yang merupakan tokoh jahatnya? Bagaimana jika ternyata alien yang selama ini kita kenal sebagai makhluk jahat, sebagai monster, sebagai musuh, ternyata lebih memiliki hati, memiliki kemanusiaan, memiliki hati nurani dan kebaikan hati yang murni melebihi manusia, melebihi kita semua?
Kemanusiaan manusia justru di pertanyakan saat ini.
Mana kemanusiaan yang kita miliki saat kita menebang hutan yang selama ini telah dengan suka rela dan tanpa pamrih memberi kita pasokan oksigen untuk kita hirup, atau menahan aliran air yang deras saat hujan lebat turun tanpa henti, atau memberikan kita keteduhan saat matahari bersinar dengan teriknya?
Mana kemanusiaan yang kita miliki saat kita mencemari tanah yang kita pijaki dengan sampah-sampah yang kita hasilkan, saat kita dengan begitu serakah menguras semua mineral yang ada dalam perutnya, saat kita dengan seenaknya mencabuti semua tanaman yang telah ditumbuhkannya, yang telah diberinya makan?
Mana kemanusiaan kita saat tanpa peduli kita mencemari pasokan air yang ada di muka bumi ini, saat kita membunuh semua makhluk hidup yang telah dihidupinya dengan penuh sayang, saat kita menguras semua kemampuannya untuk kepentingan kita dengan egois?
Mana kemanusiaan kita saat kita membuang semua polusi yang kita hasilkan ke tengah udara yang tidak melakukan satu kesalahan pun kepada kita, saat kita memaksanya menipis dan menghilangkan satu lapisannya karena kita membuang carbondioksida dengan seenaknya?
Mana kemanusiaan kita saat kita menyalahkan mereka saat mereka akhirnya marah dan membalaskan apa yang telah kita lakukan terhadap mereka?
Hewan dan tumbuhan yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu tentang apa pun juga telah menjadi sasaran empuk ketamakan kita. Pohon rela mati demi kita saat kita menebangnya untuk menghasilkan kertas dan mengahambur-hamburkannya seolah mereka dapat memberikan apa yang kita inginkan lagi dengan kecepatan seperti membalikkan telapak tangan. Semua hewan tak pernah mengeluh saat kita membunuhnya untuk memenuhi keinginan kita merasakan kenikmatan daging mereka, memperpanjang umur kita, memperpanjang penderitaan mereka.
Lihat betapa egoisnya kita, lihat betapa kuatnya mereka bertahan, lihat betapa marahnya mereka saat pada akhirnya mereka tidak lagi bisa menolerir apa yang selama ini telah kita lakukan terhadap mereka.
Dan pernahkah kita berkaca bahwa apa yang telah kita lakukan telah merusak semua keseimbangan yang seharusnya ada di antara kita dan mereka? Kemanusiaan sudah tidak ada lagi dalam diri manusia, digantikan dengan ketamakan, keegoisan, keinginan dan kebutaan. Perang disulut demi mendapatkan wilayah, alam dirusak demi mendapatkan harta dan hewan dibunuh demi mendapatkan kepuasan. Tidakkah manusia sadar bahwa apa yang mereka bawa adalah kehancuran, kerusakan, kebinasaan? Bukan manusia yang menjadi korban saat ini, tapi merekalah yang menjadi penjahatnya, predator dan penghancur paling kuat di seluruh dunia.
Tidakkah manusia sadar bahwa apa yang mereka butuhkan untuk merasa bahagia bukanlah kepuasan yang bersifat bananiah seperti itu? Bagaimana dengan jiwamu? Bagaimana dengan hatimu? Apa kau dapat merasakan bagaimana kepedihan alam saat kau menghancurkannya? Apakah tentram hatimu saat keseimbangan itu dihancurkan? 
Keseimbangan antar makhluk, semua itu mungkin bisa mengatasi segala kerusakan. Jika saja manusia sadar bahwa alam dan hewan dan semua hal yang ada di dunia adalah sahabat yang seharusnya dijaga, yang seharusnya dijadikan teman, bukan musuh yang harus dihancurkan, akankah kedamaian tercapai?

181209 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 59 )


Ternyata kita memang berbeda
Bukan karena jenis kelamin
Tak peduli asal usul keluarga atau pun latar belakang budaya
Aku dan kamu memang tidak sama
Aku baru saja menyadarinya, sesaat jurang kita terasa melebar tanpa batas
Tapi bukankah kita memang berbeda?
Tidak ada satu orang pun yang sama
Bahkan saudara kembar pun tidak pernah sama, tidak peduli se-identik apa mereka
Jadi untuk apa mempersoalkan semua perbedaan itu?
Untuk apa mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas tidak akan kita temukan jawabannya?
Cara pikir kita berbeda
Kau bisa berpikir ke kiri, sedangkan aku ke samping
Kau bisa berpikir ke kanan, sedangkan aku ke belakang
Kau bisa berpikir ke depan, sedangkan aku memutar
Tapi apalah artinya semua itu?
Toh pasangan paling serasi pun tidak akan bisa selamanya hidup rukun
Justru dengan perbedaan kita dapat saling mengerti
Justru dengan perbedaan kita dapat saling menghormati
Sudahlah, mempertanyakan semua itu hanya akan membuat jurang itu kembali menganga lebar
Membuatku melihatmu sebagai seorang musuh, bukan sahabat yang selama ini aku banggakan
Oh tidak, selama ini aku sudah berusaha untuk tidak memikirkan semua itu
Memusuhimu seolah menyesakkan dada
Membelakangimu seolah melukai tangan kananku sendiri
Meragukan kedudukanmu di dalam hatiku seolah membunuh sebagian dari diriku sendiri
Untuk apa aku perlu melakukan semua itu?
Membunuh diriku sendiri?
Membuat tubuhku cacat dengan tanganku sendiri?
Aku tidak mau menjadi orang cacat
Aku tidak mau melubangi hatiku dengan semua perbedaan itu
Jadi sudahlah
Lupakan semua perbedaan itu
Biarkan aku menjalani keyakinanku sendiri
Dan kau mengarungi kapal kehidupan dengan arus yang kau pilih sendiri
Karena semua itu hanya akan membawa kita kepada satu tujuan yang sama
Hanya jalan dan cara kita saja yang berbeda
Dan itu tidak bisa dikompromi
Jadi, ayo kembali seperti sebelumnya lagi
Jadi, ayo ulurkan jembatan yang dapat menyempitkan lebarnya jurang yang tadi aku rasakan
Seperti yang selama ini kita lakukan
Seperti yang selama ini kita nikmati
Selama ini semuanya terasa nikmat, bukan?
Hubungan kita, persahabatan kita, 'kisah cinta' kita yang unik itu
Jadi, untuk apa harus dipertanyakan lagi?

 

110811 ~ Black Rabbit ~

Managemen Ikhlas


Kalau saja tidak ada keinginan untuk mencari suasana yang lebih menarik dari pada ini, kalau saja kebosananku tidak begitu menguasai dan mengikatku dengan begitu kencang, selalu saja memintaku untuk memberontak dan mencari sesuatu yang baru, yang lebih segar, yang tidak membosankan, yang bukan itu-itu saja, yang diluar kebiasaaan. Tentu saja aku tidak akan selalu merasa semenyedihkan ini. Obsesiku kadang terlalu tinggi, sifat perfeksionisku terlalu mengaturku, membuatku menjadi begitu idealis dan kaku, dan keras kepala, dan menyebalkan. Tapi apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengerem diriku sendiri? Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan banjiran pertanyaan dan luapan adrenalin yang mencoba memberontak keluar dari dalam diriku ini? Bagaimana? Malah kadang kala aku sendiri tidak tahu apa yang aku butuhkan, apa yang ingin aku lakukan untuk memuaskan rasa ingin tahuku yang membingungkan ini. Aku bingung dengan diriku sendiri dan ini membuatku merasa seperti orang gila, yang punya kepribadian ganda, triple, bahkan lebih dari itu. Aku takut kalau aku akan menjadi orang gila….
Aku harus belajar untuk bisa menerima segalanya dengan lapang dada. Apa yang aku terima sudah pasti apa yang memang harusnya aku terima, aku harus meyakini hal ini. Tapi… susahnya, selama ini aku berpikir kebalikannya. Jika aku ingin mendapatkan segala sesuatu dengan kualitas paling baik, maka aku harus mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan yang aku punya dengan sebaik-baiknya terlebih dahulu. Karena apa yang diawali dengan baik akan berakhir dengan baik pula.
Tapi kadang pada kenyataannya apa yang kita terima terasa tidak sebanding dengan apa yang telah kita kerahkan dengan sekuat tenaga. Itu membuatku kecewa, sering kali membuatku kecewa. Nah… itulah gunanya aku belajar untuk bisa menerima semuanya dengan lapang dada, benar kan? Kita tidak bisa menerima semua yang kita inginkan, karena belum tentu semua itu memang yang terbaik bagi kita. Yakinlah bahwa Tuhan lebih tahu apa yang paling baik untuk kita, maka dari itu Dia memberikan apa yang terbaik bagi kita, bukan apa yang kita inginkan. Karena itu, belajarlah untuk selalu memberi yang terbaik tanpa pamrih, tanpa perlu berpikir apa yang akan kita terima di masa yang akan datang. Anggap saja investasi, suatu saat kita akan menerima keuntungannya dengan berlipat ganda, tentunya semua akan indah pada waktunya nanti.
Tidak akan mudah untuk melakukannya, aku tahu itu. Tapi berusahalah terus, walaupun sering kali kau merasa lelah dan ingin berhenti. Tidak ada salahnya merasa kesal, kecewa dan marah, itu sangat manusiawi. Tapi_sekali lagi_yakinlah bahwa semuanya akan indah pada waktunya.
Just believe it….
071209 ~ Black Rabbit ~

Beberapa Waktu Belakangan Ini


Jika aku sedang tidak berada di sini, mungkin aku tidak akan bisa mengagumi sesuatu. Aku bahkan tidak ingat apakah aku pernah mengagumi sesuatu beberapa waktu belakangan ini. Tapi hei, aku sekarang berada di sini, di negeri singa, sudah seharusnya aku mengagumi sesuatu.
Aku tahu akan terdengar sangat sombong jika aku mengatakan alasan apa sebenarnya aku pergi ke tempat ini. Aku hanya ingin keluar dari rutinitas harianku, menemukan suasana baru untuk memperbaharui lagi semangatku. Aku bahkan sempat berpikir untuk mematikan semua ponselku. Aku hanya ingin beristirahat sejenak dari mereka yang biasanya merecokiku dengan urusan pekerjaan setiap harinya.
Tapi aku tidak bisa melakukannya, maksudku mematikan semua ponselku. Karena dia masih akan menghubungiku lagi.
Aku rasa aku tidak akan keberatan kalau dia yang menghubungiku, hanya dia, jangan orang lain. Karena hanya dengan membaca pesan yang dikirimkannya saja sudah bisa membuatku senang.
Tapi sayang, dia tidak berada di sini denganku.
Andai saja dia memang ada di sini pastinya aku akan merasa lebih senang dari pada ini. Dia memang selalu bisa membuatku senang, tersenyum, tertawa. Sesuatu yang tidak bisa aku lakukan sendiri tanpa bantuannya dalam beberapa waktu belakangan ini. Tepatnya waktu-waktu di mana aku belum mengenalnya. Waktu di mana dia belum menjadi penyemangatku.
Kalau dipikir-pikir, rasanya dia sudah berubah menjadi seseorang yang penting bagiku. Aku tidak pernah merasa seperti ini sejak kisah menyakitkan itu menusuk hatiku dengan begitu dalam. Ketika itu aku kira tidak akan pernah bisa merasakan kegembiraan lagi. Rasanya seluruh tenagaku terkuras habis saat aku mempertanyakan segala yang terjadi.
Untuk apa kasih sayang yang telah aku berikan selama bertahun-tahun jika sakit hati yang aku terima sebagai balasan?
Aku meneriakkan kata-kata itu selama beberapa waktu, selama luka itu masih berdenyut menyakitkan. Dan sekarang dengan senang hati aku umumkan bahwa luka itu perlahan mengering dan sembuh. Memang akan meninggalkan bekas, tapi tidak apa-apa, aku bisa memaklumi bekas itu.
Tapi...
Andai saja aku bisa memilih untuk tidak menerima luka lain, luka baru yang akan terasa lebih menyakitkan dari pada lukaku sebelumnya, tentu aku akan memilih itu. Tapi aku tidak bisa memilih. Aku hanya bisa menerima.
Tepat saat aku mengira akan bisa menemukan seseorang, aku malah harus menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.
Seharusnya aku tidak perlu mengharapkan apa-apa lagi. Seharusnya aku memutuskan untuk langsung pergi menjauh begitu menerima kenyataan yang satu ini.
Seharusnya memang begitu. Andai saja aku bisa berbuat seperti itu sejak awal. Tapi aku malah memilih untuk menipu diriku sendiri. Mengatakan kepada diriku sendiri kalau semuanya akan berjalan lancar. Aku akan bisa mendapatkan dia suatu saat nanti, bagaimanapun caranya. Yang aku perlukan hanya bersabar dan menunggu. Hanya itu, sesimple itu.
Aku tahu, aku salah.
Seharusnya aku lebih memperhatikan lagi sebuah teriakan yang terus bergema di sudut hatiku. Selama ini aku hanya berusaha tidak peduli, menulikan telinga dan menganggap semua teriakan itu hanyalah sekumpulan lebah di taman.
Dia bukan untukmu.
Kata-kata itulah yang bergema berulang-ulang di dalam kepalaku.
Ya-ya... aku tahu! Demi Tuhan, kau tidak perlu berteriak sekencang itu!
Aku hanya tidak ingin memikirkannya, memikirkan semua itu hanya akan mengesahkan semuanya. Meresmikan kenyataan itu dan membuatku benar-benar terluka.
Untuk apa aku melukai diriku sendiri? Dia bahkan tidak pernah membuatku berpikir untuk melukai diriku sendiri. Dia menerimaku, dia tidak meninggalkanku sendirian, tidak peduli apa status yang di sandangnya.
Memang, kalian menyebutnya pengkhianatan, tapi aku memanggilnya kesediaan. Dia tetap bersedia menganggapku sebagai seseorang yang spesial, memberikan penyembuh bagi lukaku. Apa lagi yang bisa aku lakukan selain berterima kasih?
Aku tidak mau semua ini berakhir. Aku tahu akan merasakan rasa sakit itu lagi, tapi toh aku memutuskan untuk tidak mengingat kemungkinan itu dulu. Biarkan saja dia tetap menjadi seseorang di dalam kehidupanku yang menempati tempat yang lebih spesial dari pada orang lain. Biarkan saja seperti ini, aku hanya ingin menikmati semuanya terlebih dulu, sebelum aku merasakan lagi rasa sakit itu, rasa sakit yang aku takutkan beberapa waktu belakangan ini.
Udara di negeri singa ini benar-benar cerah, waktu yang tepat untuk melakukan kunjungan wisata. Aku masih berusaha melupakan kenyataan tentang ketidakhadirannya di sini, di sampingku, menemaniku. Aku berjalan ke sebuah toko souvenir. Ada sebatang coklat di sana, kelihatannya cukup untuk oleh-oleh.

 
200611 ~ Black Rabbit ~

Questions Book ( page 56 )


Tolong
Jangan panggil aku hanya untuk mendengar keluh kesahmu
Jangan ingat aku hanya saat kau sendu
Aku tak ingin melihatmu menangis
Aku benci dengan raut sedih di wajahmu
Tak seharusnya raut itu ada di sana
Itu tabu, itu hina
Dimana aku saat kau senang?
Kau melupakanku saat itu juga
Dan jangan hina aku saat aku berusaha menyadarkanmu
Jangan hakimi aku sebagai tak berperasaan saat aku menunjukkan kelelahanku
Bukankah itulah tugasku?
Mengingatkanmu saat kau salah
Menjadi logikamu saat kau terjembab di kubangan mekankolis
Menjadi bagian dari dirimu yang tetap sadar saat kau hilang kendali
Bukankah itulah gunanya seorang teman yang baik?
Tidak menghardikmu walau aku muak dengan rengek tangismu
Tidak menutup telinga saat kau memanggil namaku
Tidak pura-pura buta saat kau menuliskan namaku penuh permintaan tolong
Tapi hei, aku pun bisa merasa muak
Aku pun bisa merasa bosan
Dan pernahkah kau merasa begitu ingin mendengar orang berteriak kata lain selain 'tolong'?

 

170411 ~ Black Rabbit ~