ACT OF VALOUR: PERJUANGAN PENUH NASIONALISME


Saya baru saja keluar dari teater bioskop setelah menonton film berjudul ‘Act of Valour’. Seperti biasa, ada senyum lebar dan sedikit ‘disorientasi waktu’ yang biasa saya rasakan saat keluar dari teater. Dan tentu saya ada begitu banyak akar pembicaraan seru menyangkut film tersebut yang akan saya perdebatkan dengan partner saya tidak lama lagi. Tapi, lidah saya mendadak kelu saat saya berjalan keluar gedung dan menemukan poster film ‘The Raid’ yang masih diputar di teater yang lain. Saya baru tersadar bahwa hanya dalam waktu seminggu saja, sudah ada dua film dengan tema serupa yang saya tonton di bioskop. Dan, mau tidak mau, suka tidak suka, secara otomatis, saya membandingkan kedua film ini.

Sebagai seorang penulis, tentunya yang saya nilai pertama kali dari setiap film yang saya tonton adalah segi ceritanya, kekuatan para tokohnya, alurnya dan sejenisnya. Saya bukan pakar film, saya juga tidak tahu-menahu mengenai dunia film Hollywood dan tetek bengek-nya. Jadi lupakan tentang sutradara, para actor dan actris-nya atau produser dan distributor film tersebut, mari kita bandingkan dari segi yang saya pahami saja supaya_paling tidak_saya tidak dicap sebagai orang sok tahu. Dan berhubung film ‘The Raid’ sudah pernah saya bahas sebelumnya, jadi kali ini saya akan membahas dari sisi film ‘Act Of Valour’ saya. Silahkan anda bandingkan dan simpulkan sendiri (^_^).

‘Act Of Valour’ bercerita mengenai satu peleton US Navy yang terdiri dari delapan orang pasukan terlatih. Dengan latar belakang yang berbeda, mereka masing-masing telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun dan memiliki skill khusus yang melengkapi team mereka dengan baik. Setiap orang memiliki kehidupan pribadi, membangun keluarga dan membesarkan anak-anak mereka masing-masing. Tapi setiap orang juga menyadari tugas dan tanggung jawab yang harus mereka jalani sebagai anggota US Navy, pasukan elite yang paling dibanggakan tentara Amerika.

Tugas mereka kali ini adalah membebaskan seorang dokter wanita yang ternyata adalah mata-mata Amerika yang disandera seorang Bandar narkoba besar di Meksiko. Dengan berbagai peralatan canggih, skill yang hampir tak tercela dan bantuan yang dapat diandalkan, mereka berhasil melaksanakan tugas dan menyelamatkan sandera. Tapi ternyata tugas mereka tidak hanya sampai di situ. Sang Bandar narkoba ternyata memiliki keterikatan khusus dengan seorang teroris yang sudah menjadi bagian dari daftar Orang Paling Dicari pemerintah Amerika terkait tindakan terorisme yang terjadi di Filipina.

Penyelidikan pemerintah Amerika sampai kepada kemungkinan sang teroris akan melakukan tindakan teror terbesar di Amerika yang diperkirakan akan lebih menggemparkan dibandingkan insiden 9/11 beberapa tahun yang lalu. Jadi, tugas mereka bertambah berat. Mereka tidak hanya harus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan berbagai bukti mengenai tindakan illegal sang teroris, tapi juga harus menggagalkan berbagai uji coba penyelundupan senjata canggih, mengetahui rencana mereka dan menggagalkannya sebelum semua itu terlaksana.

Tugas ini tidak mudah dilakukan, bahkan bagi pasukan secanggih US Navy milik Amerika yang seolah tak terkalahkan. Karena bukan saja melibatkan kalangan teroris internasional yang kejam dan tanpa ampun, tapi juga melibatkan beberapa Negara, yang sama artinya dengan mengancam nama besar Amerika sendiri jika tidak dilakukan dengan benar. Berhasilkah mereka melakukan tugas dan kembali kepada keluarga yang mereka cintai dengan selamat?

Terlepas dari segala bentuk terorisme yang benar-benar terjadi, segala kontroversi tentang betapa arogannya pemerintah Amerika dan segala macam rahasia umum yang bersangkutan dengan politik antar Negara yang serba sembraut dan dipenuhi banyak kepentingan, dan jika dipandang melalui kaca mata orang awam seperti saya, film ini cukup memuaskan. Paling tidak, film ini dapat menyajikan sebuah film dengan ‘paket lengkap’.

Yang saya maksud dengan paket lengkap adalah dari segi ceritanya. Sebagai film ber-genre ‘war-action’ film ini berhasil mencampur unsur action dan drama dengan sangat lihai. Ini terbukti dari sisi drama dua tokoh utamanya yang ter-eksplore dengan baik dan disajikan dengan kadar pas. Paling tidak para penonton tidak hanya disajikan adegan peperangan saja dari awal sampai akhir cerita. Alur cerita juga berjalan dengan lancar, tidak ada alur mundur yang berbelit-belit dan dialog yang terjadi pun disajikan dengan pas. Tema cerita juga tersalurkan dengan seimbang, di mana digambarkan bahwa menjadi seorang prajurit tidak hanya memikirkan mengenai tugas saja, tapi ada begitu banyak hal yang harus mereka korbankan demi Negara: istri, anak, keluarga bahkan nyawa. Latar belakang cerita pun berhasil disampaikan dengan baik, setiap perubahan konflik yang diterima para tokoh dapat dijelaskan dan dipertanggung jawabkan kepada penonton walaupun hanya melalui beberapa baris dialog dan scene pendek percakapan dua tokoh saja. Ini terdengar seperti hal yang sepele, tapi detail kecil ini kadang kala menjadi penting untuk ‘memasuk-akalkan’ perkembangan konflik para tokohnya sehingga para penonton tidak perlu berandai-andai dan merangkai sendiri detail ceritanya.

Para penonton disuguhi adegan penuh peluru dengan sangat seru. Lengkap dengan berbagai jenis senjata api yang keren, atribut tentara yang mentereng dan adegan tembak menembak yang membuat geleng-geleng kepala. Belum lagi strategi perang mereka yang sangat rapi, taktik gerilya yang penuh kehati-hatian juga kerja sama antar team yang selalu bisa diandalkan. Peperangannya pun disajikan dengan cukup masuk akal, tidak terlalu berlebihan. Paling tidak satu peleton yang beranggotakan delapan orang pasukan ini tidak berhasil melaksanakan tugas mereka sendirian begitu saja, seolah membunuh sekelompok nyamuk dengan raket listrik. Ada begitu banyak pasukan dari Angkatan Bersenjata lain yang siap membantu. Pokoknya semuanya mengagumkan. Kalau saja saya adalah orang Amerika, saya pasti akan sangat bangga dengan pasukan US Navy ini.

Dari segi sinematografinya, tidak ada kata yang bisa mewakili selain lambaian dua jempol dari kedua tangan saya. Sebenarnya pada umumnya pengambilan gambar dilakukan dengan cara yang biasa, tidak ada bedanya dengan film-film lain yang memang sudah bagus. Tapi yang membuat film ini berbeda adalah cara pengambilan gambar melalui ‘first person camera’ yang membuat para penontonnya seolah benar-benar terlibat dalam perang yang sedang berlangsung. Cara pengambilan gambar dengan cara ini juga membuat para penontonnya seolah sedang bermain game perang semacam ‘Counter Strike’ yang untungnya malah akan membuat para penonton semakin larut dalam film. Ditambah dengan pengambilan angle yang_tetap_menarik dan pergerakan kamera yang dinamis, membuat semuanya berjalan dengan mulus.
Tapi, tentu saja, tidak ada film yang sempurna.

Sama seperti film perang buatan Amerika lainnya, kebanyakan film-film ini selalu menyajikan tindakan heroic yang terlalu berlebihan, seolah tentara Amerika adalah tentara paling kuat dan tidak pernah dapat dikalahkan. Bagaimanapun caranya, berapa banyak pun korbannya dan seberapa parahnya kerusakan yang terjadi, pada akhirnya tentara Amerika akan selalu berhasil menang dan bendera Amerika akan berkibar dengan megahnya di akhir cerita. Film-film Amerika juga tidak segan-segan mengangkat isu-isu politik yang menyangkut Negara mana pun, tidak peduli apakah Negara yang bersangkutan akan merasa tersinggung atau menghujat balik. Selama tentara Amerika akan berhasil menang pada akhirnya, isu apa pun tidak jadi masalah.

Di satu sisi, pengulangan eksekusi yang sama di setiap film perang buatan Amerika akan membuat para penonton bosan. Paling tidak, para penonton selain warga Negara Amerika sendiri akan semakin mencibir Amerika sebagai Negara arogan dan licik. Tapi di sisi lain, justru keahlian Amerika yang satu inilah yang sebelumnya tidak kita sadari tapi berdampak cukup besar bagi para warganya. Pasalnya, secara tidak langsung rasa nasionalisme warga Amerika akan meningkat setiap kali selesai menonton film dengan akhir heroic seperti ini. Bagaimana tidak bangga jika warga negaranya dapat mengalahkan setiap penjahat yang ada? Warga Negara mana yang tidak bangga jika di setiap film yang mereka tonton terpampang bendera negaranya yang berkibar tak terkalahkan walaupun bendera itu harus terinjak-injak lebih dulu?

Mungkin tidak banyak Negara lain yang menaruh perhatian lebih untuk menyisipi misi meningkatkan rasa nasionalisme warganya melalui film yang mereka ciptakan. Tapi, tidak bisa disangkal, bahwa cara ini cukup unik dan efektif juga, apa lagi di zaman modern ini, di mana bioskop sudah menjadi pilihan terfavorit bagi kawula mudanya dan para penerus bangsa lebih menyukai berkeliaran di mall dari pada terjun ke medan perang dan membela bangsa dan negaranya.

Tapi bagaimana pun, setiap film memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan sebagai penonton yang berada di dunia nyata, sudah merupakan tugas kita untuk bisa memilih pengaruh positif mana yang harus diambil dan pengaruh negative mana yang harus ditinggalkan.

100412 ~Black Rabbit~

THE RAID: FULL OF ACTION, LACK OF DRAMA


Saya, seperti begitu banyak orang Indonesia yang lain juga, adalah penggemar film-film box office keluaran Hollywood. Dan saya, seperti begitu banyak orang Indonesia yang lain juga, tidak begitu tertarik mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli tiket bioskop dan menonton film-film buatan anak bangsa. Memang kedengarannya sangat tidak nasionalisme, tapi saya tidak mau mengotori moment indah menonton bioskop saya dengan film-film horror komedi atau pun film horror yang hanya mengutamakan sisi sensualitas para pemerannya saja, seperti kebanyakan film-film Indonesia yang beredar di bioskop. Tapi begitu saya melihat trailer film ‘The Raid’ di televisi, untuk pertama kalinya saya merelakan sejumlah uang untuk menontonnya di bioskop.

Jujur saja, ada begitu banyak harapan sebelum saya duduk di bangku bioskop. Dari trailer yang saya saksikan, saya berharap  akan ada begitu banyak adegan action yang spektakuler di film ini, apa lagi saat membaca nama sutradara yang ternyata juga menggarap  film ‘Merantau’ yang konon katanya cukup berhasil menyajikan film action yang bermutu di Indonesia. Belum lagi mengingat bahwa sang sutradara adalah orang asing yang sekiranya bisa memberikan nilai lain dari sebuah film kepada penonton Indonesia yang sudah bosan menerima asupan film dalam negeri yang tidak bermutu. Dan apa yang saya terima setelah akhirnya menonton film ini sampai selesai? Bisa dibilang, saya senang.

Dikisahkan satu unit pasukan khusus ditugaskan untuk menyergap seorang Bandar narkoba yang tinggal di sebuah apartemen berlantai lima belas untuk kesekian kalinya. Dengan keyakinan yang kuat bahwa kali ini mereka akan bisa berhasil, sang kapten membawa (hanya) dua puluh orang pasukan untuk menyerbu masuk dan menangkap sang Bandar. Tugas mereka jelas dan simpel: masuk, lumpuhkan dan tangkap. Tapi ternyata satu hal penting luput dari pertimbangan mereka: para penghuni apartemen.

Selama ini sang Bandar telah berhasil berkelit dari jeratan kepolisian sehingga dengan sangat leluasa membangun sarangnya di apartemen itu. Dengan kekuasaannya, sang Bandar mengumpulkan para buronan polisi, preman dan berbagai macam criminal untuk bisa melindungi sang Bandar dari sentuhan pihak berwajib. Intinya, sang Bandar membangun kerajaannya di sana dan mempersenjatai bentengnya dengan para pengawal yang rela mati demi dia.
Alhasil, dua puluh orang anggota pasukan elite kepolisian yang terlatih pun kalang kabut menghadapi pengawal-pengawal sang Bandar. Dengan membabi buta, mereka menggunakan berbagai cara dan berbagai senjata tajam untuk melumpuhkan pasukan elite itu. Berhasilkah pasukan elite tersebut menyerbu masuk dan menyelesaikan tugas mereka? Akankah ada halangan lain yang membuat tugas  mereka menjadi semakin sulit untuk diselesaikan?

Bagi kalian penggemar film action yang sudah sangat muak dengan sajian film-film Indonesia (yang sebagian besar) tidak bermutu yang selama ini hadir di bioskop, film ini cukup layak untuk ditonton. Sajian actionnya sangat memanjakan mata, berhasil membuat anda ber ‘oh...’ dan ‘ah…’ dengan dramatis saat menonton aksi-aksi martial arts yang disajikan dengan sangat luwes, keras dan menggugah adrenalin. Paling tidak anda akan menerima adegan kekerasan yang nyaris seperti aslinya, tidak terlihat terlalu dibuat-buat dan efek yang mulus seolah benar-benar terjadi. Sinematografinya pun sangat bagus untuk dilihat, dengan angle kamera yang dinamis dan berhasil mempermainkan emosi para penontonnya dengan baik.

Tapi kata ‘senang’ bagi saya bukan berarti saya puas. Masih ada begitu banyak hal yang mengganjal di film ini yang tidak bisa membuat saya menghilangkan kata ‘tapi’ dari mulut saya.

Film ini berjalan dengan kisah yang tidak terpusat karena tidak ada satu tokoh yang bisa dijadikan center bagi para penonton. Selain itu, latar belakang kisah tentang alasan kedua puluh orang pasukan elite ini ditugaskan pun tidak dijelaskan secara detail. Penonton hanya disajikan adegan laga dari sejak awal film tanpa dijelaskan apa alasan mereka bertempur. Bagi saya yang seorang awam, saya berpikir bahwa seorang kepala pasukan tidak akan mengirimkan anggotanya begitu saja untuk sebuah misi yang tidak jelas berasal dari mana dan atas perintah siapa. Ini terdengar terlalu absurd. Belum lagi jumlah pasukan yang sangat sedikit untuk meringkus Bandar narkoda kelas kakap yang selama ini duduk nyaman di sarangnya tanpa pernah berhasil dikalahkan. Bukankah jumlah itu seperti jumlah yang bagus hanya untuk bunuh diri?

Selain itu, terdapat beberapa pertarungan yang tidak cukup masuk akal untuk terjadi. Misalnya saja, pertarungan beberapa pasukan dengan preman atau criminal awam yang ternyata bisa berkelahi tangan kosong dengan full teknik. Atau pertarungan dua lawan satu yang kelihatannya terlalu luar biasa, di mana sang musuh yang sebelumnya sudah bertarung dan memukuli orang lain malah bisa dengan sangat lihai dan tanpa kenal lelah bertarung nyaris tak terkalahkan melawan dua orang sekaligus. Tangan kosong pula.

Detail tokoh juga sangat disayangkan tidak dikembangkan lebih jauh. Walaupun diawali dengan kisah salah satu dari dua puluh orang pasukan elite ini, ternyata kisah itu hanya berakhir bahkan sebelum menit kelima belas. Padahal ada begitu banyak dialog yang seolah-olah dimaksudkan untuk menjelaskan beberapa detail kecil tentang para tokohnya, tapi ternyata tidak terselesaikan bahkan setelah saya tunggu hingga akhir cerita. Memang kelihatannya tidak terlalu penting, tapi kadang sebuah detail bisa merubah rasa dengan signifikan tanpa kita sadari. Yah paling tidak, saya rasa jika detail ini lebih diperhatikan, para penonton tidak akan merasa hanya disajikan adegan pukul-pukulan saja sejak awal film sampai akhir. Dan para penonton tidak akan keberatan duduk lima belas menit lebih lama hanya untuk melihat porsi drama para tokohnya yang sebenarnya mampu menambah ‘bumbu’ cerita di sela-sela adegan laga yang nyaris tanpa henti itu. Bagaimana pun juga, full action bukan berarti ‘no drama at all’.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang menyertai, film ini tetap saja merupakan sebuah angin segar bagi penikmat film Indonesia. Seperti yang saya bilang tadi, paling tidak para penonton bisa diberikan alternative menonton film dengan genre yang lebih bermutu. Dan yang lebih penting, para penonton bisa dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa film yang mendapatkan apresiasi yang bagus dari kalangan film luar negeri ini adalah film buatan Indonesia. Itu pun dengan mengesampingkan kenyataan bahwa sang sutradara adalah orang luar negeri dan sangat sedikit detail Indonesia (bahkan lambang unit khusus Indonesia pun tidak ada) tampak di film ini.

Bagaimanapun, kita harus bangga. Saya pun bangga, dengan mengesampingkan begitu banyak hal tentunya. J

230312 ~Black Rabbit~

FILES OF BLACK RABBIT'S DIARRIES: HEART

Terdiri dari sepuluh karya yang pernah dipublish di blog ini dan mendapatkan respon yang bagus, di antaranya:

1. Di Ujung Napas Verona
2. Kasmaran
3. Curi-curi Pandang
4. Aroma Buah Pir
5. Aku Minta Maaf Karena Aku Mencintaimu
6. Judi
7. Aku Tidak Mau Menjadi Orang Ketiga
8. Meragu
9. Surat Cinta Untuk Kekasih Gelapku
10. Pemuja Rahasia

Kesemuanya menceritakan kisah cinta dan problematikanya yang dijamin akan membuat kamu galau setengah mati.

Tapi buku ini sedikit eksklusif karena tidak dijual di toko buku biasa, hanya bisa dibeli melalui http://nulisbuku.com/ atau pesan langsung melalui saya ( plus ttd ) lewat e-mail/YM ke blackrabbit_1385@yahoo.com hanya dengan harga Rp. 34.000 saja ( belum termasuk ongkos kirim )

Ayo, buruan pesan jangan sampai ketinggalan! (^_^)

FANTASI KEMATIAN SEBELUM ALAM BAKA


( Diambil dari kolom BUKU PILIHAN Koran TRIBUN JABAR, terbit Minggu, 4 Maret 2012, halaman 15 )

TIDAK banyak penulis local yang menulis novel bergenre fantasi. Satu dari sedikit nama itu adalah Vinna Kurniawati, seorang penulis muda kelahiran Bengkulu. Melalui novel The Chronicle Of Enigma: The Two Rings ini, Vinna mencoba menembus persaingan dengan berjibunnya novel fantasi terjemahan.

Sebagai karya perdana, novel ini patut mendapatkan apresiasi yang layak. Imajinasinya mengenai dunia kematian seakan sulit dibendung. Meskipun alurnya terkesan lambat, kisahnya menarik untuk terus diikuti. Kata-katanya terpilih dan ungkapan-ungkapannya menunjukkan Vinna bukan penulis pemula. ( Di sampul belakang memang tertulis bahwa sebelum menulis novel ini Vinna kerap memublikasikan karyanya di internet.)

Meskipun temanya tentang (dunia) kematian, novel ini bukan jenis horor. Tidak ada adegan yang dibuat untuk dengan sengaja menakut-nakuti pembaca. Selain itu, kisahnya tidak menyinggung agama apa pun. Novel ini semata-mata kisah yang dituangkan dari imajinasi.

Alkisah, di sebuah negeri bernama Merlin, hidup seorang gadis 20 tahun bernama Caraveena. Berbeda dengan hampir semua penduduk negeri ini yang merupakan penyihir, Caraveena justru memilih menjadi peramal. Hanya segelintir orang yang memiliki pilihan yang sama dan satu di antaranya adalah Profesor Klain. Keduanya juga tertarik kepada penelitian yang sama: dunia kematian.

Caraveena pun mengajukan diri untuk menjadi kelinci percobaan yang dilakukan sang profesor. Ia masuk ke dunia kematian dan bertemu dengan Marlon, pemimpin negeri Nimbus, dunia tempat berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Marlon kemudian jatuh hati kepada Caraveena dan bersedia membantu si gadis meneliti lebih jauh negeri Nimbus.

Kedekatan Marlon dan Caraveena menyulut kemarahan penguasa Hades, negeri tempat dunia kematian. Manusia yang masih hidup seharusnya tidak boleh mengetahui dunia kematian. Hubungan Marlon dan Caraveena juga merupakan cinta terlarang. Untuk menjaga cinta mereka, jiwa mereka pun terancam.

Pemakaian sudut pandang orang pertama dengan tokoh-tokoh yang berlainan pada bab-bab yang berbeda bisa menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Nilai lebihnya, pembaca bisa menyelami dunia dalam para tokohnya. Kekurangannya, alur menjadi lambat, bahkan ada sejumlah pengulangan yang sebenarnya tidak perlu.

Catatan lain, novel ini terlalu kental rasa impor (barat)-nya. Judulnya sendiri, yang memakai bahasa Inggris, sudah menunjukkannya. Begitu juga nama-nama tokoh (Caraveena, Prof. Klain, dan lain-lain) dan nama lokasi cerita (Enigma, Numbus, dan sebagainya). Kalau saja cerita, nama-nama tokoh, dan latar tempat kisahnya dibawa ke situasi local, saya akan memberikan apresiasi lebih tinggi.

Meski demikian, novel ini pantas diterima khalayak pembaca kita, yang selama ini sudah terlampau lama “dicekoki” karya-karya terjemahan yang tidak semuanya berkualitas. (her)

KISAH MENARIK SETELAH KEMATIAN


( Diambil dari kolom HOBI&RESENSI Koran SUARA PEMBARUAN, terbit Minggu, 26 Februari 2012, halaman 12 )

Apakah benar ada kehidupan setelah kematian? Bagaimana nasib seseorang setelah mati? Apa benar ada dunia lain? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menjadi sebuah misteri dalam labirin kehidupan. Tetapi, tema ini menjadi pilihan seorang penulis muda Vinna Kurniawati.

Vinna memang berani memilih ide cerita yang tidak biasa. Ia menjadikan kematian sebagai kisah menarik. Dengan imajinasinya, penulis berusia 26 tahun itu berusaha menuturkan rahasia kematian. Dengan gaya penulisan yang ringan, Vinna memadukan sihir dan reliku kematian.

Novel ini berkisah tentang seorang penyihir muda bernama Caraveena yang hidup di negeri penyihir bernama Merlin. Ia merupakan putri penyihir terpandang. Namun, Caraveena tidak sama seperti penyihir lain yang tinggal di negeri itu. Dia tidak tertarik dengan mantra atau ramuan sihir. Kematian justru menjadi daya tarik yang ingin ditelusurinya.

Ketertarikan itu membuatnya dinilai aneh oleh para penyihir lain, termasuk keluarganya. Keingintahuan Caraveena akan dunia kematian semakin besar ketika pengasuhnya Mira bunuh diri bersama sang kekasih. Caraveena memutuskan mengetahui perjalanan roh setelah mati. Ia menemui Prof. Klain Rostel yang memiliki ketertarikan sama, dunia kematian.

Caraveena menjadi kelinci percobaan professor dengan meminum ramuan rahasia yang mengantarkannya kea lam baka. Nah, disinilah imajinasi Vinna bermain. Ia mengisahkan adanya dunia perantara antara kehidupan dan kematian. Negeri itu bernama Nimbus. Nimbus merupakan negeri di atas awan, tempat arwah berkumpul sebelum menuju negeri kematian, Hades. nimbus dipimpin seorang pemuda bernama Marlon. Keingintahuan Caraveena akan kematian mulai terpenuhi. Perjalanan di Nimbus tersaji dengan penuh kreatif. Cerita cinta mewarnai pertemuan Caraveena dengan Marlon. Namun, Caraveena telah melanggar satu hokum besar. Ia pun harus membayar mahal rasa keingintahuannya.

Novel ini memiliki alur yang menarik. gaya bertutur Vinna sangat ringan dan mudah dicerna. Vinna juga mengajak imajinasi pembaca bermain dalam cerita tentang kematian ini. bagi penyuka fiksi, petualangan, dan sihir, novel ini bisa menjadi salah satu bacaan yang mengasyikan. [SP/Widi Yulianti]

untuk bisa membaca artikel ini secara online, silahkan klik link ini: http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2012/02/26/index.html