(
Diambil dari kolom BUKU PILIHAN Koran TRIBUN JABAR, terbit Minggu, 4 Maret 2012,
halaman 15 )
TIDAK banyak penulis local yang menulis novel bergenre fantasi. Satu dari sedikit nama itu adalah Vinna Kurniawati, seorang penulis muda kelahiran Bengkulu. Melalui novel The Chronicle Of Enigma: The Two Rings ini, Vinna mencoba menembus persaingan dengan berjibunnya novel fantasi terjemahan.
Sebagai karya perdana,
novel ini patut mendapatkan apresiasi yang layak. Imajinasinya mengenai dunia
kematian seakan sulit dibendung. Meskipun alurnya terkesan lambat, kisahnya
menarik untuk terus diikuti. Kata-katanya terpilih dan ungkapan-ungkapannya
menunjukkan Vinna bukan penulis pemula. ( Di sampul belakang memang tertulis
bahwa sebelum menulis novel ini Vinna kerap memublikasikan karyanya di
internet.)
Meskipun temanya
tentang (dunia) kematian, novel ini bukan jenis horor. Tidak ada adegan yang
dibuat untuk dengan sengaja menakut-nakuti pembaca. Selain itu, kisahnya tidak
menyinggung agama apa pun. Novel ini semata-mata kisah yang dituangkan dari
imajinasi.
Alkisah, di sebuah
negeri bernama Merlin, hidup seorang gadis 20 tahun bernama Caraveena. Berbeda dengan
hampir semua penduduk negeri ini yang merupakan penyihir, Caraveena justru
memilih menjadi peramal. Hanya segelintir orang yang memiliki pilihan yang sama
dan satu di antaranya adalah Profesor Klain. Keduanya juga tertarik kepada
penelitian yang sama: dunia kematian.
Caraveena pun
mengajukan diri untuk menjadi kelinci percobaan yang dilakukan sang profesor. Ia
masuk ke dunia kematian dan bertemu dengan Marlon, pemimpin negeri Nimbus,
dunia tempat berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Marlon kemudian
jatuh hati kepada Caraveena dan bersedia membantu si gadis meneliti lebih jauh
negeri Nimbus.
Kedekatan Marlon dan
Caraveena menyulut kemarahan penguasa Hades, negeri tempat dunia kematian. Manusia
yang masih hidup seharusnya tidak boleh mengetahui dunia kematian. Hubungan Marlon
dan Caraveena juga merupakan cinta terlarang. Untuk menjaga cinta mereka, jiwa
mereka pun terancam.
Pemakaian sudut pandang
orang pertama dengan tokoh-tokoh yang berlainan pada bab-bab yang berbeda bisa
menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Nilai lebihnya, pembaca bisa menyelami
dunia dalam para tokohnya. Kekurangannya, alur menjadi lambat, bahkan ada
sejumlah pengulangan yang sebenarnya tidak perlu.
Catatan lain, novel ini
terlalu kental rasa impor (barat)-nya. Judulnya sendiri, yang memakai bahasa Inggris,
sudah menunjukkannya. Begitu juga nama-nama tokoh (Caraveena, Prof. Klain, dan
lain-lain) dan nama lokasi cerita (Enigma, Numbus, dan sebagainya). Kalau saja
cerita, nama-nama tokoh, dan latar tempat kisahnya dibawa ke situasi local, saya
akan memberikan apresiasi lebih tinggi.
Meski demikian, novel
ini pantas diterima khalayak pembaca kita, yang selama ini sudah terlampau lama
“dicekoki” karya-karya terjemahan yang tidak semuanya berkualitas. (her)