It’s a very long story to tell,
let me tell you.
Untuk kesekian kalinya film berdasarkan
novel dibuat lagi. Kali ini film bergenre science fiction action ini dibuat
berdasarkan karya Orson Scott Card dengan judul yang sama. Sebenarnya novel ini
memiliki begitu banyak seri dan pertama kali dipublish sebagai sebuah cerpen
pada tahun 1977 yang akhirnya dijadikan novel pada tahun 1985 dan serinya terus
berlanjut hingga yang terakhir (walau mungkin bukan seri pamungkasnya)
dipublish pada tahun 2008 lalu. Sebagai sutradara, Gavin Hood yang telah
berhasil membawa film Tsotsi berhasil memenangkan Academy Award pada tahun 2005
lalu dan dinilai cukup berhasil menyutradarai X-Men Origins: Wolverine pada
2009 ini juga berperan sebagai penulis sricptnya.
Film ini menceritakan kisah
mengenai seorang anak bungsu bernama Andrew ‘Ender’ Wiggin (Asa Butterfield)
yang direkrut oleh Colonel Hyrum Graff (Harison Ford) untuk masuk ke sebuah
sekolah militer bernama Battle School. Di sana, beberapa anak muda menjalani
pelatihan militer yang keras untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan alien
serangga yang disebut Formics. Col. Graff sendiri sangat mengungguli Ender
sebagai calon pemimpin dan penyelamat dunia yang memiliki kemampuan di atas
rata-rata. Tapi sebagai seorang psikolog dalam sekolah militer tersebut, Major
Gwen Anderson (Viola Davis) mengkhawatirnya perkembangan psikologis Ender yang
cukup terpengaruh dengan sifat keras sang ayah: John Paul Wiggin (Stevie Ray
Dallimore), sang kakak yang psycho: Peter Wiggin (Jimmy Pinchak) dan sangat
menyayangi sang kakak perempuannya yang lemah lembut: Valentine Wiggin (Abigail
Breslin). Tapi Col. Graff tampaknya tidak peduli.
Sebagai anak baru di sekolahnya,
Ender sering mendapat perlakuan buruk dari senior-seniornya, terutama dari
ketua asrama Salamender bernama Bonzo (Moisés Arias). Tapi sifatnya yang tidak
mengenal takut dan kritis juga sering kali membuat orang lain jengkel sekaligus
kagum. Lambat laun, walaupun mendapatkan banyak musuh, Ender juga berhasil
menjalin pertemanan dengan beberapa anak, seperti Petra Arkanian (Hailee
Steinfeld), Bean (Aramis Knight), Dink (Khylin Rhambo), Bernard (Conor Carroll)
dan lainnya. Kariernya di sekolah militer itu pun terus menanjak, berkat
perhatian ekstra yang diberikan Col. Graff dan beberapa pelajaran tambahan,
termasuk melalui permainan mind game yang diberikan Major Anderson. Dalam waktu
singkat, Ender pun mendapat kepercayaan untuk mengetuai asramanya sendiri, Dragon
Army.
Dan akhirnya kesempatan besar
yang dinantikan Ender pun terwujud. Walaupun diawali dengan sebuah insiden yang
menyedihkan, Ender pun dikirim ke pusat Internasional Fleet di sebuah planet
bernama Eros. Di sana dia mendapat seorang mentor baru: Mazer Rackman (Ben
Kingsley). Mazer adalah pahlawan pada infasi Formics terakhir yang terjadi pada
lima puluh tahun yang lalu. Selama ini Mazer dianggap sudah meninggal, tapi
sebenarnya dia membangun sebuah program simulator yang digunakan untuk melatih
para Army seolah-olah berperang dengan alien Formics sungguhan. Pada ‘ujian
terakhir’nya, Ender yang dibantu dengan teman-teman dekatnya yang menjadi
pemimpin skuadronnya berperang dengan alien Formics dan berhasil menghancurkan satu
planet. Dan ternyata, ‘ujian terakhir’nya itu dapat mengubah segalanya.
Menonton film ini seperti
menonton Star Trek, Starship Troppers dan Harry Potter sekaligus. Sejak awal
film, alur ceritanya sangat teratur. Penokohannya juga kuat, setiap tokoh hadir
untuk tujuan yang jelas dan diperankan dengan sangat apik oleh setiap pemain
plus percakapan yang efisien. Settingnya luar biasa dan sangat memanjakan mata.
Tak heran, pihak produser yang juga termasuk sang penulis sendiri, Card, memang
menyediakan dana yang tidak sedikit untuk special effect yang ditangani oleh
perusahaan milik James Cameron: Digital Domain.
Ditambah lagi, kisah ini memiliki
focus yang kuat. Sang sutradara dan sang penulis yang memang bekerja sama
dengan sangat intens saat menulis script telah memberikan patokan yang jelas
seberapa jauh penonton bisa mengetahui seluk beluk cerita tersebut. Hasilnya, penonton
tidak perlu menebak-nebak akan ke mana cerita ini akan berakhir, tapi cukup
menikmatinya saja tanpa perlu banyak bertanya.
Bagi saya pribadi, film ini
memberikan alternative tontonan yang sangat unik dan berkualitas. Tidak seperti
kebanyakan film sci-fic action alien lain yang biasanya sudah sangat kita kenal
pattern ceritanya (invasi alien-manusia bertahan-war-happy ending), tapi Ender’s
Game menyajikan cerita yang sudah diarahkan dengan sangat jelas sejak awal. Alur
sederhana di awal cerita diakhiri dengan ending yang lebih rumit serta di luar
dugaan. Rasanya seperti film ini yang mengarahkan penonton, bukan sebaliknya. Dan
eksekusi film ini memberikan penggambaran yang berbeda terhadap alien yang
selama ini dianggap musuh sehingga dapat dilihat dari sisi yang berbeda dan
lebih masuk akal dan manusiawi.
Bagi yang belum tahu synopsis lengkap
kisah ini pasti banyak calon penonton yang mengira bahwa Ender’s Game adalah
film yang ditujukan bagi anak-anak. Tapi mereka salah. Film ini sendiri
menyandang rating PG-13, yang walaupun cocok ditonton anak-anak, tapi butuh
dampingan dari orang tua atau orang yang dituakan untuk memberikan pengertian
yang jelas mengenai kompleksitas cerita, taktik perang dan beberapa hal lain. Bagi
saya, film ini malah lebih cocok ditonton oleh orang dewasa, di mana taktik
perangnya yang luar biasa, kecerdikan Ender dan sifat negative serta positifnya
serta begitu banyak hal lain begitu menarik untuk diperhatikan. Walaupun,
dengan minimnya adegan aksi perkelahian dan adegan romance yang nyaris nihil,
tidak sedikit kalangan yang akan menyebut film ini membosankan.
Dengan senang hati saya akan
memberikan empat dari lima bintang untuk film petualangan yang satu ini. Dengan
keunikannya saya rasa Ender’s Game berhasil berhasil memberikan ‘rasa’ yang
berbeda dari film-film alien dan luar angkasa pada umumnya dan ini merupakan factor
yang menyenangkan.