Ngintip: SHAKTI DAN BINTANG JATUH

Buku pertama berjudul SHAKTI DAN BINTANG JATUH. Buku ini termasuk ke dalam seri The Chronicle Of Enigma yang saya ciptakan, tapi buku ini tetap bisa dibaca tanpa perlu membaca buku pertama yang sudah saya terbitkan pada tahun 2011 lalu yang berjudul: The Two Rings.

Sudah mulai tertarik? Untuk sementara buku ini hanya bisa dibeli versi e-booknya di link ini: http://gramediana.com/books/detail/14082013112221-the-chronicle-of-enigma-shakti-dan-bintang-jatuh-book-1?locale=en

Atau kamu bisa coba baca dulu halaman pertamanya di sini! enjoy... :)

Chapter 1
Saat ini matahari sudah menggantung manis di atas langit dan memancarkan sinarnya yang terang dan menyengat tanpa malu-malu. Beberapa orang yang sedang bekerja di ladang berhenti hanya untuk menyeka keringat yang mengalir di pelipis sambil melirik tanpa daya ke arah sang surya yang bersinar. Mereka sedikit berharap matahari mau berbaik hati dengan membiarkan segumpal awan berlalu di hadapannya sehingga pancaran sinarnya sedikit terhalang dan para pekerja bisa merasakan sedikit kesejukan, tapi tentu saya keinginan itu tidak mungkin terwujud. Matahari masih bersinar dengan angkuh di singgasananya sehingga tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan kecuali kembali menggerakkan bajak, mencangkul, dan juga menebar benih.
Terdapat seekor kerbau di pinggir salah satu sawah, duduk di dalam kubangan dengan kelelahan setelah selesai membajak. Seekor burung bertengger di punggungnya, mencari kutu di sela-sela bulu kerbau yang kasar. Di sawah yang lain terdapat seorang gadis bertubuh mungil dan berambut pendek yang sedang membungkuk menanam benih padi dengan teratur. Namanya adalah Shakti, gadis berusia delapan belas tahun yang manis. Dia adalah salah satu di antara mereka yang berdiri di tengah ladang seolah menantang matahari. Keringatnya menetes, tengkuknya terasa panas karena terbakar matahari, tapi dia tidak mengeluh. Dia malah melakukan semuanya sambil tersenyum dan bernyanyi di dalam hati, berharap padinya mendengarkan nyanyiannya dan tumbuh subur.
Segenggam benih terakhir sudah ditanam dan tugasnya pun telah selesai. Tapi Shakti tidak pergi meninggalkan sawahnya, dia berjalan ke gubuk di sisi lain sawah dan duduk di sana. Di dalam gubuk terdapat gulungan tali dan sebuah orang-orangan yang dibuat ayahnya untuk menghalau burung-burung agar tidak memakan padi-padi mereka. Orang-orangan itu dibuat dari gulungan jerami yang dipakaikan sebuah baju bekas dan topi ayahnya, yang disambungkan pada seutas tali sehingga bisa digerakkan dari gubuk tanpa perlu berjalan ke tengah sawah untuk membuat burung-burung takut. Shakti menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya, menikmati sedikit angin sepoi-sepoi yang mendadak bertiup melewati gubuk lalu menarik napas panjang dan tersenyum lagi.
“Cuacanya panas, ya.“ katanya kepada Ruben yang berada di sampingnya, sedang duduk sambil mengipas-ngipas dengan tangannya sendiri.
“Iya.” jawab Ruben singkat sambil tersenyum kecil.
“Tapi tidak jadi soal kalau panas terus, yang penting kita bisa panen. Iya, kan?” lanjut Shakti.
“Tentu. Semua orang pasti senang kalau musim panen datang. Apalagi Tuan Koboi.“ Ruben menunjuk orang-orangan di tengah sawah yang mereka beri nama Tuan Koboi karena orang-orangan itu memakai topi koboi yang sudah penuh lubang milik ayah Shakti.  “Selama musim panen, dia bisa beristirahat dulu untuk sementara waktu, cuti dari pekerjaannya menakuti burung-burung sambil bersantai dengan teduh di rumah.“ lanjut Ruben.
Shakti terkikik geli memikirkan Tuan Koboi yang sedang bersantai di rumahnya sambil tidur di atas kasur empuk. Dan saat membayangkan Tuan Koboi meminum segelas jus dingin sambil melenggangkan kaki, Shakti langsung tertawa terbahak-bahak, diikuti Ruben yang seakan mengerti apa yang dibayangkan Shakti.
“Hahaha... Membayangkannya saja membuatku haus. Kau mau minum juga?“ Tanya Shakti sambil menatap Ruben di sampingnya yang masih saja tersenyum lebar.
Tetapi Ruben belum sempat menjawab pertanyaan dari Shakti, karena tiba-tiba seseorang memanggil nama Shakti. Gadis itu menoleh ke asal suara dan menemukan Carmen, kakak perempuannya yang berbadan tinggi dengan rambut panjang yang terikat dengan kencang di belakang kepalanya sedang berjalan menghampiri gubuk di mana Shakti berada.
“Kau mau ke mana? Ibu baru saja memintaku menggantikanmu di sini. Katanya kau bisa pulang, makan siang sudah siap.“ tanya Carmen.
“Aku baru mau mengambil minuman.“ jawab Shakti.
“Tadi kau sedang berbicara dengan siapa?“ Carmen bertanya lagi sambil menengok ke kiri dan ke kanan, berharap menemukan seseorang atau sesuatu yang diajak bicara oleh adiknya tadi, rambut kuncir kudanya bergerak-gerak liar.
“Dengan Ruben.“ Shakti langsung menjawab.
“Ruben?“ tanya Carmen sambil masih melihat sekelilingnya.
“Iya. Tadi Ruben menemaniku di sini.“ jawab Shakti dengan cepat.
Carmen memutar kedua matanya asal saja. Dengan tangan di pinggang dia memandangi adiknya dengan kesal lalu berkata. “Jangan bercanda, itu tidak lucu.“
“Benar kok, aku tidak bercanda.“ lanjut Shakti.
Carmen mendecak lalu menantang Shakti. “Baik, kalau memang begitu, di mana Ruben sekarang? Aku tidak melihatnya di sini.“
Tapi Shakti tidak terpancing untuk memulai pertengkaran. Dengan kesal dia menjawab sambil memukul pelan lengan Carmen. “Sudah, pulang sana, mengganggu saja...“
“Memangnya kenapa?“ tanya Carmen dengan perasaan menang, dia memang tahu adiknya itu tidak akan berani menjawab tantangannya tadi. Tapi setelah melihat wajah Shakti yang semakin cemberut, Carmen berkata lagi dengan lebih ramah. “Sudahlah Shakti, jangan seperti itu lagi, orang lain akan mengira kau sudah gila.“
“Tapi aku tidak gila.“ tegas Shakti.
“Aku tahu, karenanya jangan bersikap seperti itu lagi. Lebih baik sekarang kau pulang saja, aku akan menggantikanmu di sini.“ Carmen membalas.
Akhirnya Shakti berjalan kembali ke rumah sambil menggerutu kesal karena kakaknya telah mengganggu pertemuannya dengan Ruben. Baginya pertemuan dengan Ruben adalah saat-saat berharga yang tidak boleh disia-siakan atau diganggu bahkan oleh kakaknya sekalipun.
Sambil terus menggerutu dia berjalan melewati deretan sawah yang membentang luas sambil sesekali membalas sapaan para penduduk yang menanyakan kenapa raut wajahnya begitu kusut dengan tersenyum dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Lalu Shakti berjalan melewati sederetan ladang jagung yang tinggi menjulang dengan berbonggol-bonggol jagung muda menggantung di tiap batangnya. Semilir angin berhembus lagi, membuat rambut pendek Shakti berkibar pelan. Walaupun tidak terlalu sejuk, angin itu cukup bisa menenangkan Shakti, membuat rasa kesalnya terhadap Carmen tadi sedikit berkurang.
“Kak Shakti!“ sebuah suara anak kecil memanggil nama Shakti dari belakang dan saat Shakti menoleh untuk balas menyapa, dia mendapati seorang gadis kecil berlari-lari ke arahnya dengan wajah senang yang bersemu merah, sebelah tangannya menggenggam selembar kertas.
“Ada apa Liana?“ tanya Shakti saat gadis kecil itu sudah sampai di hadapannya. Liana membungkuk sebentar untuk menarik napas panjang karena kelelahan lalu kembali menatap Shakti dan tersenyum lebar.
“Lihat, aku baru saja mendapat surat dari Kak Leon!“ jawab Liana dengan girang.
“Surat?“ tanggap Shakti dengan sedikit kaget.
“Iya! Kak Leon mengatakan kalau Kakak kangen denganku! Kak Shakti juga dapat surat, kan?“ Liana menjawab, masih dengan raut wajah penuh kebahagian yang sama, membuat Shakti tersentuh dan menjawab.
“Tentu saja.” Shakti menjawab dengan berbohong, tidak ada surat satu pun yang datang dalam satu tahun ini. Tapi Liana tersenyum makin lebar saat mendengar jawabannya.
“Iya, ya! Tentu saja! Sudah ya Kak, aku ingin memperlihatkan surat ini kepada teman-temanku! Dah, Kakak!“
“Dah…“ Shakti membalas lambaian tangan Liana sambil tersenyum lagi, lalu saat sosok Liana sudah menghilang di belokan, Shakti menurunkan lengannya. Perasaan Shakti makin kesal karena mengingat sosok Leon, Kakak laki-laki Liana. Shakti berusaha untuk tenang dan melanjutkan perjalanannya dengan perasaan yang lebih merana dari pada sebelumnya.
*          *          *