Sudah mulai tertarik? Untuk sementara buku ini hanya bisa dibeli versi e-booknya di link ini: http://gramediana.com/books/detail/14082013112221-the-chronicle-of-enigma-shakti-dan-bintang-jatuh-book-1?locale=en
Atau kamu bisa coba baca dulu halaman pertamanya di sini! enjoy... :)
Chapter 1
Saat ini matahari sudah menggantung manis di atas langit dan memancarkan
sinarnya yang terang dan menyengat tanpa malu-malu. Beberapa orang yang sedang
bekerja di ladang berhenti hanya untuk menyeka keringat yang mengalir di
pelipis sambil melirik tanpa daya ke arah sang surya yang bersinar. Mereka
sedikit berharap matahari mau berbaik hati dengan membiarkan segumpal awan
berlalu di hadapannya sehingga pancaran sinarnya sedikit terhalang dan para
pekerja bisa merasakan sedikit kesejukan, tapi tentu saya keinginan itu tidak
mungkin terwujud. Matahari masih bersinar dengan angkuh di singgasananya
sehingga tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan kecuali kembali menggerakkan
bajak, mencangkul, dan juga menebar benih.
Terdapat seekor kerbau di pinggir salah satu sawah, duduk di dalam kubangan
dengan kelelahan setelah selesai membajak. Seekor burung bertengger di
punggungnya, mencari kutu di sela-sela bulu kerbau yang kasar. Di sawah yang
lain terdapat seorang gadis bertubuh mungil dan berambut pendek yang sedang membungkuk
menanam benih padi dengan teratur. Namanya adalah Shakti, gadis berusia delapan
belas tahun yang manis. Dia adalah salah satu di antara mereka yang berdiri di
tengah ladang seolah menantang matahari. Keringatnya menetes, tengkuknya terasa
panas karena terbakar matahari, tapi dia tidak mengeluh. Dia malah melakukan
semuanya sambil tersenyum dan bernyanyi di dalam hati, berharap padinya
mendengarkan nyanyiannya dan tumbuh subur.
Segenggam benih terakhir sudah ditanam dan tugasnya pun telah selesai. Tapi
Shakti tidak pergi meninggalkan sawahnya, dia berjalan ke gubuk di sisi lain
sawah dan duduk di sana. Di dalam gubuk terdapat gulungan tali dan sebuah
orang-orangan yang dibuat ayahnya untuk menghalau burung-burung agar tidak
memakan padi-padi mereka. Orang-orangan itu dibuat dari gulungan jerami yang
dipakaikan sebuah baju bekas dan topi ayahnya, yang disambungkan pada seutas
tali sehingga bisa digerakkan dari gubuk tanpa perlu berjalan ke tengah sawah
untuk membuat burung-burung takut. Shakti menyeka keringat di kening dengan
punggung tangannya, menikmati sedikit angin sepoi-sepoi yang mendadak bertiup
melewati gubuk lalu menarik napas panjang dan tersenyum lagi.
“Cuacanya panas, ya.“ katanya kepada Ruben yang berada di sampingnya,
sedang duduk sambil mengipas-ngipas dengan tangannya sendiri.
“Iya.” jawab Ruben singkat sambil tersenyum kecil.
“Tapi tidak jadi soal kalau panas terus, yang penting kita bisa panen. Iya,
kan?” lanjut Shakti.
“Tentu. Semua orang pasti senang kalau musim panen datang. Apalagi Tuan
Koboi.“ Ruben menunjuk orang-orangan di tengah sawah yang mereka beri nama Tuan
Koboi karena orang-orangan itu memakai topi koboi yang sudah penuh lubang milik
ayah Shakti. “Selama musim panen, dia
bisa beristirahat dulu untuk sementara waktu, cuti dari pekerjaannya menakuti
burung-burung sambil bersantai dengan teduh di rumah.“ lanjut Ruben.
Shakti terkikik geli memikirkan Tuan Koboi yang sedang bersantai di
rumahnya sambil tidur di atas kasur empuk. Dan saat membayangkan Tuan Koboi
meminum segelas jus dingin sambil melenggangkan kaki, Shakti langsung tertawa
terbahak-bahak, diikuti Ruben yang seakan mengerti apa yang dibayangkan Shakti.
“Hahaha... Membayangkannya saja membuatku haus. Kau mau minum juga?“ Tanya
Shakti sambil menatap Ruben di sampingnya yang masih saja tersenyum lebar.
Tetapi Ruben belum sempat menjawab pertanyaan dari Shakti, karena tiba-tiba
seseorang memanggil nama Shakti. Gadis itu menoleh ke asal suara dan menemukan
Carmen, kakak perempuannya yang berbadan tinggi dengan rambut panjang yang
terikat dengan kencang di belakang kepalanya sedang berjalan menghampiri gubuk
di mana Shakti berada.
“Kau mau ke mana? Ibu baru saja memintaku menggantikanmu di sini. Katanya
kau bisa pulang, makan siang sudah siap.“ tanya Carmen.
“Aku baru mau mengambil minuman.“ jawab Shakti.
“Tadi kau sedang berbicara dengan siapa?“ Carmen bertanya lagi sambil
menengok ke kiri dan ke kanan, berharap menemukan seseorang atau sesuatu yang diajak
bicara oleh adiknya tadi, rambut kuncir kudanya bergerak-gerak liar.
“Dengan Ruben.“ Shakti langsung menjawab.
“Ruben?“ tanya Carmen sambil masih melihat sekelilingnya.
“Iya. Tadi Ruben menemaniku di sini.“ jawab Shakti dengan cepat.
Carmen memutar kedua matanya asal saja. Dengan tangan di pinggang dia
memandangi adiknya dengan kesal lalu berkata. “Jangan bercanda, itu tidak
lucu.“
“Benar kok, aku tidak bercanda.“ lanjut Shakti.
Carmen mendecak lalu menantang Shakti. “Baik, kalau memang begitu, di mana Ruben
sekarang? Aku tidak melihatnya di sini.“
Tapi Shakti tidak terpancing untuk memulai pertengkaran. Dengan kesal dia
menjawab sambil memukul pelan lengan Carmen. “Sudah, pulang sana, mengganggu
saja...“
“Memangnya kenapa?“ tanya Carmen dengan perasaan menang, dia memang tahu
adiknya itu tidak akan berani menjawab tantangannya tadi. Tapi setelah melihat
wajah Shakti yang semakin cemberut, Carmen berkata lagi dengan lebih ramah.
“Sudahlah Shakti, jangan seperti itu lagi, orang lain akan mengira kau sudah
gila.“
“Tapi aku tidak gila.“ tegas Shakti.
“Aku tahu, karenanya jangan bersikap seperti itu lagi. Lebih baik sekarang
kau pulang saja, aku akan menggantikanmu di sini.“ Carmen membalas.
Akhirnya Shakti berjalan kembali ke rumah sambil menggerutu kesal karena
kakaknya telah mengganggu pertemuannya dengan Ruben. Baginya pertemuan dengan
Ruben adalah saat-saat berharga yang tidak boleh disia-siakan atau diganggu
bahkan oleh kakaknya sekalipun.
Sambil terus menggerutu dia berjalan melewati deretan sawah yang membentang
luas sambil sesekali membalas sapaan para penduduk yang menanyakan kenapa raut
wajahnya begitu kusut dengan tersenyum dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
Lalu Shakti berjalan melewati sederetan ladang jagung yang tinggi menjulang
dengan berbonggol-bonggol jagung muda menggantung di tiap batangnya. Semilir
angin berhembus lagi, membuat rambut pendek Shakti berkibar pelan. Walaupun
tidak terlalu sejuk, angin itu cukup bisa menenangkan Shakti, membuat rasa
kesalnya terhadap Carmen tadi sedikit berkurang.
“Kak Shakti!“ sebuah suara anak kecil memanggil nama Shakti dari belakang
dan saat Shakti menoleh untuk balas menyapa, dia mendapati seorang gadis kecil
berlari-lari ke arahnya dengan wajah senang yang bersemu merah, sebelah
tangannya menggenggam selembar kertas.
“Ada apa Liana?“ tanya Shakti saat gadis kecil itu sudah sampai di
hadapannya. Liana membungkuk sebentar untuk menarik napas panjang karena
kelelahan lalu kembali menatap Shakti dan tersenyum lebar.
“Lihat, aku baru saja mendapat surat dari Kak Leon!“ jawab Liana dengan
girang.
“Surat?“ tanggap Shakti dengan sedikit kaget.
“Iya! Kak Leon mengatakan kalau Kakak kangen denganku! Kak Shakti juga
dapat surat, kan?“ Liana menjawab, masih dengan raut wajah penuh kebahagian
yang sama, membuat Shakti tersentuh dan menjawab.
“Tentu saja.” Shakti menjawab dengan berbohong, tidak ada surat satu pun
yang datang dalam satu tahun ini. Tapi Liana tersenyum makin lebar saat
mendengar jawabannya.
“Iya, ya! Tentu saja! Sudah ya Kak, aku ingin memperlihatkan surat ini kepada
teman-temanku! Dah, Kakak!“
“Dah…“ Shakti membalas lambaian tangan Liana sambil tersenyum lagi, lalu
saat sosok Liana sudah menghilang di belokan, Shakti menurunkan lengannya.
Perasaan Shakti makin kesal karena mengingat sosok Leon, Kakak laki-laki Liana.
Shakti berusaha untuk tenang dan melanjutkan perjalanannya dengan perasaan yang
lebih merana dari pada sebelumnya.
* * *