Sudah mulai tertarik? Untuk sementara buku ini hanya bisa dibeli versi e-booknya di link ini: http://gramediana.com/books/detail/14082013173510-the-chronicle-of-enigma-shakti-awal-petualangan-book-2?locale=en
Atau kamu bisa coba baca dulu halaman pertamanya di sini! enjoy... :)
Chapter 1
Bintang Jatuh
Matahari sore sudah dijelang lagi, cahayanya yang jingga sekali lagi
menyiratkan lelahnya sang mentari setelah melakukan tugasnya seharian. Shakti
duduk di atas pohon untuk memandang sang mentari itu. Nyaris sepanjang hari dia duduk di sana tanpa ingin beranjak, air matanya berulang kali
mengalir lalu berhenti dan mengalir lagi tanpa bisa dicegah. Entah kenapa, di
dalam otaknya masih terus teringat satu kata yang selalu diputar ulang tanpa
henti: Ruben tewas, Ruben tewas. Dan tanpa bisa disangkal, kata-kata inilah
yang membuat air mata Shakti tidak bisa berhenti mengalir.
Dia juga tahu kalau petualangan yang dilewati bersama teman-temannya sudah
berakhir, tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu kepada mereka. Mengatakan hal itu seolah
hanya akan
membuatnya bertambah sedih dan mengesahkan kematian Ruben sebagai sesuatu yang
benar-benar terjadi. Dia tidak ingin petualangannya berakhir seperti ini, dia
tidak ingin mengecewakan teman-temannya dan terutama, dia tidak ingin
mengecewakan dirinya sendiri.
Tom, Cognito dan Maxy berada di pinggir hutan yang lain, berkemah ditemani
Leon yang sesekali datang menemui mereka. Mereka tidak peduli petualangan mereka sudah berakhir atau belum tapi mereka tidak bisa meninggalkan Shakti dalam keadaan
seperti itu. Lagipula mereka tidak memiliki alasan dan tujuan untuk pergi. Bagi
Tom, tidak ada lagi keluarga yang tersisa untuknya karena kelompok Gypsy Group
sudah dibantai habis oleh orang-orang Path. Hanya Shakti yang sekarang sangat
dikenalnya dan patut dia sebut sebagai sahabatnya.
Sedangkan bagi Maxy, Shakti adalah sahabat dan adiknya. Selama ini dia
terkurung di dasar Titan Valley selama bertahun-tahun tanpa ada satu orang pun yang mengetahui
keberadaannya, tapi semenjak Shakti menawarinya untuk ikut pergi dan meninggalkan Titan Valley, Maxy sudah meyakinkan
diri bahwa Shakti-lah saudara perempuan yang akan dilindunginya seumur hidup.
Sementara bagi Cognito, tidak ada alasan untuk menghentikan petualangannya
hanya sampai di sini. Dia sudah begitu
bersemangat saat pertama kali mengetahui bahwa akhirnya dia bisa berpetualang
dan mewujudkan mimpinya selama ini, sehingga membohongi seluruh penduduk
Orinoko dan Ayahnya pun setuju dilakukannya tanpa banyak pertimbangan.
Petualangannya baru saja dimulai, dia tidak rela mengakhiri petualangannya
sesingkat ini.
Jadi ketiganya memutuskan untuk tetap bertahan di tempat, seakan tidak rela kalau semuanya berakhir sebegini
buruk dan menunggu Shakti memutuskan sesuatu, walaupun Shakti kelihatannya
tidak ingin memutuskan apa-apa.
Sesekali di antara Tom, Cognito, Maxy
atau Leon datang menghampiri Shakti untuk menanyakan kabar dan memberinya
makanan. Walaupun Shakti tetap tidak menunjukkan keinginan untuk menghentikan
tindakannya yang aneh itu, teman-temannya tetap sabar menghadapinya dan rela
bulak-balik membujuk Shakti. Bukan membujuknya untuk turun dari atas pohon dan
kembali berpijak di atas tanah seperti manusia normal lainnya, mereka tahu usaha itu tidak akan berhasil, tapi mereka berusaha
sekuat tenaga agar Shakti bisa menerima kenyataan yang ada dengan hati yang
lebih lapang dan sabar.
Ruben sudah tewas, tidak peduli Shakti mau mempercayainya atau tidak. Kenyataannya seorang saksi mengatakan kalau dia melihat dengan
mata kepalanya sendiri saat sebuah pedang menebas punggung Ruben dan
membunuhnya.
Tapi kelihatannya Shakti masih sulit untuk diyakinkan. Entahlah. Di dalam
diri Shakti, sebagian dirinya yang kecil dan
biasanya terletak di dasar hatinya, yakin kalau Ruben_entah
bagaimana_belum meninggal. Dia yakin Ruben masih bernapas dan menunggu Shakti
menjemputnya. Tetapi sebagian dirinya yang lain, yang lebih besar ukurannya
dari pada bagian diri Shakti yang berada di dasar hatinya tadi, mempercayai fakta
itu tapi tidak tahu bagaimana cara untuk meyakinkan dirinya sendiri. Ini yang
membuatnya begitu sulit memutuskan hal apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Dia sadar, teman-temannya sedang menunggu keputusannya, tapi Shakti tidak bisa memutuskan, dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
Jadi, itulah alasan yang dapat menjelaskan kenapa sampai saat ini Shakti
masih bertahan duduk di atas dahan pohon itu selama beberapa waktu seperti seorang pertapa.
“Kau, makan?“
Saat ini Maxy ada di bawah pohon dan sedang menyodorkan sebuah daun besar
yang sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai piring. Di dalamnya berisi kentang panggang
dan paha ayam bakar yang mengeluarkan wangi yang membuat Shakti tersadar kalau
dia memang merasa lapar. Shakti mengambil piring daun itu dari tangan Maxy
tanpa perlu menunduk karena tinggi badan Maxy nyaris sama dengan tinggi dahan
itu, lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Maxy dengan pelan.
“‘gimana keadaanmu?“ tanya Maxy lagi yang
sekarang sudah bersandar di pinggir pohon tempat Shakti duduk. Shakti berhenti menguyah untuk
memikirkan jawabannya, lalu berkata dengan lemah sambil sedikit menyesal karena harus menjawab seperti ini.
“Aku tidak tahu, Maxy.“
“Baik, kan?“ tanya Maxy lagi, ketiga matanya memandang Shakti dengan penuh harap dan khawatir.
“Baik, kurasa. Entahlah.“
Maxy menunduk dengan sedih lalu berjalan menjauhi Shakti dengan langkah
berat sambil menyeret kakinya yang besar. Maxy kelihatan sangat kecewa dan
Shakti tidak menyalahkannya. Dia tahu bukan jawaban seperti itu yang ingin Maxy
dengar darinya, tapi Shakti tidak ingin
berbohong kepada sahabat-sahabatnya dengan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa
padahal rasanya dia ingin mati. Sehingga akhirnya Shakti memutuskan untuk
kembali duduk termenung sambil menghabiskan makanannya yang ternyata tidak
terasa enak seperti dugaan sebelumnya.
Shakti memandang jauh ke depan dan terkejut
melihat desa
Oz yang ditinggalkannya di balik bukit. Buru-buru dia turun dari atas dahan
pohon dan berlari ke sana. Benar, itu desa Oz
yang dirindukannya. Ada hamparan sawah yang sudah mulai menguning dan Tuan
Koboi sedang berlarian riang di sekeliling sawah untuk mengusir burung pemakan
biji yang suka merusak padi. Ada juga rumah kecilnya, lengkap dengan gorden
putih yang tertiup angin dengan Ayah, Ibu dan Carmen sedang melambai dan tertawa riang kepada Shakti. Juga ada bukit kecil di belakang rumah, dan bukit
berpuncak pohon, tempat favoritnya dan Ruben.
Di bukit itu, tepat di samping pohon yang besar, berdirilah Ruben. Tingginya
masih sama dengan terakhir kali Shakti bertemu dengannya. Rambutnya juga masih
terpotong rapi dan dia mengenakan pakaian yang tak kalah rapinya. Langsung saja
Shakti berlari semakin kencang ke
arah Ruben,
merasa senang sekali akhirnya bisa melihat Ruben lagi dan bertekad ingin
langsung memeluk Ruben begitu dia sampai di depannya. Tapi begitu sampai di
tempat Ruben berada, Shakti malah menemukan pohon yang kering dan hampir roboh
dengan daun-daunnya yang berguguran tanpa arti. Ruben masih berdiri di samping
pohon itu, tapi wajahnya tanpa ekspresi, rambutnya berantakan dan darah segar
mengaliri punggungnya sehingga menggenangi kakinya seperti kubungan lumpur
berwarna merah darah.
Shakti menjerit kaget dan ketakutan sedangkan Ruben tampak tidak terganggu
dengan suara apa pun. Masih dengan wajah tanpa ekspresi, Ruben berjalan
mendekati Shakti, mengulurkan tangan kanannya yang juga dipenuhi darah yang
kental dan berkata dengan suara terbata-bata, khas suara orang yang menahan
sakit.
“Shak...ti...“
“AH!!!“
Shakti berteriak sekuat tenaganya sambil menutup telinga dengan kedua
belah tangannya karena ngeri, tidak percaya dan takut sekaligus. Tapi tiba-tiba
Shakti membuka matanya dan langsung meraih kedua cincin kembar bermahkota
matahari yang tergantung di lehernya dengan sebuah tali hitam. Kedua cincin itu terasa
panas, padahal semilir angin malam yang cukup kencang dan dingin sekarang sudah
berhembus. Shakti melepaskan genggamannya lalu ganti meraba jantungnya.
Debarannya sangat cepat, lebih cepat dari pada biasanya. Lalu Shakti mengusap
keringat di kening dan lehernya dengan punggung tangan dan mencoba menarik
napas panjang untuk sedikit meredakan debaran jantungnya tadi. Dia sadar kalau
tadi itu hanyalah mimpi, mimpi yang benar-benar buruk.
Sekali lagi Shakti menarik napas panjang sambil menengadahkan kepala,
berusaha menarik oksigen sebanyak paru-parunya muat menampung sambil memejamkan
mata. Lalu saat membuka matanya lagi dengan kepala yang tetap menengadah memandang langit malam yang cerah berbintang, Shakti menemukan
bintang jatuh lagi!
Bintang itu hampir sama dengan bintang yang dilihatnya bersama Ruben
beberapa waktu yang lalu, yang akhirnya
menuntunnya melakukan perjalanan. Bintang itu masih sama cemerlangnya, masih
sama berkerlap-kerlip genit seperti dulu. Shakti buru-buru mengurungkan niatnya
untuk menarik napas dalam-dalam lagi dan ganti memperhatikan bintang itu dengan
saksama. Entah bagaimana, Shakti yakin sekali kalau itu
adalah bintang yang sama, dan kejadian selanjutnya semakin mengukuhkan
pendapatnya. Bintang itu jatuh! Lagi, untuk kedua kalinya! Dengan pikiran yang
penuh dengan ketidak percayaan, kekagetan dan panik, Shakti buru-buru turun
dari dahan pohon yang sudah didudukinya selama beberapa lama dan berlari
mengikuti jatuhnya bintang itu.
Tidak peduli kakinya terasa kram atau apa pun, Shakti terus berlari
mengikuti arah bintang jatuh itu, kali ini benar-benar bertekad tidak ingin
kehilangan lagi. Dia memasuki hutan lagi sambil tetap mengawasi pergerakan
bintang itu di sela-sela puncak pohon
yang tidak terlalu rindang, lalu melewati pinggir hutan di mana Tom dan yang lainnya berkemah. Mereka sedang terlelap
saat Shakti lewat. Tom dan Cognito duduk bersebelahan di samping pohon, Maxy
tertidur dalam keadaan duduk di pinggir pohon yang lain, sedangkan Leon
tertidur di pinggir semak dengan pedang yang biasanya selalu disampirkan di
ikat pinggangnya tergeletak tak jauh dari kakinya.
Shakti melewati mereka tanpa memperhatikan jalur yang dilewatinya karena
otaknya hanya dipenuhi dengan kenyataan bahwa dia menemukan bintang jatuh itu
lagi. Karena terburu-buru dia tidak
sengaja menyenggol pedang Leon saat berlari dan mengakibatkan pedang itu
berguling dengan suara berisik. Seketika itu juga Leon, Tom, Cognito dan Maxy terbangun
dengan kaget, Maxy malah terbangun sambil sedikit melengking. Tom langsung
tersadar dari kekagetannya dan melihat Shakti berlari. Dia berteriak memanggil Shakti.
“Shakti, ada apa?“
“Kau mau pergi ke mana?“ tanya Cognito dengan sedikit berteriak karena Shakti sudah
berlari semakin menjauh.
“Aku menemukan bintang jatuhku lagi! Dia belum jatuh!“ Shakti menjawab
tanpa memperlambat atau menghentikan langkahnya.
“Apa?“ tanya Leon, tidak percaya. Tapi
dia tidak menunggu penjelasan lebih lanjut dari Shakti. Sama seperti yang lain,
dia malah buru-buru mengikuti Shakti berlari mengejar bintang jatuh itu juga.
Mereka berlari dengan terengah-engah, sesekali menengadah ke atas untuk
melihat ke arah mana bintang jatuh itu bergerak. Ternyata bintang jatuh itu
bergerak ke sudut hutan yang lain di mana
hutan semakin melebar dan pohon-pohon semakin rindang sehingga semakin sulit
melihat bintang jatuh itu bergerak. Tapi Shakti tidak peduli ke arah mana
bintang jatuh itu bergerak, dia hanya ingin terus mengikuti bintang jatuh itu
sampai jalannya terhenti karena ternyata hutan itu berakhir di ujung tebing.
Mereka berhenti di tebing itu, napas mereka masih terengah-engah tapi
kepala mereka masih tetap memandang bintang jatuh itu
bergerak terus ke seberang di mana pohon-pohon hitam
terbentang luas. Mereka tidak bisa mengejar bintang jatuh itu lagi karena tebing itu begitu
tinggi dan curam dan pada dasarnya mengalir sungai luas yang cukup dalam. Shakti hanya bisa memandangi bintang jatuh itu
dengan pilu, hatinya begitu sedih karena
berhasil menemukan bintang jatuh itu lagi tapi ternyata tidak bisa mengejarnya
sampai dapat.
Tapi tiba-tiba bintang itu benar-benar jatuh di ujung sana sambil
mengeluarkan cahaya yang terang lalu tanah yang Shakti injak terasa bergetar
dan dua cincin kembar Shakti terasa panas lagi, bahkan kali ini terasa jauh lebih panas dari pada sebelumnya. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, seolah-olah hanya dalam
satu kali kedipan mata, lalu keadaan kembali normal. Dan saat itu Shakti langsung
tersadar dan menjadi begitu yakin bintang jatuh itu kali ini benar-benar jatuh
dan sekarang dia harus mengambil bintang jatuh itu secepatnya.
Shakti berbalik menghadapi teman-temannya. Sinar bulan yang cukup terang
memberi keluasaan bagi Shakti untuk bisa melihat wajah
teman-temannya dengan jelas. Maxy sedang mengatur napasnya karena tiba-tiba
diajak berlari ketika baru saja tersentak bangun. Ketiga matanya menutup
kelelahan dan kedua tangannya yang besar memegangi kedua lututnya yang hitam
legam sehingga kedua tanduk besarnya kelihatan seperti ingin menusuk Shakti.
Cognito duduk di tanah dengan kedua kaki pendeknya terjulur. Wajahnya juga kelelahan, napasnya juga terengah-engah
dan kedua tangannya dibiarkan menopang badannya menyandar. Sedangkan Leon yang juga terengah-engah, tapi tidak
terlalu kelihatan kepayahan jika dibandingkan
yang lain, hanya berdiri dengan pedang yang
tidak sengaja Shakti senggol sehingga membangunkan teman-temannya tadi
tertancap di tanah seperti kaki ketiga Leon. Sedari tadi Leon terus
memperhatikan Shakti dengan khawatir.
Dan Tom berdiri paling belakang, berkacak pinggang dan memandangi langit yang kosong dan tempat hilangnya bintang jatuh
tadi bergantian. Kedua tangannya ditopang di pinggang sehingga kelihatannya sedang menantang orang. Shakti
memandangi teman-temannya satu per
satu, lalu mengatakan sesuatu dengan cepat dan diusahakannya sejelas mungkin.
“Teman-teman, ternyata bintang jatuh itu belum benar-benar jatuh dan
sekarang aku akan mengambilnya.“
“Belum benar-benar jatuh?“ tanya Cognito, bingung.
“‘tak mungkin.“ gerutu Maxy.
“Bagaimana kau bisa yakin tentang itu?“ tanya Tom juga.
“Karena aku melihatnya lagi malam ini. Kalian melihatnya juga, kan? Karena
itulah, sekarang aku akan mengejarnya lagi, kali ini aku tidak akan kehilangan
jejak lagi karena bintang jatuh itu sudah benar-benar jatuh sekarang.“ Shakti
menjelaskan dengan lebih menggebu-gebu dari pada yang diinginkannya.
“Bagaimana kau bisa yakin kalau kali ini bintang itu benar-benar jatuh?“
Leon juga bertanya.
“Ya ampun, bukankah sudah jelas? Kalian sendiri juga melihat kalau bintang
itu jatuh lagi, dan dia terbanting di ujung sana. Bintang itu bahkan
mengeluarkan cahaya dan menimbulkan gempa! Apa kalian tidak merasakannya juga?“
Shakti menjelaskan dengan tidak sabar, menunjuk tempat jatuhnya bintang tadi
lalu memandang teman-temannya untuk
melihat tanda-tanda kalau mereka mengerti.
Tapi teman-temannya tidak menunjukkan tanda apa-apa, mereka malah
hanya memandangi Shakti dengan tercengang.
“Kalian melihat dan merasakannya juga, kan? Kilatan cahaya dan gempa tadi?“
tanya Shakti sekali lagi, kali ini dengan lebih pelan. Teman-temannya hanya diam, hanya Maxy yang menggeleng pelan.
“Kami hanya melihat bintang jatuh itu memudar dan hilang di arah yang kau
tunjuk tadi. Tapi tidak ada cahaya atau gempa seperti yang kau katakan itu.“
Tom menjelaskan sehingga membuat Shakti terdiam.
Kenapa bisa begitu? Tanya Shakti dalam hati.
Bagaimana dia bisa melihat cahaya dan merasakan gempa kecil tadi sementara
teman-temannya tidak? Memang kejadiannya begitu cepat, tapi jelas-jelas terasa
nyata, bukan khayalan Shakti. Masih dengan bingung dan tidak percaya, tidak peduli
lagi teman-temannya mempercayainya atau tidak dan akan mendukungnya atau tidak,
Shakti berkata lagi.
“Aku sudah memutuskan, akan mengejar bintang
jatuhku lagi. Aku yakin
kali ini aku akan bisa aku mendapatkannya. Dengan
atau tanpa bantuan kalian, aku akan tetap pergi.“
“Tidak mungkin.“ Leon yang pertama kali bisa bereaksi dibandingkan
teman-temannya yang lain setelah Shakti mengatakan keinginannya. “Kau tidak bisa
mengejar bintang jatuh itu.“
“Kenapa tidak?“ tantang Shakti.
“Karena aku tidak yakin kalau kali ini kau benar-benar bisa mendapatkan
bintang jatuh itu.“ Tom menjawab dengan terburu-buru, berusaha meyakinkan
Shakti secepatnya, sebelum Shakti benar-benar menjalankan keputusannya itu.
“Kenapa? Aku jelas-jelas melihat bintang itu benar-benar jatuh. Bahkan aku
melihat kilatan cahaya dan gempanya!“
“Tapi aku tidak melihat cahaya
atau merasakan gempa apa pun.“ Cognito menimpali.
“‘ku juga tidak.“ Maxy berkomentar juga.
Semua ini malah membuat Shakti bertambah frustasi dan kesal. Saat ini dia
sedang sangat ingin melanjutkan perjalanannya dan sangat yakin kalau kali ini
dia akan menemukan bintang jatuh yang sudah
benar-benar
jatuh itu. Dengan kata lain, Ruben masih
bisa ditemukan. Tidak tahu alasan apa yang
mempengaruhinya berpikir seperti itu, tapi dia yakin itu.
Karena itu yang diinginkannya sekarang hanya satu: mengejar bintang jatuh.
“Baiklah, aku juga tidak tahu kenapa kalian tidak bisa melihat cahaya atau
merasakan gempa itu, tapi sekarang aku sangat yakin kalau aku akan menemukan
bintang itu! Tidak peduli kalian percaya atau tidak, kalian akan menemaniku
atau tidak, tapi aku akan tetap mencarinya.“
Sekarang keyakinan Shakti sudah begitu memuncak, bercampur dengan rasa
kesal kepada teman-temannya karena mereka tidak mempercayainya. Kenapa
teman-temannya malah meragukan keputusannya padahal sebelumnya mereka menunggu
Shakti memutuskan sesuatu? Dia memandang keempat
teman-temannya, masih tidak mengerti kenapa kali ini mereka meragukannya, lalu
menyentak marah dan melangkah dengan geram.
Leon buru-buru menahan langkah Shakti.
“Tunggu Shakti, kau tidak bisa pergi begitu saja!“
“Ada apa lagi?“ Shakti bertanya sengit.
“Kau tidak bisa pergi sendirian—“ Shakti kembali memutar matanya dengan
kesal dan bersiap-siap melanjutkan langkahnya, tapi Leon buru-buru menahannya
lagi. “–paling tidak, biarkan kami bersiap-siap menemanimu. Lagipula, kau tidak
bisa pergi mengejar bintang jatuh itu tanpa bekal apa-apa, bintang jatuh itu
berada di Blackside!“
Kata-kata Leon ini akhirnya mampu menghentikan keinginan Shakti yang
memang diputuskan dengan tergesa-gesa. Dia diam di tempatnya berdiri, kembali memandang
teman-temannya yang anehnya saat ini kelihatan lebih menyetujui apa yang
dikatakan Leon tadi.
Sekarang Shakti kembali memandang Leon, tanpa bisa
mengatakan apa-apa seolah lidahnya mendadak beku, pandangan matanya mengisyaratkan Leon agar melanjutkan perkataannya
dan menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksudnya tadi. Leon mengerti arti pandangan mata Shakti itu, dengan tekad yang diusahakan sekuat
mungkin, Leon menjelaskan lagi kepada Shakti.
“Shakti, aku yakin kau pun tahu kalau Blackside
sekarang dalam keadaan yang sangat tidak stabil. Banyak hal aneh terjadi di sana, membuat keadaan di sekitarnya menjadi begitu
berbahaya. Kau tidak bisa pergi ke sana, paling tidak kau harus mempersiapkan
dirimu dengan lebih baik lagi.“ kening Shakti berkerut, tanda kalau dia tidak mengerti dengan jelas apa yang Leon
maksudkan.
“Kau harus belajar bertarung dan mempertahankan diri, Shakti.“ lanjut Leon. Shakti terdiam, mencoba mencari celah yang
mengatakan kalau Leon sudah salah berbicara dengan melihat tampang ketiga sahabatnya
yang lain, tapi bahkan mereka bertiga kelihatan setuju.
“Shakti, kami sudah membicarakan ini sebelumnya.“ sekarang Tom yang mencoba menjelaskan. Dia melangkah maju
melewati Cognito dan Maxy dan sampai di depan Shakti, lalu melanjutkan. “Terlepas
dari kenyataan bahwa kita akan melanjutkan petualangan kita mencari bintang
jatuh ini atau tidak, kami memutuskan kalau kau, Shakti, harus bisa bertarung
untuk mempertahankan diri. Itu akan sangat berguna untukmu, percayalah.“
“Dan kami akan membantumu. Kami akan mengajarimu bagaimana caranya
berkelahi.“ kali ini Cognito yang menjelaskan,
tapi bukannya membuat Shakti menjadi lebih mengerti, penjelasan ini malah
membuat Shakti bertambah bingung. Dia menatap Maxy untuk meyakinkan kalau
teman-temannya tidak melantur, tapi malah mendapati Maxy mengangguk, artinya
dia juga mendukung perkataan teman-temannya yang lain.
Tapi, bagaimana mungkin mereka berpikir bisa mengajari Shakti berkelahi?
Memang selama ini dia tidak tahu bagaimana cara mempertahankan diri atau
berkelahi karena sedari kecil kedua orang tuanya tidak pernah berpikir kalau
putri kecil mereka suatu saat nanti akan melakukan petualangan. Dan jujur saja,
sebenarnya hal itu tidak pernah dipertimbangkan Shakti sebelumnya.
Pada saat Shakti memutuskan untuk berpetualang, dia tidak pernah berpikir kalau dia membutuhkan keahlian membela diri. Mungkin karena pikiran polosnya berhasil meyakinkannya
bahwa tidak akan ada yang berniat melukainya. Tapi tentu saja pemikiran ini
terbukti salah. Petualangannya tetap saja membawanya melewati daerah berbahaya yang dipenuhi orang-orang jahat yang tidak peduli
apa dia bisa berkelahi atau tidak.
Untunglah Shakti memiliki teman-teman
seperjalanan yang lebih pintar dan lebih siap daripada dirinya sehingga urusan
tidak bisa mempertahankan diri itu bisa diatasi di bawah perlindungan teman-temannya.
Tapi kali ini teman-temannya mengatakan kalau dia harus bisa berkelahi dan
mempertahankan dirinya sendiri, apa ini berarti teman-temannya benar-benar
tidak ingin menemaninya menuntaskan petualangan ini? Apa mereka pikir
petualangan mereka hanya sampai di sini?
“Apa kalian bermaksud... kalian benar-benar tidak ingin melanjutkan ini?
Kalian tidak percaya kalau kali ini bintang itu benar-benar jatuh?“ tanya Shakti sambil memandangi wajah
teman-temannya satu per satu.
“‘kan begitu.“ sangkal Maxy buru-buru.
“Kalau kami tidak mempercayaimu, kami tidak akan ikut berpetualang
bersamamu sampai sejauh ini.“ kata Tom, juga dengan
terburu-buru. Lalu dia menghela napas sebentar dan melanjutkan kata-katanya
dengan lebih lemah.
“Tapi... kami tidak tahu sampai kapan bisa selalu melindungimu. Apalagi
kalau petualangan ini benar-benar akan dilanjutkan. Kita akan memasuki
Blackside, daerah yang jauh lebih berbahaya dibanding daerah-daerah yang pernah
kita lewati sebelumnya. Tidak ada ruginya bagimu untuk belajar berkelahi dan
mempertahankan diri. Kita akan sangat membutuhkannya nanti.“