THE IMPOSSIBLE

Hampir Sembilan tahun yang lalu, tepatnya 26 Desember 2004, dunia diguncang oleh sebuah bencana alam maha dahsyat yang melululantahkan sebagian Asia. Selain Aceh, negara-negara lain pun tidak luput dari amukkan tsunami tersebut, termasuk India, Srilangka, Filipina dan Thailand. Tragedy inilah yang menginspirasi seorang sutradara berkebangsaan Spanyol bernama Juan Antonio Bayona untuk membuat sebuah disaster drama film.
Ceritanya sendiri berasal dari kisah nyata keluarga Belón berkebangsaan Spanyol yang merupakan salah satu keluarga yang selamat dari bencana mengerikan itu. Tapi, entah untuk kepentingan apa, nama keluarga Belón diubah menjadi Bennett dan mereka diceritakan berasal dari Inggris dengan logatnya yang begitu kental.
Diceritakan suami istri Bennett memutuskan untuk mengajak ketiga putra mereka ke Thailand untuk mengalami malam natal yang berbeda dari biasanya. Mereka berangkat dengan begitu antusias, dan awalnya semua berjalan dengan lancar dan penuh kebahagiaan. Suasana hotel yang baru dibangun itu pun tak kalah menyenangkan, membuat semua orang ingin melakukan kegiatan di luar kamar. Tapi tanpa peringatan sama sekali ombak setinggi sepuluh meter menghantam dan menghancurkan semuanya.
Tidak ada yang menyangka akan mengalami bencana hebat seperti itu sehingga hampir seluruh tamu hotel yang sedang menikmati liburan mereka terseret ombak. Keluarga Bennett pun tercerai berai. Sang istri, Maria (Naomi Watts) hanya bisa menemukan putra sulungnya, Lucas  (Tom Holland), terapung-apung terbawa arus yang sangat deras. Sementara itu sang suami, Hendry (Ewan McGregor) berhasil menyelamatkan kedua anaknya yang lain: Thomas (Samuel Joslin) dan Simon (Oaklee Pendergast).
Setelah berhasil menyelamatkan diri, Lucas berusaha bertahan sebelum regu penyelamat datang sambil membantu sang ibu yang terluka cukup parah. Keadaan sekitarnya begitu hancur lebur, hanya menyisakan genangan lumpur dan reruntuhan. Untungnya penduduk setempat menemukan dan menyelamatkan mereka. Maria langsung dilarikan ke rumah sakit yang ternyata telah diisi begitu banyak para korban lain yang memenuhi setiap sudut rumah sakit dengan luka-luka yang sangat mengenaskan.
Sementara itu, sang suami dan kedua anaknya berhasil berlindung di atas hotel tempat mereka menginap. Tapi situasi masih belum aman. Ancaman tsunami susulan masih menghantui sementara Henry harus mencari istri dan anak sulungnya. Dengan berat hati, Hendry menitipkan kedua anaknya kepada seorang wanita agar bisa mengungsi ke tempat yang aman. Tapi keputusan sulit ini malah membuat mereka terpisah.
Dengan penuh kesedihan, shock, sakit di sekujur tubuh dan putus asa, keluarga Bennett berusaha sekuat tenaga untuk dapat bertahan hidup dan menemukan anggota keluarga yang lain sehingga mereka bisa bersatu kembali.
Walaupun film ini bukan diproduksi oleh salah satu rumah produksi besar di Hollywood, tapi kualitasnya begitu di luar dugaan. Sejak awal cerita, penonton diajak untuk mengalami perjuangan keluarga Bennett yang penuh air mata dan rasa sakit. Alur ceritanya cepat, tanpa terlalu banyak tambahan informasi yang tidak diperlukan. Para tokohnya pun masing-masing memiliki karakteristik yang kuat dan dimainkan oleh actor dan aktris dengan kualitas acting yang jempolan. Bahkan sang pemeran utama wanita, Naomi Watts, dinominasikan sebagai aktris terbaik di berbagai penghargaan bergengsi. Sang anak, Lucas yang diperankan oleh Tom Holland pun tidak luput dari acungan jempol para penonton dan kritikus sehingga dinominasikan sebagai artis pendatang baru yang paling menjanjikan.
Film yang diputar pertama kali pada ajang Toronto Internasional Film Ferstival 2012 ini pun disebut-sebut sebagai “the most emotionally realistic disaster movies in recent memory—and certainly one of the most frightening in its epic re-creation of the catastrophic 2004 Indian Ocean Tsunami” oleh salah seorang Hollywood Reporter (benar, saya menuliskan opini ini tanpa saya terjemahkan karena saya rasa kata-kata ini lebih ampuh efeknya jika dibaca apa adanya).
Yang tak kalah mengundang decak kagum adalah setting lokasi yang diciptakan. Sang sutradara dan para special efek benar-benar telah bekerja keras dengan sangat baik untuk bisa menciptakan suasana yang sempurna, mereka ulang kejadian luar biasa tersebut sehingga kelihatan seolah benar-benar nyata tanpa perlu menggunakan efek 3D. Sang sutradara juga menyiasati dengan cara pengambilan gambar yang berbeda sehingga para penonton bukan hanya dapat menyaksikan tapi juga seolah-olah merasakan tragedy itu secara langsung. Belum lagi tata rias yang digunakan terlihat begitu nyata. Berbagai luka sayat atau luka parah dan bahkan bola mata yang memerah benar-benar kelihatan nyata.
Film ini mampu mengajak para penonton untuk merasa sedih, takut, haru dan ngeri pada saat yang bersamaan. Detailnya pun begitu diperhatikan sehingga saya yang biasanya sangat kritis mengenai hal yang satu ini tidak bisa menemukan celah kritik.
Ending film ini memang biasa saja dan terkesan ‘seperti sinetron’ dengan scene berpapasan yang membuat gemas. Tapi kesan ‘seperti sinetron’ itu dipatahkan dengan eksekusi yang bagus, yang membuat geregetnya terjaga tapi tetap masuk akal dan tidak berlebihan, sesuatu yang sejauh ini tidak bisa dilakukan sebagian besar sineas dalam negeri.
Dan bukan hanya itu. Film ini juga memberi pelajaran kepada penonton bahwa pasti akan ada ‘terang sehabis gelap’. Film ini juga menyinggung tentang kemanusiaan, seberapa jauh seseorang dapat peduli dan mau membantu sesama manusia walaupun tidak saling mengenal. Dan film ini mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah.
Sebenarnya saya bukanlah tipe orang yang suka menonton film yang mengundang air mata, tapi film yang satu ini adalah pengecualian. Selain memang berkualitas, film ini sayang untuk dilewatkan. Saya dengan senang hati memberikan empat dari lima bintang.
150113 ~Black Rabbit~