Sebelum memulai, saya juga ingin mengatakan
bahwa saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk menilai film ini secara objectif.
Jujur saja, kali ini agak sulit untuk bisa menyingkirkan kenyataan bahwa tokoh
utama film ini, Jeremy Ranner, adalah salah satu aktor terganteng yang pernah
dimiliki Hollywood. Yah, paling tidak menurut saya :D. Tapi bagaimana pun, saya
tetap harus menyingkirkan pandangan subjectif saya guna bisa menyusun sebuah
review film yang berimbang bagi pembaca yang lain. Saya berusaha keras,
percayalah. J
Anyway, pada dasarnya kisah Hansel and Gretel
memiliki permulaan kisah yang sama dengan dongeng ciptaan Brother Grimm yang
selama ini dikenal. Kedua kakak beradik Hansel (Jeremy Renner) dan Gretel (Gemma
Arterton) 'dibuang' oleh kedua orang tuanya ke dalam hutan tanpa alasan yang
jelas. Dengan ketakutan dan bingung, mereka berdua berusaha mempertahankan diri
dan menemukan sebuah rumah yang terbuat dari kue. Tapi ternyata rumah tersebut
adalah kediaman seorang penyihir jahat. Dia menyekap Hansel dan Gretel, memaksa
mereka makan begitu banyak permen lalu menyiksa mereka melakukan perkerjaan
berat hingga akhirnya memutuskan menjadikan mereka sebagai menu makan malam.
Untunglah Gretel berhasil melepaskan diri dan setelah berhasil menyelamatkan
sang kakak, mereka berdua pun membunuh sang penyihir jahat dengan cara
memasukkannya ke dalam oven.
Tapi kisah mereka belum selesai sampai di situ.
Kejadian traumatik itu begitu membekas di hati mereka berdua hingga Hansel yang dipaksa memakan begitu banyak kue dan permen-permen manis terkena
penyakit diabetes. Dan bukan hanya itu, kejadian itu membuat keduanya tumbuh menjadi pemburu para penyihir yang lihai dan tangguh. Dengan mengembangkan cara berkelahi dan mempertahankan
diri, juga menggunakan senjata-senjata yang canggih, mereka membantu anak-anak
kecil lain yang juga ditawan para penyihir. Pelan tapi pasti mereka mengukuhkan
nama menjadi witch hunter yang handal.
Suatu saat mereka mendapat tugas di suatu desa
yang warganya sangat resah karena beberapa anak kecil hilang diculik oleh para
penyihir. Ternyata kasus yang mereka tangani kali ini bukan kasus biasa. Dua
belas anak di desa ini, enam laki-laki dan enam perempuan yang lahir di bulan
yang berbeda, diculik oleh seorang penyihir bernama Muriel (Famke Janssen).
Sang penyihir jahat itu ingin memanfaatkan moment Blood Moon yang langka untuk
membuat sebuah ramuan yang bisa membuat mereka kebal terhadap api bersama kedua
saudarinya yang kejam.
Hansel dan Gretel yang disewa oleh walikota berusaha
menghentikan si penyihir dengan bantuan seorang wanita muda bernama Mina (Pilha
Vlitala) yang mereka bantu saat hampir saja dibakar oleh sherif karena dituduh
sebagai penyihir dan seorang lelaki muda pengagum rahasia Gretel yang juga
bercita-cita menjadi Witch Hunter bernama Ben (Thomas Mann) beserta seorang
troll bernama Edward (Derek Mears). Tapi ternyata tanpa disangka-sangka
penyelidikan mereka mengarah pada terkuaknya latar belakang keluarga Hansel dan
Gretel, tentang siapa sebenarnya kedua orang tua mereka dan alasan apa yang
membuat keduanya selama ini tidak mempan terkena sihir jahat. Bagaimana akhir
perjuangan mereka?
Hansel and Gretel Witch Hunter bukanlah film
untuk anak-anak. Bahkan film ini menyandang rating R dan beberapa majalah film
mengumumkan bahwa film ini BUKAN diperuntukkan bagi anak-anak di bawah umur
(walaupun, sayangnya, para pengelola bioskop di Indonesia masih belum mau
repot-repot melakukan hal yang sama).
Dan memang benar, film ini mengandung berbagai
unsur yang bisa mewakili rating R tersebut. Coba kita teliti lagi. Nudity?
Check. Malah ada adegan yang harus disensor secara keseluruhan. Violence?
Double check. Dengan penggunaan berbagai senjata api dan pertarungan yang
kasar, jelas unsur yang satu ini begitu terasa. Sadism? Triple check. Bukan
saja adegan pukul-pukulan yang keras dan kejam, tapi juga darah yang muncrat ke
mana-mana dan taktik pertikaian yg terkesan penuh mutilasi memang terlalu
mengerikan untuk ditonton anak-anak. Tapi, terlepas dari rating tadi,
keseluruhan cerita berjalan cukup menarik. Dengan berani, sang sutradara
mengubah cerita legenda ini menjadi sesuatu yang segar tapi tidak meninggalkan
'akar'nya.
Memang, Hollywood sedang hobi-hobinya me-remake
cerita-cerita legenda menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan dewasa. Beberapa
legenda sudah di-remake, seperti Red Riding Hood, Cinderlela dan bahkan Snow
White, tapi tidak satu pun dari film tersebut yang dianggap berhasil di
pasaran.
Tapi menurut saya Hansel and Gretel adalah film
re-make yang berbeda dari film-film tersebut. Walaupun masih mengusung genre
yang lebih dark, tapi keputusan untuk tidak mengubah garis besar ceritanya
adalah keputusan yang tepat. Untuk menyiasatinya, sang penulis naskah malah
memberikan twist-twist baru yang lebih masuk akal dan menarik yang masih
terkait. Paling tidak latar belakang para tokohnya cukup tergali dan setiap
pertanyaan mendapatkan jawaban seiring cerita ini berjalan sehingga tidak ada
pertanyaan yang tersisa dibenak penonton setelah credit title rolling di layar.
Selain itu alurnya cepat, dan kisahnya cukup
terfokus pada kedua tokoh utama sehingga tidak banyak detail pemeran pembantu
yang terlalu mengganggu. Walaupun cukup banyak adegan kebetulan, tapi shocking
scenenya masih mampu memberi tempo yang tidak membosankan. Setting lokasinya
cukup menarik, efek-efeknya juga menyenangkan, walaupun bagi beberapa yang
tidak terlalu suka adegan penuh darah, saya tidak menyarankan untuk menonton
versi 3D nya. Yang saya suka adalah keputusan sang sutradara mengambil setting
'steam punk' kuno yang menggunakan senjata-senjata berat tapi dengan setting
klasik. Paling tidak hal ini memberi variasi bagi penonton agar tidak
membosankan untuk ditonton.
Jika kalian ingin mencari film action fantasi
yang penuh darah, maka film yang saya beri tiga dari lima bintang ini cocok
untuk kalian. Tapi, saya sangat menyarankan untuk tidak mengajak anak kecil,
loh yah. Tapi kalau kamu termasuk orang yang tidak tahan menyaksikan film yang
penuh perkelahian dan darah, jangan nonton film ini. Kalau pun kalian
'terpaksa' menonton film ini, lebih baik jangan terlalu banyak membawa makanan
atau minuman, deh. Saya sih menyarankan untuk menikmati kegantengan Jeremy
Ranner-nya saja seperti yang saya lakukan juga di tengah-tengah kegiatan
menonton saya itu.... (^_^)
250113 ~ Black Rabbit