‘Val’phobia ( part 8 )


…Cerita Sebelumnya…
Keadaan semakin parah saja. Pertengkaranku dengan Dan sudah sampai ke telinga ibuku dan beliau memberi nasihat bijaknya kepadaku. Dan ternyata nasihat itu terbukti berhasil. Aku dan Dan bisa berbaikan kembali dan membuatku menetapkan hatiku sekali lagi…

 
Hari sudah menjelang sore saat aku dan Val berada di depan mobilnya, memperhatikan pemandangan kota di sebuah bukit di kawasan perumahan elite yang indah. Dia mengajakku ke sini untuk membicarakan sesuatu yang serius, itu katanya.
" Ini adalah tempat favoritku untuk merenung. Kalau malam sedang cerah dan kita sedikit beruntung, kita bisa menemukan ribuan bintang dan bulan yang terang benderang dari sini. " Val memulai pembicaraan, memperkenalkan tempat itu kepadaku.
" Benarkah? " Val mengangguk. " Sayang sekali sekarang masih sore, kita tidak bisa melihat bulan dan bintang yang kamu bicarakan tadi. "
Val mengangguk lagi. " Kita bisa melihatnya lain kali. " Dan aku tersenyum.
Beberapa menit kemudian kami diam cukup lama, sepertinya satu sama lain tidak yakin ingin memulai perbincangan duluan atau tidak. Sampai akhirnya Val mengalah dan berkata:
" Flor, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu. "
" Masalah apa? " Tanyaku, bingung.
" Masalah SMSku waktu itu, aku minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk membuatmu bingung. "
Benarkan apa yang aku pikirkan? Val memang menunggu waktu yang tepat untuk mengungkit masalah itu. Aku diam, lalu perlahan menggeleng dan berkata tanpa penekanan apa-apa. " Sudahlah Val, lupakan saja masalah itu. "
Val menggeleng. " Tapi aku benar-benar merasa sangat tidak enak. "
Aku menghela napas dan mencoba menjawab tanpa melibatkan emosiku sama sekali. " Itu sudah lama sekali. Jujur saja aku memang kecewa membaca SMS itu. Rasanya sangat menyakitkan. Tapi…kalau sekarang aku boleh bertanya, kenapa waktu itu kamu bisa mengirim SMS seperti itu untukku, Val? "
Sekarang aku sudah menatap mata Val. Aku ingin melihat reaksi matanya saat Val menjawab pertanyaanku yang satu ini. Kata orang, mata tidak bisa berbohong, aku ingin membuktikannya sekarang. Mata itu kelihatan kaget, ragu-ragu selama beberapa saat lalu berubah menjadi penuh penyesalan saat Val akhirnya bisa menjawab dengan lemah.
" Aku juga tidak yakin kenapa aku bisa mengatakan hal seperti itu kepadamu. Aku tahu, aku salah. Tidak seharusnya aku bersikap sangat kasar kepadamu. Bagaimanapun, kedekatan kita tidak bisa diabaikan hanya karena masalah sepele seperti itu. " Val mengakhiri kata-katanya dengan senyum kecut. Aku masih mencoba membaca mata Val, tapi yang aku temukan di sana malah akhirnya membuatku merinding. Di sana aku menemukan kesungguhan hati. Buru-buru aku memalingkan wajahku.
" Tapi Flor, kalau aku masih boleh jujur kepadamu… aku ingin meyakinkanmu bahwa permintaanku waktu itu aku katakan dengan sungguh-sungguh. " Val melanjutkan kata-katanya yang membuatku mengerutkan dahi dengan bingung.
" Maksudmu? "
" Flor, aku masih tetap menginginkanmu dan aku… menyukaimu. "
Val pasti sudah gila. Dia baru saja menyatakan cintanya kepadaku! Apa dia salah orang dan menganggapku wanita lain? Kali ini aku langsung menatap matanya, mencoba untuk menemukan kebenaran disana tapi malah menemukan pancaran mata yang penuh keseriusan.
" Boleh aku bertanya dulu? " Aku bertanya sambil berjuang menguasai hatiku sendiri. Val mengangguk dan aku melanjutkan perkataanku. " Bagaimana hubunganmu dengan pacarmu itu? "
" Pacarku? Siapa? Stella? " Val malah kembali bertanya dengan sedikit kaget. Itu malah membuatku menyadari sesuatu, ternyata wanita itu bernama Stella. Wanita yang waktu itu pernah aku lihat fotonya dari Val, yang diakui Val sebagai pacarnya dua tahun yang lalu. Kali ini aku yang mengangguk.
" Aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Stella, kami sudah lama putus. Karena itulah sekarang aku berani memintamu untuk menjadi pacarku, Flor. Awalnya aku memang tidak terlalu tertarik denganmu, aku menganggapmu anak kecil, menganggapmu bukan apa-apa. Tapi aku salah. Tidak bertemu dua tahun denganmu malah membuatku tersadar bahwa aku tidak bisa melupakanmu. Kamu memang tidak istimewa, kamu biasa saja, tapi justru karena itu aku malah semakin sering memikirkanmu. "
Kini Val menatapku dengan pandangan tajam yang menusuk, dan pikiranku langsung jadi kacau. Val menarik tanganku yang rasanya tidak bertenaga lalu melanjutkan perkataannya sambil tetap menggenggam tanganku.
" Sekarang aku berani mengatakan ini kepadamu: Flor, aku cinta kepadamu, aku mau kau jadi milikku. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu lagi, aku benar-benar mencintaimu dari lubuk hatiku yang paling dalam. "
Aku semakin lemas. Ya ampun… Val mengatakan kalau dia mencintaiku! Apa yang terjadi? Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Val menyatakan perasaannya kepadaku pada saat yang tidak tepat, dua minggu sebelum aku bertunangan dengan Daniel!
… Bertunangan… Aku lupa kalau aku harus memberikan undangan pertunanganku kepada Val. Aku akan bertunangan dengan Daniel, aku akan menjadi istrinya, aku sempat melupakan kenyataan itu. Gawatnya, mataku mulai panas dan air mataku nyaris jatuh, aku akan menangis. Aku tidak boleh menangis.
" Val, aku akan bertunangan dengan Daniel dua minggu lagi. "
Wajah Val langsung berubah pucat. Dia meraih tanganku dan meremasnya sekuat tenaga. Aku kesakitan, jantungku juga seperti diiris-iris, dan aku merasakan kekecewaannya.
" Kamu tidak bisa bertunangan dengan orang lain! Aku tahu kamu menyukaiku, kamu selalu menyukaiku, kan? Hanya saja aku terlalu bodoh karena tidak membalas perasaanmu itu! Kamu hanya mencintaiku, bukan orang lain! "
Air mataku sudah tak tertahankan lagi dan kini mengalir dengan derasnya. Tiba-tiba semua kenangan tentang Val kembali lagi ke dalam otakku. Aku ingat betapa dulu aku sangat menginginkan Val menjadi kekasihku, selalu berangan-angan dekat dengannya. Tapi dulu, dia tidak bisa mewujudkan semua keinginanku itu, dan sekarang saat aku tidak lagi memimpikan semua itu, Val malah menawarkan semuanya dan membuatku bingung.
" Kenapa? " Aku mulai berbicara lagi. " Kalau kamu memang tahu aku mencintaimu, kenapa kamu malah membuatku sakit hati? Kamu membuatku kecewa, menjadikanku pelarianmu dan tidak menghargaiku! Aku sangat membencimu! Hanya karena aku tidak mau berselingkuh denganmu, kamu malah memutuskan hubungan persahabatan kita! Aku benar-benar membencimu! "
Air mataku semakin deras. Rasanya tidak ada lagi yang bisa aku tahan, semua perasaan yang aku pendam selama ini sudah keluar. Aku melepas genggaman tangannya dengan kasar lalu berusaha sekuat tenaga untuk memukul dadanya yang bidang. Aku berharap dia kesakitan. Aku mau dia merasakan sakit yang selama ini aku rasakan.
" Aku tahu kamu sangat membenciku, aku sudah membuatmu sakit hati. Tapi aku menyayangimu, aku ingin kamu jadi milikku, bukan milik orang lain, Flor! "
" Aku… aku juga sangat menyayangimu! " Akhirnya kata-kata itu terlontar juga, aku sendiri setengah tidak sadar saat mengatakannya. Val menatapku dengan senang, matanya berbinar-binar dan dia baru saja akan memelukku. Tapi aku mengelak, mundur satu langkah dan menatapnya dengan pandangan penuh air mata.
" Tapi kenapa kamu datang sekarang? Kenapa kamu datang saat aku sudah memutuskan untuk melupakanmu? Kenapa kamu datang dua minggu sebelum aku akan bertunangan? Kenapa?!?! "
Aku membentaknya sekeras mungkin, memuntahkan semua pikiran yang selama ini aku tutup-tutupi tanpa perduli Val akan bersikap bagaimana. Tapi Val malah menarikku dan memelukku erat-erat. Dia membiarkanku menangis disana, memukulnya sekuat tenaga, mendengar detak jatungnya yang cepat dan mencium aroma tubuhnya yang wangi. Sesaat semuanya terasa lengkap. Apa yang sudah membuatku penasaran selama ini dan yang membuatku sakit hati, terjawab sudah. Orang yang selama ini diam-diam sudah aku kagumi, bertekuk lutut dihadapanku. Apa lagi yang aku inginkan? Bukankah aku sudah mati-matian berusaha menjadi wanita yang cantik untuk tujuan ini, jadi apa lagi yang aku mau?
Val merenggangkan pelukannya lalu menatapku yang sudah berhenti menangis, membuat wajahku dan wajah Val hanya berjarak beberapa senti. Kami saling bertatapan cukup lama dalam diam, dan entah bagaimana, sedetik kemudian aku dan Val sudah berciuman. Itu sebuah ciuman yang hangat dari Val, dari seorang laki-laki yang selama ini aku inginkan, dan jujur saja aku sangat menikmatinya. Beberapa menit setelah terhanyut cukup lama, bibir Val mulai merenggang. Dia akan melanjutkan ciumannya ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Itu adalah suara teleponku, sebuah MMS masuk dari Daniel. Aku menjauh dari Val dan membacanya. Isi pesan bergambar itu tidak terlalu panjang, hanya ada sebuah foto aku dan Daniel yang kami ambil beberapa waktu yang lalu dari ponsel Daniel. Di foto itu kami berpelukan dengan mesra, raut wajah kami sama-sama terlihat senang dan penuh dengan cinta. Di bawah foto itu terdapat sebuah kalimat:
Flor, aku sangat merindukan senyum manismu ini…L
Saat itu, tiba-tiba aku mengingat kembali semua kenanganku bersama Daniel. Bayangan saat dia menyatakan perasaannya kepadaku empat tahun yang lalu, bayangan saat dia menciumku pertama kali, bayangan saat kami melewati waktu bersama, saat kami bertengkar, saat kami saling jujur, saat kami jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya. Semuanya tampak sangat indah, menyentuh hati dan sangat berharga. Kemudian kejadian berikutnya berjalan dengan saat cepat. Tiba-tiba aku memahami apa yang harus aku lakukan, kesalahan apa yang telah aku lakukan dan apa keputusan yang akan aku ambil. Lalu aku mengembalikan ponselku ke dalam tas dan memandang Val yang masih berdiri di hadapanku dengan pandangan bingung.
" Aku minta maaf, Val. " Hanya itu kata-kata yang bisa aku katakan kepada Val.
" Maksud kamu apa, Flor? " Val malah terlihat bingung.
Aku menggelengkan kepalaku dengan mantap. " Terima kasih karena telah bersedia meluruskan kesalahpahaman yang pernah terjadi antara kita berdua, tapi… aku tidak bisa, Val. "
" Tapi Flor… "
Aku mengulurkan telapak tanganku tepat ke depan wajah Val untuk menghentikan perkataannya. " Val, sudah cukup. Aku tidak bisa mengkhianati cinta tulus yang telah aku terima dari Daniel. Maaf… aku… memilih Daniel. "
Lalu aku menyerahkan undangan pertunanganku, sambil mengatakan kalau dia harus datang bersama pasangannya. Saat itu Val kelihatan sangat kaget menerima undangan itu, bahkan sempat tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia memandangi mataku nyaris tanpa berkedip, seolah mencari jawaban yang bisa diterimanya dari sana. Tapi aku pasti memasang raut wajah yang penuh keyakinan karena pada akhirnya dia berjanji akan datang dengan suara pelan dan pasrah. Dan tak lama setelah itu kami beranjak pulang tanpa berkata apa-apa lagi.

 
… Bersambung …