‘Val’phobia ( part 2 )


…Cerita Sebelumnya…
Tanpa disengaja aku teringat kembali dengan sosok seorang pria bernama Valentino Pratama, seseorang yang pernah mengisi hatiku. Memang bukan ingatan yang menyenangkan, tapi sepertinya dengan mengingat sosoknya aku bisa menyelesaikan apa 'yang belum diselesaikan' di antara kami. Semoga saja…

 
Oh! Aku hampir saja lupa kalau dihadapanku sudah ada sebuah kolom yang menungguku untuk mengisinya.
… dia mengenakan kemeja berwarna biru muda dan celana panjang berwarna hitam…
Aku ingat saat Val mengeluarkan sebuah foto seorang wanita dari dalam agendanya. Val mengakui wanita itu sebagai pacarnya dan aku langsung terdiam seketika. Itu sebuah foto close up seorang wanita cantik, dengan rambut ikal berwarna coklat tua, dengan kulit wajah dan tangan yang terlihat sangat mulus. Bisa kubayangkan bagaimana sosok wanita itu. Dia pasti memiliki postur tubuh yang bagus: kaki yang panjang dan mulus, kulit yang putih bersinar, dan dada yang besar. Pakaian yang dikenakannya juga pasti bagus: baju dan celana bermerek yang pas jatuh di tubuhnya yang menampilkan sosoknya yang seksi dan elegan. Apalagi dipadukan dengan sandal bermerek dan tas tangan dari kulit asli yang juga bermerek.
Coba bandingkan denganku: badan tidak terlalu tinggi untuk bisa terlihat semampai, dengan kulit yang cukup putih tapi kusam, kaki pendek dengan telapak kaki yang hanya dibalut oleh sepatu atau sandal biasa, dada yang rata, dan pakaian yang aku kenakan hanya membuat penampilanku terlihat tambah amburadul. Jika dibandingkan, aku dengan wanita itu seperti langit dan bumi. Aku adalah bumi yang selalu berada di bawah dan diinjak-injak, sedangkan wanita itu adalah langit yang selalu berada di atas dan dikagumi semua orang.
Saat itu aku sadar bahwa keinginanku untuk memenangkan hati Val hanyalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Val menyukai tipe wanita yang tidak akan pernah bisa aku tiru. Jangankan untuk memenangkan hatinya, membuatnya melirik kepadaku saja sudah merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, dan aku benar-benar bodoh karena pernah berpikir untuk menaklukkannya.
Jadi sejak saat itu aku mulai menelaah diriku sendiri dan aku menemukan kenyataan bahwa ternyata selama ini aku memang terlalu cuek dengan penampilanku. Sebenarnya semua wanita bisa kelihatan cantik kalau mereka bisa menemukan sesuatu yang cocok untuk diri mereka sendiri dan merasa nyaman mengenakannya, mulai dari pakaian, aksesories bahkan make up. Aku mulai belajar kalau kulit putihku yang kusam bisa terlihat bercahaya kalau aku mau melakukan luluran secara teratur, atau rambutku bisa lembut kalau aku rajin memberi condisioner, atau juga wajahku bisa terlihat menarik kalau aku mau mencoba sedikit berhias, dan dada yang kecil tidak menjadi masalah besar. Aku belajar menampilkan kelebihan dalam diriku dengan cara yang tidak sulit.
… " Hai kenalkan, saya Val. " Kata laki-laki itu menyapa Nila.
" Hai, Nila. " Jawab Nila sambil tersenyum…
Ingatanku mengenai Val masih terus mengalir.
Aku masih ingat betul bagaimana aku menghabiskan hari-hariku di kantor itu bersama Val. Kadang dia sering meneleponku untuk membicarakan mengenai pekerjaan diselingi dengan masalah-masalah pribadi atau pembicaraan ringan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kami juga sempat mengobrol mengenai pasangan kami masing-masing. Aku menceritakan cukup banyak mengenai Daniel, tapi dia hanya menceritakan sedikit hal mengenai pacarnya. Sangat sedikit, sehingga aku bahkan tidak tahu siapa nama wanita itu.
Saat akhirnya aku mengundurkan diri dari perusahaan itu, kami masih tetap berhubungan melalui SMS. Sejak itu, mengobrol melalui SMS sudah menjadi kegiatan baru yang menyenangkan dan selalu aku tunggu-tunggu. Semua SMS itu hanya berisi obrolan biasa, saling menanyakan kabar, pasangan masing-masing dan menanyakan masalah pekerjaan. Kegiatan SMS itu terus berlanjut, sampai akhirnya tibalah pada saat-saat yang paling mengecewakan, dimana akhirnya aku mulai jauh dari Val.
Waktu itu aku menghubunginya lagi setelah tiga bulan lebih aku tidak bertemu dengannya. Awalnya aku hanya ingin mengobrol seperti biasa, menanyakan kabar dan sebagainya. Dia menjawab kalau dia sedang bertengkar dengan pacarnya, lalu aku bermaksud bercanda dengan menuduhnya berselingkuh, tapi dari situ situasinya bertambah parah.
Dia memintaku menjadi selingkuhannya.
Awalnya aku mengira kalau dia menanggapi leluconku dengan sebuah lelucon juga, tapi ternyata dia menanggapinya dengan serius. Dia mengajakku bertemu, nonton, makan, dan bahkan menawarkan diri untuk menjemputku_sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Percaya atau tidak, untuk sesaat kenyataan yang mengatakan bahwa seorang Valentino Pratama yang ganteng, dewasa dan yang menarik perhatianku selama ini akhirnya mengajakku berkencan sangat membuatku gembira. Dia bahkan ingin menjalin hubungan denganku!
Tapi aku merenungi semuanya lagi.
Selama ini dia tidak pernah bersikap seperti ini, jadi kenapa seorang pria yang kuanggap memiliki penilaian tinggi terhadap seorang wanita bisa menginginkanku menjadi selingkuhannya? Ada sesuatu yang tidak beres. Val terus saja mendorongku untuk menjawab 'iya' dan tidak perduli walaupun aku sudah memberi alasan kalau pulsaku tinggal sedikit sehingga aku tidak bisa mengobrol lebih banyak lagi dengannya. Tapi ternyata Val malah meneleponku! Aku tidak berani menjawab telepon itu. Aku takut kalau aku menjawab telepon itu dan mendengar suaranya maka otomatis aku akan menyetujui ajakannya itu.
Dering ponselku berhenti pada deringan kelima dan akhirnya aku bisa menarik napas dengan lega. Dalam pikiranku, suara dering telepon tadi seperti teriakan Val yang seolah mengatakan keseriusannya. Aku masih berusaha bersikap baik dan menetralkan suasana dengan mengirim SMS dengan kata-kata seperti ini:
Val, aku mau jalan denganmu, tapi statusnya hanya sebagai kakakku.
Pip…pip…pip… sebuah SMS jawaban datang dari Val, tapi saat aku membacanya, aku hanya bisa menghela napas panjang dengan pasrah, karena pesan itu tertulis seperti ini:
TAPI AKU TIDAK MAU KITA MENJADI SAUDARA!
Aku sadar. Mestinya aku tidak mengundangnya untuk bercanda mengenai masalah ini, semestinya aku tidak memulainya. Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi karena aku tidak mau membuat segalanya bertambah kacau. Akhirnya Val sendiri yang menyelesaikan semuanya dengan kata-katanya yang sedikit kasar dan membuatku tersinggung. Dia tulis di SMS-nya kalau aku tidak menyetujui ajakannya itu maka tidak akan ada kesempatan kedua untukku dan aku tidak akan bisa berhubungan lagi dengannya.
Aku tidak menjawabnya. Aku merasa sakit hati membaca kata-kata Val itu, seolah-olah Val memutuskan hubungan pertemanan kami hanya gara-gara hal se-sepele ini.
Sejak saat itu kebiasaan mengobrol melalui SMS dihentikan. Val benar-benar serius dengan kata-katanya itu sehingga aku kehilangan sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Di dalam hati, aku kecewa karena aku kehilangannya, orang yang diam-diam menjadi semangatku setiap hari. Kalau saja Tuhan mengizinkanku untuk mengulang kejadian itu, maka aku akan berusaha menanggapinya dengan jauh lebih baik, berusaha membuat segalanya tetap utuh, tidak berantakan seperti ini. Tapi aku tidak bisa mengulang waktu. Lagi pula seperti yang dikatakan Val: tidak ada kesempatan kedua. Jadi aku hanya bisa diam, merenungi semuanya, menerima semua kekecewaan ini.
Aku sempat berpikir lagi lebih jauh, bertanya-tanya kepada diriku sendiri: apa yang terjadi antara aku dan Val sehingga dia bisa menjatuhkan pilihan selingkuhannya kepadaku? Kalau ingat wanita yang pernah diakuinya sebagai pacarnya waktu itu, aku benar-benar jatuh dari tipenya. Apa yang dicarinya dariku? Apa yang dilihatnya dari diriku? Aku hanya seorang gadis biasa, yang tidak memiliki tubuh seksi, sifat feminim atau mengenakan pakaian dan aksesories bermerek. Apa yang diinginkan Val dariku?
Jawabannya: tidak ada.
Dia tidak memandangku sebagai seseorang yang berharga. Dia hanya sedang melihat peluang untuk mempermainkan anak kecil seperti aku. Dia menemukan pelarian dari masalah yang sedang dihadapinya dengan pacarnya, atau bahkan dia hanya menemukan tempat pelampiasan seks terbaru. Tidak ada nilai yang lebih positif untuk dijadikan salah satu kelebihanku dimatanya. Aku diremehkan dan aku tidak menyukainya.
Aku menyesal sempat berpikir untuk benar-benar berselingkuh dengannya, berpikir kalau Val adalah orang baik yang sangat beruntung kalau bisa kudapatkan. Aku membenci pikiranku yang tetap menginginkan Val menghubungiku, mengatakan kalau semua ini hanya bohong, dia tidak benar-benar menginginkanku menjadi selingkuhannya tapi dia sebenarnya menginginkanku menjadi adiknya, atau kata-kata lain yang bisa membuat segalanya lebih baik. Tapi keinginanku tidak pernah terwujud. Val tidak pernah menghubungiku lagi dan meninggalkanku dengan perasaan kecewa, sedih dan sakit.
Aku melirik jam dindingku dan langsung terlonjak kaget. Sudah lebih dari tiga jam yang lalu aku duduk di depan komputerku mencoba untuk menulis, tapi hanya menghabiskan tidak lebih dari satu paragraf dan malah menerawang kemana-mana. Sudahlah! Lebih baik aku mulai mandi dan berdandan. Sebentar lagi Daniel akan menjemputku untuk makan malam di salah satu restoran mewah sedangkan aku belum bersiap-siap. Jadi aku mematikan komputerku dan melangkah ke kamar mandi.

 
… Bersambung …